Sumber gambar, NurPhoto/Getty Images
Badan Pusat Statistik dilaporkan ke dua lembaga di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Angka pertumbuhan ekonomi yang dipublikasikan BPS dianggap tak sesuai realitas di lapangan dan berpotensi merugikan masyarakat.
Yang melaporkan BPS ke PBB adalah lembaga riset Center of Economic and Law Studies (Celios) yang berbasis di Jakarta.
Celios menyebut data statistik yang keliru bisa memicu pengurangan bantuan sosial dan subsidi energi, bahkan memberi tekanan ekonomi lebih besar kepada orang-orang di kelompok ekonomi kelas menengah.
“Katanya evidence-based policy (kebijakan berbasis data)? Tapi kalau datanya berantakan, ya kebijakannya pasti berantakan,” kata Bhima Yudistira, periset senior di Celios.
BPS, pada 5 Agustus lalu, merilis data yang menyatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia selama April-Juni sebesar 5,12%. Angka itu naik dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar 4,87%.
Salah satu anomalinya, menurut pakar, adalah periode Januari-Maret 2025 yang memiliki momen Ramadan dan Idulfitri—yang biasanya menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi nasional.
Ekonom mendesak BPS untuk menjelaskan metodologi dan indikator yang mereka gunakan. Tujuannya, agar kepercayaan investor, baik dalam maupun luar negeri, tidak anjlok.
Menurut perhitungan sejumlah ekonom, pertumbuhan ekonomi nasional pada selama April-Juni lalu tidak lebih dari 4,8%
Namun pemerintah menyatakan percaya pada data BPS. Sementara BPS membuat klaim perhitungan mereka sudah sesuai standar internasional.
Apa yang diketahui terkait polemik data BPS sejauh ini?
Sumber gambar, Detikcom
Menapa data BPS diragukan?
Celios mencatat sejumlah kejanggalan dalam laporan BPS soal pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal II.
Pertama, menurut lembaga riset ini, tidak ada momen yang bisa menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi selama April-Juni silam.
Secara historis, menurut data mereka, pertumbuhan ekonomi tertinggi Indonesia terjadi pada kuartal yang bertepatan dengan Ramadan dan Idulfitri.
Pada dua momen itu, pertumbuhan ekonomi disebut tergerek peningkatan konsumsi rumah tangga berkat tunjangan hari raya.
Kejanggalan kedua, menurut Celios, adalah pertumbuhan industri yang tidak selaras dengan Purchasing Managers’ Index (PMI).
PMI merupakan indikator yang dibuat dari survei bulanan kepada manajer pembelian di sektor manufaktur. Tujuannya, mengukur kondisi bisnis seperti pesanan baru, jumlah produksi, tenaga kerja, persediaan, dan waktu pengiriman.
Merujuk data BPS, industri pengolahan tumbuh 5,68% pada kuartal II 2025.
Namun Celios mencatat, PMI manufaktur Indonesia sepanjang April-Juni lalu terkontraksi di bawah 50 poin. Jumlah pemutusan hubungan kerja menurut mereka juga meningkat 32% sepanjang semester I 2025.
“Artinya perusahaan tidak melakukan ekspansi secara signifikan,” kata ekonom di Ceilos, Nailul Huda, dalam pemaparannya 5 Agustus lalu.
Bhima Yudhistira menambahkan, peningkatan jumlah PHK bahkan diumumkan sendiri oleh Kementerian Ketenagakerjaan. Pemutusan hubungan kerja itu terjadi di industri yang digadang-gadang pemerintah menjadi motor ekonomi, seperti hilirisasi nikel.
“Jadi ada diskoneksi antara data BPS dan fakta yang terjadi di industri,” kata Bhima.
Ketiga, Celios menyebut konsumsi rumah tangga tidak sejalan dengan kontribusinya terhadap pendapatan domestik bruto (PDB).
BPS mencatat konsumsi rumah tangga tumbuh 4,97% dan menyumbang lebih dari 54% terhadap PBD Indonesia.
Namun, Celios meragukan data itu. Alasan mereka, indeks keyakinan konsumen Indonesia justru melemah dari angka 121,1 pada Maret 2025 menjadi 117,8 pada Juni 2025—yang menandakan penurunan daya beli masyarakat.
Kenapa CELIOS melaporkan BPS ke PBB? Adakah kasus serupa di negara lain?
Celios menyurati dua badan statistik di bawah PBB, yakni United Nations Statistics Division (UNSD) dan United Nations Statistical Commission. Surat mereka layangkan pada 8 Agustus lalu.
Celios meminta dua badan itu mengaudit data pertumbuhan ekonomi kuartal II 2025 yang dirilis BPS.
Permintaan itu, menurut Bhima Yudhistira, penting untuk menjaga kredibilitas data BPS yang kerap digunakan pengusaha, peneliti, dan masyarakat secara umum.
“PBB seharusnya datang dan mengecek, bertemu BPS dan pemerintah untuk menginvestigasi,” ujar Bhima.
“Harapan kami, agar BPS transparan,” kata Bhima kepada BBC News Indonesia.
Menurut Bhima, data pertumbuhan ekonomi yang dirilis BPS “menyisakan banyak pertanyaan” bagi para ekonom, terutama soal angka investasi, konsumsi rumah tangga, dan investasi fisik sektor industri yang melonjak.
“Poin kami adalah membuka mata publik bahwa data BPS ada yang mengawasi. Salah satunya PBB,” kata Bhima.
Sumber gambar, Antara Foto/Indrianto Eko Suwarso
Pengaduan terhadap badan statistik ke PBB disebut Bhima pernah terjadi di beberapa negara. Dia merujuk peristiwa sembilan tahun lalu tatkala badan statistik di bawah PBB mengaudit Malaysia.
Ketika itu, badan statistik Malaysia membuat klaim tentang angka kemiskinan yang menurun drastis, dari 49% pada 1970 menjadi 0,4% pada 2016.
Pelapor Khusus PBB kala itu, Philip Alston, menemukan bahwa Malaysia masih menggunakan metode lawas untuk menentukan angka kemiskinan.
Sejumlah analis independen di Malaysia saat itu menghitung, angka kemiskinan seharusnya 15%, bukan 0,4%.
“Malaysia akhirnya mengakui [data tidak akurat], tapi mereka didatangi dulu oleh PBB,” ujar Bhima.
Apa dampak buruk data BPS tidak sesuai realitas?
Bhima Yudhistira menilai anomali pada data pertumbuhan ekonomi BPS bisa memicu efek domino yang besar.
Dampak langsung bagi masyarakat, kata dia, dapat berupa pemangkasan bantuan sosial (bansos) dan subsidi energi, seperti bahan bakar minyak atau gas elpiji.
“Kalau pemerintah gunakan data BPS yang tidak akurat, pertumbuhan ekonomi dipersepsikan baik. Maka program-program sosial akan dipangkas,” ujar Bhima.
Kelompok ekonomi menengah diprediksi Bhima juga bakal tertekan dengan angka pertumbuhan ekonomi 5,12%. Penyebabnya, mereka dipersepsikan dapat menanggung beban pajak yang lebih besar.
“Pemerintah berasumsi masyarakat sekarang harus didorong kepatuhan dan peningkatan pajaknya. Akhirnya ini akan membuat persepsi yang salah,” kata Bhima.
“Justru masyarakat sekarang harus dikasih keringanan pajak,” ucapnya.
Asian Development Bank, April lalu, menyatakan kelas menengah merupakan tulang punggung pendorong perekonomian Indonesia, tapi angkanya justru terus menurun sejak 2019.
BPS mencatat kelas menengah mencapai 57,33 juta pada 2019, tapi turun menjadi 47,85 juta pada 2024.
Lebih lanjut, Bhima menyebut pelaku industri lintas sektor juga berpotensi terseret anomali data BPS.
Pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), misalnya, berpotensi kehilangan stimulus ekonomi dari pemerintah, seperti keringanan pajak, karena pertumbuhan ekonomi dipersepsikan membaik.
Sumber gambar, Antara Foto/Sulthony Hasanuddin
Tak hanya itu, pelaku UMKM disebut Bhima juga berpotensi kecele jika salah membaca kondisi riil di masyarakat.
Dengan mengasumsikan daya beli tinggi karena pertumbuhan ekonomi membaik, kata Bhima, pelaku UMKM bisa saja mengajukan pinjaman serta menambah stok bahan baku, tapi nyatanya daya beli masyakarakat tidak tinggi.
Potensi serupa dapat menghinggapi pemilik pabrik yang berencana memperluas usaha setelah membaca data pertumbuhan ekonomi 5,12 persen yang diterbitkan BPS.
“Udah terlanjur [mengajukan] pinjaman ke bank, tapi ternyata pasar enggak sesuai data BPS,” ujar Bhima.
Dalam jangka panjang, anomali data itu dinilai Bhima akan pula memengaruhi kepercayaan investor terhadap iklim investasi di Indonesia.
“Ini [data BPS] kan berkaitan dengan rating utang kita. Pertumbuhan ekonomi dan industri kan salah satu pertimbangan rating utang. Kalau ada data yang harus direvisi, itu akan berdampak pada trust,” pungkas Bhima.
Sumber gambar, Antara Foto/Aditya Nugroho
Ekonom Perhimpunan Bank Nasional, David Sumual, juga menyebut data pertumbuhan ekonomi yang dilansir BPS berbeda dengan indikator seperti penurunan penjualan rumah, kendaraan, dan ritel serta penurunan belanja konsumen.
Lantas, kenapa BPS masih mencatat pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dibandingkan kuartal pertama? David menduga perbedaan itu karena BPS memiliki metode dan indikator yang berbeda dengan para ekonom dan lembaga riset ekonomi.
David mencontohkan perhitungan indeks manufaktur berbasis Purchasing Managers’ Index (PMI) yang dilakukan para ekonom dan lembaga riset ekonomi. Di sisi lain, BPS berpijak pada indeks Bank Indonesia.
“Keduanya memang turun juga, tapi di lapangan kan enggak tahu. Makanya, harus dibuka secara transparan. Seperti apa cara BPS menghitung supaya tidak mengurangi kepercayaan dan kredibilitas,” kata David.
David menyebut pertumbuhan ekonomi yang dipersepsikan baik akan berdampak pada kebijakan pemerintah seperti penghapusan bansos dan sejumlah subsidi ekonomi.
“Saya masih percaya dengan kredibilitas BPS. Kalau bisa dijelaskan lebih dulu, enggak perlu berkirim surat ke PBB. Nanti jadi pertanyaan banyak pihak, termasuk investor di luar negeri… Itu kan buat nama baik kita juga sebagai bangsa kalau sampai ke PBB,” tuturnya.
Bagaimana komentar pemerintah dan BPS?
Pemerintah menyatakan tetap percaya pada BPS, meskipun data pertumbuhan ekonomi kuartal II 2025 diragukan sejumlah pihak.
Juru Bicara Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Haryo Limanseto enggan berpolemik perihal dugaan politisasi data statistik oleh pemerintah.
Haryo mengatakan, “BPS adalah lembaga negara yang punya mandat urusan statistik nasional. Pemerintah percaya kepada hasilnya, bagus atau tidak.”
“Saya enggak berkomentar soal pihak-pihak yang mempertanyakan… Berbeda itu wajar, tapi [data BPS] itu jadi patokan,” kata Haryo kepada BBC News Indonesia.
Tak berbeda pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 7 Agustus 2025 yang mengatakan, “Kami tetap percaya BPS.”
Sumber gambar, Antara Foto/Fauzan
BBC News Indonesia menghubungi Kepala BPS Amalia Widyasanti, tapi tak mendapat respons.
Amalia, pada 6 Agustus lalu, menyebut lembaganya telah berpijak pada standar internasional dalam menyusun data pertumbuhan ekonomi kuartal II 2025.
“Kan ada standar internasional. Data-data pendukungnya sudah oke,” ujar Amalia, dikutip dari Kompas.com.
Bagaimana komentar pengusaha?
Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), David Leonardi, menyebut perbedaan data pertumbuhan ekonomi memengaruhi pengusaha dalam menyusun kebijakan dan strategi bisnis.
Dia meminta polemik perbedaan data ini dapat segera dituntaskan. Apalagi, kata dia, “kondisi pasar saat ini belum sepenuhnya membaik”.
David mencontohkan penumpukan barang di gudang industri yang mencerminkan permintaan pasar yang rendah dan belum pulihnya daya beli masyarakat.
“Dengan demikian, data yang valid dan sesuai kondisi riil di lapangan menjadi kunci dalam menyusun kebijakan yang efektif,” kata David kepada BBC News Indonesia.
“Penting untuk mengidentidikasi penyebab ketidaksesuaian ini agar ke depannya dapat dilakukan mitigasi,” ucapnya.
Industri tekstil dalam negeri menjadi salah satu sektor yang paling terpukul beberapa tahun belakangan, dipicu beragam hal, mulai dari perlambatan ekonomi global hingga menjamurnya produk impor murah dari China.
Sepanjang 2024, pemerintah mencatat jumlah PHK di industri tekstil mencapai 110.000 orang.
Salah satu perusahaan yang memecat pegawai adalah raksasa tekstil Sritex yang memutus hubungan kerja dengan setidaknya 11.025 pegawai, pada periode Agustus 2024 hingga Maret 2025.
Arie Firdaus berkontribusi untuk laporan ini
