Sumber gambar, Yuli Saputra
Seorang aktivis demokrasi mendapat serangan digital, setelah fotonya diunggah tanpa izin oleh Pemprov Jabar karena kerap mengkritik kebijakan pemerintah. Kepala daerah semestinya tidak alergi terhadap kritikan dan memanfaatkan media sosial sebagai ruang dialog, kata pakar komunikasi publik.
Aktivis demokrasi, Neni Nur Hayati, melayangkan somasi ke jajaran Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Senin (21/07), buntut unggahan akun Instagram @diskominfojabar yang diduga menyebarkan identitas pribadi tanpa persetujuan atau doxing sepekan sebelumnya. Unggahan itu kini telah dihapus.
Forum advokasi keterbukaan informasi, Wakca Balaka, menganggap pencatutan foto pada unggahan Instagram instansi resmi Pemprov Jabar itu memberi ruang pada warganet yang pro terhadap Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi untuk melakukan perundungan, ujaran kebencian, dan pencemaran nama baik atau trolling.
Neni mendapat serangan digital dengan ancaman penyiksaan, kekerasan gender berbasis online (KGBO), peretasan nomor WhatsApp, dan teror telepon dari nomor tidak dikenal melalui akun media sosialnya.
BBC News Indonesia telah meminta konfirmasi Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Pemprov Jabar, namun belum mendapat respons. Namun sebelumnya, Dedi Mulyadi telah membantah melakukan doxing terhadap Neni.
Bagaimanapun, kepala daerah semestinya tidak alergi terhadap kritikan dan memanfaatkan media sosial sebagai ruang dialog untuk menciptakan kebijakan yang lebih baik, menurut pakar komunikasi publik.
Lantas, bagaimana semestinya kepala daerah merespons kritikan?
‘Serangan digitalnya brutal luar biasa’
Ini bukan kali pertama bagi Direktur Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP), Neni Nur Hayati, menerima ujaran kebencian dari warganet karena kritikan yang disampaikan. Akan tetapi hujatan atau serangan digital yang dialaminya kali ini, membuatnya merasa keselamatannya terancam.
Neni mendapat serangan digital bertubi-tubi dan memuncak pada 15 hingga 17 Juli 2025 melalui akun Instagram dan Tiktok. Tidak hanya ujaran kebencian, Neni juga mendapat ancaman penyiksaan, kekerasan gender berbasis online (KGBO), peretasan nomor Whatsapp, dan teror telepon dari nomor tidak dikenal.
“[Sebelumnya] saya tidak pernah mendapatkan narasi-narasi dan diksi yang bisa mengancam nyawa manusia,” ungkap Neni kepada wartawan di Bandung, Yuli Saputra, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
“Ketika [serangan] itu menyangkut tubuh saya dan itu kemudian disertai dengan akan ada penyiksaan dan lain sebagainya, lalu ketika ketemu akan dilakukan hal-hal yang tidak diinginkan, menurut saya serangan digitalnya brutal luar biasa.”
“[Itu] tidak pernah saya dapatkan ketika saya mengkritik pemerintah, mengkritik Pak Prabowo sekalipun, dan mengkritik kebijakan presiden sebelum Pak Prabowo, Pak Jokowi,” ujarnya kemudian.
Ancaman kekerasan itu tidak sebatas di kolom komentar, tapi juga diterima Neni melalui pesan langsung.
Selain itu, akun TikTok miliknya tidak bisa diakses. Padahal akun TikTok dengan pengikut hampir 19 ribu, menjadi wadah perempuan 32 tahun itu menyuarakan kritik, aspirasi, dan edukasi berkaitan dengan isu politik, demokrasi, serta kebijakan publik.
Neni mengakui sempat membuat konten di TikTok dengan tema bahaya buzzer dan pencitraan kepala daerah, pada Mei lalu. Menurut Neni, saat itu momen yang tepat setelah pelantikan kepala daerah hasil pilkada serentak 2024.
“Dalam konten itu, saya sama sekali tidak menyebutkan [hal-ha] terkait dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Gubernur Provinsi Jawa Barat, apalagi nama Kang Dedi Mulyadi. Sama sekali tidak karena bagi saya, ini penting untuk 38 provinsi dan 514 kabupaten kota,” beber Neni.
Serangan digital terhadap Neni, bermula saat Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, yang dikenal luas dengan sebutan Kang Dedi Mulyadi (KDM) memberikan klarifikasi soal anggaran media dan pengerahan buzzer di akun Instagram pribadinya, @dedimulyadi71.
Sumber gambar, Antara Foto
Dalam unggahannya, Dedi menyebut soal “mbak yang berkerudung yang speak up saya menggunakan dana APBD untuk bayar buzzer”.
Pernyataan itu lalu memancing komentar warganet untuk mencari siapa “mbak berkerudung” yang dimaksud Dedi, beberapa warganet kemudian menyematkan akun Instagram Neni.
Selang sehari kemudian, video KDM tersebut dimuat ulang oleh akun @diskominfojabar—dikelola oleh Dinas Komunikasi dan Informatika Pemprov Jabar—yang memasang foto Neni dalam unggahan mereka pada 15 Juli silam.
Dalam unggahan tersebut Diskominfo Jabar berkolaborasi dengan sejumlah akun lain seperti @humas_jabar, @jabarsaberhoaks, dan @jabarprovgoid.
“Ketika sudah muncul di akun Pemprov Jawa Barat, bagi saya, ini ada dugaan upaya represif yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk melakukan pembungkaman kepada warga negara yang kritis,” ujar Neni.
Dia lantas melayangkan somasi ke jajaran Pemprov Jawa Barat, khususnya Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi dan Kepala Diskominfo Provinsi Jawa Barat, Ade Komar, Senin (21/07), buntut dari pemasangan foto Neni dalam unggahan akun Instagram @diskominfojabar.
Sumber gambar, Yuli Saputra
Kuasa hukum Neni, Ikhwan Fahrojih, mengatakan unggahan itu mengarah ke tindakan doxing atau menyebarkan identitas pribadi tanpa persetujuan.
“Pemasangan foto tanpa izin itu kemudian memicu serangan digital yang dialami klien kami dan itu sangat kontraproduktif dengan upaya kita membangun ruang berekspresi, ruang kebebasan berpendapat yang kondusif,” kata Ikhwan kepada wartawan, Senin (21/07).
Isi somasi tersebut menuntut Gubernur dan Kepala Diskominfo Jawa Barat meminta maaf secara terbuka yang dipublikasikan di media massa dalam 1×5 hari. Kedua, menarik kembali unggahan yang memuat wajah kliennya dalam 2×24 jam.
“Karena peristiwa ini sudah sangat merugikan klien kami, baik harkat dan martabat, juga hak konstitusionalnya,” ujar Ikhwan.
Ikhwan menambahkan, somasi merupakan upaya persuasif, sebelum pihaknya menempuh jalur hukum.
Terlebih lagi, kata Ikhwan, memasang wajah atau foto tanpa izin di media sosial memiliki konsekuensi hukum, jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi.
“Kalau kemudian ternyata sikap Pemprov Jabar ke depannya tidak ada itikad baik untuk melakukan itu, ya bisa jadi kami akan melakukan langkah hukum,” tegasnya.
Saat BBC News Indonesia mengecek unggahan tersebut pada Jumat (25/07), unggahan itu telah dihapus.
‘Tindakan yang tidak sepatutnya dilakukan oleh akun pemerintah’
Sebagai penggiat pemilu dan aktivis demokrasi, Neni menyayangkan sikap kepala daerah yang antikritik.
Dia berpendapat pemerintah seharusnya melindungi warganya, bukan malah membungkam atau mengebiri kritikan.
“Saya berharap kebebasan berpendapat, mendukung masyarakat untuk kritis itu bukan hanya wacana saja, tetapi bisa diimplementasikan dengan tindakan nyata bahwa saya adalah pemimpin yang tidak antikritik, menerima semua masukan-masukan,” kata dia.
“Tentu saja saya berharap pemimpin itu bukan hanya sekedar memimpin, tetapi juga harus menjadi negarawan yang mengedepankan etika, moralitas, keadaban, dan juga partisipasi publik.”
Sementara itu, forum advokasi keterbukaan informasi di Bandung, Wakca Balaka, mengecam serangan digital yang diduga dilakukan warganet terhadap Neni, yang dipicu unggahan di akun-akun Instagram Pemprov Jabar yang memuat ulang video klarifikasi Dedi Mulyadi, lalu dimodifikasi dengan menyertakan foto wajah Neni.
“Kami rasa ini tindakan yang tidak sepatutnya dilakukan oleh akun pemerintah, apalagi dilakukan oleh Diskominfo dan Humas Jabar, lembaga yang seharusnya mendidik publik dalam hal digital,” kata perwakilan Wakca Balaka, Iqbal T. Lazuardi, lewat sambungan telepon pada Rabu (23/07).
Sumber gambar, Getty Images
Wakca Balaka menyoroti pencatutan foto pada unggahan Instagram instansi resmi Pemerintah Jawa Barat tersebut, yang dinilai memberi ruang pada warganet yang pro terhadap Dedi Mulyadi untuk melakukan perundungan, ujaran kebencian, dan pencemaran nama baik atau trolling.
Apa yang dilakukan Pemprov Jabar, menurut Wakca Balaka, terindikasi menyebabkan tindakan mengakses, mengubah, atau merusak akun Neni tanpa izin atau cracking.
“[Tindakan Pemprov Jabar ini] membuat ketakutan masyarakat Jawa Barat yang mengkritik. ‘Ini loh ketika kamu mengkritik akan seperti ini’, kan itu jelas tersirat seperti itu ketika mencantumkan foto tanpa konteks, ini jelas-jelas mencederai kebebasan berpendapat dan berekspresi warga,” ucap Iqbal.
Pakar komunikasi publik dari Universitas Padjajaran (Unpad), FX Ari Agung Prastowo, menyayangkan tindakan yang dilakukan institusi pemerintah Jabar yang seharusnya mengedukasi publik.
Pemprov Jabar, lanjut Ari, malah terjebak kasus doxing dan tidak mampu membangun ruang publik virtual yang rasional dan komunikatif.
“Fenomena ini, termasuk juga munculnya fenomena buzzer itu, dampak dari belum kuat budaya kita sebagai pengguna media sosial yang bijak dan arif,” sebut Ari.
Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Pemprov Jabar, Ade Komar telah dimintai tanggapannya atas hal ini, namun hingga berita ini diterbitkan yang bersangkutan tidak memberikan respons.
Sebelumnya, Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi membantah melakukan doxing terhadap Neni. Dedi berkilah bahwa dirinya tidak menyebutkan nama “mbak yang mengenakan jilbab”, bahkan mengaku tidak mengetahui nama si pengkritik.
Dedi menegaskan hanya berniat menjawab tuduhan pengerahan buzzer.
“Saya kan harus menjelaskan dong bahwa tidak ada anggaran di Provinsi Jawa Barat untuk bayar buzzer. Kalau hari ini muncul berbagai komen atau keinginan dari warga, itu murni keinginan mereka dan saya enggak bisa larang dan enggak bisa menyuruh,” kata Dedi.
Bagaimana seharusnya kepala daerah merespons kritikan?
Sebagai pengamat isu demokrasi, Neni menyebut kritikan warga terhadap pemimpinnya adalah bagian dari demokrasi.
Ketika mendapat kritikan, lanjut Neni, pemimpin seharusnya membangun dialog dan membuka ruang partisipasi publik seluas-luasnya serta mau mendengarkan kritikan warganya.
“Jangan menjadi pemimpin yang bebal politik. Kalau bebal politik, masyarakat memberikan masukan apa pun tidak akan pernah didengar,” kata Neni.
Senada, pakar komunikasi publik Unpad, FX Ari Agung Prastowo, mengatakan kepala daerah seharusnya memanfaatkan media sosial sebagai ruang dialog untuk menciptakan kebijakan yang lebih baik.
Kepala daerah, kata Ari, semestinya tidak alergi terhadap kritikan, tetapi justru menggunakan kritikan sebagai momentum untuk membangun atau menciptakan kebijakan yang lebih baik.
Sumber gambar, Dok. pribadi
“Sesungguhnya yang lebih utama atau penting adalah bagaimana menyusun kebijakan dan program itu berbasis riset,” tegas Ari.
“Artinya bahwa suara dari publik ini adalah bagian dari riset itu sendiri yang harus didengarkan, dianalisis, diwujudkan dalam program-program atau kebijakan-kebijakan di pemerintahan,” lanjutnya.
Pekerjaan rumah lainnya, imbuh Ari, adalah bagaimana kepala daerah bisa menunjukkan etika komunikasi politik di tengah situasi gegar budaya dalam penggunaan ruang virtual atau media sosial.
Menurut Ari, semestinya ruang-ruang dialog yang tidak bisa tergantikan dengan ruang virtual, tetap dirawat.
“Tidak segala sesuatunya itu kemudian dipertontonkan di ruang publik atau di ruang virtual,” ujar dia.
Bagaimana gaya komunikasi publik kepala daerah
Lewat akun media sosial, Dedi kerap menyebarkan aktivitas blusukan ke rumah warga dan aksi sosialnya. Dedi pun kerap kali “mendompleng” kasus-kasus yang viral. Misalnya, kasus pembunuhan Vina di Cirebon.
Setelah menjabat gubernur Jawa Barat, Dedi tetap mempraktikkan gayanya saat berinteraksi dengan warga Jabar.
Ia rajin membuat konten, bahkan memiliki tim pembuat konten sendiri, untuk mempublikasikan kegiatan hariannya, baik sebagai pejabat publik, maupun sebagai seorang ayah.
Namun tak jarang pula, Dedi membuat swa-video untuk merespon kritikan atau mengumumkan kebijakan barunya—termasuk sejumlah kebijakan kontroversialnya.
Semua konten itu diunggah di akun media sosial pribadinya, bukan Pemprov Jabar.
Pakar komunikasi publik FX Ari Agung Prastowo, mengatakan terlepas dari kebijakan yang menuai pro kontra, Dedi mendapatkan dukungan langsung dari warga Jabar karena mampu menunjukkan keseriusan dan perhatiannya dalam menyelesaikan berbagai persoalan di provinsi tersebut.
“Di sisi lain safari yang dilakukan KDM dapat membangun kedekatan emosional antara dirinya dengan warga Jabar. Hal inilah yang membuat KDM memiliki personal branding sebagai ‘Bapak Aing’,” jelas Ari.
Ari kemudian mencontohkan ciitra pribadi sebagai sosok orang tua yang mengayomi juga melekat pada Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda, yang disebut “ibunya warga Maluku Utara.”
Saat Peringatan Hari Anak Nasional 2025 silam, Sherly menunjukkan kedekatannya dengan anak-anak.
Sherly tanpa sungkan bermain lompat tali, congklak, dan permainan tradisional lainnya bersama puluhan anak-anak.
Sherly juga memperlihatkan sosok keibuannya saat memimpin upacara yang diikuti ratusan anak-anak berseragam pramuka.
Sherly yang awalnya berada di tempat teduh, memilih berpanas-panasan bersama anak-anak yang berdiri di tengah lapangan.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Andri Saputra
Gubernur perempuan pertama di Maluku Utara itu berdialog dengan anak-anak dan berjanji menciptakan ruang-ruang untuk tumbuh dan berkembang dengan aman.
Sikap keibuan saat berinteraksi dengan anak-anak mendapat respons positif dari warganet. Kolom komentarnya dibanjiri pujian.
“Memilih untuk berbaur, ikut panas-panasan dan ingin lebih dekat dengan ‘anak-anaknya’ yang juga punya hak lebih dekat ke ‘ibunya’ dan berinteraksi tanpa dibatasi. salam hormat untuk ibu,” komentar salah seorang warganet yang dibalas Sherly dengan lambang hati.
Sementara itu, Gubernur Sumatra Utara, Bobby Nasution, punya program bernama SADA Sumut (Sapa Daerah Sumatra Utara), yakni turun ke lapangan, menyapa, dan mendengar langsung kebutuhan serta aspirasi warganya.
Ari menilai, gubernur muda ini memiliki gaya komunikasi yang cenderung formal, Bobby memilih bahasa baku, resmi dan terstruktur.
Dari pengamatan Ari, gaya komunikasi formal yang dilakukan Bobby, bukan hanya pada acara-acara resmi, tapi juga tergambar ketika dia berkunjung ke masyarakat.
Namun Bobby tidak terlihat berinteraksi di media sosial. Beberapa keluhan atau kritikan warga di kolom komentar akun Instagram @bobbynst, tidak direspons.
“Hal ini bisa saja karena faktor pengalaman Bobby sebagai pemimpin, leadership komunikasi Bobby belum sampai pada level memberikan umpan balik yang konstruktif,” sebut Ari.
Di wilayah lain, gaya komunikasi Wali Kota Tasikmalaya, Viman Alfarizi Ramadhan dikritik warganya lantaran dinilai terlalu mengandalkan media sosial atau komunikasi satu arah.
Sedangkan wakilnya, Diky Chandra justru mendapat pujian karena turun ke lapangan dan berinteraksi langsung dengan masyarakat.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Bayu Pratama S
Namun menurut Ari, hal itu tidak menjadi masalah dan justru menunjukkan hal yang positif, sepanjang merupakan pembagian tugas antara wali kota dan wakilnya.
“Justru bagus ada distribusi tugas antara wali kota dan wakilnya, dan media sosial atau tatap muka memiliki kesamaan dalam konteks interaksi di ruang publik, termasuk dalam membangun kepercayaan, mendengarkan aspirasi politik dari warga,” jelas Ari.
Kendati demikian, Ari mengatakan, sepanjang pengamatannya, konten-konten Wali Kota Tasikmalaya juga berisi aktivitas dalam berinteraksi secara langsung dengan warga.
Perihal komunikasi publik, Ari mengingatkan, kepala daerah harus memperhatikan tidak hanya soal berbagi informasi, tapi mampu menunjukkan rasa empati kepada publik.
“Kepala daerah harus betul-betul ikut merasakan apa yang menjadi persoalan publik,” kata Ari.
Berbagi informasi yang dibagikan oleh kepala daerah dalam media sosialnya, tambah Ari, hanya sampai pada level meningkatkan pengetahuan.
Kehadiran kepala daerah, menurutnya,harus mampu menjadi solusi bagi warga.
“Dengan demikian akan tercipta hubungan baik antara pemerintah dengan warganya.”