Sumber gambar, BBC Indonesia
Undang-Undang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) ibarat musuh bersama bagi sebagian besar pekerja di Indonesia sehingga kini nasibnya berada di meja Mahkamah Konstitusi (MK).
Total ada tiga pihak yang melayangkan gugatan—dua dari kelompok buruh dan seorang pekerja—atas Pasal 7 ayat 1 yang isinya: “setiap pekerja dan pekerja mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum wajib menjadi peserta”.
Frasa wajib itu, menurut para penggugat, hanya menambah beban finansial sementara tak ada jaminan mereka bakal mendapatkan rumah. Apakah permohonan tersebut bakal dikabulkan?
‘Gaji pas-pasan, malah dipotong Tapera’
Leonardo Olefins Hamonangan belum genap satu tahun bekerja sebagai staf legal di sebuah perusahaan di Jakarta.
Pekerjaan ini akhirnya ia dapatkan setelah setahun lebih yang melelahkan menjadi pengangguran.
Ketika kalimat sederhana “Anda diterima” terlontar dari HRD perusahaan, hatinya girang bukan kepalang.
Perjuangannya seperti terbayar tuntas.
Saat ditemui di rumah orang tuanya di daerah Bekasi, Jawa Barat, pemuda 25 tahun ini kelihatan semringah. Senyum selalu mengembang di wajahnya.
Ia lalu bercerita, gajinya sebagian akan dipakai untuk membantu biaya sekolah dua adiknya yang masih kecil dan kebutuhan keluarga.
Tapi pas lagi senang-senangnya menikmati pekerjaan baru dan gaji baru, Leo membaca berita soal Tapera, program anyar pemerintah yang bakal diterapkan pada 2027 dan akan memotong gajinya sebesar 2,5%.
“Saya masih fresh graduate dan baru meniti karier. Tapera ini cuma jadi beban finansial,” keluhnya.
“Sudah dipotong pajak penghasilan, BPJS Kesehatan, potongan lain-lain, sekarang ada Tapera… gaji saya pasti berkurang banget.”
Sumber gambar, BBC Indonesia
Jadilah pada Agustus tahun lalu, dia bersama seorang temannya Ricky Donny Lamhot Marpaung mengajukan permohonan uji materil Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat ke Mahkamah Konstitusi.
Pasal yang digugat Leo di antaranya Pasal 7 ayat 1, 2, dan 3 yang bunyinya:
(1) “Setiap pekerja dan pekerja mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum wajib menjadi peserta”
(2) “Pekerja mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat 1 yang berpenghasilan di bawah upah minimum dapat menjadi peserta”
(3) “Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan 2 telah berusia paling rendah 20 tahun atau sudah kawin pada saat mendaftar”
Sambil menatap layar laptop, Leo menjabarkan mengapa pasal itu dinilai bermasalah dan bertentangan dengan pasal-pasal lainnya dalam UU Tapera.
Pertama, Leo menyebut frasa “wajib” pada ayat 1 layaknya pemaksaan yang harus diikuti oleh setiap warga negara di Indonesia.
Sementara, sampai sekarang, menurutnya, tidak ada alasan kuat yang dipaparkan pemerintah mengapa wajib menjadi peserta Tapera, padahal tak ada kepastian mendapatkan rumah.
Di sinilah dia memandang Tapera hanya menjadi beban tambahan bagi pekerja, tak lebih.
“Bayangkan seorang pekerja yang gajinya pas-pasan dipotong Tapera, artinya ada beban ekonomi yang harus ditanggung,” jelas Leo.
Lalu, pada ayat 2 frasa “dapat” sebetulnya tidak sinkron dengan Pasal 9 ayat 2 yang berbunyi:
“Pekerja mandiri sebagaimana dalam Pasal 7 ayat 1 dan 2 harus mendaftarkan dirinya sendiri kepada BP Tapera untuk menjadi peserta”.
Selanjutnya ayat 3, ada kerancuan atau ketidaktegasan persyaratan kepesertaan Tapera.
Di satu sisi, syarat wajib menjadi peserta adalah berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum, tapi ternyata ada syarat lain yang membingungkan: antara berusia 20 tahun atau berstatus sudah kawin.
Menurut Leo, ketentuan terakhir ini bisa jadi celah bagi orang-orang untuk mengulur waktu agar terlepas dari jerat Tapera.
“Ini kan rancu jadinya, apakah sudah kawin atau usia 20 tahun baru bisa jadi peserta?” tanyanya.
Sumber gambar, BBC Indonesia
Masalahnya tak cuma berhenti di situ.
Ricky Donny Lamhot Marpaung turut menggugat Pasal 72 ayat 1 huruf e dan f yang berbunyi:
“Peserta, pemberi kerja… yang melanggar ketentuan dalam pasal 7 ayat 1, pasal 9 ayat 1, pasal 12 dan seterusnya… dikenai sanksi administrasi berupa:
c. memublikasikan ketidakpatuhan pemberi kerja
d. pengenaan bunga simpanan akibat keterlambatan pengembalian
e. pembekuan izin usaha dan/atau
f. pencabutan izin usaha”.
Ricky yang sudah dua tahun lebih menjadi pelaku usaha kecil—berjualan minum es teh— merasa sanksi yang dijatuhkan betul-betul merugikan.
Sebab keuntungan dari jualan es teh tak seberapa, tapi malah mau dirampas pemerintah untuk membiayai Tapera.
“Sebagai pelaku usaha kecil jadi masalah bagi saya, karena kalau tidak mendaftar menjadi peserta Tapera dan tidak bayar iuran, usaha saya bisa berhenti,” keluh Ricky.
Saat ditemui di rumahnya pada akhir November lalu di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Ricky baru saja pulang jualan.
Bajunya basah. Keringat mengucur.
Pemuda 32 tahun tersebut bercerita hari ini dagangannya lagi ramai, sampai sore sudah laku 50 gelas.
“Tapi kalau laris banget bisa sampai 70 cup… yah bisnis kecil begini enggak pasti,” ucap Ricky sambil mengusap dahinya yang bercucuran keringat.
Sumber gambar, ISTIMEWA
Dari hasil jualan, saban bulan Ricky bisa mengantongi antara Rp2 juta-Rp3 juta. Hanya saja itu belum dipotong untuk membeli bahan baku dan lain-lain sebesar Rp500.000.
Kalau dihitung-hitung, maka omzet bersih yang didapatnya rata-rata Rp1,5 juta-Rp2 juta per bulan.
Apalagi di sekitar areanya berjualan, ada pesaing tiga pedagang es teh lagi.
“Belum lagi konsumen biasanya akan lebih memilih beli makanan ketimbang minuman… minuman juga banyak pilihan.”
Ricky dibantu sang adik berjualan dari Senin hingga Sabtu mulai jam 1 siang sampai 9 malam. Pernah kalau lagi apes, katanya, es tehnya hanya laku 20-30 gelas.
Satu gelas es tehnya dihargai Rp5.000.
“Kalau lagi apes, dapat Rp150.000 sampai Rp200.000 sehari,” ucapnya malu-malu.
Ia bilang cukup beruntung karena berjualan di dekat minimarket, tak kena pungli pula. Makanya ia betah berdagang di sana.
Namun kini, pikirannya jadi tak keruan sejak ada Tapera. Bayang-bayang gerobaknya bakal disita pemerintah terus menghantui.
Jika berpijak pada Peraturan Pemerintah tentang Tapera, pelaku usaha seperti Ricky wajib membayar penuh iuran peserta sebesar 3%.
“Saya merasa kayak dipaksa, enggak ada alternatif. Ikut harus bayar, enggak ikut kena sanksi,” keluhnya.
“Potongan 3% itu besar buat saya yang belum dapat pekerjaan tetap.”
Mengapa mayoritas pekerja menolak Tapera?
Direktur Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Yusuf Wibisono, menyebut keluhan, keberatan, bahkan penolakan dari para pekerja dan pelaku usaha kecil seperti Leo dan Ricky merupakan hal yang sangat wajar.
Sebab para pekerja dan pengusaha sudah dibebani dengan potongan yang banyak untuk berbagai alasan.
Mulai dari potongan PPh 21, iuran jaminan kesehatan, iuran jaminan ketenagakerjaan yaitu jaminan hari tua, jaminan kematian, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan pensiun hingga cadangan untuk pesangon.
“Tambahan potongan Tapera ini akan semakin memberatkan pekerja dan pengusaha,” ujarnya kepada BBC News Indonesia.
Sumber gambar, ANTARA FOTO
Pemilihan waktu atas pemberlakuan keputusan ini juga sangat buruk, katanya.
Setelah UU Cipta Kerja lahir, kenaikan upah buruh sangat rendah malah tak mampu mengimbangi inflasi. Akibatnya daya beli dan kesejahteraan masyarakat menurun dalam empat tahun terakhir.
Kehadiran Tapera, menurut Yusuf, jadi semakin menekan daya beli pekerja yang sudah lemah. Bisa dibilang, Tapera cuma menambah beban.
Selain itu, tata kelola dana publik oleh pemerintah selama ini amburadul sehingga kepercayaan publik rendah.
Ia berkaca dari pengalaman program serupa sebelumnya, Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Bapertarum).
“Tidak sedikit peserta Bapertarum yang setelah pensiun kesulitan untuk mengambil dana tabungan mereka,” jelasnya.
“Bahkan dalam beberapa tahun terakhir publik melihat terbongkarnya kasus-kasus mega korupsi dalam pengelolaan dana publik hingga triliunan di Jiwasraya, Asabri, dan Taspen,” paparnya.
Namun alasan utama masyarakat bersikeras menolak Tapera, menurutnya, karena kebutuhan terhadap pembiayaan perumahan tidak dialami semua pekerja.
Sebagian besar masyarakat atau sekitar 82% sudah terkategori memiliki rumah sendiri. Hanya 18% keluarga Indonesia yang terkategori belum punya rumah.
Pekerja yang telah mempunyai rumah ini tentu saja merasa dirugikan jika diwajibkan membayar iuran dalam waktu panjang.
“Dan menghadapi ketidakpastian tentang jumlah dana yang akan mereka terima di masa depan,” imbuhnya.
Rumah apa yang didapat dari Tapera?
Bicara soal penyediaan perumahan, pengamat properti Anton Sitorus, berkata hal itu sebetulnya menjadi tanggung jawab negara yang tertuang dalam UUD 1945.
Karenanya dia tidak mengerti mengapa di UU Nomor 4 Tahun 2016 menyebutkan Tapera dikelola dengan berasaskan kegotongroyongan.
Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti dari gotong royong adalah gerakan bekerja bersama-sama, dengan tujuan mencapai suatu hasil yang diinginkan.
Definisi gotong royong dalam konteks budaya Indonesia juga tidak memuat kata “wajib”.
Sumber gambar, BBC Indonesia
Kalau memakai konsep itu, maka pemerintah semestinya tidak memaksa masyarakat untuk urunan membayar iuran.
“Negara itu hadir untuk menjadi enabler dan developer menyediakan perumahan. Bukan bertugas mengatur masyarakat bergotong royong menyediakan rumah buat kebutuhan rakyat sendiri,” tegasnya.
“Kalau masyarakat disuruh gotong royong, urunan untuk mendapatkan rumah sendiri, apa gunanya negara?” tanya Anton.
Jehansyah Siregar, ahli tata kota dan permukiman dari Institut Teknologi Bandung (ITB), sependapat.
Ia bahkan bilang jika memakai hitungan-hitungan sederhana, besaran potongan iuran Tapera yang wajib dibayar pekerja swasta 2,5% dan pekerja mandiri 3% tidak bakalan cukup membeli rumah yang layak dengan harga pasaran meskipun sudah dikumpulkan selama 20 tahun.
Sebagai gambaran harga rumah subsidi di Jabodetabek berdasarkan Keputusan Menteri PUPR Nomor 689/KPT/2023 sebesar Rp181 juta dan mulai 2024 naik menjadi Rp185 juta.
Sedangkan uang hasil tabungan Tapera selama 20 tahun hanya terkumpul sekitar Rp43 juta.
“Secara rasional enggak logis dengan nilai potongan kecil, bisa memiliki rumah,” imbuhnya.
Itu mengapa Jehansyah dan Anton hakulyakin kualitas rumah Tapera takkan jauh berbeda dengan rumah subsidi.
Sumber gambar, BBC Indonesia
Hal ini dikuatkan dengan Pasal 27 UU Tapera yang menyebutkan, peserta yang mendapatkan pembiayaan perumahan ialah mereka yang tergolong masyarakat berpenghasilan rendah.
Berpijak pada Keputusan Menteri PUPR Nomor 22/KPTS/M/2023, masyarakat berpenghasilan rendah adalah masyarakat dengan penghasilan maksimal senilai Rp7 juta untuk yang belum kawin dan maksimal senilai Rp8 juta bagi yang sudah kawin.
“Ya pasti [rumah subsidi], kan yang dapat MBR, masyarakat berpenghasilan rendah,” tegas Anton.
“Ada subsidi uang muka, subsidi suku bunga… semua hitung-hitungannya saya yakin memakai konsep subsidi.”
Bagaimana skema pembiayaan rumah Tapera?
Tapera adalah program pemerintah untuk membantu masyarakat memiliki rumah layak huni dan terjangkau. Caranya, menghimpun duit dari seluruh pekerja dengan memotong gaji mereka setiap bulan.
Sesuai amanat UU Nomor 4 Tahun 2016, Badan Pengelola (BP) Tapera dibentuk dan ditugaskan untuk mengelola uang tersebut dan menyediakan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk pembiayaan perumahan.
Harapannya, rumah Tapera bisa mengatasi angka backlog atau kesenjangan kepemilikan rumah di Indonesia.
Sumber gambar, ANTARA FOTO
Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi (Susenas) BPS 2024, angka backlog perumahan di Indonesia mengalami penurunan dari 10,51 juta unit pada 2022 menjadi 9,9 juta unit pada 2023. Meskipun terjadi penurunan, angka 9 juta unit masih menunjukkan kebutuhan perumahan yang sangat besar dan mendesak.
Menjawab pertanyaan berbagai kalangan soal mengapa pekerja harus “gotong royong” menyisihkan gajinya untuk program Tapera, Komisioner BP Tapera Heru Pudyo Nugroho berkata hal itu sebagai bentuk saling menolong antarpeserta.
“Yang mampu atau berlebih, yang disebut penabung mulia, membantu pihak yang lebih membutuhkan,” tutur Heru dalam jawaban tertulis kepada BBC News Indonesia, Rabu (26/02).
Namun, dia menegaskan, kepesertaan Tapera saat ini masih sebatas pegawai negeri sipil yang merupakan peralihan dari keanggotaan Bapertarum-PNS yakni mencapai 4,2 juta orang.
BP Tapera juga hingga kini belum melakukan pungutan iuran lantaran peraturan turunannya belum rampung.
Mengacu pada PP Nomor 21 Tahun 2024, regulasi Tapera untuk pekerja yang menerima upah yang bersumber dari APBN/APBD akan diatur oleh Menteri Keuangan berkoordinasi dengan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara.
Sementara kepesertaan Tapera untuk pekerja atau buruh BUMN/BUMD/BUMDes serta pekerja swasta bakal diatur oleh Menteri Tenaga Kerja.
Adapun BP Tapera menyusun peraturan untuk kepesertaan pekerja mandiri.
“Pekerja mandiri kami usulkan terlebih dulu dalam penerapan kepesertaan Tapera karena regulasinya disusun oleh BP Tapera,” papar Heru.
Selain itu, sambungnya, BP Tapera juga masih menunggu proses uji materi yang berjalan di Mahkamah Konstitusi terkait syarat “wajib” bagi pekerja di Indonesia.
Sumber gambar, ANTARA FOTO
Dalam jawaban tertulis kepada BBC News Indonesia, Heru Pudyo mengakui sekaligus membenarkan penerima rumah Tapera adalah masyarakat berpenghasilan rendah dengan penghasilan maksimal senilai Rp7 juta untuk yang belum kawin dan maksimal senilai Rp8 juta bagi yang sudah kawin, serta belum memiliki rumah.
Sedangkan pekerja yang sudah mempunyai rumah dan tidak termasuk kategori masyarakat berpenghasilan rendah “tak dapat mengajukan manfaat tersebut”.
“Kami sebutnya penabung mulia. Para penabung mulia ini nantinya akan mendapatkan pengembalian tabungannya beserta hasil pemupukannya pada saat kepesertaan berakhir,” jelas Heru.
“Saat ini tengah dikembangkan perluasaan manfaat lainnya bagi peserta penabung mulia untuk meningkatkan benefit.”
Bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang ingin mengajukan pembiayaan perumahan Tapera, Heru bilang mereka tidak harus menabung sebanyak nilai rumah yang akan dibutuhkan.
Sebab kalau memakai hitungan sederhana begitu pasti tidak akan pernah bisa mengajukan rumah Tapera, akunya.
“Bayangkan tabungan peserta 3% dari penghasilan Rp4 juta senilai Rp120.000 per bulan. Kalau dikumpulkan hingga 20 tahun hanya dapat Rp28,8 juta. Pastinya enggak akan masuk perhitungan mengajukan rumah Tapera,” kata Heru.
Itu mengapa, BP Tapera merancang skema pembiayaan sendiri.
Pertama-tama, mereka harus menjadi peserta minimal selama 12 bulan dan menabung secara rutin.
Sumber gambar, BBC Indonesia
Berikutnya, BP Tapera menetapkan harga rumah tapak subsidi yang bakal dihuni berdasarkan Keputusan Menteri PUPR Nomor 689 Tahun 2023, dengan rincian:
Zona 1: Jawa (kecuali jabodetabek) dan Sumatera (kecuali Kepulauan Riau, Bangka Belitung, dan Kepulauan Mentawai) : Rp166 juta.
Zona 2: Kalimantan (kecuali kabupaten Murung Raya dan Kabupaten Mahakam Hulu): Rp182 juta.
Zona 3: Sulawesi, Bangka Belitung, Kepulauan Mentawai, dan Kepulauan Riau (kecuali kepulauan Anambas) : Rp173 juta.
Zona 4: Maluku, Maluku Utara, Bali, Nusa Tenggara, Jabodetabek, dan Kepulauan Anambas, Kabupaten Murung Raya, Kabupaten Mahakam Hulu: Rp185 juta.
Zona 5: Papua, Papua Barat, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan, Papua Barat Daya, dan Papua Selatan: Rp240 juta.
Ketiga, uang muka ditetapkan hanya 1%, tenor atau lama pinjaman bisa sampai 30 tahun, dan suku bunga flat 5%.
Heru memberikan contoh ilustrasi, apabila harga rumah tapak senilai Rp175 juta berikut uang muka 1%, maka beban angsuran yang diterima oleh peserta dalam waktu 20 tahun dengan suku bunga flat 5% adalah Rp1,1 juta.
Cicilan itu, menurut dia, dianggap lebih ringan jika dibandingkan menggunakan skema KPR komersial—yang suku bunganya di atas 10% dan bersifat floating.
Keuntungan lain di Tapera, klaim Heru, di akhir pelunasan rumah subsidi Tapera pada 20 tahun mendatang, para peserta akan memperoleh pengembalian tabungannya ditambah imbal hasil.
“Selain itu perlu diingat bahwa dana pengelolaan tabungan peserta terpisah dari dana penyaluran manfaat pembiayaan perumahan. Nominal tabungan para peserta tidak diganggu gugat, justru memperoleh manfaat dari pengembangan tabungannya,” paparnya.
Sumber gambar, BBC Indonesia
Untuk bentuk rumah Tapera, Heru bilang sebelum diakadkan, rumah subsidi tersebut harus sudah dibangun dan siap huni, sehingga sangat jelas letak dan wujudnya.
Sedangkan lokasinya, akan disesuaikan dengan wilayah yang diinginkan.
Yang pasti, BP Tapera berpegang pada Keputusan Menteri PUPR Nomor 689 Tahun 2023 tentang batasan luas tanah, luas lantai, dan batasan harga jual rumah umum tapak, serta besaran subsidi bantuan uang muka perumahan.
“BP Tapera akan memantau dan mengevaluasi para pengembang dalam hal kualitas rumah yang diakadkan ke masyarakat. Sesuai peraturan, pengembang wajib membangun rumah layak huni yang diperiksa kualitasnya oleh pemda melalui penerbitan Sertifikat Layak Fungsi (SLF),” ujar Heru.
Sejak 2021, BP Tapera menyebut telah bekerja sama dengan mitra bank penyalur. Pada 2025, terdapat 39 mitra perbankan yang menjadi penyalur serta 22 asosiasi pengembang yang telah menyiapkan hunian.
Khusus dari pembiayaan Tapera, BP Tapera mengklaim sejak 2021 telah menyediakan 18.579 unit rumah senilai Rp2.62 triliun untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan kategori PNS.
Kualitas rumah subsidi: ‘Atap bocor, tembok keropos’
Untuk mengetahui seperti apa kualitas rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah yang dibangun pemerintah, BBC News Indonesia menyambangi dua perumahan yang berada di Cikarang dan Cibarusah, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Perumahan subsidi di Cikarang ini, menurut penuturan seorang penghuninya Hari Fitriani, pernah didatangi mantan Presiden Joko Widodo pada 2017 silam.
Waktu itu, seingatnya, warga berbondong-bondong pergi demi melihat orang nomor satu di Indonesia.
Pascakunjungan tersebut, perumahan seluas hampir 100 hektar ini sempat dikenal dengan sebutan perumahan Jokowi.
“Ramai banget pas Pak Jokowi ke sini dan kami senanglah didatangi presiden,” kenangnya.
Sumber gambar, BBC Indonesia
Perempuan berusia kepala tiga ini mengaku membeli rumah subsidi tipe 25 dengan luas tanah 60 meter persegi pada 2017. Ia mengaku sudah lelah ngontrak dan lagian, katanya, lokasinya dekat dengan kediaman mertua.
Dari segi hitung-hitungan biaya, juga masih masuk kantong.
Ibu empat anak ini bilang uang mukanya 0%, tenor pinjaman 15 tahun, dan cicilan per bulannya Rp890.000.
“Kalau beli tunai seingat saya Rp150 juta, tapi saya enggak mungkin beli cash (tunai),” tutur perempuan berhijab ini ketika ditemui di rumahnya pada awal Oktober 2024 lalu.
Hari dan suaminya akhirnya tergiur.
Tiga bulan mengurus surat-surat ke bank, permohonan mereka dikabulkan.
Tapi keluarga ini tak langsung menempati rumah barunya.
“Masih sepi di sini… enggak ada listrik, PDAM juga belum menjangkau rumah saya, makanya enggak ditempati dulu setahun,” ungkapnya.
Sumber gambar, BBC Indonesia
Pada 2018, Hari dan keluarganya pindah ke perumahan itu setelah aliran listrik tersambung dan air bersih dari PAM mengalir ke rumah.
Tetapi, ada pengalaman tak terlupakan ketika pindahan.
“Saya ingat malam sebelum kami pindah, hujan deras… dan pas kami masuk, genangan air di mana-mana hahaha,” tuturnya sembari tertawa.
“Di kamar, ruang tengah, hampir setiap ruangan bocor.”
Detik itu juga, ia sadar seperti apa kualitas bangunan rumah subsidi.
Meminjam keluhan orang-orang kepadanya, “rumah subsidi bukan siap huni tapi siap renovasi,” kelakarnya.
Dari situ sang suami merenovasi seadanya: bikin talang air di atap rumah dan menutup area belakang untuk dijadikan dapur.
Sumber gambar, BBC Indonesia
Namun, secara keseluruhan bangunan rumah subsidi Hari tidak ada yang berubah: terdapat dua kamar tidur, ruang tengah, dapur, dan kamar mandi.
Cat dinding warna putih sudah nyaris pudar, beberapa sisi retak dan terkikis cukup dalam.
Pintu masuk yang terbuat dari triplek koyak di sudut-sudut tertentu.
“Baru lima tahun ditempati, temboknya sudah keropos nih,” keluh Hari.
“Kusen pintu dan jendela karena kena hujan jadi lapuk. Kalau ada biaya pengen bikin kanopi di halaman, jadi air hujan enggak langsung kena.”
Di sela-sela berbincang, perempuan asal Pemalang, Jawa Tengah, ini juga menunjukkan bercak coklat di ujung-ujung dinding dan plafon rumahnya—tanda rembesan air hujan yang bocor dari atap.
Problem lain, dua tahun pertama tinggal di perumahan subsidi ini, air dari PDAM berbau busuk dan sering kali tak mengalir apalagi kalau lagi musim kemarau.
Sumber gambar, BBC Indonesia
Makanya Hari terpaksa beli air galon untuk keperluan mandi dan masak.
“Pernah di tahun 2019, satu minggu air PAM kualitasnya buruk… kayak air got, warga protes karena ada cacing, jentik-jentik nyamuk. Syukur ada perbaikan, makin kesini [makin] bersih,” kenangnya.
Soal keamanan, jangan ditanya, pasti ada saja warga yang kemalingan motor. Kabel listrik dari rumah yang kosong juga raib.
Dan karena perumahan ini tak sepenuhnya berpenghuni, beberapa rumah dibiarkan tak terawat. Alang-alang dan semak belukar seakan melumat bangunan itu pelan-pelan.
Belajar dari kejadian tersebut, warga berinisiatif mempekerjakan satpam dan memasang CCTV.
Meski kondisinya begitu, ibu rumah tangga ini mengaku betah-betah saja tinggal di sini karena biaya hidup masih terbilang murah ketimbang di kota.
BBC News Indonesia telah berulang kali menghubungi pihak pengembang perumahan, tapi hingga berita ini ditulis, tak ada tanggapan.
‘Kami pakai lilin untuk penerangan’
Di Cibarusah, Bekasi, Jawa Barat, pengalaman Arbas Batubara tinggal di rumah subsidi tak kalah mengenaskan.
Pria 57 tahun ini beli dan mulai menetap di sana sejak 2019.
Sama seperti Hari, bapak tiga anak ini tak merasa nyaman ngontrak. Ia ingin punya rumah miliknya sendiri.
Seorang temannya yang bekerja sebagai marketing perumahan lantas menawarkan rumah subsidi di sini dengan harga tunai sekitar Rp150 juta.
Ia langsung disodorkan selembar brosur bergambar rumah beserta denahnya.
“Saya lihat-lihat boleh juga rumahnya,” katanya kepada BBC News Indonesia saat berkunjung ke kediamannya awal Oktober 2024.
Sumber gambar, BBC Indonesia
Pria yang dulu bekerja sebagai sopir truk molen ini mengaku kala itu tak punya banyak pilihan perumahan karena keuangannya juga terbatas.
Rumah subsidi, baginya cukup masuk akal sebab uang muka 0%, tenor pinjaman 20 tahun, dan cicilan per bulannya sekarang Rp1 juta.
Mula-mula menghuni perumahan ini, kenangnya, cuma ada segelintir orang saja, kebanyakan justru kuli bangunan yang sedang membangun rumah.
Sialnya, pertama kali menginjakkan kaki di rumah anyar tersebut tak ada listrik dan air bersih.
“Kami pakai lilin untuk penerangan kalau malam,” ungkap Arbas. “Air bersih saya ambil dari kali dekat sini atau sumur yang biasa dipakai kuli.”
“Kasihan anak-anak saya kalau mau sekolah seragamnya tidak disetrika,” akunya.
Sumber gambar, BBC Indonesia
Pengalaman tak mengenakkan tersebut berlangsung beberapa minggu, itu pun setelah beberapa penghuni protes pada pengembang.
Oleh pengembang, rumah-rumah warga dipasang kabel listrik yang dialirkan dari gudang penyimpanan barang-barang bangunan mereka.
Belakangan listrik dari PLN baru dipasang sekitar awal 2023.
Sementara untuk air, akhirnya dibuatkan sumur bor yang dipasang mesin pompa.
“Agak kecewa juga sih, dulu dijanjikan ada air PAM, listrik, tapi saya enggak memastikan.”
Rumah subsidi Arbas tipe 28 dengan luas tanah 90 meter persegi karena membeli tanah hook. Kendati demikian, dia tak banyak mengubah bentuk aslinya.
Sumber gambar, BBC Indonesia
Total ada dua kamar tidur, ruang tengah, kamar mandi, dan dapur yang jaraknya saling berdekatan.
Untuk belakang rumah—dapur yang tadinya terbuka—akhirnya ditutup.
“Pintunya masih asli, triplek, makanya kualitasnya begitulah, apa adanya.”
Seperti halnya yang dialami Hari, atap rumah Arbas juga bocor kalau hujan.
“Pernah sampai kebanjiran di dalam,” imbuhnya. “Untungnya tembok masih aman meski sudah ditinggali lima tahun.”
‘Sumur kami kering, tak ada air’
Tetangga Arbas, Veronica Aritonang, juga mengeluhkan kondisi air.
Sebagaimana para penghuni rumah subsidi lainnya, ibu beranak satu ini kepincut gara-gara tawaran uang muka 0%, tenor pinjaman sampai 20 tahun, dan cicilan Rp1,1 juta per bulan.
Ia bersama suami pindah ke perumahan tersebut tepatnya pada Agustus 2023.
Baru setahun ditinggali, bangunannya masih tampak baru dan kinclong. Temboknya mulus, lantainya mengkilap, kusen pintu masih terawat baik.
Sumber gambar, BBC Indonesia
Tapi, ada satu yang bikin Vero frustasi: pasokan air.
Sumur buatan pengembang yang tertanam di belakang rumahnya, kering kerontang.
“Dulu marketingnya manis-manis ngomongnya, semuanya sudah ada. Tapi kami enggak cek sumur itu, ada airnya atau enggak,” katanya kesal.
“Pas pindah, enggak ada airnya, saya kecewa banget.”
Sumber gambar, BBC Indonesia
Sebagai gambaran air sumur di perumahan subsidi berasal dari sumur bor yang kedalamannya bervariasi, biasanya antara 8-10 meter.
Masalahnya dari deretan rumah Vero, cuma dia yang tidak kedapatan air. Sehingga tak jarang ia harus menyedot air dari tetangga sebelah dengan selang.
“Cuma musim hujan, ada airnya. Kalau enggak hujan, numpang sama tetangga.”
BBC News Indonesia telah berulang kali menghubungi pihak pengembang perumahan, tapi hingga berita ini diterbitkan belum mendapat respons.
Mengapa rumah untuk rakyat kualitasnya jelek?
Sekretaris Jenderal DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman (Apersi), Daniel Djumali, mengatakan masalah utama untuk penyediaan rumah ada pada mahalnya harga tanah.
Harga tanah di perkotaan, katanya, sudah tidak realistis untuk membangun perumahan rakyat.
“Harga rumah Rp180 juta kalau di kota besar, sudah pasti enggak mungkin. Paling minggir sedikit ke daerah Cikande, Banten atau Cikarang, Kabupaten Bekasi… jauh dari pusat kota memang,” jelas Daniel kepada BBC News Indonesia.
Sumber gambar, BBC Indonesia
Menurut laporan Marketbeat Greater Jakarta Landed Residential H2 2023 yang dikeluarkan oleh Cushman & Wakefield, harga tanah di Jakarta rata-rata saat ini per meter persegi tembus Rp15,6 juta.
Di Tangerang mencapai Rp14 juta per meter persegi, kemudian Bekasi Rp10,7 juta per meter persegi, di Bogor dan Depok kira-kira Rp8,2 juta per meter persegi.
Dengan demikian, harga rata-rata di Jabodetabek sekitar Rp12,4 juta per meter persegi atau meningkat 16% year-on-year.
Komponen lain yang bikin mahal harga rumah, menurutnya, perizinan.
Di Indonesia, klaim Daniel, setidaknya ada 29 syarat dan ketentuan untuk perumahan yang prosesnya cukup sulit dan memakan biaya. Semisal izin lingkungan, izin pemanfaatan lahan, izin lokasi, dan analisis dampak lingkungan.
Sumber gambar, BBC Indonesia
Makin banyak izin, ongkosnya juga semakin banyak dan bisa menggerus keuntungan yang diperoleh pengembang rumah bersubsidi.
Khusus soal tanah, harus dipastikan betul-betul statusnya clean dan clear: bukan lahan kena sawah dilindungi, bukan lahan industri, bukan lahan pertanian, dan tidak bersengketa.
“Setelah itu urus izin pemasangan listrik, air, siapkan sarana prasarananya.”
“Dan kadang-kadang ada pengembang yang enggak berhitung, kalau mau bangun rumah mesti paham tanahnya cocok apa enggak…”
“Sekarang ada yang asal bangun, karena uber target.”
Daniel bilang, gara-gara kejar target itulah, banyak rumah subsidi yang kualitasnya kurang bagus.
Apa saja PR pemerintah menyediakan rumah layak?
Yusuf Wibisono dari IDEAS bilang kalau pemerintah benar-benar ingin menyediakan perumahan yang layak untuk rakyat, tidak cukup hanya merancang skema pembiayaan.
Setidaknya ada lima hal yang patut dikerjakan.
Pertama, mengembalikan Kementerian Perumahan Rakyat dan hal ini sudah dilakukan Presiden Prabowo Subianto.
Sumber gambar, BBC Indonesia
Sejak Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat digabung, pembangunan perumahan rakyat cenderung terabaikan, kalah dari gemuruh pembangunan infrastruktur di era Jokowi.
Alokasi anggaran untuk pembangunan perumahan kerap minimalis, katanya. Termasuk untuk subsidi perumahan rakyat yang hanya di kisaran 250.000 unit per tahun.
Kedua, komitmen untuk penyediaan tanah dan menghapus biaya tinggi dalam pembangunan rumah rakyat. Terutama di daerah perkotaan yang lahannya sudah terbatas.
“Dengan pemberian kemudahan dan insentif, biaya pembangunan rumah rakyat bisa ditekan,” paparnya.
Ketiga, komitmen untuk meminimalkan biaya produksi dan harga jual rumah rakyat harus diikuti dengan komitmen meningkatkan daya beli masyarakat.
Misalnya memberlakukan kebijakan subsidi, pembebasan PPN, hingga kemudahan akses pembiayaan perbankan.
Sumber gambar, BBC Indonesia
Keempat, revitalisasi BUMN untuk akselerasi pembangunan perumahan rakyat utamanya Perumnas, serta PLN dan PDAM demi menjamin pasokan listrik dan air bersih.
“Di saat yang sama dibutuhkan dukungan pengembang swasta terutama melalui kewajiban pembangunan rumah murah.”
Terakhir, mendorong efisiensi perbankan dan menekan suku bunga KPR perbankan nasional.
Suku bunga KPR di Indonesia saat ini masih sangat tinggi dibandingkan negara lain di kawasan. Bila suku bunga KPR di Singapura hanya di kisaran 3%, di Malaysia 5%, di Thailand 6%, di Indonesia ada di kisaran 10%.
“Dengan suku bunga KPR tinggi dan umumnya bersifat floating, maka peminjam KPR selain dibebani biaya yang sangat mahal juga beresiko tinggi bila terjadi kenaikan suku bunga di masa depan,” jelasnya.
“Kredit rumah yang sangat mahal dan beresiko tinggi, inilah yang menjadi salah satu penyebab utama tingginya angka backlog.”
Apakah Tapera layak dipertahankan?
Para penggugat Tapera seperti Leo dan Ricky berharap Mahkamah Konstitusi mengabulkan seluruh permohonan mereka, yang artinya menghapus frasa wajib yang ada dalam undang-undang tersebut.
“Konsepnya dari wajib menjadi sukarela bagi pekerja swasta dan pekerja mandiri,” ujar Leo.
“Dan jangan ada sanksi,” samber Ricky.
Sumber gambar, DETIK.COM
Dua pemuda ini juga merasa rumah yang ditawarkan dalam program Tapera tidak terlalu urgen untuk sekarang. Toh kalau pun ingin punya rumah, mereka berharap kualitasnya bisa lebih baik.
“Tidak harus mewah, yang layak aja… apalagi untuk keluarga minimal dua lantai,” kata Ricky membayangkan.
Adapun pengamat properti Anton Sitorus dan Jehansyah Siregar menilai lembaga pemerintah seperti Tapera sebaiknya ditinjau ulang.
Jika tujuannya hanya mengurusi pembiayaan perumahan, sementara persoalan-persoalan lain tidak diberesin, maka akan sia-sia.
“Bicara perumahan itu, konsep pertamanya perumahannya dulu, baru skema pembiayaan. Jangan terbalik-balik… dengan begitu mengembalikan peran pemerintah melakukan intervensi yang efektif,” tukas Jehansyah.
“Mulai dari sumber daya, tanah, infrastruktur, terakhir pembiayaan.”