Sumber gambar, Antara Foto/Nova Wahyudi
Sejumlah warga tetap mengajukan banding setelah Pengadilan Negeri Palembang memutuskan untuk tak menerima gugatan mereka terhadap tiga perusahaan yang diduga menyebabkan kebakaran lahan dan hutan di Sumatra Selatan pada 2014, 2019, dan 2023.
Dua warga penggugat, Marda Ellius dan Pralensa, memaparkan kepada BBC News Indonesia bahwa mereka berkeras untuk banding walau mengalami intimidasi tak lama setelah PN Palembang merilis putusan pada 3 Juli lalu.
Langkah ini, menurut Pralensa, dilandasi tekad agar masyarakat Sumsel tak lagi mengalami berbagai kerugian akibat kabut asap di masa mendatang.
BBC News Indonesia sudah meminta tanggapan tim humas perusahaan tergugat, tapi tidak mendapatkan respons.
Sementara itu, Sekar Banjaran Aji selaku perwakilan Greenpeace yang juga menjadi salah satu kuasa hukum penggugat, mengatakan pihaknya masih menunggu hasil banding. Menurutnya, banyak hal janggal dalam putusan hakim.
“Perkara ini bisa jadi refleksi besar untuk litigasi iklim di Indonesia yang ternyata jalannya masih terjal. Akhirnya, rakyat lagi yang dirugikan dan jadi korban,” tutur Sekar.
‘Pekerjaan hilang, kesehatan hilang’
Dunia Pralensa alias Jay seakan runtuh ketika pada 2023, rumah burung walet yang menjadi salah satu sumber pendapatan utamanya tiba-tiba hangus dilalap api.
Lahan Jay terletak di Kabupaten Komering Ilir, berdekatan dengan lahan konsesi salah satu perusahaan yang dituduh menyebabkan kebakaran hutan dan lahan di Sumsel.
Sekitar 50 meter dari lahan Jay, sebenarnya berdiri pos pemantau kebakaran dari perusahaan tersebut, tapi sama sekali tak ada bantuan.
“Mereka bilang, itu bukan kawasan konsesi mereka, tapi wilayah ini sudah rusak dan jadi sangat kering akibat ulah kejahatan mereka terhadap lingkungan, jadi potensi terbakar lebih tinggi, apalagi ada asap dari kawasan mereka,” kata Jay kepada BBC News Indonesia.
“Lagipula, rumah walet saya itu di lahan gambut yang seharusnya sifatnya lebih banyak air. Kenapa kering? Karena ulah mereka itu, jadi ya harus ada pertanggungjawaban.”
Akibat kebakaran itu, Bang Jay kehilangan satu mata pencaharian. Tak hanya itu, Jay juga merugi karena ia harus menghabiskan uang hingga Rp74 juta untuk membangun rumah walet itu.
Sumber gambar, Dokumen kuasa hukum penggugat
Kehilangan rumah walet itu sangat memukul perekonomian Jay. Sebagai tulang punggung keluarga, dia harus menafkahi istri dan kedua anaknya.
Dalam sebulan, ia mesti mengeluarkan sekitar Rp10 juta. Pada musim-musim kabut asap, kebutuhan bertambah karena istri dan anaknya harus berobat akibat mengalami gangguan pernapasan.
Kini, ia hanya memiliki pekerjaan tetap sebagai penyadap karet dengan rata-rata penghasilan Rp6 juta tiap bulan.
“Apalagi kalau ada kabut asap, itu pasti pagi enggak bisa ke kebun, baru bisa agak siang. Waktu berkurang, penghasilan juga bisa berkurang sampai 50 persen,” ucap Jay.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya, kini Jay harus mengais rezeki dari tempat lain. Jadi nelayan musiman atau petani serabutan, apa saja dia lakukan agar bisa dapat uang.
“Aduh, super ekstra kerjanya. Pekerjaan hilang, kesehatan hilang. Saya hanya terus berpikir, kapan saya bisa hidup normal?” katanya.
Warga menggugat
Jay dan 10 warga lain dari Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Kota Palembang yang bernasib sama akhirnya memutuskan untuk menggugat tiga perusahaan pemegang konsesi lahan yang diduga mengakibatkan karhutla di Sumsel.
Mereka mengajukan surat gugatan itu pada 23 September 2024, dan terdaftar di sistem registrasi PN Palembang pada 1 Oktober 2024.
Merujuk pada surat gugatan mereka, ketiga perusahaan yang dimaksud terdiri dari PT Bumi Mekar Hijau, PT Bumi Andalas Permai, dan PT Sebangun Bumi Andalas Wood Industries.
Menurut para penggugat, asap dari karhutla di tiga konsesi perusahaan itu merugikan masyarakat sekitar dan merusak ekosistem. Karhutla itu berulang tiga kali pada 2015, 2019, dan 2023.
Akibatnya, warga mengalami kerugian karena mereka tidak bisa menyadap karet, memanen padi, dan harus membeli obat-obatan lantaran batuk dan ISPA.
Tak hanya itu, asap karhutla itu juga membuat jarak pandang berkendaraan hanya sekitar dua meter sehingga sering terjadi kecelakaan.
Lebih jauh, kumpai tembaga yang digunakan untuk pakan kerbau juga jadi langka sehingga banyak ternak mati. Pada akhirnya, semakin banyak pencurian kerbau di Sumsel.
Apa tuntutan warga?
Dalam gugatannya, para warga menuntut ganti rugi material dengan nilai berbeda bagi tiap-tiap penggugat. Jay pribadi menuntut perusahaan membayar Rp88 juta.
Angka masih ditambah dengan tuntutan ganti rugi imaterial sebesar Rp1 miliar untuk masing-masing penggugat. Menurut mereka, kerugian imaterial sangat besar karena dampak psikologis kasus ini memengaruhi kualitas hidup.
Selain itu, mereka juga menuntut perusahaan bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan akibat karhutla di kawasan mereka.
Perusahaan juga dituntut membuat kebijakan internal untuk melindungi dan merestorasi gambut, mengembalikan fungsi ekosistem di area gambut, serta memberikan izin kepada organisasi lingungan hidup untuk melakukan pengawasan.
“Kami menggugat pasti untuk kami sendiri dan juga untuk seluruh masyarakat Sumsel yang hidupnya sudah menderita selama ini,” kata Jay.
BBC News Indonesia sudah meminta tanggapan dari tim humas perusahaan tergugat, tapi sampai saat ini belum mendapatkan respons.
Apa putusan pengadilan?
Setelah proses sidang selama delapan bulan, PN Palembang akhirnya merilis putusan pada 3 Juli lalu. Hasilnya, mereka memutuskan untuk tak menerima gugatan itu karena beberapa poin.
Pertama, hakim menyatakan bahwa berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023, penggugat seharusnya juga mengajukan gugatan untuk menuntut tindakan pemulihan/atau permintaan biaya pemulihan.
Kedua, menurut majelis hakim, gugatan itu hanya terkait ganti rugi terhadap warga.
“Seharusnya gugatan Penggugat tersebut perlu ada perbaikan sehingga bermanfaat dan tidak menjadi sia-sia apabila dalil gugatan tersebut dikabulkan,” demikian kutipan putusan hakim.
Dalam proses persidangan, Greenpeace juga mengajukan gugatan intervensi dengan beberapa detail tuntutan.
Majelis hakim tetap tak menerima gugatan itu dengan dalih gugatan utama juga tak diterima.
Hakim menambahkan bahwa gugatan intervensi itu juga kurang lengkap karena tidak menyeret pihak lain, yaitu pemerintah, yang mereka anggap berperan penting dalam mencegah karhutla.
Sumber gambar, Antara Foto/Aditya Nugroho
BBC News Indonesia sudah menanyakan tanggapan dari Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, dan Gubernur Sumsel, Herman Deru, terkait kasus yang menyeret tiga perusahaan ini. Namun, mereka menolak menjawab.
Hanif hanya menjelaskan bahwa secara umum, perusahaan pemegang konsesi yang terbukti menyebabkan karhutla akan terkena sanksi.
Menurut catatan Hanif, dari kasus-kasus terdahulu, sanksi denda yang terkumpul seharusnya sudah mencapai Rp18 triliun. Ia berjanji akan menagih sanksi itu ke tiap-tiap perusahaan.
Hanif juga memastikan bahwa pemerintah akan mengecek langsung ke lapangan untuk memastikan kesiapan SDM serta sarana dan prasarana perusahaan pemegang konsesi dalam mengantisipasi karhutla.
“Jika SDM dan sapras tidak memadai, akan diberi sanksi administrasi pemerintah sesuai Impres Nomor 3 Tahun 2019 Tentang Penanganan Karhutla,” katanya dalam Apel Siaga Karhutla Sumsel di Griya Agung Palembang pada Selasa (29/07).
Banding di tengah dugaan intimidasi
Tak lama setelah putusan hakim itu, Jay dan seorang penggugat lainnya, Marda Ellius, mengaku diintimidasi orang yang mengaku dari pihak perusahaan. Namun, Jay dan para penggugat mengatakan tak gentar dan tetap mengajukan banding pada 23 Juli lalu.
Jay bercerita seseorang yang mengaku perwakilan dari pihak perusahaan menghubunginya. Orang itu, kataJay, menawarkan ganti rugi dengan timbal balik dia tak melanjutkan proses hukum.
Ketika Jay menolak, orang itu malah mewanti-wanti bahwa para penggugat bisa dituntut balik atas tuduhan pencemaran nama baik.
“Saya bilang, ‘Boleh, pak. Saya terima konsekuensinya kalau memang itu benar begitu, tapi untuk proses gugatan tetap akan saya lakukan,'” ucap Jay menirukan kata-katanya waktu itu.
Marda juga mengaku sempat diintimidasi, bahkan sejak awal proses persidangan dimulai pada akhir 2024.
Waktu itu, kata Marda, pihak yang mengaku dari perusahaan menghubungi keluarganya untuk menawarkan hal serupa, yaitu ganti rugi dengan timbal balik dia mencabut gugatannya.
Sumber gambar, Dokumen kuasa hukum penggugat
Marda sebenarnya sempat berpikir karena saat itu dia sedang ingin membuka lahan yang membutuhkan biaya besar.
Keluarganya tak punya cukup uang karena ladang sawit tempat suaminya bekerja terbakar pada 2019 lalu. Sejak saat itu, suaminya bekerja serabutan.
Marda pun harus membantu cari uang sana-sini. Selain menjadi guru PAUD, Marda juga berjualan makanan, menyadap karet, hingga menjadi nelayan musiman.
Akibat kabut asap, mata pencaharian dia dan suaminya sangat terbatas. Uang ganti rugi tunai di depan mata tentu akan sangat berguna, demikian pemikiran singkatnya waktu itu.
“Tapi di situ saya juga berpikir, kami tidak sendiri. Semua masyarakat kan merasakan asap. Saya memutuskan untuk tetap lanjut menggugat karena untuk lingkungan,” kata Marda.
Setelah putusan hakim keluar, intimidasi kembali menghantui Marda. Kali ini, keluarga meminta Marda untuk mengikuti keinginan pihak yang mengintimidasi itu.
“Setelah ngobrol sama kawan-kawan, saya dikuatkan, karena saya memang dari awal juga untuk lingkungan, untuk kesehatan semua orang, untuk dunia, jadi saya tetap lanjutkan, ikut banding,” tuturnya.
BBC News Indonesia sudah meminta tanggapan tim humas para tergugat terkait dugaan intimidasi ini, tapi tak ada respons.
Sementara itu, proses hukum tetap berlanjut. Salah satu kuasa hukum penggugat, Ipan Widodo, menjelaskan bahwa hakim menyatakan “tidak menerima”, bukan “menolak” gugatan.
Menurut Ipan, dalam bahasa hukum, jika hakim “menolak”, maka penggugat tak dapat mengajukan gugatan yang sama.
Namun, jika hakim “tidak menerima”, penggugat bisa mengajukan banding untuk memperbaiki gugatan awal dengan menjawab kekurangan yang disebutkan hakim dalam putusannya.
“Kami sudah mengajukan banding pada 23 Juli dan sekarang sedang diproses. Kira-kira 3 bulan prosesnya,” ucap Ipan.
Perwakilan Greenpeace yang juga salah satu kuasa hukum penggugat, Sekar Banjaran Aji, mengatakan bahwa dalam memo banding ini, mereka menjawab poin-poin yang dipertanyakan hakim dalam putusannya.
Pertama, kurang pihak karena tidak melibatkan pemerintah. Sekar mengatakan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Penanganan Perkaran Lingkungan Hidup, pihak yang boleh mengajukan pihak lain adalah tergugat.
“Misalnya, perusahaan bilang, ‘Di sini pemerintah juga seharusnya bertanggung jawab.’ Ya, sudah dia bikin daftar siapa saja yang seharusnya terlibat dalam gugatan tersebut,” tutur Sekar.
Sumber gambar, Dokumentasi Pralensa
Menurut Sekar, dalam hal ini hakim melakukan ultra petita. Ultra petita adalah penjatuhan putusan majelis hakim yang melebihi tuntutan atau dakwaan yang diajukan.
“Kami tidak mengajukan pihak itu [pemerintah], perusahaan juga tidak. Berarti, hakim memutuskan sesuatu yang melebihi gugatan,” katanya.
Selain itu, nota banding mereka juga mencakup jawaban atas poin hakim soal tak ada tuntutan untuk pemulihan. Menurut Sekar, tuntutan itu jelas ada di dalam gugatan.
“Jadi hakim itu jelas enggak baca secara lengkap gugatan kami. Itu sangat salah di level pengadilan. Hakim kok enggak bisa mengecek perkara secara teliti?” tutur Sekar.
Selain mengupayakan banding, Sekar dan para penggugat lain juga mengadukan perkara ini ke beberapa lembaga, termasuk Komnas HAM, Badan Pengawas Mahkamah Agung, dan Komisi Yudisial.
“Sudah kami laporkan dengan harapan para hakim juga dapat bertanggung jawab atas putusan yang sangat buruk ini,” ujarnya.
Kini, para penggugat tinggal menunggu keputusan hakim. Jay berharap hakim dapat memutuskan sesuai “hati nurani”.
“Kami berharap tidak ada lagi korban-korban masyarakat yang diintimidasi, yang jadi korban asap, atau jadi korban apa pun dari korporasi,” katanya.
“Cukup kami yang kehilangan mata pencaharian, diintimidasi, tapi harus tetap berjuang melanjutkan proses hukum.”
Wartawan Pay Palembang di Sumatra Selatan berkontribusi dalam liputan ini.