Sumber gambar, Getty Images
Pemerintah didesak konsisten menetapkan Tes Kemampuan Akademik (TKA) sebagai pemetaan kompetensi siswa, bukan syarat seleksi masuk perguruan tinggi mengingat pelaksanaannya tidak bersifat wajib, kata pengamat.
Sebelumnya, sejumlah siswa kelas 12 SMA di Kota Bandung, Jawa Barat, mengaku keberatan soal tes TKA yang dianggap mendadak, sehingga mereka hanya punya waktu kurang dari tiga bulan untuk mengejar materi yang akan diujikan.
Protes itu juga disuarakan dalam petisi di situs change.org yang berbunyi: Batalkan Pelaksanaan TKA 2025. Hingga Kamis (30/10), petisi daring tersebut sudah mendapat 234.000 lebih dukungan.
Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Toni Toharuddin, meminta pelajar tidak “mendramatisir” TKA secara berlebihan. Ia bilang tes ini tak berbeda dengan ujian lainnya di sekolah.
Adapun Koordinator Nasional dari Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriawan Salim, menyebut meskipun TKA dikatakan tidak wajib, nyatanya mayoritas sekolah di Jakarta dan wilayah lain “mewajibkan” muridnya mengikuti ujian TKA sebagai persiapan kalau-kalau diperlukan daftar ke universitas.
‘Kami belum siap ujian TKA’
Dalam hitungan hari, pelajar SD kelas 6, SMP kelas 9, dan kelas 12 SMA/SMK sederajat bakal mengikuti Tes Kemampuan Akademik (TKA), yang dimulai pada 3-9 November 205.
Tapi riak-riak protes sudah bermunculan di kalangan siswa, salah satunya lewat petisi daring di change.org yang dibuat oleh seseorang dengan akun Siswa Agit.
Hingga Kamis (30/10) siang, petisi yang dibuat pada Minggu lalu itu telah mendapat dukungan setidaknya 235.000 lebih orang. Si pembuat petisi meminta pelaksanaan TKA 2025 dibatalkan karena dianggap terlalu mendadak dan tidak mempertimbangkan kesiapan pelajar maupun sekolah.
Muhammad Kafi Natanegara, pelajar kelas 12 SMA di Kota Bandung, termasuk yang mendukung petisi tersebut.
“Saya setuju, karena TKA ini sepertinya terlalu dadakan untuk angkatan saya, dan dengan hanya waktu kurang dari tiga bulan harus bisa mengerti semua materi yang diajarkan,” tutur Kafi.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Andry Denisah/YU
Di sekolahnya, SMA Negeri 8 Kota Bandung, Kafi bilang TKA diwajibkan bagi seluruh peserta didik kelas 12 karena ada kekhawatiran TKA menjadi penilaian untuk melanjutkan jenjang pendidikan ke perguruan tinggi lewat jalur prestasi—yang harus menyertakan nilai rapor serta prestasi non-akademik lainnya.
Hanya saja, meski keberatan, Kafi tak bisa menolak.
Pada tes TKA November nanti, ada tiga mata pelajaran wajib antara lain Bahasa Indonesia, Matematika, dan Bahasa Inggris serta dua mata pelajaran pilihan yang bakal diujikan.
“Untuk mata pelajaran pilihan sesuai dengan jurusan IPA atau IPS. Karena saya IPS, jadi saya memilih Sosiologi dan Bahasa Inggris Tingkat Lanjut,” ucap Kafi yang ingin melanjutkan kuliah di program studi Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran.
Kafi mengaku tidak ikut bimbingan belajar untuk mengejar materi-materi ujian TKA. Ia memilih belajar mandiri seperti biasa dan mengikuti pemantapan TKA yang digelar sekolah selama satu bulan penuh.
Tapi, tetap saja, satu bulan dianggap berat dan menjadi beban tambahan pelajar SMA menjelang kelulusan.
“Beban, karena adanya TKA tugas sekolah jadi menumpuk. Banyak pikiran karena TKA. Untuk angkatan SMA tahun 2026, ini sangat pusing, kami belum siap dengan TKA yang hanya diberi persiapan tiga bulan dengan materi yang sangat banyak…”
“Saya sendiri belum siap, belum bisa menguasai seluruh materi yang diujikan,” kata pemuda Bandung yang bercita-cita jadi diplomat ini.
‘Persiapan tidak maksimal’
Keluhan yang sama, juga diutarakan Azril, pelajar SMA kelas 12 di Kota Bandung.
Sepengetahuannya pemerintah tidak mewajibkan Tes Kemampuan Akademik.
Selain itu, nilai TKA belum dijadikan syarat utama untuk melanjutkan ke perguruan tinggi lain, kecuali melalui Seleksi Nasional Berbasis Prestasi (SNBP).
Namun, sekolahnya malah mengharuskan seluruh siswa tahap akhir mengikuti tes tersebut dengan alasan TKA hanya bisa dilakukan pada saat kelas 12 SMA.
“[Alasan lainnya] TKA belum jelas ke depannya, apakah akan ada perubahan kebijakan lagi. Jadi untuk berjaga-jaga. TKA diwajibkan untuk seluruh siswa,” akunya.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Andry Denisah/nym.
Pada ujian TKA nanti, Azril memilih Biologi dan Matematika Tingkat Lanjut sebagai mata pelajaran pilihan, serta Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, dan Matematika yang untuk mata pelajaran wajib.
Sama seperti Kafi, Azril juga tidak ikut bimbingan belajar untuk mengejar materi-materi TKA.
Dia mengaku belum siap, karena keputusan pemerintah ini terbilang mendadak yang membuat pelajar kelas 12 tidak punya cukup waktu untuk mempersiapkan diri.
Karenanya, ia sangat mendukung petisi di change.org.
“Jujur saya setuju sama petisi itu, karena Angkatan saya sudah cukup disibukkan dengan P5 (Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila), ditambah lagi TKA yang mendadak…”
“Jadi persiapannya tidak akan maksimal dan soal-soal TKA lumayan sulit menurut saya. Lebih baik TKA diberikan ke angkatan di bawah saya agar persiapannya lebih maksimal.”
Apa itu Tes Kemampuan Akademik?
Sumber gambar, ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/rwa.
Tes Kemampuan Akademik diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Permendikdasmen) Nomor 9 Tahun 2025 yang diundangkan pada 3 Juni 2025.
Dijelaskan di situ, TKA adalah kegiatan pengukuran capaian akademik murid pada mata pelajaran tertentu.
Adapun tujuan TKA untuk memperoleh informasi capaian akademik murid yang terstandar untuk keperluan seleksi akademik, menjamin pemenuhan akses murid pendidikan non-formal dan pendidikan formal terhadap penyetaraan hasil belajar, mendorong peningkatan kapasitas pendidik dalam mengembangkan penilaian yang berkualitas, serta memberikan bahan acuan pengendalian dan penjaminan mutu Pendidikan.
Siapa saja peserta TKA?
Tes Kemampuan Akademik “dapat” diikuti oleh murid jalur pendidikan formal, pendidikan non-formal, dan pendidikan informal—yang terdaftar dalam sistem basis data yang dikelola oleh kementerian.
Peserta TKA dari jalur pendidikan formal terdiri atas:
- Murid kelas 6 SD/Mi/sederajat
- Murid kelas 9 SMP/MTs/sederajat
- Murid kelas 12 SMA/MA/sederajat dan kelas akhir SMK/MAK
Peserta TKA yang berasal dari jalur pendidikan non-formal terdiri atas:
- Murid kelas 6 program paket A atau bentuk lain yang sederajat
- Murid kelas 9 program paket B atau bentuk lain yang sederajat
- Murid kelas 12 program paket C atau bentuk lain yang sederajat
Peserta TKA yang berasal dari jalur pendidikan non-formal juga mencakup murid di pesantren di bawah pembinaan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama.
Peserta TKA yang berasal dari jalur pendidikan informal merupakan murid pada sekolah rumah.
Kendati, ada pengecualian pada murid berkebutuhan khusus penyandang disabilitas yang memiliki hambatan intelektual.
Pelajaran apa saja yang diuji dalam TKA?
Mata uji TKA untuk SD/MI/program paket A/sederajat dan SMP/MTs/program paket B/sederajat terdiri atas: Bahasa Indonesia dan Matematika.
Mata uji TKA untuk SMA/MA/program paket C/sederajat dan SMK/MAK terdiri atas: Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris, dan mata pelajaran pilihan.
Hasil TKA akan disampaikan dalam bentuk nilai dan kategori capaian TKA.
Peserta dari jalur pendidikan formal dan non-formal yang telah mengikuti TKA berhak memperoleh sertifikat hasil TKA.
Sementara, peserta dari jalur pendidikan informal yang telah mengikuti TKA dan memenuhi kategori berhak memperoleh sertifikat hasil TKA dan dinyatakan lulus dari satuan pendidikan.
Hasil TKA jadi syarat masuk perguruan tinggi?
Seperti yang tertulis dalam Permendikdasmen, hasil TKA SD/MI/sederajat dapat menjadi salah satu syarat dalam seleksi penerimaan murid baru SMP/MTs/sederajat jalur prestasi.
Kemudian, hasil TKA SMP/MTs/sederajat juga dapat menjadi salah satu syarat dalam seleksi penerimaan murid baru SMA/MA/sederajat dan SMA/MAK jalur prestasi.
Hasil TKA SMA/MA/sederajat dan SMA/MAK disebutkan “dapat menjadi salah satu pertimbangan dalam seleksi penerimaan mahasiswa baru pada jenjang pendidikan tinggi”.
Selain itu, dikatakan bahwa hasil TKA “dapat dimanfaatkan untuk keperluan seleksi akademik lainnya”.
Sementara, kementerian yang menyelenggarakan TKA dan pemda bisa menggunakan hasil tes sebagai acuan pengendalian dan penjaminan mutu pendidikan sesuai kewenangannya.
TKA tidak wajib, tapi…
Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Toni Toharuddin, menyebut TKA tidak wajib dan tidak menentukan kelulusan para siswa.
Sehingga, klaimnya, tidak ada konsekuensi apapun apabila ada murid yang tidak mengikuti TKA. Mereka tetap bisa lulus dari satuan pendidikan.
“Jadi diserahkan kepada individu masing-masing,” terangnya.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/rwa.
Tetapi, diakuinya, nilai TKA dijadikan “alat validasi yang terstandar” selain rapor bagi panitia Seleksi Nasional Berbasis Prestasi (SNBP) saat menyeleksi mahasiswa baru.
Musababnya nilai rapor dari masing-masing sekolah dianggap kurang real.
“Ada yang memberikan ketat terhadap nilai rapor, ada yang nilai rapornya tinggi banget, gitu loh, jadi tidak terstandar. Sehingga perlu alat validasi,” terangnya.
Terlepas dari itu, Toni meyakini TKA diperlukan untuk mengukur capaian akademik setiap murid dan terbangunnya budaya mutu, hingga memetakan kualitas pendidikan.
“Bahwa ketika anak melakukan proses pembelajaran, di ujungnya harus mengetahui nilai secara individu,” ujarnya.
“Jadi tidak boleh dibikin seram TKA ini, karena hal biasa. Mereka kan selalu diuji setiap mata pelajaran. Cuma kali ini tesnya secara nasional,” tambahnya.
Untuk pelaksanaan TKA November nanti, ia mengklaim jumlah pendaftar TKA jenjang SMA mencapai lebih dari 3,5 juta peserta atau sekitar 85% dari total sasaran nasional.
Seumpama nilai rata-rata TKA untuk satu mata pelajaran tertentu di suatu daerah dianggap rendah, maka akan dilakukan peninjauan dan perbaikan.
Semisal, dengan menambah jumlah guru atau meningkatkan kualitas guru.
“Makanya mohon tidak didramatisir secara berlebihan [TKA] ya. Sehingga anak-anak jadi cemas, harusnya dimotivasi supaya mereka bergembira menghadapi asesmen yang biasa mereka lakukan,” ujar Toni.
Mayoritas sekolah mewajibkan siswa ikut TKA
Koordinator Nasional dari Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriawan Salim, menerangkan berdasarkan laporan kolega para guru di daerah, mayoritas sekolah di Jakarta dan wilayah lain justru “mewajibkan” siswanya mengikuti TKA meskipun pemerintah sudah menyatakan tes tersebut sebagai pilihan.
Beberapa alasan pihak sekolah, untuk mengetahui bagaimana kemampuan atau kompetensi tiap-tiap siswa dengan mengacu pada apa yang disebut tes terstandar nasional.
“Karena di era menteri Nadiem Makarim, anak-anak ini tidak memiliki gambaran mengenai kemampuan mereka yang terstandar. Asesmen Nasional (AN) kan tidak mengukur kemampuan individu, melainkan capaian sekolah dilihat dari literasi dan numerasi saja,” kata Satriawan.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/tom.
Pertimbangan lainnya, sekolah menilai TKA sebagai persiapan para siswa untuk masuk ke perguruan tinggi negeri lantaran TKA dijadikan alat validasi selain rapor untuk masuk jalur SNBP.
Sekolah, klaimnya, juga bersiap-siap seandainya nilai TKA dipertimbangkan oleh perguruan tinggi negeri untuk masuk melalui jalur mandiri.
“Itulah alasan kenapa sekolah banyak mewajibkan akhirnya.”
“Dan terakhir, yang mau masuk ke kampus di luar negeri. Memang beberapa negara atau kampus mensyaratkan harus ada tes terstandar nasional.”
Itu mengapa, Satriawan meminta Kemendikdasmen dan Kemendikti Saintek menyamakan sikap saja, apakah nilai TKA menjadi syarat masuk perguruan tinggi atau tidak. Jangan setengah-setengah.
“Jangan sampai kampus A menggunakan nilai TKA, tapi kampus B tidak. Jadi benang kusut nantinya.”
Untuk mengejar pelaksanaan TKA bulan depan, sambungnya, sejumlah sekolah menambah jam belajar siswa. Bahkan ada yang sampai menggandeng lembaga bimbingan belajar untuk memberikan soal-soal latihan.
Dia pun tak menampik, ada beberapa muridnya yang protes. Mereka merasa dijadikan kelinci percobaan oleh menteri baru.
“Angkatan mereka kan masih memakai kurikulum merdeka. Begitu pemerintah berganti, ada kebijakan baru lagi, tes kemampuan akademik.”
TKA pengganti UN?
Pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina, Totok Amin, mengatakan sejak Ujian Nasional (UN) dihapus secara resmi pada 2021, pemerintah sebetulnya tidak punya metode untuk mengukur sejauh mana hasil belajar para siswa selama 12 tahun di bangku sekolah secara nasional.
Asesmen Nasional (AN) yang dibuat untuk menggantikan UN, lebih menyasar pada capaian satuan pendidikan atau sekolah.
“Jadi kita seperti bergerak dalam kebimbangan,” ujar Totok Amin kepada BBC News Indonesia.
Sumber gambar, Getty Images
Ia menduga, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, ingin menghidupkan lagi UN, namun sadar bakal banyak tentangan dari berbagai kalangan.
Maka dari itu, dibuatlah Tes Kemampuan Akademik, yang taruhannya tidak terlalu tinggi seperti UN.
Berbeda dengan UN, TKA diklaim tidak menjadi penentu kelulusan siswa dan karenanya tidak wajib dilaksanakan seluruh pelajar. Meskipun ada embel-embel “dapat dimanfaatkan untuk keperluan seleksi akademik lainnya”.
Di sinilah letak persoalannya, kata dia. Pemerintah terkesan tidak konsisten.
“Buat apa bilang tidak wajib, tapi pada akhirnya, di perguruan tinggi akan ditanya, ‘Kamu punya nilai TKA tidak?’,” imbuhnya.
“Apakah ada jaminan perguruan tinggi selain jalur SNBP tidak bertanya soal TKA? Kan tidak.”
Pengamat pendidikan dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jejen Musfah, juga memandang ada kontradiksi dalam penerapan TKA.
“Ada kata tidak wajib, tetapi bisa menjadi syarat masuk ke perguruan tinggi,” tukasnya.
“Artinya kalau dia [TKA] menjadi syarat, berarti tes ini semacam kewajiban yang tersirat,” sambungnya.
Dan, kalau sekolah-sekolah mewajibkan siswanya ikut ujian TKA bahkan menjadi alat validasi atas nilai rapor, maka ada potensi kecurangan seperti dulu pelaksanaan UN.
Sebab bagaimanapun, sekolah hingga pemerintah daerah tak mau kehilangan citra baiknya.
Itu mengapa, Jejen mendesak kementerian konsisten menetapkan TKA sebagai pemetaan kompetensi siswa, bukan syarat seleksi masuk perguruan tinggi.
“Pemetaan untuk betul-betul memperbaiki kekurangan-kekurangan yang terjadi di wilayah tertentu. Misalnya nilai rata-rata matematika di daerah A rendah, dicari tahu apa salahnya? Apakah kekurangan guru atau kualitas gurunya yang harus ditingkatkan,” paparnya.
Totok Amin sependapat. Dengan begitu, siswa tidak perlu resah dan takut gagal mengikuti ujian TKA.
Kementerian sebagai penyusun soal TKA pun, harus menyajikan pertanyaan yang sudah dipelajari para siswa, bukan tes untuk mengukur kesiapan si anak didik ke perguruan tinggi.
“Jadi ibaratkan TKA itu kalau di sekolah ada ujian, kuis, sama seperti itu. Bagian inheren dari proses pendidikan dan pengajaran.”
“Semua ujian yang baik itu adalah yang memang tidak ada persiapannya, sehingga kita bisa mendapatkan hasil yang real,” sambungnya.
Wartawan Yuli Saputra berkontribusi untuk laporan ini.
 
					 
		 
                 
                 
                 
                 
                 
                 
                 
                 
                