Sumber gambar, BBC/Anindita Pradana
-
- Penulis, Nicky Aulia Widadio
- Peranan, Wartawan BBC News Indonesia
Sebuah kampung di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara, meminjam aksara Hangeul dari Korea Selatan dengan misi melestarikan bahasa asli mereka, bahasa Cia-Cia, yang terancam punah.
Adaptasi aksara Hangeul ini dilakukan di Kampung Karya Baru, Sorowalio, Baubau sejak 2010. Bagi warga di sana, program ini membanggakan karena membuat kampung kecil mereka disorot dunia
Namun setelah 15 tahun upaya ini berjalan, adaptasi aksara Hangeul di kampung ini masih terbatas.
Sumber gambar, BBC/Anindita Pradana
할때 빠싸르 까르야바루
Kalimat dengan aksara Hangeul itu terpampang di sebuah halte di depan pasar tradisional. Ini bukan di Korea Selatan, tapi di Kampung Karya Baru.
“Bacanya, ‘Halte Pasar Karya Baru’,” kata pelajar berusia 15 tahun di Kampung Karya Baru, Intan Ayu Meilani.
Di sekitar halte itu, sejumlah plang jalan dan papan nama sekolah juga ditulis dengan huruf Hangeul.
Sumber gambar, BBC/Anindita Pradana
Intan mengaku tidak bisa berbahasa Korea. Dia bisa membaca tulisan di plang-plang itu karena pernah mempelajari aksara Hangeul saat kelas empat SD.
Intan bercerita, kala itu ada pengajar dari Korea Selatan yang memperkenalkan para siswa dengan aksara Hangeul.
Sumber gambar, BBC/Anindita Pradana
Sebaliknya, rekan kami dari BBC Korea, Hyunjung Kim, bisa membaca dan melafalkan tulisan di halte dan plang-plang jalan itu.
Namun, Hyunjung tidak mengerti artinya karena kalimat yang ditulis dengan aksara Hangeul itu adalah bahasa Indonesia dan bahasa Cia-Cia.

Ketua Departemen Hunmin Jeongeum Society, Chun Tai-Hyun, mengatakan kepada Amirul Tamim, wali kota Baubau saat itu, bahwa bahasa Cia-Cia mengingatkannya pada bahasa Korea.
Hunmin Jeongeum adalah lembaga yang aktif mengajak komunitas-komunitas bahasa minoritas di Nepal, Mongolia, Nepal dan China untuk menggunakan aksara Hangeul.
Tamim kemudian bercerita bahwa bahasa Cia-Cia terancam punah karena tidak memiliki sistem penulisan.
Sumber gambar, BBC/Anindita Pradana
Persoalannya, bahasa Cia-cia tidak memiliki aksara. Upaya pelestarian bahasa Cia-cia pernah dilakukan menggunakan aksara arab gundul, tapi ditemukan banyak pelafalan yang maknanya menjadi berbeda ketika ditulis.
Chun Tai-Hyun kemudian merekomendasikan aksara Hangeul untuk diadaptasi.
Pada 2009, Pemerintah Kota Baubau menerima tawaran mengadopsi aksara Hangeul demi “pelestarian bahasa Cia-Cia”. Inisiatif ini juga disetujui oleh tokoh-tokoh masyarakat di Kecamatan Sorowalio, yang warganya merupakan penutur asli bahasa Cia-Cia.
Sumber gambar, BBC/Anindita Pradana
Salah satu alasannya, menurut jurnal yang ditulis Chun Tai-Hyun pada 2010, aksara Hangeul lebih efektif untuk mentranskripsi beberapa bunyi dalam bahasa Cia-Cia, yang tidak terwakilkan dalam aksara Romawi.
Misalnya, bunyi implosif /p/ dan /t/. Ketika dipaksakan menggunakan huruf p dan t, maka maknanya menjadi berbeda.
Pada 2014, misi adaptasi aksara Hangeul ini dilanjutkan oleh Korean Cia-Cia Cultural Exchange Association (KCCEA) pada 2014.
Jung Deuk Young menjadi guru pertama yang mengajar aksara Hangeul di Buton. Dia masih mengajar aksara Hangeul di Pulau Buton sampai saat ini.
“Tujuan Cia-Cia Hangeul sharing adalah untuk memastikan bahwa orang-orang tanpa bahasa tulis dapat hidup bersama dan berkembang, menggunakan Hangeul sebagai alat,” kata Jung kepada BBC News Indonesia.
Sumber gambar, Jung Deuk Young
‘Kami ingin bahasa kami lestari’
Dari kesepakatan itu, dua orang guru dari Kampung Karya Baru dikirim ke Korea Selatan untuk belajar aksara Hangeul. Abidin adalah salah satunya. Dia belajar di Seoul National University selama enam bulan.
“Setelah saya pelajari, ternyata ada bahasa Cia-Cia yang pengucapannya mirip dengan karakter yang ada dalam aksara Korea ini,” kata Abidin.
Setelah kembali ke Baubau, Abidin mengajar aksara Hangeul kepada siswa kelas 4 dan 5 SD.
Menurut Abidin, anak-anak didiknya “tidak terlalu kesulitan” mempelajari aksara Hangeul.
“Karena ini kami tidak mempelajari bahasa baru, kami ini hanya meminjam,” kata Abidin.
Sumber gambar, BBC/Anindita Pradana
Abidin bilang, usulan adaptasi aksara Hangeul diterima oleh warga di Kampung Karya Baru karena mereka ingin bahasa asli mereka lestari.
“Kami ingin bahasa Cia-Cia terpelihara, terjaga dan keaslian itu tetap ada. Artinya, bisa lestari. Generasi anak-anak sekarang itu sudah kurang tahu lagi bagaimana menggunakan bahasa Cia-cia dengan benar,” tutur Abidin.
Abidin telah menerbitkan kamus bahasa Cia-Cia menggunakan aksara Hangeul pada 2021. Kamus itu menjadi acuan dalam pembelajaran bahasa Cia-Cia di beberapa sekolah.
“Itu yang sudah coba kami lakukan sebagai langkah-langkah supaya huruf-huruf ini bisa terdokumentasikan,” kata Abidin.
Sumber gambar, BBC/Anindita Pradana
BBC News Indonesia mengunjungi SD Negeri Karya Baru untuk melihat bagaimana proses belajar bahasa Cia-Cia menggunakan aksara Hangeul berjalan.
Di sekolah ini, aksara Hangeul diajarkan oleh Rasyid, guru yang pernah belajar ke Korea Selatan pada 2012 seperti Abidin.
Rasyid membuka kelas dengan menyapa murid-muridnya dalam bahasa Korea: “Annyeonghaseyo!”
Cara itu dipakai Rasyid untuk memantik ketertarikan siswa-siswanya mempelajari aksara Hangeul.
“Anak-anak ini lewat media sudah melihat Kpop segala macam. Jadi sengaja kata-kata seperti itu saya pakaikan bahasa Korea supaya kalau mereka melihat di TV atau drama Korea itu mereka mengerti,” kata Rasyid.
Rasyid juga punya cara untuk membuat murid-muridnya tertarik mempelajari aksara Hangeul, aksara yang asing bagi mereka.
“Saya sampaikan, ‘Seandainya kalian bisa menulis, nanti kalau menulis rahasia, walaupun dibaca orang, apa sih yang ditulis ini anak? Karena orang tidak tahu menulis, tidak bisa membaca. Jadi walaupun kamu tulis yang rahasia, dilihat orang tidak apa-apa’,” jelas Rasyid.
Sumber gambar, BBC/Anindita Pradana
Beberapa siswa yang kami tanyai, mengaku senang bisa belajar aksara Hangeul, apalagi mereka juga mengenal budaya pop Korea Selatan.
“Pertama kali agak susah, tapi lama-lama gampang,” kata Asyifa, salah satu siswa berusia 10 tahun.
Asyifa juga bilang bahwa dia ingin bisa ke Korea Selatan suatu hari nanti.
Beberapa murid mengaku sudah bisa berbahasa Cia-Cia karena terbiasa menggunakannya di rumah. Sebagian lainnya lebih terbiasa menggunakan bahasa Indonesia.
Namun ketika diminta untuk mempraktikkan berbahasa Cia-Cia secara lisan, mereka merasa tak percaya diri.
Rasyid mengatakan salah satu tantangan saat mengajar bahasa Cia-Cia adalah, tidak semua murid memahaminya, termasuk anak-anak keturunan suku Cia-Cia sekalipun.
“Anak-anak yang berada di suku Cia-Cia saja, untuk saat ini, tidak semua juga paham kata-kata dalam bahasa Cia-Cia itu,” kata Rasyid.
“Sebagian mereka bisa. Sisanya mereka bertanya, ‘Pak, ini apa bahasa Cia-Cia?’ Setelah kami berikan baru, mereka nyambung. Jadi pengenalan aksara Cia-Cia ini agak sedikit lambat.”
Menurut Rasyid, situasinya berbanding terbalik dengan dulu.
“Zaman kami dulu itu, gurunya pusing karena tidak tahu bahasa daerah, sementara anak-anaknya pakai bahasa daerah. Sekarang kebalikannya,” ujar Rasyid.
Sumber gambar, BBC/Anindita Pradana
Sayangnya, pemanfaatan aksara Hangeul belum menembus ke luar ruang kelas. Aksara Hangeul masih diajarkan secara terbatas pada siswa kelas 4 dan 5 SD di beberapa sekolah. Itu pun sebagai mata pelajaran ekstra.
“Kami belum bisa melanjutkan ke tingkat selanjutnya karena kurikulumnya belum ada. Kami mengajarkannya di sekolah kami berdasarkan kerja sama pemerintah dengan pihak Korea. Sebatas itu saja,” kata Kepala Sekolah SDN Karya Baru, Samsia Samiun.
Artinya, Pemerintah Kota Baubau sampai sekarang belum memiliki program pembelajaran yang sistematis dan berlanjut untuk mengajarkan aksara Hangeul ke lebih banyak sekolah.
Keterbatasan guru juga menjadi masalah, kata Samsia. Hanya ada tiga guru yang mengajar aksara Hangeul di Kota Baubau.
“Harapan kami supaya ini bisa berkelanjutan. Seharusnya kan berjenjang, tapi di sekolah kami saja pengajarnya cuma satu orang,” kata Samsia.
Ketika di rumah pun, anak-anak tidak bisa mempraktikkan aksara Hangeul di lingkup tempat tinggal mereka. Itu karena orang tua, keluarga dan tetangga mereka belum pernah belajar aksara Hangeul.
Sumber gambar, BBC/Anindita Pradana
Kami sempat bertanya kepada beberapa warga yang lewat di depan halte Pasar Karya Baru. Beberapa mengaku tidak bisa membaca aksara Hangeul
“Saya sudah tidak bisa baca lagi bahasa ini karena kan sudah lama, saya tidak pelajari lagi. Terakhir saya belajar itu kan sudah tahun 2017,” kata Hasni.
Hasni mengaku lupa aksara Hangeul karena tidak menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Warga lainnya, Yusminar, 41, bahkan tidak pernah mendapat kesempatan mempelajari aksara Hangeul.
“Sebenarnya pengin [belajar], tapi tidak ada pembelajaran khusus untuk orang dewasa. Hanya ada di SD,” kata Yusminar.
Sumber gambar, BBC/Anindita Pradana
Kepala Dinas Pendidikan Kota Baubau, Eko Prasetyo, mengatakan pelajaran aksara Hangeul adalah “produk tambahan” yang diajarkan sebagai “pelajaran ekstrakurikuler”.
Di sisi lain, Eko termasuk yang meyakini bahwa adaptasi aksara Hangeul bertujuan “mempertahankan dan melestarikan bahasa Cia-Cia”.
“Kami menganggap ini sebagai sesuatu yang positif. Dengan aksara Hangeul, Insya Allah ini [bahasa Cia-Cia] menjadi sesuatu yang tidak akan hilang,” kata Eko.
Upaya anak muda memasifkan aksara Hangeul lewat ‘Kampung Korea’
Sarianto, 31, adalah penutur asli bahasa Cia-Cia. Dia masih duduk di bangku SMA ketika kerja sama soal adaptasi aksara Hangeul dimulai.
Saat itu, pada 2010, Sarianto kebagian mempelajari bahasa Korea di sekolah. Ini adalah bagian dari kesepakatan kerja sama: Siswa SD diajarkan bahasa Cia-Cia dengan aksara Hangeul, sedangkan siswa SMA mempelajari bahasa Korea.
Sarianto memetik manfaat dari kerja sama itu. Dia kemudian mendapat beasiswa kuliah di Korea Selatan.
Pada 2018, setelah kembali ke kampung halamannya, Sarianto bersama teman-temannya mencoba membuat komunitas Kampung Korea.
Sumber gambar, BBC/Anindita Pradana
Mereka adalah sosok di balik aksara Hangeul yang tertulis di tempat-tempat umum di Kampung Karya Baru.
“Salah satu agendanya itu memasifkan tulisan-tulisan bahasa Cia-Cia itu dengan alfabet Korea. Misalnya nama jalan, nama tempat-tempat umum, kemudian semboyan-semboyan yang kami tulis di dinding rumah warga,” kata Sarianto.
Tembok-tembok di kampung mereka lukis dengan aksara Hangeul. Mereka juga menyewakan pakaian tradisional Korea Selatan, hanbok, kepada pengunjung.
Inisiatif mereka memikat wisatawan, sehingga Kampung Karya Baru dijuluki sebagai “Kampung Korea”. Namun saat pandemi Covid-19 melanda pada 2020, aktivitas mereka terpaksa berhenti.
Bagi Sarianto, aksara Hangeul tidak cuma membawanya terbang ke negara orang, tapi juga membuatnya bangga dengan bahasa Cia-Cia.
Sumber gambar, BBC/Anindita Pradana
“Dulu pas masuk sekolah [saya] belum bisa bahasa Indonesia, itu menjadi aib. Dibilang, ‘Dia hanya bisa bahasa kampung’,” kenang Sarianto.
“Ketika pertama kali diadopsi, kemudian ada kerja sama ini, jadi seperti mengangkat bahwa ternyata bahasa kita itu bukanlah bahasa yang harus kita malu untuk kita gunakan,” katanya.
Sarianto juga menyadari bahwa penggunaan aksara Hangeul untuk bahasa Cia-Cia masih belum maksimal.
“Karena ini berbeda dengan aksara yang biasanya digunakan masyarakat, sehingga butuh proses pengalihan dulu. Harus belajar dulu alfabet Hangeul itu. Itu tentu butuh waktu,” kata Sarianto.
Penggunaan aksara Hangeul masih simbolis
Setelah 15 tahun program ini berjalan, Balai Bahasa Sulawesi Tenggara berkesimpulan bahwa penggunaan aksara Hangeul “masih simbolis”. Oleh sebab itu, implementasi kebijakan ini perlu ditinjau kembali.
Secara fonetik, aksara Hangeul yang terstruktur dinilai “cocok” untuk menuliskan bahasa Cia-cia. Masalahnya ada pada penerimaan masyarakat.
“Penggunaan aksara ini mungkin masih bersifat simbolis dan tidak berkembang secara fungsional dalam kehidupan sehari-hari,” kata Mifta Huzaena dari Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara dalam konferensi internasional mengenai preservasi bahasa dan sastra Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) pada 21 Februari 2025 silam.
“Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang lebih matang dalam implementasi aksara Hangeul untuk bahasa Cia-Cia,” sambung Mifta.
Sumber gambar, BBC/Anindita Pradana
Dia menggarisbawahi bahwa inisiatif untuk menggunakan aksara Hangeul ini datang dari pemerintah, bukan dari penutur asli bahasa Cia-Cia.
“Semestinya dilakukan lokakarya ortografi lebih dulu untuk melihat kembali kebijakan ini, apakah implementasinya baik atau harus dicermati ulang,” jelas Mifta.
Mifta lalu mengatakan bahwa penggunaan jangka panjang aksara Hangeul tidak bisa dipastikan tanpa dukungan pendidikan yang kuat dan penerimaan komunitas.
“Ke depan, kajian lebih mendalam dan keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan akan menjadi kunci keberhasilan pelestarian bahasa Cia-Cia melalui sistem tulisan yang tepat,” kata Mifta.
Pelajaran aksara Hangeul di Kampung Karya Baru dan Kampung Bugi kini diajar oleh guru-guru lokal seperti Abidin dan Rasyid.
Sumber gambar, Jung Deuk Young
Sementara itu, pengajar dari Korean Cia-Cia Cultural Exchange Association (KCCEA), Jun Deuk Young, kini fokus mengajar aksara Hangeul di Kabupaten Buton Selatan.
Menurut Jung, itu dilakukan karena penutur Cia-Cia lebih banyak tersebar di Buton Selatan ketimbang di Bau-Bau.
Menanggapi soal penerapan aksara Hangeul yang masih simbolis, Jung mengatakan kendala terbesarnya adalah keterbatasan guru yang bisa mengajar.
Proses pembelajaran di sekolah juga tidak berkelanjutan karena cuma diajarkan di beberapa sekolah. Selebihnya, aksara Hangeul belum dipraktikkan dalam keseharian masyarakat di kampung-lampung mereka.
Jung mengatakan KCCEA menyadari masalah ini. KCCEA, kata dia, sedang berupaya untuk mengajak pihak lain di Korea Selatan untuk menurunkan tenaga pengajar agar misi ini berjalan lebih efektif.
Tidak membantu pelestarian bahasa Cia-cia
Peneliti Dallas International University, Emily Paige Havens, menyimpulkan bahwa upaya pelestarian aksara Cia-Cia akan lebih baik menggunakan aksara latin ketimbang Hangeul.
Emily, yang meneliti bahasa Cia-Cia di Kampung Bahari, Buton pada Oktober 2022 hingga Juni 2023, menilai aksara Hangeul kurang cocok untuk struktur bahasa Cia-Cia.
Emily menjelaskan bahwa sistem penulisan aksara Hangeul berbasis suku kata dalam bentuk blok dengan pola konsonan-vokal-konsonan. Setiap suku kata wajib dimulai dengan konsonan.
Akibatnya, Hangeul punya keterbatasan untuk menuliskan suku kata yang hanya berupa vokal seperti “a”.
Sumber gambar, Emily Havens
Padahal dalam bahasa Cia-Cia, ada banyak suku kata yang terdiri dalam vokal tunggal. Contohnya kata “Cia-Cia”. Untuk bisa menuliskan kata “Cia-Cia” dalam aksara Hangeul, perlu ditambahkan huruf mati.
“Tidak masalah menggunakan huruf mati. Masalahnya, mereka mencoba bilang bahwa huruf Latin tidak cocok karena aksaranya tidak cukup mewakili. Tapi dalam aksara Hangeul, mereka menghadapi masalah yang sama,” jelas Emily dalam wawancara dengan BBC News Indonesia.
“Aksara Hangeul tidak memecahkan masalah yang juga ditemukan pada penggunaan aksara Latin,” tegas Emily.
Masalah lainnya, lanjut Emily, aksara Hangeul sulit diterima oleh penutur bahasa Cia-Cia yang sudah terbiasa menggunakan aksara Latin.
Selain itu, banyak pula yang bisa membaca aksara Arab. Sementara aksara Hangeul memaksa mereka mempelajari aksara baru yang asing, kata Emily.
Dengan huruf Latin, mereka bisa langsung membaca tulisan Cia-Cia tanpa harus memulai dari nol.
“Mungkin bahasa Cia-Cia tidak akan mengadaptasi aksara Latin dengan cara yang sama dengan bahasa Indonesia, mungkin mereka perlu sedikit memodifikasinya,” kata Emily.
“Tapi, setidaknya, mereka tidak memulai dari nol. Mereka tidak perlu mempelajari keseluruhan sistem aksara baru.”
Sumber gambar, Emily Havens
Pada akhirnya, Emily berpendapat bawa aksara Hangeul “tidak membantu pelestarian bahasa Cia-Cia”.
Selama 15 tahun berjalan, hanya dua kampung yang mengikuti program ini dari puluhan kampung penutur bahasa Cia-Cia. Jumlah gurunya pun tidak bertambah.
Menurut Emily, tak ada salahnya menguji coba apakah sebuah aksara cocok untuk sebuah bahasa. Tapi dengan perkembangan yang terlihat di lapangan sejauh ini, 15 tahun pun dia nilai sudah terlalu lama untuk sekadar uji coba.
“Ini tidak membantu. Untuk melestarikan sebuah bahasa, kita harus membuatnya semudah mungkin dan menghilangkan segala hambatan yang ada. Aksara baru justru menjadi hambatan,” tutur Emily.
“Saya pikir, yang terjadi malah sebaliknya. Jadi menurut saya, mereka harus menghentikannya.”
Sumber gambar, BBC/Anindita Pradana
Menanggapi penelitian itu, Jung Deuk Young mengatakan setiap pihak boleh saja punya pendapat yang berbeda. Namun dengan dukungan yang didapat dari Pemerintah Kota Baubau, Jung mengatakan, aksara Hangeul “berarti bisa membantu”.
Soal kekurangan pada aksara Hangeul dalam merepresentasikan bahasa Cia-Cia seperti yang disoroti Emily, Jung mengatakan: “Daripada tidak punya huruf sama sekali, lebih baik dipakai supaya punya walaupun banyak kekurangannya”.
Bagi Jung, upaya mengadaptasi aksara adalah misi yang panjang.
“Untuk belajar aksara itu lama. Bahkan dulu, Raja Sejong yang membuat aksara [Hangeul] ini perlu waktu ratusan tahun sampai bisa dipakai seperti saat ini,” kata Jung.
Untuk saat ini, Jung berharap akan ada lebih banyak guru yang bisa mengajar aksara Hangeul di Pulau Buton.
Sumber gambar, Jung Deuk Young
Penutur bahasa Cia-Cia, Sarianto, juga menyadari adaptasi aksara Hangeul untuk bahasa Cia-Cia sulit berkembang. Namun, dia masih punya harapan besar.
“Saya tentu berharap artinya kerjasama ini tidak berakhir begitu saja tanpa membuahkan hasil,”kata Sarianto.
“Saya berharap kerjasama ini terus disambut baik oleh masyarakat dengan tentu ikut terlibat di dalam pengembangannya.”
Betapapun, tantangan dalam melestarikan bahasa Cia-Cia ini tak membuat Sarianto patah arang.
Suatu hari nanti, Sarianto ingin membuat buku cerita anak-anak dalam bahasa Cia-Cia menggunakan aksara Hangeul.
Wartawan di Baubau, Irfan Mihzan berkontribusi dalam laporan ini.