Sumber gambar, ANTARA FOTO
-
- Penulis, Faisal Irfani
- Peranan, Jurnalis BBC News Indonesia
Berbagai kritik dialamatkan kepada pemerintah dan DPR saat membahas Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP), mulai dari proses yang dinilai terburu-buru hingga memuat pasal-pasal yang berpeluang membuka pelanggaran HAM.
Baik pemerintah maupun DPR sama-sama menampik tudingan tidak terbuka dan menihilkan partisipasi publik. Kata mereka, penyusunan RUU KUHAP selalu menyediakan ruang untuk berbagai masukan dari masyarakat.
Namun, apa sebenarnya pengaruh RUU KUHAP terhadap kehidupan masyarakat? Mengapa publik harus peduli?
BBC News Indonesia mewawancarai Guru Besar Studi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Eva Achjani Zulfa, dan menanyakan hal tersebut.
Sumber gambar, DIMAS RACHMATSYAH/Middle East Images/AFP via Getty Images
Sekarang, publik sedang mengarahkan fokusnya ke proses penyusunan RUU KUHAP. Ini bukan pertama kali pemerintah dan DPR melakukan hal serupa. Apa yang membuat revisi tersebut diupayakan?
Jadi, kalau keinginan untuk merevisi, sebetulnya, ini sudah dari 2014. Mengingat, di dalam KUHP kita berubah dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023, KUHP nasional yang akan berlaku pada 2026.
Otomatis ada kebutuhan terkait dengan bagaimana proses atau penanganan perkara di sistem peradilan pidana, bahwa itu juga harus menyesuaikan dengan skema yang ada di dalam KUHP baru kita.
Nah, keinginan itu, sebetulnya, di samping juga pada kebutuhan yang lain. Misalnya, seperti kita tahu ada banyak putusan MK (Mahkamah Konstitusi) yang kemudian merevisi kewenangan dari lembaga-lembaga dalam sistem peradilan pidana kita.
Misalnya, soal SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan), soal penghitungan kerugian negara lembaganya siapa? Apakah BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) atau BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) dalam kasus tindak pidana korupsi?
Mengenai juga apakah, misalnya, satu perkara korupsi bisa di-SP3 atau tidak. Itu banyak sekali perkembangannya. Sehingga itu yang dianggap sebagai satu fakta di mana KUHAP kita itu harus disesuaikan dengan kebutuhan penanganan tindak pidana saat ini.
Itu dua hal yang menjadikan pemerintah bersegera. Apalagi kalau KUHP-nya akan berlaku pada 2026. Kalau KUHAP-nya tidak diperbarui, nanti jadinya pincang. Jadi, kaki kanannya sudah melangkah, kaki kirinya belum siap.
Lantas, apa yang membuat proses revisi ini selalu tidak pernah bisa mulus, dengan kata lain deadlock?
Nah, kalau deadlock, memang kita paham dari awalnya HIR (Herzien Inlandsch Reglement, peraturan warisan kolonial) pada 1950-an, 1960-an, dan 1970-an, kemudian kita revisi pada 1980-an menjadi KUHAP, itu ada beberapa kewenangan-kewenangan yang seolah-olah harus diberikan dalam konteks diferensiasi fungsional—pembagian tugas—dalam posisi kapan jaksa, kapan polisi, atau misalnya kaitannya dengan PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil), Komnas HAM, atau TNI Angkatan Laut pada tindak pidana di bidang perairan, atau KPK.
Itu perlu diharmonisasi, khususnya di pra-judikasi yang ramai memang di situ karena lembaganya banyak, seperti jaring laba-laba.
Nah, kita tahu, membagi kewenangan sesuai dengan proses itu tidak seperti teori lama: roda berjalan di pabrik. Roda berjalan itu kalau masuknya tepung terigu, pasti yang keluar roti. Sudah smooth.
Tapi, dalam sistem peradilan pidana, kadang-kadang harus beririsan. Ketika kemudian jaksa punya kewenangan dominus litis untuk mengenalikan perkara, sementara perkara itu masuknya lewat kepolisian, ini yang kemudian ada titik yang beririsan.
Sedangkan PPNS, yang macam-macam dari pertambangan bea cukai, imigrasi, ketika berjalan ada korwas (koordinasi pengawasan) yang namanya kepolisian.
Jadi, ada titik-titik persinggungan. Kewenangan yang kelihatannya ini menimbulkan satu permasalahan di lapangan, apakah koordinasi atau supervisi atau macam-macam mau dibuat bentuknya, ini yang kelihatannya masing-masing lembaga kita tahu juga punya kepentingan, punya tujuan-tujuan masing-masing juga.
Nah, ini yang harus diselaraskan. Titik deadlock-nya kelihatannya pada proses bagaimana kita membuat sinkronisasi antara kepentingan-kepentingan yang banyak ini ke dalam satu sistem peradilan pidana yang seharusnya berjalan seperti halnya roda berjalan di satu proses. Itu yang menjadi sulit.
Sumber gambar, Thierry Monasse/Getty Images
Kenapa publik harus peduli dengan isu RUU KUHAP? Isu ini, mungkin, sebagian menganggapnya sangat teknis, sangat hukum sekali. Apa hal di dalam RUU KUHAP yang membuat kita harus peduli—dan kemudian mengawalnya?
Sebetulnya bagian dari misi untuk membuat KUHAP ini lebih baik adalah penghormatan terhadap HAM. Kenapa sistem peradilan pidana itu adalah sistem peradilan yang cenderung, satu, menyakiti orang; kedua mengurangi hak seseorang. Potensi pelanggaran HAM itu rentan sekali.
Contoh penangkapan yang salah, proses penetapan tersangka yang tergesa-gesa sehingga keliru, atau barangkali penyitaan terhadap bukan hanya tersangka tapi pihak ketiga yang bahkan bukan korban.
Itu harus diatur secara hati-hati. Hak terhadap harta benda, hak terhadap badan atau tubuh.
Teknik investigasi yang mengedepankan kepada pengakuan, misalnya, cenderung mendorong, katakanlah, petugas untuk melakukan penyiksaan, contohnya seperti itu.
Sumber gambar, ANTARA FOTO
Jadi, kenapa kemudian publik harus peduli? Karena memang imbasnya adalah kepada bagaimana proses ini bisa berjalan sesuai dengan kaidah hak asasi manusia.
Bisa kemudian membuat satu sistem peradilan pidana yang dipercaya masyarakat seperti Pasal 1 angka 6 Undang-Undang HAM, misalnya. Karena ini tempat kita mencari keadilan, tempat kita meminta perlindungan HAM justru.
Jangan sampai lembaga yang harusnya melindungi HAM orang, justru menjadi lembaga yang melanggar hak orang. Ini yang menyebabkan ini bukan hanya sekadar kepentingan advokat, jaksa, polisi, dan pengadilan atau masyarakat, tetapi di sini pertarungannya adalah kepada bagaimana publik nanti bisa terlayani atau tidak.
Apakah lembaga-lembaga itu bisa menjadi lembaga yang dipercaya publik untuk memastikan bahwa keadilannya tidak terlanggar atau terlindungi dalam konteks itu.
Itu alasan utama kenapa publik harus aware terhadap isu ini.
Bagaimana menempatkan kritik dari koalisi masyarakat sipil sehubungan persoalan transparansi di tengah tuntutan pemerintah untuk mengejar tenggat waktu pemberlakuan KUHAP?
Saya melihatnya ini bisa menjadi kontra terhadap keinginan publik untuk mendapatkan draf RUU KUHAP yang perkembangannya bisa dari menit ke menit. Ketika itu susah didapat, maka partisipasi publik untuk memberikan masukan ini menjadi tertutup dengan kesulitan memperoleh atas data atau informasi terhadap kemajuan dari draf KUHAP yang jarang dirilis oleh pemerintah dan DPR.
Apakah KUHAP itu adalah representasi dari setiap rezim yang berkuasa?
Model sistem peradilan di dunia ini berkembang mulai dari kalau secara teoritis. Mulai dari 1960-an di mana crime control model dikritik karena dianggap terlalu mengejar kepada penyelesaian perkara-perkara secara cepat tapi terkadang bukti diabaikan.
Kemudian Herbert L. Packer, ahli hukum Amerika Serikat, mengeluarkan satu teori yang disebut due process model yang lebih menghormati HAM tapi kemudian juga dikritik karena lamban dalam penanganan perkaranya.
Akhirnya, Michael King mengeluarkan satu model teori, bureaucratic model, yang mencoba menyeimbangkan antara kecepatan penanganan perkara dengan penghormatan HAM yang ditandai dengan perbaikan atas prosedur penanganan.
Tapi kemudian masuk lagi yang terakhir itu, misalnya, membuat namanya non punitive model. Artinya bagaimana korban bisa berpartisipasi dalam proses peradilan pidana bukan hanya sebagai bukti. Bagaimana kepentingan korban itu diperjuangkan oleh sistem peradilan pidana karena di kasus, misalnya, korban seolah-olah dilupakan kepentingannya.
Ini model-model yang secara teoritis sebetulnya bisa menjadi parameter kita untuk melihat modernisasi penyelenggaraan peradilan pidana yang dihadirkan di dalam KUHAP. Apakah sudah memenuhi harapan-harapan itu?
Apalagi dengan konsep non punitive model yang meminta untuk, misalnya, konsep keadilan restoratif juga masuk ke KUHAP. Jangan sampai ini jadi transaksional. Siapa lembaga yang menangani? Itu tidak mudah karena masing-masing kita lihat mengeluarkan peraturan mengenai keadilan restoratif, dari kepolisian, kejaksaan, sampai Mahkamah Agung.
Itu menandakan bahwa masing-masing lembaga peduli dengan isu itu. Tapi, untuk mengatakan bahwa ini adalah masalah bersama bukan hal yang mudah.
Itu terasa kalau kita lihat lembaga peradilan kita seperti sedang balapan motor. Saling adu cepat mengumpulkan banyak perkara. Kejar target. Harusnya ini menjadi kerja bersama. Bukan persaingan.
Sumber gambar, CHAIDEER MAHYUDDIN/AFP via Getty Images
Tarik ulur antarlembaga masih kuat, ya?
Tapi, dampak yang dirasakan masyarakat akan seperti apa dari hal ini?
Yang dirasakan langsung, tentunya, ketidakpastian hukum. Beberapa kasus, misalnya, saya ambil contoh tindak pidana korupsi itu bisa ditangani penyidikan dan penyelidikannya oleh kepolisian, kejaksaan, dan KPK.
Dalam beberapa kasus, ada perkara-perkara yang ditangani oleh tiga lembaga ini sekaligus. Dan kelihatannya satu sama lain tidak mau mengalah.
Kerja dalam penyusunan RUU KUHAP kemudian menjadi sangat penting karena kalau salah saja dalam perumusan, atau barangkali memberikan kewenangan kepada satu lembaga yang tidak memperhatikan diferensiasi fungsional dari masing-masing lembaga, itu nanti akan terjadi kekacauan di dalam penyelenggaraan dari sisi peradilan pidana. Dan itu korbannya masyarakat.
Kritik yang ditujukan dalam RUU KUHAP adalah potensi makin kuatnya satu lembaga penegakan hukum. Bagaimana bentuk pengawasan yang bisa dilakukan?
Kalau saya melihat draf RUU KUHAP, itu sudah ada muncul satu lembaga yang namanya Hakim Pemeriksa Pendahuluan atau sering disebut Hakim Komisaris. Saya melihat, sebetulnya, fungsi dia jadi strategis ketika dia menjadi lembaga pengawas di dalam proses praajudikasi, atau sebelum masuk ke pengadilan, yang di situ ramai karena banyak lembaga yang menangani. Harapan kita tentu ini menjadi efektif.
Dengan realita yang terjadi di Indonesia kini, bagaimana Anda melihat sistem peradilan pidana kita? Apakah berjalan maju atau mundur?
Saya speechless [tertawa].
Apakah RUU KUHAP rentan dipolitisasi?
Sangat. Karena apa? Karena bagaimanapun banyak pihak-pihak yang terlibat yang ada di bawah kewenangan eksekutif. Nah, bagaimana kemudian eksekutif meregulasi atau mengatur itu. Terkait dengan, misalnya, pemilihan kepala dari masing-masing lembaga, mengenai keanggotaan kelembagaan maupun pada akhirnya bagaimana lembaga ini bekerja itu sangat bergantung pada keputusan-keputusan eksekutif. Ini kalau kita lihat secara teoritis kenapa kemudian rentan dipolitisasi.