Sumber gambar, Eliazar Robert
Rangkaian kasus keracunan menimpa ratusan siswa usai mengonsumsi paket makan bergizi gratis (MBG) di Nusa Tenggara Timur (NTT). Peristiwa itu dinilai bentuk pengabaian pemerintah terhadap warga negaranya, kata analis.
Para guru, orang tua, dan siswa di sekolah yang mengalami keracunan MBG pada 22 dan 23 Juli silam mengaku trauma atas rangkaian keracunan massal dan berharap program itu ditinjau ulang, bahkan dihentikan.
“Beberapa orang tua, mengatakan sebaiknya MBG dihentikan dan dialihkan ke program lain,” kata Kathrina Manulangga, Kepala Sekolah SMKN 2 Tambolaka, Sumba Barat Daya, NTT.
Bulan lalu, pemerintah sempat berjanji mengevaluasi pelaksanaan program MBG, tapi kasus keracunan masih berulang di sejumlah tempat.
Lembaga yang bertanggung jawab atas pelaksanaan program, Badan Gizi Nasional (BGN) menyatakan masih mengkaji penyebab rangkaian keracunan para siswa di NTT.
Pakar gizi menilai pemerintah tidak betul-betul menjalankan fungsi pengawasan, evaluasi, dan supervisi program tersebut.
‘Perut seperti tertusuk, saya trauma’
Rangkaian kasus keracunan siswa usai menyantap MBG di NTT terjadi pada 22 Juli di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 8 Kupang, sementara kasus kedua terjadi di sejumlah sekolah di Kabupaten Sumba Barat Daya sehari setelahnya.
Peristiwa keracunan pertama terjadi tak lama setelah proses belajar mengajar dimulai sekitar pukul 07.30 WITA.
Lebih dari 140 siswa mengeluhkan sakit perut, mual, dan sakit kepala usai menyantap menu MBG sehari sebelumnya.
Akibatnya, para siswa dilarikan ke unit gawat darurat tiga rumah sakit di ibu kota provinsi NTT tersebut, yakni Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Lerik, RS Siloam, dan RS Mamami.
Salah seorang siswa SMPN 8 Kupang, Zee Anggriani, menceritakan dia merasa mual lalu muntah di kamar mandi setelah menyantap paket MBG.
Sumber gambar, Eliazar Robert
Gejalanya kian memberat sepulang sekolah, yang dikatakan Zee, “Mencret dan buang air besar terus.”
Zee menjawab pertanyaan BBC News Indonesia di sela-sela menjalani perawatan di salah satu fasilitas kesehatan di Kupang. Mukanya meringis, menahan sakit.
“Sekarang perut rasanya seperti tertusuk, masih melilit. Saya sudah trauma [mengonsumsi MBG],” ujarnya.
Guru di SMPN 8 Kupang, Ryana Da Gomez, menduga gejala keracunan para siswa berasal dari menu daging yang ada di paket MBG hari itu.
“Sudah berbau,” kata Ryana, menggambarkan kondisi daging yang disantap para siswa.
Lantas, apakah menu berbau itu kasus pertama kali yang terjadi di SMPN 8 Kupang?
“Makanan seperti itu [basi] sudah sering. Sayur sering basi,” terang Ryana.
Yenni Dakaweni, orang tua salah seorang siswa SMP 8 Kupang yang dirawat di RS Mamami menuntut penyedia makanan serta pengelola MBG untuk sekolah sang putri, bertanggung jawab atas insiden tersebut.
“Saya menuntut pihak yang memberi makan, yang bertanggung jawab mengelola MBG untuk memberi penjelasan kepada kami orang tua,” ujar Yenni.
Usai insiden ini, program MBG di SMPN 8 Kupang dihentikan sementara waktu.
Kepala Badan Gizi Nasional belum memastikan penyebab keracunan ratusan siswa SMP di Kupang, dengan alasan masih melakukan pengecekan.
“Kami sedang menunggu hasil kajian BPOM yang mengambil sampel makanan [pada] Senin,” kata Kepala BGN Dadan Hindayana, Kamis (24/07), seperti dikutip dari detik.com.
Sumber gambar, Eliazar Robert
Adapun keracunan di Sumba Barat Daya terjadi 23 Juli di tiga sekolah, dengan total siswa dirawat mencapai 77 orang di tiga fasilitas kesehatan yakni RS Karitas, RSUD Reda Bolo, dan Puskesmas Radamata.
Ketiga sekolah adalah SMK Negeri 2 Tambolaka (7 siswa), SMAN 1 Tambolaka (53 siswa), dan SMK Don Bosco (17).
Paket MBG untuk ketiga sekolah ini disuplai oleh Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang sama.
BBC News Indonesia telah berulang kali menghubungi pengelola SPPG, namun hingga artikel ini diterbitkan belum mendapat respons.
Guru di SMAN 1 Tambolaka, Apliana Loru Ngongo menceritakan, keracunan terjadi usai para siswa menyantap MBG sekitar pukul 11.45 WITA.
Menu yang disajikan dalam paket MBG kala itu adalah nasi, kentang, wortel, kol, dan potongan ikan tongkol goreng—menu yang dicurigai para guru sebagai penyebab keracunan para siswa.
Namun, belum lama menyantap menu tersebut, sejumlah siswa mengaku mulut mereka terasa gatal, badan lemas, sakit perut, dan sakit kepala. Sebagian lain bahkan didapati muntah, hingga pingsan.
Kondisi serupa terjadi di SMKN 2 Tambolaka, ketika segelintir siswa juga mengalami sakit kepala, sakit perut, dan satu di antaranya muntah.
Kepala Sekolah SMKN 2 Tambolaka, Kathrina Manulangga, mengatakan menu paket MBG yang disantap para siswa kala itu adalah ikan yang dalam kondisi tidak baik.
“Ikannya rusak. Tidak berbau busuk karena lama disimpan atau basi. Kemungkinan ikan mentah rusak sehingga pas dikonsumsi terasa gatal di mulut,” kata Kathrina.
Selepas insiden keracunan massal itu, lantas bagaimana kondisi psikologis guru dan orang tua siswa di Sumba Barat Daya?
Kathrina menukas singkat, “Pasti trauma. Kami sekolah sangat terkejut.”
Dia mengaku juga telah berbicara dengan sejumlah orang tua siswa. Hasilnya, mereka meminta program itu ditinjau ulang.
“Ada beberapa ortu yang chat saya, menanyakan, ‘apakah MBG besok masih ada?’,” terangnya.
“Setelah insiden keracunan, program MBG di SMKN 2 Tambolaka kini dihentikan sementara waktu.
Program unggulan, tapi banyak masalah
MBG merupakan salah satu program unggulan Presiden Prabowo Subianto yang digaungkan sejak masa kampanye. Tujuannya, membangun sumber daya Indonesia yang unggul menjelang Indonesia Emas 2045.
Inisiatif ini juga diklaim Prabowo sebagai upaya memperkuat ketahanan pangan nasional dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah melalui peningkatan permintaan hasil pertanian dan peternakan domestik.
Program ini mulai bergulir 6 Januari 2025 di 26 provinsi dengan menargetkan siswa pendidikan usia dini hingga sekolah menengah atas, serta ibu hamil dan menyusui.
Pada tahun pertama, MBG ditargetkan dapat diberikan 17,9 juta penerima, namun belakangan pemerintah justru merevisi dengan menambah target penerima menjadi 82,9 juta orang.
Total anggaran pada tahun pertama dipatok Rp 71 triliun, tapi kemudian ditambah Rp50 triliun seiring penambahan penerima MBG.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan
BGN menyatakan, pemerintah membutuhkan 30 ribu SPPG untuk menjangkau target 82,9 juta penerima. Dari angka tersebut, sebanyak 1.542 SPPG akan didanai lewat Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan sisanya dibangun melalui skema kemitraan.
Rangkaian persoalan menyertai program MBG sedari awal—keracunan hanya satu di antaranya.
Problem pertama adalah inkonsistensi pemerintah dalam menetapkan anggaran untuk setiap porsi makanan saat penggodokan program, menurut laporan Indonesia Corruption Watch (ICW).
Tahun lalu, lembaga ini sempat menyebut perhitungan anggaran program MBG dilaksanakan secara serampangan.
Semula, pemerintah mematok Rp15.000 per porsi makanan, tapi kemudian diturunkan menjadi Rp10.000.
Seiring waktu, muncul perhitungan baru di mana terdapat porsi senilai Rp8.000, yang ditujukan untuk siswa pendidikan anak usia dini (PAUD) dan sekolah dasar (SD) hingga kelas 3, seperti disampaikan Dadan Hindayana pada 11 Maret 2025.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan
Masalah kedua adalah dugaan penggelapan dana MBG sebesar hampir Rp1 miliar oleh salah satu yayasan yang mengelola dapur umum di Kalibata, Jakarta Selatan, pada April 2025.
Yayasan dilaporkan salah seorang mitra dapur MBG atas nama Ira Mesra ke Kepolisian Resor Jakarta Selatan setelah diduga tidak membayarkan uang yang telah didistribusikan BGN.
Akibatnya, Ira terpaksa menanggung semua biaya operasional, padahal telah mendistribusikan sekitar 65 ribu porsi MBG.
Saat Ira menagih pembayaran, yayasan disebutnya justru berkelit dengan mengatakan bahwa Ira memiliki kekurangan pembayaran sekitar Rp45 juta, dengan alasan terdapat invoice pembelian barang yang belum dipertanggungjawabkan.
Menurut kuasa hukum Ira, Danna Harly, dalam keterangan pers pada 15 April, Ira merugi Rp975.375.000.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal
Ketiga, distribusi MBG berisi bahan mentah dan makanan ringan di sebagian wilayah Tangerang Selatan, Banten, bulan lalu.
Dalam foto-foto yang viral di media sosial, paket MBG yang diterima siswa berisi beras, biskuit, wafer, sereal, susu UHT, telur burung puyuh, ikan asin, kacang tanah goreng, jerung, pisang, dan salak.
Pengelola dapur umum mengatakan hal itu dilakukan karena sekolah memasuki masa libur.
Masalah terakhir dan kerap kali berulang adalah keracunan siswa usai menyantap MBG, seperti yang terjadi di NTT beberapa hari belakangan.
Kasus keracunan lain sebelumnya terjadi pula di SD Dukuh 03 Sukoharjo, Jawa Tengah. Sebanyak 40 siswa keracunan usai menyantap MBG pada 16 Januari 2025 atau sepuluh hari usai peluncuran program.
Pada 18 Februari, keracunan juga menimpa delapan siswa SD di Empat Lawang, Sumatera Selatan, disusul 60 siswa dari TK hingga SMP di Batang, Jawa Tengah.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah
Kasus berulang pada 21 April 2025 di Cianjur, Jawa Barat, tatkala 78 siswa Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Cianjur dan SMP PGRI 1 Cianjur muntah-muntah, pusing, dan diare setelah menyantap paket MBG.
Dua hari berselang, Pemerintah Kabupaten Cianjur menetapkan status kejadian luar biasa (KLB) setelah 98 orang lain juga mengalami hal sama.
Pada hari yang sama Pemerintah Cianjur menetapkan status KLB, sebanyak 13 siswa SD di Bombana, Sulawesi Tenggara, juga dilaporkan mengalami keracunan MBG
Sebanyak 342 siswa di Bandung menyusul mengalami diare, mual, hingga muntah usai menyantap paket MBG pada 29 April.
Akhir April, sebanyak 400 siswa di Kabupaten Tasikmalaya juga mengalami gejala sama setelah menyantap paket MBG, disusul 223 siswa TK hingga SMA dari sembilan sekolah di Bogor pada 6 Mei 2025.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah
Ketidakberesan lapisan pelaksanaan program
Ahli Gizi, Tan Shot Yen, berpendapat berulangnya kasus keracunan usai menyantap paket MBG menunjukkan “ketidakberesan” pada berbagai lapisan pelaksanaan program, mulai dari supervisi, monitoring, dan evaluasi.
“Ini sudah berjalan selama tujuh bulan, tapi selalu mengulangi masalah sama, walaupun tempatnya tidak sama,” kata ahli gizi masyarakat, Tan Shot Yen.
“Pemerintah pusat hanya menerima kabar baik saja, tidak mendengarkan tayangan dan laporan langsung dari lapangan. Ini sangat berbahaya.”
Perihal sama disampaikan organisasi pemantau kesehatan CISDI, yang menyatakan kasus keracunan sebagai ekses perencanaan yang tidak optimal sehingga bermuara pada ketidaksiapan infrastruktur tata kelola kelembagaan serta proses pemantauan dan evaluasi
CEO CISDI, Diah Saminarsih, merujuk pada kasus koordinasi antara BGN dan BPOM yang baru terjalin dua pekan setelah MBG berjalan.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal
Selain itu, pemerintah daerah juga tidak dilibatkan dalam pelaksanaan pemantauan dan evaluasi eksternal soal keamanan pangan MBG –pemantauan hanya dilakukan SPPG.
Padahal idealnya, terang Diah, perlu dibentuk tim pengawas keamanan pangan lintas sektor, mulai dari SPPG sebagai kepanjangan tangan BGN hingga Dinas Kesehatan dan BPOM tingkat provinsi.
“Perencanaan dan penyelenggaraan program yang terburu-buru sejak Januari 2025 menyebabkan standar pengelolaan menu di SPPG tidak memiliki rujukan kualitas yang jelas,” katanya.
Selain itu, Diah pun meminta pemerintah meningkatkan pelibatan ahli gizi pada semua rantai pengolahan pangan MBG.
Sejauh ini, ahli gizi hanya sebatas merencanakan dan menyesuaikan menu. CISDI meminta para ahli gizi juga dilibatkan dalam pemetaan risiko dan pemantauan terhadap standar kebersihan dan keamanan pangan di SPPG.
“Sebagai gambaran, pelibatan ahli gizi pada program free meal school di berbagai negara mencakup perencanaan menu, monitoring pengolahan makanan, melatih juru masak dan petugas lainnya, serta memberikan edukasi tentang makanan dan gizi di sekolah,” ujar Diah.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan
CISDI mencatat setidaknya terdapat 19 kasus keracunan massal dengan korban 1.530 anak sejak program tersebut diluncurkan 6 Januari 2025.
Adapun penyebab keracunan diakibatkan berbagai kontaminasi, mulai dari yang bersifat biologis, fisik, hingga kimia.
Kontaminasi biologis meliputi keberadaan kuman, virus, atau fungi yang menyebabkan penyakit; kontaminasi fisik seperti temuan kerikil, pecahan lidi, hingga kaca; dan kontaminasi kimia seperti cemaran merkuri, arsenik, timbal, hingga residu pestisida pada sayur dan buah.
Bulan lalu, BGN menyatakan bakal memperketat standar kerja di dapur-dapur penyedia MBG, mulai dari penyiapan hingga distribusi serta akan memberikan pelatihan ulang bagi dapur-dapur umum yang terseret kasus keracunan demi mencegah keracunan makanan berulang.
Namun, nyatanya kasus itu kini masih terjadi di sejumlah tempat.
Tan menambahkan, pemerintah dan otoritas pelaksana MBG seperti tidak belajar dari kasus-kasus yang sudah terjadi untuk menerapkan standar operasional yang baik.
“Bicara keamanan pangan, ini sudah fatal banget,” kata Tan.
Dia pun mendesak pemerintah dan BGN selaku pengelola program serius membenahi standar operasional agar perkara seperti ini tidak kembali terulang.
“Jangan sampai muncul berkali-kali, sampai akhirnya amit-amit, ada kasus fatal. Artinya ada yang meninggal dunia,” pungkas Tan.
“Satu anak keracunan saja sudah warning. Bahwa program ini ada sesuatu yang harus dievaluasi.”
Wartawan di Kupang, Eliazar Robert, berkontribusi dalam laporan ini.