Sumber gambar, ANTARA
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa berencana menerbitkan peraturan menteri keuangan, sebagai upaya lanjutan memberantas peredaran pakaian bekas di Indonesia.
Purbaya belum memerinci detail aturan baru itu, tapi ia menyebut beleid itu akan memperkuat peraturan menteri perdagangan (Permendag) yang telah ada, karena akan memuat beragam sanksi seperti denda atau pencabutan izin impor.
Pelarangan impor pakaian bekas telah termaktub dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2022.
Pengamat menilai rencana penerbitan aturan tambahan terkait larangan impor pakaian bekas oleh Purbaya “tidak diperlukan”.
Ekonom Bright Institute Muhammad Andri Perdana mengatakan, masalah mendasar menjamurnya pakaian impor terletak pada penindakan hukum yang lemah, bukan pada ketiadaan aturan.
“Kalau Permendag efektif, sebenarnya sudah cukup untuk mengurangi pakaian bekas,” kata Andri kepada BBC News Indonesia, Selasa (28/10).
Seorang pedagang pakaian bekas di Pasar Senen, Jakarta Pusat, yang mengaku menjual pakaian bekas ilegal mengaku cemas atas kebijakan Purbaya.
Dia menyebut langkah itu akan menghabisi usahanya.
Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyatakan “mendukung penuh” langkah Purbaya, menilai kebijakan itu dapat “memberikan efek jera” bagi pelaku impor pakaian bekas.
Sumber gambar, ANTARA
Bagaimana komentar pedagang?
Pria itu tersenyum masam saat ditanya manuver Menteri Purbaya yang kini getol melarang impor bal pakaian bekas.
Ia lantas membuang pandang, menambatkannya pada satu titik di lorong Pasar Senen yang hiruk-pikuk dengan orang-orang yang berbelanja.
Sejenak diam, ia lantas membuka jawaban, “Yaa…”
“Ya, dampaknya sangat besar terhadap pedagang [pakaian] second,” katanya.
Pria itu adalah seorang pedagang pakaian bekas yang berlokasi di lantai dua Pasar Senen, Jakarta Pusat, yang meminta agar diidentifikasi sebagai Yanuar.
Perihal rencana pelarangan oleh Purbaya, ia mengaku telah mengetahuinya lewat media sosial beberapa waktu lalu. Sejak saat itu pula, ia menyimpan kekhawatiran.
“Kehidupan saya sehari-hari dari berdagang [pakaian] second ini,” kata Yanuar yang mengaku berdagang pakaian bekas sejak 2000.
Lewat informasi yang juga didapat lewat media sosial, lelaki asal Sumatera Barat itu mafhum bahwa Purbaya hendak kembali menggeliatkan produk pakaian jadi dalam negeri lewat pelarangan impor.
Namun, selaku pedagang, Yanuar memberi pembelaan.
“Kalau beralih ke [menjual pakaian] baru, pusing juga saya mikirinnya, modalnya juga gede,” kata Yanuar.
Dalam toko berukuran 3×4 meter, Yanuar menjual pakaian bekas yang berasal dari Korea Selatan dan Jepang. Setiap potong dilepas dengan harga beragam, mulai dari Rp20.000 hingga Rp75.000.
Yanuar bisa melepas pakaian itu dengan harga murah lantaran ia mendapatnya secara gelondongan, atau dalam istilah lain disebut bal-balan.
Sumber gambar, ANTARA
Untuk satu bal yang berisi 300-500 potong pakaian, ia merogoh modal sebesar Rp5 juta. Maka, terang Yanuar, “Kalau 500 potong [pakaian] baru? Bayangin aja modalnya berapa.”
Pemerintah telah melarang impor pakaian bekas lewat Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2022.
Dalam aturan yang diundangkan 14 Juni 2022 tersebut, pakaian bekas termasuk salah satu barang yang dilarang masuk ke Indonesia—berada di poin ke-23 dengan kode 6309.00.00.
Sejumlah penindakan sebenarnya telah dilakukan pemerintah sejak beleid itu diberlakukan.
Pada Agustus 2022, misalnya, Zulkifli Hasan yang kala itu menjabat Menteri Perdagangan sempat memusnahkan 750 bal pakaian bekas impor senilai Rp8,5 miliar di kawasan pergudangan Gracia di Kabupaten Karawang, Jawa Barat.
Adapula pemusnahan 7.363 bal pakaian belas senilai Rp80 miliar di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, pada awal 2023.
Rangkaian pemusnahan itu sempat membuat para pedagang pakaian bekas di sejumlah daerah kelimpungan—termasuk di Pasar Senen. Mereka khawatir bernasib serupa.
Namun, Zulkifli Hasan pada Maret 2023 memberi “angin segar”.
Setelah berdiskusi dengan para pedagang Pasar Senen, Zulkifli kala itu membolehkan mereka tetap berjualan pakaian bekas, tapi dengan catatan: hanya menghabiskan stok yang kadung masuk ke Indonesia.
Seiring waktu, masa jabatan Zulkfili Hasan di Kementerian Perdagangan berakhir. Rezim pemerintahan berubah, tapi di sisi lain para pedagang Pasar Senen masih menjajakan pakaian bekas.
Yanuar mengaku, stok pakaian bekas dari luar negeri untuk tokonya memang terus berdatangan kendati Zulkifli pernah memberi catatan ‘hanya menghabiskan stok’.
Saat diwawancara pada Selasa (28/10), Yanuar bahkan dengan fasih menjabarkan ragam pakaian yang tengah diminati pembeli. Ia menyebut tren itu berubah setiap periode tertentu.
Ia pun menunjukkan beberapa celana panjang perempuan yang disebutnya “ala korea” yang tengah ramai diburu pembeli.
Lantas, bagaimana ia bisa terus mendapatkan pakaian bekas tersebut?
Ia tak memerinci “cara kerja” barang-barang itu dapat mencapai tokonya di Pasar Senen, tapi menyebut bal-balan pakaian bekas itu tiba lewat Pelabuhan Tanjung Priuk, Jakarta Utara.
“Cara kerja enggak tahu, tapi saya tahu ini ilegal,” pungkasnya.
Apa alasan Purbaya larang pakaian bekas?
Pakaian bekas impor merupakan sasaran tembak terbaru Menteri Purbaya. Ia sebelumnya juga sempat mengatakan akan menertibkan barang-barang ilegal lain seperti rokok dan baja.
Purbaya beralasan, impor pakaian bekas telah merugikan industri tekstil dalam negeri dan berpotensi membahayakan kesehatan masyarakat.
Langkah ini juga dimaksudkan untuk menutup celah kerugian negara akibat ketiadaan pajak bea masuk.
Dalam pernyataan pada 27 Oktober di Jakarta, Purbaya menginstruksikan Bea Cukai—salah satu direktorat di bawah kementerian keuangan, untuk mengawasi lalu-lalang barang di beragam pelabuhan.
Sumber gambar, ANTARA
Ia pun mengaku tak akan segan untuk menangkap pihak yang menentang atau menolak upaya pemberantasan impor pakaian bekas ilegal yang digalakkannya.
“Siapa yang nolak, saya tangkap duluan… Berarti kan dia pelakunya, clear,” kata Purbaya.
“Maju [menolak], saya malah untung. Dia kan ngaku bahwa ‘saya pengimpor ilegal’, kan?”
Purbaya tak menjabarkan kapan aturan baru itu bakal diterbitkan.
Ia hanya mengatkan, “Nanti barangnya dimusnahkan, orangnya didenda, dipenjara juga, dan akan di-blacklist. Yang terlibat itu saya akan larang impor seumur hidup.”
Bagaimana komentar pengamat?
Ekonom Bright Institute, Muhammad Andri Perdana berpendapat, penegakan hukum yang lemah menjadi menjadi musabab pakaian bekas terus menjamur di Indonesia.
“Banyak celah ilegal untuk impor. Kalau ini berulang, [artinya] celah itu sangat banyak,” kata Andri.
Alhasil, ia pun mengkritik rencana Menteri Keuangan Purbaya yang hendak menerbitkan aturan baru soal larangan pakaian bekas.
Menurutnya, rencana penerbitan aturan baru itu justru berpotensi mengulang ketentuan sama yang sebenarnya telah diatur dalam Permendag.
Alih-alih menerbitkan peraturan baru, Andri mendesak pemerintah untuk serius melakukan penegakan hukum.
“Permasalahan bukan kebijakan, tapi pelaksanaannya [penegakan hukum],” kata Andri.
“Banyak yang lolos, dari segi penindakan, [artinya] oknum bermain.”
Senada pernyataan Ekonomi Center of Reform on Economic (CORE), Yusuf Rendy Manilet, yang menyebut pengawasan sebagai kunci mencegah masuknya pakaian bekas dari luar negeri.
“Karena bisa saja barang itu tidak masuk melalui pelabuhan utama, tapi justru pelabuhan kecil,” kata Rendy.
“Jadi, menurut saya itu sebenarnya yang perlu diawasi.”
Selain pengawasan yang rapuh, Rendy menilai menjamurnya pakaian bekas disebabkan struktur ekonomi Indonesia saat ini “tengah rapuh.”
Menurut Rendy, daya beli kelas menengah yang melambat membuat golongan masyarakat itu kemudian mencari produk-produk alternatif yang lebih murah, salah satunya pakaian bekas.
Oleh karena itu, ia meminta pemerintah menerbitkan kebijakan yang dapat menstimulasi perekonomian atau daya beli masyarakat.
“[Keduanya] berjalan beriringan. Jadi, pemerintah memotong impor ilegal, tapi di saat bersamaan juga menjalankan paket stimulus,” ujarnya.
Kenapa thrifting digemari?
Pengajar Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) Eddy Junarsin menambahkan perspektif berbeda terkait fenomena pakaian bekas.
Eddy menilai, menjamurnya pakaian bekas dari luar negeri dapat pula berkaitan dengan kepuasan pembeli terhadap produk-produknya.
“Kalau sebagian masyarakat mengaku bahwa mereka pernah membeli atau menyukai thrifting goods, artinya produk-produk baru yang ada di pasaran terlalu mahal untuk kualitas serupa dan kurang kompetitif,” kata Eddy.
“Perlu diingat, ekonomi itu selalu terkait dengan demand and supply.”
Sumber gambar, ANTARA
Oleh karena itu, Eddy pun meminta perusahaan pakaian untuk menciptakan beragam produk yang kompetitif, baik secara harga maupun kualitas produk.
“Sementara dari sisi regulator [pemerintah], perlu memberikan insentif bagi perusahaan untuk berinovasi dan mendapatkan kemudahan dalam berbisnis.”
Perihal kualitas pakaian bekas ini sempat pula diklaim para pedagang di Pasar Senen.
Yanuar mengklaim masyarakat tetap memburu pakaian bekas karena mutu—selain harga murah.
“Karena kalau mencari yang branded dengan harga cukup murah, ya, di sini [Pasar Senen],” katanya.
Begitu pula klaim Rudi, pedagang lain di Pasar Senen. Selain lebih murah, ia mengklaim para pembeli tetap mencari pakaian bekas karena kualitas produk yang mumpuni.
“Bahan bagus, harga enggak begitu tinggi,” ujar Rudi.
Bagaimana komentar asosiasi tekstil?
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) David Leonardi mengapresiasi rencana Menteri Purbaya menerbitkan aturan yang akan memperkuat Permendag.
“Aturan itu penting karena memberi efek jera nyata dan menutup celah pelanggaran yang selama ini dimanfaatkan pelaku impor ilegal,” kata David.
David mengatakan, keberadaan pakaian bekas dari luar negeri selama ini telah menjadi faktor yang menggerus permintaan terhadap produk lokal dan menimbulkan efek domino di industri tekstil dan pakaian jadi.
Ia mencontohkan produsen kain dan benang yang menurunkan kapasitas produksi, yang kemudian berdampak pada para panjahit yang kehilangan pesanan.
“Kondisi ini mengancam lebih dari tiga juta tenaga kerja langsung di sektor TPT,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa masuknya pakaian bekas impor itu juga telah menghilangkan ratusan miliar potensi pendapatan negara.
Terkait dalih mutu yang lebih baik yang dimiliki pakaian bekas, David pun menepisnya dengan mengatakan, “pakaian bekas berpotensi membawa penyakit menular bagi pekerja dan konsumen, seperti bakteri, jamur, serta ektoparasit.”
“Persepsi branded itu juga kerap menipu. Sebagian besar pakaian bekas justru tidak layak jual dan bermutu rendah.”