Sumber gambar, AFP via GETTY IMAGES
Penyerangan rumah doa umat Kristen di Padang, Sumatra Barat, pada Minggu (27/07), menggarisbawahi nasib para pelajar agama minoritas yang harus belajar agama di luar sekolah dan dipersekusi. Insiden di Padang turut melukai dua bocah yang tengah mengikuti pendidikan agama Kristen. Anak berusia 11 tahun dan sembilan tahun itu dipukul kerumunan massa menggunakan kayu, menurut pendeta di rumah doa tersebut.
Kedua anak itu adalah bagian dari sekitar 30 anak yang hadir di rumah doa lantaran sekolah negeri tempat mereka menimba ilmu tidak memberikan mata pelajaran agama Kristen.
Aturan di Indonesia menyatakan jika suatu sekolah memiliki siswa beragama minoritas kurang dari 15 orang, maka pendidikan agama dilaksanakan di luar sekolah bekerja sama dengan lembaga keagamaan di wilayah tersebut.
Para pegiat hak asasi manusia menilai peristiwa di Padang itu kian mempertegas diskriminasi pendidikan bagi siswa beragama minoritas.
“Pendidikan Indonesia morat-marit enggak karuan. Jangan cuma meladeni yang mayoritas,” kata peneliti Human Rights Watch, Andreas Harsono.
Anggota legislatif mendesak pemerintah mempekerjakan guru dari agama minoritas demi kesetaraan layanan.
BBC News Indonesia telah berupaya menghubungi sejumlah pejabat di Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, tapi sampai saat ini belum mendapat jawaban.
‘Kamu pakai jilbab ya’
Penyerangan rumah doa di Padang yang terjadi pada Minggu (27/07) membuat trauma masa sekolah kembali menghinggapi kepala Sintia Sihite.
Sintia adalah seorang perempuan Kristen yang pernah menempuh pendidikan di salah satu SMA Negeri di ibu kota Sumatra Barat tersebut.
Padahal, terang Sintia, pihak sekolah sudah mengetahui bahwa dirinya seorang Kristen. Orang tuanya juga telah dipanggil ke sekolah dan mengatakan bahwa sang anak tidak bisa mengenakan jilbab karena seorang penganut agama Kristen.
“Awalnya dibolehkan [tidak mengenakan jilbab], tapi kemudian justru dipermalukan saat mengikuti upacara,” kata Sintia kepada wartawan Halbert Chaniago yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
“Saya dipanggil (ke depan barisan), baju ditarik dan dibilang, ‘kamu pakai jilbab, ya’,” tambah Shinta, menirukan ucapan seorang gurunya beberapa tahun lalu.
Selain dipermalukan, Sintia mengaku merasa didiskriminasi karena harus mengikuti mata pelajaran agama di luar sekolah.
“Namun, karena saat itu saya kuat, ya, saya biarkan saja. tapi perasaan enggak difasilitasiin itu tetap ada,” kata Sintia.
Perihal kewajiban berjilbab bagi siswa non-muslim tersebut sejatinya tidak tertuang pada Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003 maupun Peraturan Menteri Agama Nomor 16 Tahun 2010.
UU Sisdiknas, misalnya, hanya mewajibkan siswa menjaga norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan keberhasilan pendidikan, seperti termaktub pada Pasal 12 ayat 2.
Pasal 12 ayat 1 (a) beleid itu bahkan justru menyatakan bahwa setiap peserta didik berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.
Amel mengaku dipersulit dalam akademik, khususnya pada mata pelajaran agama. Peringkatnya di kelas pernah melorot dari peringkat 2 ke 32 lantaran nilai pelajaran agama kosong. Padahal Amel sudah menyetor nilai pelajaran agama dari penyuluh, sebutan untuk guru pelajaran agama kepercayaan.
” Padahal sudah setor nilai dari penyuluh Amel, tapi harus komplain dulu. Pas sudah dimasukin [nilainya] langsung naik lagi ke rangking 2,” sebut remaja putri 17 tahun ini.
Sumber gambar, AFP
Detail teknis pelaksanaan pendidikan agama diatur melalui Peraturan Menteri Agama yang diteken pada 2010.
Pada Pasal 4 peraturan itu, misalnya, menyatakan soal ketentuan pelaksanaan pendidikan agama.
Pertama, saat jumlah peserta didik seagama dalam satu kelas paling sedikit 15 orang, maka sekolah wajib memberikan pendidikan agama.
Kedua, saat peserta didik seagama dalam satu kelas kurang dari 15 orng, tapi jika digabung dengan beberapa kelas lain bisa mencapai 15 orang orang, maka pendidikan agama digelar di sekolah dengan mengatur jadwal tersendiri yang tidak merugikan siswa untuk mengikuti mata pelajaran lain.
Ketiga, jika peserta didik yang seagama pada satu sekolah kurang dari 15 orang, maka pendidikan agama dilaksanakan bekerja sama dengan sekolah lain atau lembaga keagamaan yang ada di wilayahnya.
Poin terakhir inilah yang dilakukan di rumah doa di Padang yang dibubarkan dan diserang warga setempat.
‘Aturan pendidikan agama tidak sejalan dengan UU Perlindungan Anak’
Peneliti Human Rights Watch (HRW), Andreas Harsono, menilai aturan soal pendidikan agama di Indonesia tidak sejalan dengan UU Perlindungan Anak.
Bagian ketiga UU Perlindungan Anak, terang Andreas, menyatakan bahwa pemerintah wajib memberikan kesempatan kepada anak untuk mendapatkan pendidikan
“Namun, praktiknya pendidikan agama tidak disediakan. Jadi tidak konsisten,” kata Andreas.
“Kalau mau konsisten, semua diberikan kesempatan. Kalau mau berikan pendidikan agama, berikan untuk semua.”
Anggota Komisi X DPR, Sabam Sinaga, mengatakan bahwa pemerintah semestinya menyediakan guru minoritas di setiap sekolah.
Selain bentuk kesetaraan, tindakan itu juga dinilai dapat mendorong setiap anak untuk menghargai perbedaan dan menghormati agama lain.
“Merujuk pada Pasal 28 kebebasan beragama, sebaiknya ada juga guru-guru yang minoritas itu ditempatkan,” kata Sabam pada 31 Mei 2025.
Dia menambahkan, penyediaan guru agama akan membuat para siswa minoritas merasa dihargai dan dianggap.
Perlu solusi permanen
Peneliti SETARA Institute, Bonar Tigor Naipospos berpendapat, ketentuan pelaksanaan pendidikan yang bekerja sama dengan lembaga keagamaan selama ini memang kurang mendapati masalah.
Dia merujuk peristiwa di Padang, ketika para pelajar yang semestinya mendapat pelajaran agama justru mengalami persekusi dari kelompok intoleran.
Dia berharap pemerintah dapat segera memberikan solusi permanen agar peristiwa seperti di Padang tidak berulang di masa mendatang.
Salah satunya adalah menyarankan pemerintah daerah menyediakan gedungnya sebagai lokasi pengajaran pendidikan agama siswa minoritas.
Hal ini bertujuan untuk memberikan jaminan keamanan dan bentuk perlindungan negara kepada warganya, terang Bonar.
“Kalau di gedung resmi, beragam syak wasangka itu bisa diminimalisir,” kata Bonar.
Andreas mengkhawatirkan kepercayaan kelompok minoritas terhadap negara akan anjlok jika pemerintah tak kunjung bisa memberikan perlidungan atas hak mereka.
“Sampai pekan lalu, masih ada yang mengeluh kepada saya, termasuk kelompok minoritas, (bahwa mereka) enggak percaya sama aparat hukum Indonesia,” ujar Andreas.
Sumber gambar, ANTARA FOTO
Lebih lanjut, keduanya pun menyoroti trauma berkepanjangan yang akan dibawa para pelajar jika permasalahan soal ruang pendidikan agama ini tidak kunjung selesai.
“Bagaimana mental mereka? Mereka akan merasa berbeda dan tidak diterima,” ujar Bonar.
Selain di Padang, SETARA juga mencatat anak-anak juga sempat menjadi korban di Bekasi dan Sukabumi saat tempat ibadah mereka dipersekusi dan dibubarkan oleh kelompok intoleran.
Lantas, apakah pemerintah akan mempertimbangkan perubahan metode pendidikan agama bagi siswa minoritas—termasuk instruksi penyediaan gedung pemerintah daerah untuk lokasi pembelajaran?
BBC News Indonesia menghubungi sejumlah pejabat Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah dan Kota Padang, tapi sampai saat ini belum mendapat jawaban.
Wali Kota Padang, Fadli Amran, dalam pernyataan seusai insiden penyerangan rumah doa hanya mengatakan bahwa insiden 27 Juli lalu itu akan menjadi pertimbangan putusan ke depannya.
“Untuk pendidikan, kita dari pemerintah harus menjadi garda terdepan untuk memberikan ruang seluas-luasnya,” ujar Fadli Amran.
Namun, belum diketahui apa wujud konkret dari pernyataan tersebut.
Sintia Sihite, perempuan Kristen yang pernah menempuh pendidikan di salah satu SMA Negeri di Kota Padang, mendukung agar pemerintah daerah menyediakan guru agama bagi siswa minoritas. Dia menyebut hal itu dapat memupuk sikap saling menghargai antarsiswa.
“Biar pada tahu, bukan hanya Islam yang ada di Indonesia,” pungkasnya.
Wartawan Halbert Chaniago di Padang turut berkontribusi dalam artikel ini.