Sumber gambar, Halbert Caniago
Pada Oktober 2025, terdapat tiga kasus bunuh diri yang dilakukan remaja belasan tahun. Di Sukabumi, Jawa Barat, seorang remaja perempuan berusia 14 tahun mengakhiri hidupnya diduga gara-gara mendapat kekerasan verbal dari teman-temannya. Dua kasus bunuh diri lainnya terjadi di Sawahlunto, Sumatra Barat.
Pemerhati anak menyebut kasus bunuh diri pada remaja di Indonesia sudah mengkhawatirkan.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat 25 anak di Indonesia bunuh diri sepanjang tahun 2025.
Komisioner KPAI, Diyah Puspitarini, menyebut sebagian besar kasus bunuh diri itu dilatari oleh bullying atau perundungan, termasuk yang terjadi di lingkungan sekolah.
Jumlah itu memang turun dibandingkan tahun 2023 yakni 46 kasus, dan pada 2024 sebanyak 43 kasus.
Mengapa masalah bunuh diri di kalangan remaja marak terjadi?
Peringatan: Artikel ini memuat konten tentang bunuh diri yang mungkin dapat membuat Anda merasa tidak nyaman.
Remaja 14 tahun di Sukabumi yang sehari-hari dipanggil Eneng itu, telah pergi selamanya.
Jasadnya dimakamkan pada Rabu (30/10) pagi di Desa Bojong, Kecamatan Cikembar, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
Kepergian Ajeng, yang dikenal ceria itu, meninggalkan duka mendalam bagi keluarga.
Sang ayah yang merantau ke Kalimantan, pulang ke kampung halamannya untuk mengantarkan putrinya ke tempat peristirahatan terakhir.
“Di lingkungan, dia itu anak yang rajin, salat juga enggak usah disuruh juga sudah salat kalau waktunya. Alhamdulilah aktif dan berprestasi, dari kelas VII dan VIII dapat juara dua di kelasnya,” tutur Topik Walhidayat, paman korban.
“Dia punya cita-cita yang tinggi, sempat bilang ingin masuk kedokteran [jadi dokter],” sambungnya.
Sumber gambar, Siti Fatimah
Ajeng ditemukan tak bernyawa oleh neneknya.
Pada Selasa (28/10) malam di Kampung Bojong Kaler, sang nenek sedang beranjak keluar kamar untuk mengambil air. Waktu menunjukkan sekitar pukul 23.00 WIB.
Dalam gelap, langkahnya terhenti di depan pintu kamar cucunya karena merasa ada sesuatu yang menghalangi jalannya.
Ketika lampu dinyalakan, tubuh Ajeng tergantung di pintu kamar. Ia menjerit. Warga lantas berdatangan.
“[Penglihatan] neneknya kurang jelas saat keluar, pas jalan ada yang menghalangi. Itu [jasad] menggantung, menghalangi pintu. Si nenek teriak, karena ternyata si cucu,” ujar Sekretaris Desa Bojongkaler, Dede Nuryadin.
“Jam 00.00 WIB petugas datang semua, dari polsek, danramil, puskesmas, sampai satpol pamong praja,” tambahnya.
Sejak malam itu, suasana rumah sederhana di ujung gang kecil tersebut tak lagi sama.
Ajeng, tinggal bersama ibu dan neneknya. Ayahnya bekerja di luar kota, Kalimantan. Sosoknya dikenal baik, rajin, aktif berkegiatan dan berprestasi di sekolah.
Apa yang melatari kasus ini?
Sumber gambar, Siti Fatimah
Dugaan adanya bullying atau perundungan, mencuat usai keluarga korban menemukan secarik surat yang diyakini ditulis tangan oleh Ajeng.
Surat curahan hati berbahasa Sunda dan Indonesia itu berisi keluh kesahnya.
“Eneng baru saja dibuat sakit hati oleh perkataan teman di kelas oleh ucapan, sikap. Eneng sudah capek, Eneng cuma mau ketenangan,” demikian sepenggal isi suratnya.
Paman korban, Topik, mengatakan keluarga menyerahkan sepenuhnya penyelidikan kematian Ajeng kepada kepolisian. Namun, mereka meyakini isi surat tersebut mengarah pada perundungan di lingkungan sekolah.
“Pihak keluarga meyakini [ada bullying], karena di situ ada surat wasiat mengarah ke perundungan,” ucapnya.
“Anak ini [Ajeng] sempat mengeluh ingin pindah sekolah, katanya sudah enggak nyaman sama teman-temannya. Dua minggu sebelum kejadian, mamanya juga sempat menyampaikan [dugaan bullying] ke wali kelas,” sambungnya.
Hanya saja, menurut keluarga, keluhan itu tak mendapat tanggapan serius.
“Wali kelasnya, katanya, dia tidak mau mendengar dari sepihak saja dan akhirnya kata wali kelas harus korban yang ngomong ke wali kelas. Akhirnya [korban] sudah [ngomong] dan wali kelasnya menyampaikan kepada orang yang diduga perundung…”
“Disampaikan kepada orang itu dan terduga perundung itu jadi balik marah sampai mengeluarkan bahasa ‘anak mama’ gitu. Itu pun sudah salah satu perundungan yang masuk ke psikis,” beber Topik.
Pihak keluarga, ucapnya, menolak upaya damai. Baginya apa yang terjadi pada Ajeng bukan salah paham semata. Tapi menyangkut nyawa. Karenanya menuntut agar proses hukum terus berjalan.
Bagaimana tanggapan pihak sekolah?
Sumber gambar, Siti Fatimah
Pihak sekolah disebut sempat menampik adanya bullying atau perundungan dalam kasus Ajeng, meskipun belakangan mengakui ada perselisihan dengan kakak kelas korban.
Kepala Sekolah MTs Negeri 3 Cikembar, Wawan Setiawan, mengatakan pihaknya tidak menemukan indikasi adanya perundungan selama korban belajar di sekolahnya.
“Ananda A [Ajeng] itu siswa berprestasi, aktif di Pramuka Garuda, bahkan baru menjadi petugas pengibar bendera. Kalau anak dalam tekanan, rasanya sulit bisa fokus dalam kegiatan seperti itu,” klaim Wawan.
Menurutnya, sekolah telah melakukan mediasi setelah mengetahui ada perselisihan antara korban dengan kakak kelasnya. Guru Bimbingan Konseling dan wali kelas, katanya, sudah menengahi masalah tersebut.
“Secara kasat mata mereka sudah rukun kembali. Kami sekolah ramah anak, bullying itu haram hukumnya di sini,” akunya.
Sumber gambar, Siti Fatimah
Terpisah, Kementerian Agama Kabupaten Sukabumi membenarkan adanya perselisihan antara korban dan kakak kelasnya.
“Ada statement dari almarhum kemudian kakak kelasnya enggak enak, akhirnya ada perselisihan tapi enggak sampai ke fisik,” beber Agus Santosa, Kasubag TU Kemenag Kabupaten Sukabumi.
Agus juga menjelaskan, perundungan verbal sering kali tidak disadari oleh para siswa.
“Kadang ada kalimat seperti ‘manah mah binatang’ (kamu seperti binatang) yang bagi mereka hanya bercanda, padahal sudah masuk kategori perundungan. Itu yang perlu diedukasi,” ujarnya.
Ia menegaskan, seluruh pihak, baik keluarga korban, maupun siswa yang diduga terlibat akan mendapatkan pendampingan psikologis dan hukum dari DP3A Kabupaten Sukabumi.
Sumber gambar, Siti Fatimah
Sementara itu, Ketua Komisi IV DPRD Kabupaten Sukabumi, Ferry Supriyadi, menyebut kasus yang menimpa Ajeng merupakan tamparan keras bagi daerahnya yang selalu mengumbar sebagai ramah anak.
“Tapi ada anak yang justru kehilangan nyawa karena tekanan di sekolah. Berarti ada yang tidak beres,” tuturnya.
Dia menilai pengawasan di sekolah masih lemah. Guru sering kali melihat permukaan tanpa menyadari beban emosional siswanya.
Ferry menilai sistem pendidikan harus berubah: deteksi dini terhadap perundungan, pelatihan empati bagi guru, dan ruang aman bagi anak untuk bercerita.
“Dari luar kelihatan damai, padahal di dalam anak mungkin merasa dikucilkan dan disindir. Akibatnya tertekan, depresi.”
Dua remaja bunuh diri di Sawahlunto
Pada Oktober 2025 lalu, dua kasus dugaan bunuh diri yang melibatkan remaja terjadi di Sawahlunto, Sumatra Barat.
Keduanya ditemukan tak bernyawa di lingkungan sekolah: Arif Nofriadi Jefri, siswa kelas IX SMPN 2 Sawahlunto dan Bagindo Evan, siswa kelas VIII SMPN 7 Sawahlunto.
Jasad Arif disebut tergantung di ruang OSIS pada Senin (06/10) malam. Sedangkan jasad Bagindo diketahui tergantung di kelasnya pada Selasa (28/10) siang.
Kematian Bagindo Evan
Belasan orang masih terus berdatangan ke rumah Agusman (65) pada Jumat (31/10) untuk mengucapkan belasungkawa atas kematian anaknya, Bagindo Evan (15) yang ditemukan gantung diri di dalam salah satu ruang kelas di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 7 Sawahlunto pada Selasa (28/10) lalu.
Mata pria paruh baya itu masih berkaca-kaca saat ditemui wartawan Halbert Caniago yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Agusman masih belum percaya anak bungsunya itu mengakhiri hidup dengan cara gantung diri.
Baginya, Bagindo adalah anak yang sopan dan sering bercanda dengan tiga kakaknya dan anggota keluarga lainnya.
Agusman mengatakan putranya tersebut memiliki banyak teman baik di sekolah ataupun di luar sekolah.
“Gindo itu anaknya sering bercanda. Dia anaknya baik dan setahu saya dia tidak pernah memiliki masalah dengan siapapun, termasuk temannya,” kata Agusman.
Sumber gambar, Halbert Caniago
Agusman masih mengingat jelas saat sang anak berangkat ke sekolah pada pagi harinya dengan gembira tanpa terlihat tanda-tanda depresi.
Namun, selang beberapa jam kemudian, dirinya kaget ketika mendapat kabar dari teman anaknya.
“Saat itu saya sedang duduk di rumah dan seorang teman Bagindo datang ke sini dan mengatakan kepada saya kalau anak saya ini sudah gantung diri,” tuturnya sembari menahan air mata.
Mendengar kabar itu, Agusman langsung pergi ke sekolah yang berjarak sekitar dua kilometer dari rumahnya.
Rasa kaget dan sedih bercampur di benak Agusman saat menyaksikan jasad anaknya yang sudah tergeletak di lantai dengan dasi masih terpasang di lehernya.
“Saya pegang badan Gindo saat itu dan saya usap kepalanya. Saya sangat tidak menyangka dia akan melakukan tindakan itu,” katanya.
“Saat saya sampai di sekolah itu saya tidak melihat guru di sana dan ambulans baru datang sekitar 20 menitan setelah saya sampai di sana,” lanjutnya.
Sumber gambar, Halbert Caniago
Agusman sangat menyayangkan para guru di SMPN 7 Sawahlunto tidak mengambil tindakan cepat untuk bisa menolong anaknya.
“Kalau saja para guru lebih peduli dan langsung memberikan pertolongan saat diturunkan oleh temannya itu, mungkin anak saya masih bisa ditolong,” ujarnya.
“Yang menjemput ambulans itu saja para siswa yang ada di sana dan saat itu tidak ada guru yang mendampingi anak saya saat dibawa menggunakan ambulans,” tambah Agusman.
Saudara Bagindo, Kelvin (17) menyatakan bahwa saat ia sampai di sekolah itu sekitar lima menit dari Agusman, ia masih melihat bagian alis Bagindo masih bergerak.
“Saya juga melihat air matanya masih menetes dari mata bagian kirinya kemarin itu dan menurut saya kalau cepat diberikan pertolongan dia akan selamat,” kata Kelvin.
Kronologi versi sekolah soal kematian Bagindo
Kepala Sekolah SMPN 7 Sawahlunto, Sudirman, menyatakan bahwa kejadian itu berawal saat jam pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam yang diajarkan kepada siswa kelas 8.
“Karena harus belajar tentang proses pernapasan, guru membawa seluruh siswa ke Laboratorium IPA yang terletak tidak jauh dari kelas yang menjadi TKP bunuh diri itu,” katanya.
Saat pelajaran berlangsung, menurut Sudirman, Bagindo meminta izin kepada gurunya untuk pergi ke toilet. Saat sudah berada di luar laboratorium tersebut, Bagindo meminjam dasi dari salah seorang temannya.
“Setelah cukup lama tidak kembali, seorang siswa yang dasinya dipinjam langsung mencari tahu keberadaannya. Saat siswa itu masuk ke kelas, ia langsung terkejut melihat Bagindo sudah tergantung dan ia langsung memanggil dua temannya yang lain,” katanya.
Ketiga siswa itu kata Sudirman langsung berinisiatif untuk menurunkan Bagindo, berharap temannya itu masih bisa diselamatkan.
“Setelah diturunkan dan dibaringkan di lantai baru mereka memanggil guru termasuk saya. Saya langsung menuju tempat itu untuk mengecek keadaan Bagindo ini,” katanya.
Meski mengetahui aturang tentang tidak boleh memegang jasad penemuan jenazah atau bunuh diri, Sudirman menyatakan bahwa ia melanggar hal itu ketika kejadian itu.
“Karena dia anak saya di sekolah ini, makanya saya langsung mengecek nadinya, ternyata sudah tidak berdenyut lagi. Saya coba dekatkan tangan saya ke hidungnya, ternyata hidungnya sudah dingin dan saya pegang pipinya juga sudah dingin,” lanjutnya.
Sumber gambar, Halbert Caniago
Sudirman mengklaim langsung memerintahkan seorang guru yang suaminya bekerja di salah satu Puskesmas dan meminta ambulans segera datang ke sekolah untuk membawa Bagindo.
“Memang ambulans lambat datang. Kurang lebih 20 menitan karena sopirnya sedang tidak ada di tempat dan terpaksa harus dihubungi dulu. Bahkan siswa kami juga ada yang menyusul ke Puskesmas agar ambulans segera datang,” katanya.
Sudirman menyatakan bahwa ia juga langsung menghubungi kepolisian dan dinas pendidikan untuk melaporkan kejadian tersebut melalui sambungan telepon seluler.
“Setelah polisi datang dan jasad anak kami itu sudah dibawa oleh ambulans saya dan beberapa guru diminta ke kantor Polsek untuk ditanyai dan diperiksa,” katanya.
Sudirman menjadikan pemeriksaan kepolisian sebagai alasan tidak adanya guru yang mendampingi Bagindo saat dibawa ke Puskesmas Kota Sawahlunto usai aksi bunuh diri itu.
Sekolah klaim tidak ada bullying terhadap Bagindo
Sudirman mengklaim bahwa kejadian gantung diri Bagindo di dalam kelas bukan merupakan kasus bullying yang dilakukan oleh siswa lainnya.
“Ini murni bunuh diri dan tidak ada kaitannya dengan bullying. Karena kami sangat mengenal anak kami itu. Dia itu juga biasanya lebih memimpin dibanding teman-temannya yang lain. Menurut pengamatan saya juga selama ini di sini tidak ada perlakuan bullying,” katanya.
Menurut Sudirman, sosok Bagindo saat berada di sekolah adalah siswa yang biasa-biasa saja dan tidak ada hal yang menonjol yang ditunjukkannya selama ini. Dia menambahkan, Bagindo juga tidak banyak melakukan permasalahan.
“Sepanjang semester ini saja tercatat dia hanya melakukan 2 masalah saja. Pertama soal cabut sekolah dan permasalahan tidak pernah menggunakan dasi,” lanjutnya.
Kasat Reskrim Polres Sawahlunto, Iptu Al Am’ar Faradhiba, menyatakan pihaknya tidak menemukan adanya tanda-tanda kekerasan di tubuh Bagindo.
“Yang kami temukan itu adanya ciri-ciri bunuh diri seperti keluarnya kotoran, keluarnya seni, jeratan di leher dan mulut korban banyak mengeluarkan air liur,” katanya.
Sumber gambar, Ira L. Black / Contributor via Getty Images
Kepergian Bagindo membuat Agusman sangat terpukul. Bahkan kabar yang dilontarkan di berbagai media sosial membuat pria paruh baya itu merasa semakin terpukul.
Beberapa isu yang disebarkan di media sosial tentang anaknya yang dinyatakan broken home dan tidak mendapatkan perhatian dari keluarganya membuat Agusman makin terpukul.
“Mereka mengatakan bahwa saya penjudi dan sering memukul istri saya dan itu yang membuat anak saya depresi. Hal itu sangat tidak benar dan saya berani bersumpah,” tuturnya.
Kemungkinan penyebab Bagindo bunuh diri
Agusman masih bertanya-tanya tentang penyebab sang anak sampai melakukan tindakan bunuh diri di sekolah saat jam pelajaran berlangsung.
Menurutnya, sang anak selalu bercerita kepada ibunya soal permasalahan yang tengah dialaminya.
“Setelah Bagindo tidak ada, istri saya baru bercerita kepada saya kalau Gindo pernah bercerita kepadanya soal ia mengalami kecelakaan sekitar sepekan sebelum kejadian ini,” katanya.
Dari pernyataan sang istri, Bagindo saat itu meminjam sepeda motor milik kakak iparnya untuk pergi belajar kelompok. Saat perjalanan pulang, sepeda motor yang dikendarai itu masuk lobang dan Bagindo melihat ke arah bawah.
“Saat melihat ke arah bawah itu, dia tidak melihat ada sepeda motor yang berlawanan arah dan terjadilah kecelakaan itu. Ternyata, yang terlibat kecelakaan itu guru Bahasa Inggrisnya,” lanjutnya.
Ia mengatakan, sepeda motor milik sang guru mengalami lecet, sementara Bagindo mengalami luka lecet di tangannya. Sementara sepeda motornya sudah tidak bisa dihidupkan lagi dan bagian spakboard pecah.
Setelah kecelakaan tersebut menurut Agusman, ada sedikit perubahan pada diri anaknya. Bagindo yang biasanya bermain dengan temannya saat pulang sekolah, ketika itu sudah tidak pernah lagi melakukan kegiatannya itu
“Setelah kejadian itu, setelah pulang sekolah dia sering langsung pergi. Setelah kami cari tahu, ternyata dia melakukan pekerjaan serabutan seperti membantu orang memanen jengkol dan nanti diberikan upah,” lanjutnya.
“Saya selalu memikirkan itu dan bertanya-tanya apakah guru itu meminta ganti rugi kepada anak saya. Karena keadaan keuangan kami yang memang kurang baik, mungkin dia memutuskan untuk tidak memberitahu keluarga,” katanya.
Tetapi, perkiraan Agusman itu dibantah oleh Kepala Sekolah SMPN 7 Sawahlunto, Sudirman yang menyatakan bahwa sang guru mengklaim tidak pernah meminta ganti rugi kepada Bagindo.
“Kami sudah menanyai guru yang bersangkutan, katanya tidak ada meminta ganti rugi apapun kepada almarhum dan dia sudah memaafkan kejadian itu,” katanya.
Sumber gambar, Halbert Caniago
Hal senada juga disampaikan oleh Kapolsek Barangin, Ipda Gorrahman, yang menyatakan telah memeriksa sang guru terkait kemungkinan tersebut dan pengakuan sang guru tidak pernah meminta ganti rugi kepada Bagindo.
“Dari pengakuannya kepada kami tidak ada dan kami sudah memeriksa dua siswa lainnya yang berboncengan dengan Bagindo dan keterangannya sama,” katanya.
Kasat Reskrim Polres Sawahlunto, Iptu Al Am’ar Faradhiba menyatakan, sampai saat ini pihaknya masih mendalami soal penyebab Bagindo melakukan aksi bunuh diri.
“Kami masih melakukan penyelidikan dan ada beberapa barang bukti seperti buku-buku korban, pakaian dan lainnya yang saat ini kami amankan. Pada salah satu buku ada sebuah gambar yang tidak bisa kami ungkapkan ke publik untuk saat ini,” katanya.
Kematian Arif Nofriadi Jefri
Kejadian siswa melakukan aksi bunuh diri di sekolah juga dilakukan seorang siswa di SMPN 2 Sawahlunto, Arif Nofriadi Jefri, pada 6 Oktober lalu.
Siswa kelas 9 tersebut mengakhiri hidupnya menggunakan seutas tali pramuka sekitar pukul 21.00 WIB di ruang OSIS sekolah.
Ibunda Arif, Satria Monalisa (40) saat dikonfirmasi membenarkan bahwa anaknya memang ditemukan tak bernyawa di ruang OSIS pada saat itu dan jenazahnya sudah dikebumikan keesokan harinya.
“Saat kejadian itu saya sedang sakit. Sebelum kejadian saat sore harinya saya merasa ingin sekali dipeluk oleh Arif dan setelah mandi dia langsung memeluk saya,” katanya.
Setelah itu, Arif langsung pergi bermain keluar seperti biasanya untuk bermain dengan teman-temannya. Menurut Mona, anaknya sering pergi ke tempat temannya yang tinggal di asrama sekolah tersebut.
“Sekitar pukul 20.30 WIB kurang lebih, ada orang yang mengabarkan tentang Arif yang ditemukan meninggal dunia di sekolah dengan keadaan leher terlilit tali pramuka dan badannya ditemukan tergeletak di lantai,” katanya.
Sumber gambar, Halbert Caniago
Mona menyatakan bahwa ia sangat tidak menyangka anaknya yang biasanya ceria dan sering bercanda itu mengakhiri hidupnya pada seutas tali di dalam gedung sekolah.
“Arif itu dia anak yang ceria. Dia punya banyak teman dan setahu saya dia sangat jarang sekali bermasalah dengan orang lain,” katanya.
Mona menilai bahwa kemungkinan Arif dibully oleh orang lain yang mengakibatkan ia bunuh diri sangat kecil. Dia menduga penyebabnya asmara.
“Masalahnya soal percintaan anak ABG. Arif pacaran dengan seorang siswi di sekolahnya juga yang merupakan anak anggota DPRD di sini,” katanya.
Dalam pesan singkat pada ponsel milik Arif yang diperlihatkan oleh Mona sempat terjadi pertengkaran antara anaknya dengan pacarnya. Pertengkaran itu kemungkinan berlanjut melalui telpon.
Pada pesan terakhir yang dikirim oleh Arif kepada sang pacar terdapat sebuah foto darah. Sang pacar mengomentari foto tersebut dengan menyatakan bahwa itu adalah foto darah.
Setelah itu, Arif tidak lagi membalas pesan. Bahkan telponnya juga tidak diangkat.
Namun, Mona ibu Arif masih bertanya-tanya tentang beberapa luka lebam dan luka gores pada wajah anaknya yang ditemukan tergantung pada tali yang terikat pada paku di dinding beton sekolah.
“Kalau penjelasan dari pihak Kepolisian luka itu dialami kemungkinan karena terbentur meja yang ada di dalam ruangan tersebut,” katanya.
Sumber gambar, NurPhoto / Contributor via Getty Images
Sementara, Kapolsek Barangin, Ipda Gorrahman mengatakan bahwa kejadian tersebut murni bunuh diri yang dilakukan oleh Arif.
“Untuk bekas luka di bagian dagu itu kemungkinan karena tali yang melilit lehernya. Untuk di lokasi TKP kami menemukan adanya paku lain yang digunakan untuk mengikatkan talinya. Saat korban melakukan bunuh diri itu paku tersebut terjatuh dan itu yang mengakibatkan jasad korban tergeletak di lantai,” katanya.
Sementara, untuk luka memar di bagian dahi korban, menurut Gorrahman, terjadi karena saat jasad korban terjatuh, kepalanya membentur meja yang ada di dalam ruangan tersebut dan berjarak tidak jauh dari jasad korban.
“Untuk motif bunuh dirinya memang karena pacaran gitu dari penyelidikan yang telah kami lakukan,” katanya.
Bagaimana tanggapan pemerintah daerah setempat?
Kepala Dinas Pendidikan Kota Sawahlunto, Asril, dijadwalkan bertemu dan melakukan wawancara terkait dua kejadian bunuh diri pelajar di Sawahlunto. Tetapi, saat dihubungi ia menyatakan bahwa sedang rapat tertutup.
Hingga Jumat (31/10) pukul 19.00 WIB di Balai Kota Sawahlunto, Asril tidak kunjung keluar dan menyatakan bahwa ia telah dalam perjalanan pulang untuk menjemput obat orang tuanya.
“Saat ini saya sedang dalam perjalanan menjemput obat untuk orang tua saya, jadi saya tidak bisa. Maaf ya,” katanya saat dihubungi wartawan Halbert Caniago yang melaporkan untuk BBC Indonesia.
Mengapa kasus bunuh diri pada remaja marak terjadi sekarang?
Para psikolog menjelaskan ide atau pikiran bunuh diri, bukan hal yang tiba-tiba muncul. Menurutnya, aksi bunuh diri merupakan akumulasi dari pengalaman atau peristiwa negatif yang berlangsung dalam waktu lama, sampai akhirnya ada upaya untuk mengakhiri hidup.
Secara teori, kata psikolog Retno Lelyani Dewi, anak pada usia 0-7 tahun belum memiliki kemampuan berpikir secara konkret. Mereka, sambungnya, akan sulit memahami apa yang disebut kebahagiaan.
“Saat usia 0-7 tahun kalau ditanya, kamu bahagianya gimana? Dia bingung. Tapi kalau ditanya, mau kue? Dia pasti jawab mau atau tidak.”
Sumber gambar, NurPhoto / Contributor via Getty Images
“Anak usia 7-11 tahun, juga kalau ditanya kamu bahagianya apa? Juga belum bisa menjawab. Seandainya ditanya kamu senangnya apa? Dijawab, mainan, misalnya.”
Tapi begitu menginjak usia di atas 11 tahun, mereka mulai berpikir secara konkret dan memahami seperti apa perasaan mereka.
“Anak-anak mulai tahu apa itu penderitaan, apa itu kebahagiaan, merasakan kesepian, terluka, merasa tidak dibutuhan,” papar psikolog Retno Lelyani Dewi kepada BBC News Indonesia.
Namun, pada fase tersebut, atau ketika perkembangan korteks prefrontal—bagian otak yang bertanggung jawab atas fungsi kognitif seperti pengambilan keputusan dan risiko—belum optimal, mereka kesulitan mengontrol emosi atau stres yang datang.
“Saat ada badai [emosi], tekanan stres, remaja seringkali mengambil tindakan yang kalau bahasa sederhananya, enggak pakai pikir panjang,” paparnya.
Hal senada diutarakan dosen psikologi Universitas Fort De Kock Bukittinggi, Fitri Yanti.
Fitri menjelaskan bahwa distres yang dialami oleh seorang remaja dapat terjadi saat adanya tekanan dari permasalahan keluarga seperti konflik antara ibu dan ayahnya.
“Selain itu, distres ini dapat terjadi ketika anak tidak bisa menyelesaikan permasalahan yang mereka alami baik di sekolah atau di lingkungan lainnya,” kataya.
Dosen Fakultas Psikologi dari Universitas Pancasila, Aully Grashinta menerangkan ada beberapa faktor yang menyebabkan toleransi mereka terhadap stres sangat rendah hingga tersembul ide atau pikiran bunuh diri.
Pertama, kepribadian yang rentan.
Pada remaja yang tidak mudah terbuka pada orang lain atau kerap menyelesaikan masalah sendirian, akan sangat rentan terhadap stres atau disebutnya tidak memiliki kesehatan mental yang baik.
Kedua, pola asuh atau didikan keluarga.
Beberapa orang tua, ungkapnya, mendidik anak-anak mereka tanpa mengajarkan nilai-nilai pentingnya sebuah proses dan usaha.
Orang tua, klaimnya, bahkan ada yang ingin agar anaknya tidak mengalami kesulitan dalam hidupnya. Sehingga tidak membiasakan anak-anak mereka mengatasi atau memecahkan masalahnya sendiri.
“Jadi anak-anak ini tidak dibekali dengan baik bagaimana dia harus menyelesaikan masalahnya. Sehingga dilakukan lah, menyelesaikan masalah dengan cara yang lebih cepat yaitu bunuh diri.”
Sumber gambar, Sacramento Bee / Contributor via Getty Images
Ketiga, lingkungan dan media sosial.
Perkembangan teknologi yang pesat dan pengaruh media sosial, kata Aully, mau tidak mau turut memengaruhi kepribadian anak-anak atau remaja saat ini.
Kemudahan memperoleh sesuatu tanpa diimbangi didikan soal pentingnya kerja keras membuat mental mereka rapuh.
“Generasi Z dan Alpha ini sangat berbeda dengan generasi Milenial atau X. Di mana ketika generasi Milenial kalau punya masalah, mereka harus mengupayakan suatu tindakan untuk bisa mendapatkan sesuatu,” jelas Aully Grashinta kepada BBC News Indonesia.
“Tapi karena teknologi, kecepatan informasi, kemudahan dalam mendapatkan sesuatu, pola itu berubah. Generasi Z dan Alpha menjadi impulsif. Ketika tidak mendapatkan apa yang diharapkan mudah kecewa.”
“Ini yang membuat mereka, sekarang, secara kesehatan mental tidak tangguh, tidak kuat, yang akhirnya bukan mencari solusi positif tapi lebih kepada hal-hal yang negatif, menyakiti diri sendiri,” paparnya.
Kondisi itu diperparah oleh gampangnya akses atau tayangan bermuatan bunuh diri.
Entah di media sosial atau media konvensional, tanpa dibarengi oleh edukasi dan pemahaman yang utuh bahwa tindakan tersebut bukanlah solusi yang tepat juga cepat dari pemecahan masalah.
Apa yang bisa dilakukan orang tua dan sekolah?
Orang terdekat semestinya bisa ‘membaca’ jika terjadi perubahan perilaku pada remaja—yang mengarah pada tindakan bunuh diri.
Misalnya, anak atau remaja yang dikenal ceria, tiba-tiba menarik diri dan berubah jadi pendiam. Atau adanya perubahan kebiasaan sehari-hari.
Termasuk ucapan-ucapan yang kadang dianggap sebagai gurauan belaka, kata psikolog Retno Lelyani Dewi.
“Contohnya aku capek banget kayaknya mau mati deh, aku enggak berharga, atau jelas bilang aku pengen bunuh diri deh. Itu walaupun dia bercanda, tapi sudah tersimpan upaya bunuh diri,” jelasnya.
Sumber gambar, Thomas Trutschel / Contributor via Getty Images
Dukungan yang terpenting bagi seorang anak, sudah pasti berasal dari orang tua, sambungnya.
Ia menyarankan kepada para orang tua supaya lebih peka melihat perkembangan anak-anak mereka. Jika melihat ada sikap yang berbeda, maka jadilah pendengar yang baik.
“Karena kadang-kadang mereka enggak butuh nasihat, dia cuma butuh ada orang di sampingnya yang mendengarkan. Kan enggak mungkin dia cerita sama batu atau tanaman. Dia butuh orang.”
“Jadi ayah atau ibu, enggak perlu ngomong. Cukup kasih air putih, diusap-usap, sudah cukup. Itu sesuatu yang membuat dia merasa, ‘Oh saya tidak sendiri’.”
“Kalau punya kemampuan konselor, bisa bantu validasi perasaannya. Jika tidak, ajak ke profesional.”
Sementara untuk guru-guru atau wali kelas di sekolah, dia meminta agar memperhatikan lingkup pertemanan murid-muridnya.
Dalam beberapa kasus yang ia temui, anak atau remaja yang lingkaran pertemanannya kecil dan tertutup, lebih rentan mengalami tekanan mental.
Dia juga menyarankan pendidik agar tidak menyepelekan aduan yang disampaikan mereka.
“Ada kalanya murid-murid lebih nyaman cerita sama teman sebaya. Maka harusnya di setiap sekolah ada peer counselor. Kalau dulu disebutnya PMR.”
Wartawan Siti Fatimah di Sukabumi dan Halbert Chaniago di Padang berkontribusi untuk laporan ini.
Jika Anda, sahabat, atau kerabat memiliki kecenderungan bunuh diri, segera hubungi dokter kesehatan jiwa di Puskesmas, Rumah Sakit terdekat, atau Halo Kemenkes dengan nomor telepon 1500567.