Sumber gambar, BBC/Tri Wahyuni
-
- Penulis, Tri Wahyuni
- Peranan, Wartawan BBC News Indonesia
Kelompok warga dan sejumlah pelaku usaha menentang rencana pembangunan 448 vila di Pulau Padar, Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur. Mereka cemas “pengembangan proyek wisata premium” bakal merusak ekosistem dan menghilangkan mata pencaharian. Namun pemerintah menyebut proyek itu “akan diawasi ketat”.
Selama bertahun-tahun kelompok warga di Taman Nasional Komodo menganggap pemberian izin pembangunan ratusan vila di Pulau Padar sebagai “ketidakadilan yang dilakukan pemerintah”.
Sejumlah pelaku wisata juga khawatir proyek ratusan vila itu akan “membunuh habitat komodo” dan juga “membunuh pelaku wisata lokal secara perlahan”.
Siti Nurbaya, saat masih menjabat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengeluarkan surat keputusan bernomor SK.796/Menhut-I/2014 pada September 2024. Surat itu berisi izin untuk PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE).
Merujuk surat itu, perusahaan tersebut mendapat hak melakukan usaha penyediaan sarana wisata alam. Luas kawasan yang mereka dapat seluas 274,13 hektare atau 19,5 persen dari total luas Pulau Padar.
Menanggapi protes warga, Kepala Balai Taman Nasional Komodo Hendrikus Rani Siga, bilang, “Area terbangun itu hanya 5,64 persen dari izin tersebut”.
Kementerian Kehutanan, Juli lalu, menggelar konsultasi publik untuk menguji dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) dari rencana investasi PT KWE di Pulau Padar.
Di tengah penolakan, konsultasi publik itu disebut “hikmah bagi warga”. Alasannya, masyarakat di sekitar Taman Naisonal Komodo jadi mafhum rencana proyek yang disusun PT KWE, kata pegiat lingkungan Venan Haryanto.
“Dari dulu kami hanya mereka-reka saja, apa sih rencana PT KWE. Oh, ternyata masif sekali memang pembangunannya,” ucap Venan.
Pulau Padar merupakan satu dari gugusan pulau yang berada di kawasan Taman Naisonal Komodo. Padar selama ini dianggap sebagai ikon utama dan jantung destinasi di NTT.
Padar adalah satu dari dua pantai berpasir pink yang ada di Taman Nasional Komodo. Di pulau tak berpenghuni ini, pengunjung juga dapat menyaksikan momen matahari terbit dan terbenam.
Per 2024, menurut Balai Taman Nasional Komodo, jumlah populasi Komodo di Pulau Padar sebanyak 31 ekor.
‘Kami sakit hati’
Menurut regulasi, konsultasi publik seharusnya menjadi ajang bagi perusahaan dan masyarakat untuk membahas dampak lingkungan yang akan ditimbulkan sebuah proyek.
Sebagai penghuni kawasan, penduduk di kawasan Taman Nasional Komodo diundang menghadiri konsultasi publik, Juli lalu. Namun kebanyakan mereka memilih tidak hadir untuk menunjukkan penolakan.
Alimudin, warga taman nasional itu, menganggap pemerintah tidak adil. Dia menuding Kementerian Kehutanan hanya memberikan lahan sekitar 27 hektare untuk 2.000 warga di Desa Komodo. Sebaliknya, kata dia, pemerintah mendapatkan lahan sepuluh kali lebih luas.
“Bagaimana masyarakat tidak sakit hati. Ini kan ketidakadilan agraria yang dirasakan oleh masyarakat di kawasan ini,” kata Alimudin, Minggu (03/08).
Sumber gambar, Dokumen pribadi
Sejak Taman Nasional Komodo dideklarasikan pada 1980, warga Komodo beberapa kali mengalami eksklusi atau penyingkirian, kata Alimudin.
Dia bercerita, masyrakat Komodo dulu memiliki perkebunan sentral di Loh Liang, Pulau Komodo. Namun, pemerintah memindahkan mereka “untuk kepentingan konservasi di taman nasional”.
Salah satu pemindahan warga itu terjadi pada 2001. Ketika itu, otoritas merevisi aturan zonasi di Taman Nasional Komodo.
Sebuah riset sosiologis mencatat, wilayah tangkap nelayan asal Desa Komodo di perairan Loh Liang diubah menjadi zona wisata laut. Akibatnya, nelayan lokal kehilangan akses untuk menangkap ikan.
Ketika usaha pariwisata di taman nasional itu semakin berkembang, semakin banyak nelayan lokal kehilangan akses ke dermaga. Penguasaan wilayah perairan itu beralih ke tangan pemilk resor.
Untuk tetap memiliki pendapatan, para nelayan itu kemudian beralih mengubah perahu ikan menjadi kapal wisata.
Namun, merujuk riset itu, para nelayan sulit bersaing dengan pemilik kapal wisata. Alasannya, kapal mereka dianggap tidak memenuhi standar keamanan.
Sumber gambar, BBC/Haryo Wirawan
Pada 2019, Viktor Laiskodat saat menjabat Gubernur NTT, berencana menutup taman nasional dan memindahkan warga di kawasan.
“Karena namanya Pulau Komodo, maka kita harus mengatur agar pulau itu betul-betul hanya terisi komodo, tidak boleh ada manusia yang lain,” kata Viktor.
Warga menolak rencana Viktor dan berdemo sampai ke Jakarta. Akhirnya, Viktor membatalkan rencana penutupan kawasan dan pemindahan warga.
“Warga tidak dikasih apa-apa di atas lahannya, padahal setiap warga negara kan punya hak atas tanahnya, kata Alimudin.
“Negara ini kan baru munculnya belakangan. Orang Komodo itu sudah ada di tanah ini sebelum negara ini ada,” kata laki-laki berusia 48 tahun itu.
‘Pembangunan belum dimulai’
Dalam pernyataan Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF) soal konsultasi publik pada 23 lalu, Direktur Konservasi Kawasan Kementerian Kehutanan, Sapto Aji Prabowo, mengatakan sejauh ini PT KWE masih dalam proses penyusunan AMDAL.
Dia berkata, “hasilnya nanti akan dilaporkan kepada UNESCO, sebelum pembangunan benar-benar dimulai”.
Izin pengelolaan yang dipegang PT KWE berlaku untuk jangka waktu 55 tahun. Izin pembangunan tahap I keluar tahun 2020.
Pada 2021, pemerintah mewajibkan PT KWE untuk menyusun dokumen AMDAL. Mereka juga diwajibkan mengajukan konsultasi untuk setiap rencana pembangunan dengan Komite Warisan Dunia atau IUCN.
‘Kenapa sampai rebut Taman Nasional Komodo?’
Berbeda dengan warga Komodo yang memutuskan tidak datang ke konsultasi publik sebagai bentuk penolakan, Asosiasi Agen Tur dan Perjalanan (ASITA) Manggarai Raya mengaku tidak mendapat undangan.
Sekretaris Dewan Perwakilan Cabang ASITA Manggarai Raya, Getrudis Naus, bilang pihaknya ada dalam daftar acara tersebut. Namun belakangan, kata dia, tidak ada satu pun dari lembaga itu yang hadir.
Seperti Orang Komodo, ASITA menyatakan merasakan ketidakadilan.
Getrudis membuat klaim, selama ini ASITA “mengikuti semua aturan” taman nasional “demi alasan konservasi, menjaga keberlangsungan destinasi wisata”.
Namun, Getrudis menuding, pemerintah kini malah mengizinkan investor besar membuat proyek besar di kawasan taman nasional.
“Di mana fakta konservasi itu ketika wilayah itu diberikan kepada pihak-pihak untuk membuka dan membangun fasilitas semewah itu,” kata Getrudis.
“Jangankan membunuh habitat komodo, ini membunuh masyarakat Flores secara keseluruhan,” ujarnya menuding.
BBC telah meminta konfirmasi terkait tudingan ini kepada Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Satyawan Pudyatmoko. Dia meminta kami menghubungi Nandang Prihadi, Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kawasan Konservasi.
Hingga berita ini disusun, Nandang tidak memberikan jawaban.
Sumber gambar, Dok. pribadi
“Kenapa sampai rebut Taman Nasional Komodo? Padahal lahan di Labuan Bajo ini masih luas. Itu Golo Mori mungkin berapa ratus hektare yang belum ada apa-apanya.”
Golo Mori adalah nama sebuah desa di selatan Labuan Bajo, yang merupakan area perbukitan. Getrudis bilang jaraknya dari Labuan Bajo sekitar satu jam perjalanan darat.
Investasi terbaru ini, kata Getrudis, membuatnya menyesali “upaya memperjuangkan pariwisata, bahkan jauh sebelum Labuan Bajo dan taman nasional popular.”
Pada 2009 lalu, Getrudis dan ratusan warga Manggarai Barat lainnya menentang tambang emas di kawasan Batu Gosok.
Pertambangan itu dikhawatirkan warga akan merusak lingkungan. Ketika itu Batu Gosok dikenal sebagai daerah wisata, dengan perairan sekitarnya menjadi tempat favorit untuk menyelam maupun snorkeling.
Pada 2022, Getrudis dikenal sebagai salah satu figur yang menentang keras kenaikan harga tiket ke Pulau Komodo dan Pulau Padar sebesar Rp3,7 juta per orang. Penolakan itu berujung pada pembatalan kenaikan harga tiket.
“Begitu kami sudah nyaman di dunia pariwisata, kenapa psikis kami itu selalu diganggu, tidak pernah nyaman? Bukannya urus bagaimana regulasi supaya tetap nyaman, tetap aman, malah urusannya melawan investor. Sakit sih, sakit sekali,” kata Getrudis mengeluh.
Apa isi AMDAL proyek vila di Padar?
BBC mendapatkan salinan dokumen AMDAL PT KWE yang disampaikan tim ahli dari Institut Pertanian Bogor, Juli lalu.
Berkas AMDAL itu mengidentifikasi berbagai masalah yang berpotensi muncul saat proyek PT KWE. Salah satunya potensinya adalah gangguan terhadap komodo.
Pembangunan sarana dan prasarana wisata di area lembah-lembah yang menjadi habitat utama komodo, menurut dokumen itu, bakal membuat pergerakan komodo terganggu dan menjauh dari lokasi pembangunan.
Limbah dapur dari tempat penginapan juga disebut bakal membuat komodo cenderung terhabituasi (terbiasa) mencari makan di lokasi pembuangan sampah.
Aktivitas manusia (pekerja) dan aktivitas pembangunan juga bakal menyebabkan kegiatan alami komodo, seperti bersarang dan mencari makan, terganggu.
Untuk mengatasi berbagai potensi itu, tim penyusun AMDAL PT KWE menawarkan beberapa mitigasi.
Salah satu mitigasi itu adalah pembangunan sarana oleh PT KWE dengan sistem panggung (elevated).
Perusahaan itu juga akan mengembangkan prosedur operasional standar bagi pekerjanya untuk menjaga dan melindungi komodo dan satwa liar berbahaya lainnya.
Sistem penyimpanan dan pembuangan sisa makanan juga akan mereka bangun untuk menghindari satwa liar, terutama komodo dan ular, berdatangan.
Mereka juga akan meminta para pekerja menghentikan aktivitas ketika sarana yang dibangun melintasi dan atau berada di dekat sarang komodo. Mereka diminta melaporkan kepada pihak balai taman nasional.
Tim ahli juga mengidentifikasi dampak sosial ekonomi. Mereka memprediksi pembangunan “berpotensi memicu konflik di masyarakat”.
Dalam dokumen AMDAL itu disebutkan, “masyarakat Desa Komodo ‘merasa paling berhak’ untuk mendapatkan kesempatan kerja di PT KWE, dibandingkan masyarakat desa lainnya—Papagarang dan Pasir Panjang”.
Lahan usaha warga di Long Beach 1, Long Beach 2, dan Long Beach 3, termasuk Pink Beach, juga terancam ditutup.
Demi menghindari konflik tersebut, PT KWE berencana membuat SOP mengenai penerimaan tenaga kerja yang mengutamakan masyarakat sekitar.
Perusahaan juga akan melakukan sosialisasi terkait pembangunan dan peluang ekonomi masyarakat.
Sebagai mitigasi, Balai Taman Nasional Komodo juga diminta aktif mengikuti penataan ulang pengelolaan Long Beach yang melibatkan kepentingan PT KWE & Masyarakat.
‘Pemerintah tak mendengar’
Sejak pemerintah memberikan konsesi di kawasan Taman Nasional Komodo kepada beberapa perusahaan pada 2014 lalu, warga dan pelaku usaha terus menyuarakan penolakan. Mereka menuding kebijakan pemerintah bertentangan dengan prinsip konservasi.
Kelompok warga mempertanyakan mengapa pembangunan di dalam kawasan konservasi terus berlanjut, kata pegiat lingkungan, Venan Haryanto.
“Suara penolakan publik selama ini kan bukan lagi di tingkat proseduralnya. Seluruh rancang bangun investasi di dalam kawasan Taman Nasional Komodo, ditolak total,” ujarnya.
Sumber gambar, BBC/Tri Wahyuni
Jika pembangunan di dalam kawasan terus dilanjutkan, Venan cemas beberapa dampak bakal terjadi.
Pertama, kata dia, terkait dampak lingkungan. Pembangunan ratusan vila di bentang lahan hampir 300 hektare disebutnya akan membahayakan alam karena menghadirkan “ekologi baru”.
“Tidak main-main kan, 619 fasilitas, 448 vila, coba dibayangkan, manusia, pekerja, wisatawan yang akan tidur di situ, pasti akan sangat berdampak buruk terhadap lingkungan,” ucapnya.
Selain berpotensi mengganggu komodo di habitatnya, berdasarkan paparan penilaian dampak lingkungan (EIA) yang dilakukan Institut Pertanian Bogor (IPB) untuk PT KWE, pembangunan juga harus memperhatikan terumbu karang, padang lamun, penyu, hingga bakau.
Kedua, kata Venan, akan muncul dampak sosial terhadap masyarakat, terutama warga yang berada di dalam kawasan taman nasional.
“Meski sekarang mereka tetap ada di dalam, hidup di zona permukiman, mereka bisa disingkirkan kapan saja karena secara regulasi penduduk hidup di atas tanah negara,” ujar Venan.
Walaupun tidak ada warga yang tinggal di Pulau Padar, Venan menyebut sejumlah orang mencari nafkah dengan mendirikan warung di long beach dan pink beach—destinasi favorit di Taman Nasional Komodo.
Sumber gambar, Getty Images/Muslian
Ketiga, kata Venan, akan ada potensi dampak buruk ekonomi untuk para pelaku wisata lokal. Pembangunan di Pulau Padar disebutnya akan “merusak jantung destinasi” dan “menghancurkan narasi keberlanjutan” selama ini.
Venan menyebut dampak ini sebagai “kerugian besar”. Bukannya menciptakan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi, para pelaku wisata lainnya justru “berada dalam posisi yang sangat berisiko”.
“Akan terjadi monopoli bisnis di sana,” ujarnya.
Masalah dampak sosial ekonomi juga disebutkan dalam paparan AMDAL PT KWE. Beberapa poin menyebutkan potensi konflik antar masyarakat terkait kesempatan kerja dan berusaha wisata.
Berharap pada UNESCO
Kelompok warga, para pelaku usaha lokal, dan pegiat lingkungan kini berharap pada Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO).
Alimudin dan sejumlah kelompok warga Komodo berencana mengirim surat penolakan kepada UNESCO. Hal yang sama diwacanakan ASITA.
“Bola panasnya sekarang ada di UNESCO,” ujar Venan.
Sumber gambar, BBC/Tri Wahyuni
Pada 1991 Taman Nasional Komodo ditetapkan sebagai salah satu Situs Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO. Sejak saat itu, segala bentuk pengelolaan dan pembangunan harus memenuhi kewajiban internasional.
Satu kewajiban taman nasional adalah melindungi nilai universal luar biasa—dalam hal ini habitat alami komodo. Mereka juga diharuskan memastikan pembangunan berkelanjutan, yang terus dikaji ulang oleh UNESCO dan Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN).
Dalam dokumen Nomor WHC/25/47.COM/7B, yang diterbitkan setelah Pertemuan Komite Warisan Dunia UNESCO di Paris, Prancis, 6-16 Juli lalu, ada beberapa catatan yang mengundang kekhawatiran UNESCO.
Komite menyoroti temuan dampak-dampak negatif terhadap OUV pada kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) dalam rencana induk pembangunan infrastruktur di kawasan.
Indonesia diminta memperhatikan dampak itu sebelum mengambil keputusan yang sulit dibatalkan dan harus memastikan bahwa tidak ada pembangunan yang disetujui jika dapat merusak OUV.
UNESCO juga berpesan agar pemerintah tidak menyetujui proyek atau konsesi tanpa penilaian dampak yang memadai dan berpotensi merusak OUV.