Sumber gambar, Yufengki Bria/Detikcom
Lucky Chepril Saputra Namo, seorang anggota TNI berpangkat prajurit dua di Kabupaten Nagekeo, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur tewas, diduga akibat dianiaya puluhan seniornya, 6 Agustus lalu. Kematiannya menambah panjang daftar korban tewas akibat kekerasan fisik di internal TNI.
TNI Angkatan Darat menyebut Lucky tewas dalam insiden yang menjadi bagian dari “pembinaan” tentara.
Kultur kekerasan yang dipelihara, ketidaktegasan pimpinan, dan impunitas menjadi akar munculnya berbagai kasus kematian seperti yang dialami Prada Lucky, kata sejumlah pengamat militer.
Bukan hanya proses hukum transparan terkait kasus Lucky, evaluasi menyeluruh di internal TNI disebut sejumlah anggota DPR penting dicapai agar peristiwa serupa tidak terulang.
Prada Lucky merupakan putra seorang tentara, yakni Sersan Mayor Kristian Namo, yang berdinas di Kodim 1627 Rote Ndao. Saat tewas, Lucky baru dua bulan berdinas.
Serma Kristian, ayah Lucky, sempat viral di media sosial. Dalam video yang disebarkan di internet, Kristian tampak mengamuk di Rumah Sakit Wirasakti, Kupang.
Kristian, dalam video itu, marah karena permintaan autopsinya tidak dapat dipenuhi manajemen rumah sakit. Dengan nada tinggi, Kristian mendesak keadilan atas kematian anaknya.
“Kalau tidak ada keadilan [atas kematian anak saya], Indonesia bubar,” kata Kristian.
BBC News Indonesia berbicara dengan kerabat Prada Lucky, mewawancarai sejumlah pakar dan menelisik riset akademik untuk menemukan jawaban atas pertanyaan, “bisakah kasus kekerasan di internal TNI dihentikan?”
Fakta apa saja yang sudah diketahui sejauh ini?
Polisi Militer Kodam Udayana menetapkan 20 tentara sebagai tersangka dalam kasus kematian Prada Lucky. TNI AD menyatakan, mereka telah menahan 20 tentara itu.
Salah seorang tersangka itu adalah atasan Lucky, yakni komandan peleton di Batalion Teritorial Pembangunan/834 Waka Nga Mere. Batalion teritorial pembangunan ini adalah satu dari 100 unit serupa yang baru diresmikan Presiden Prabowo Subianto, 10 Agustus lalu.
Sumber gambar, Antara Foto/Abdan Syakura
Juru Bicara TNI AD, Brigjen Wahyu Yudhayana, menyebut polisi militer menjerat para tersangka dengan sejumlah pasal berbeda, satu di antaranya Pasal 132 Kitab Hukum Pidana Militer.
Pasal itu mengatur sanksi untuk “atasan militer yang memberi izin atau kesempatan kepada personelnya untuk melakukan kekerasan terhadap sesama anggota TNI”.
Wahyu berkata, jumlah tersangka mencapai puluhan orang karena lembaganya menduga, kekerasan terhadap Lucky berlangsung dalam rentang waktu panjang —tak cuma sehari.
Selain Lucky, terdapat satu tentara lain yang juga mengalami penganiayaan dalam kegiatan yang disebut Wahyu sebagai “pembinaan” tersebut. Tentara ini disebut Wahyu “dalam kondisi sehat”.
Wahyu membuat klaim, dua tentara ini bernasib berbeda karena faktor kondisi fisik.
“Manakala kecelakaan menimpa satu prajurit, itu dihadapkan pada kondisi kesehatan dan kondisi fisik,” kata Wahyu, Senin (11/08).
Wahyu menyebut, kekerasan terhadap Lucky diduga “dilakukan dengan tangan kosong”.
Sampai berita ini dipublikasi, polisi militer belum menemukan barang bukti yang digunakan para tersangka untuk menyiksa Lucky.
Dianiaya, kabur, dijemput, lalu kembali disiksa
Panglima Kodam Udayana, Mayjen Piek Budyakto, menemui keluarga Lucky di Asrama Tentara Kuanino di Kupang, 11 Agustus lalu.
Kepada keluarga Lucky, Piek berjanji akan mengusut tuntas kasus kematian itu.
Sumber gambar, Yufengki Bria/Detikcom
Ibunda Lucky, Sepriana Paulina Mirpey, memohon kepada Piek agar para pelaku dihukum mati dan dipecat dari TNI.
Sambil menangis, Sepriana sempat berlutut di hadapan Piek, meminta kasus tersebut diselesaikan secara adil dan transparan.
“Saya seorang ibu. Tolong saya, Bapak. Ia tulang punggung saya, kebanggaan saya. Saya yang jadikan dia TNI,” kata Sepriana.
Kakak Lucky, Lusy Namo, menduga adiknya mengalami penganiayaan yang terus berulang dari para senior.
Lusy berkata, Lucky yang tak tahan dianiaya memutuskan kabur dan bersembunyi di rumah orang tua asuhnya di Nagekeo, Juli lalu. Di sana, Lucky mendapat perawatan atas luka yang dia derita.
Namun Lusy menyebut sejumlah senior Lucky menemukan keberadaan adiknya. Lucky lantas dibawa kembali ke barak.
Selama sepekan setelah dijemput ke barak, Lusy bilang adiknya kembali disiksa.
“Lucky sempat telepon saya. Ia mengaku sering dipukul seniornya. Kemungkinan dia disiksa selama satu minggu,” kata Lusy.
Sebelum Lucky tewas, keduanya terakhir kali berkomunikasi pada 27 Juli lalu.
Merujuk hasil pemeriksaan oleh RSUD Aeramo, Lucky disebut mengalami beragam luka, seperti bekas sundutan rokok, memar, dan luka benda tajam di sekujur tubuh.
Merujuk temuan medis itu, Lucy mengatakan, “Saya ingin keadilan untuk Lucky.”
Siklus kekerasan di TNI, dari senior ke junior
Seorang tentara bernama Nazar Roikhansyah Arif, kini berpangkat kapten, pernah membuat kajian akademis tentang kekerasan di internal TNI. Nazar, yang juga berdinas di Kodam Udayana, melakukan riset untuk tugas akhir pendidikan strata duanya di Universitas Gadjah Mada pada 2024.
Menurut Nazar, latar belakang prajurit yang beragam menjadi salah satu faktor yang dapat melanggengkan praktik kekerasan di TNI. Temuan itu dia dapatkan dengan meneliti sebuah kasus penganiayaan terhadap prajurit Batalyon Artileri Pertahanan Udara 9 di Kodam Udayana.
Batalion yang menjadi sampel penelitian Nazar itu terdiri dari prajurit yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Latar belakang mereka beragam, baik dari sisi keluarga, pendidikan, hingga pengalaman kekerasan di masa lampau.
Hasilnya, tulis Nazar, “subkultur negatif yang dibawa dari satuan asal menyebabkan penyimpangan perilaku [kekerasan] prajurit.”
Padahal, Nazar menyebut organisasi TNI sejatinya telah cukup transformatif dengan memperkenalkan seperangkat norma baru berperilaku prajurit agar mengedepankan sikap antikekerasan.
Sumber gambar, Antara Foto/Adiwinata Solihin
Faktor pernah mendapat kekerasan—baik di pendidikan militer maupun penugasan sebelumnya—disebut Nazar juga menjadi pemicu mengapa kekerasan di TNI sulit dihentikan.
Faktor “pernah menjadi korban kekerasan” itu memelihara budaya kekerasan di TNI, tulis Nazar.
“Pengalaman pelaku yang pernah menerima tindakan kekerasan dari senior saat di batalion dan oleh pelatih di masa pendidikan telah membentuk pola perilaku yang sama, sehingga mereka melakukan tindak kekerasan terhadap junior,” tulis Nazar dalam penelitiannya.
“Perbuatan kekerasan ini terus berlanjut karena tidak ada arahan dari pimpinan dan dapat menjadi budaya organisasi yang sulit dihilangkan,” tulisnya.
BBC News Indonesia menghubungi Nazar untuk mendalami hasil penelitiannya, tapi belum beroleh balasan.
Bagaimana mantan jenderal TNI dan petinggi di Jakarta melihat kasus ini?
Seorang mantan jenderal TNI menilai para tersangka sepatutnya dijatuhi hukuman berat. Salah satu yang dianggap paling bertanggungjawab adalah kepala peleton di tempat Lucky berdinas.
“Seharusnya dia menjadi pembina di situ, tidak boleh terlibat,” kata Tubagus Hasanuddin, anggota DPR yang pensiun dari TNI dengan pangkat mayor jenderal.
Hasanuddin mengatakan, klaim pembinaan yang menjadi dalih tindakan fisik ke Prada Lucky tidak dapat menjadi alasan pembenar. Menurutnya, hukuman fisik yang dapat dijatuhkan kepada prajurit hanya sebatas push up atau berlari keliling lapangan.
“Disuruh push up, bolehlah. Tangannya jadi kuat. Tapi kalau sampai menempeleng, itu tidak boleh. Ada aturan dan panduan di metode pendidikan,” ujarnya.
Hasanuddin menyebut pimpinan TNI sekarang harus menyusun regulasi untuk mencegah “pembinaan” berujung kematian.
“Saya harap Panglima TNI dan pangdam mengeluarkan aturan bagaimana hubungan antara senior-junior yang sehat. Tidak arogan,” ujarnya.
“Mendidik boleh, tapi cara keras yang sampai merenggut nyawa itu tidak dibenarkan,” kata Hasanuddin.
Kepada pers, Ketua DPR Puan Maharani juga angkat bicara terkait kasus ini.
“Jangan sampai terulang hubungan senior-junior yang didasarkan perilaku kekerasan,” ujarnya.
“Mekanisme yang ada juga harus dievaluasi jangan sampai terulang lagi,” kata Puan.
Mengapa kekerasan berujung kematian berulang di internal TNI?
Para pengamat memiliki beragam pandangan perihal kenapa kekerasan di TNI terus berulang.
Peneliti isu militer, Al Araf, menyebut praktik impunitas yang terus terjadi di internal militer merupakan pemicu kekerasan berulang.
Araf berkata, kekerasan militer selama ini terjadi bukan cuma di antara tentara, tapi juga terhadap warga sipil.
Menurut Araf, impunitas itu muncul karena TNI menutup diri dari pengawasan publik. Dia berkata, TNI lebih mengutamakan perlindungan institusi, alih-alih menjunjung tinggi keadilan bagi para korban.
“Peradilan militer tidak menjamin adanya transparansi dan akuntabilitas memadai. Vonis peradilan militer yang jauh dari kata adil sama artinya denan memperkuat persepsi bahwa anggota militer kebal hukum,” kata Araf.
Araf mencatat, pembunuhan prajurit oleh sesamanya seperti di kasus Prada Lucky bukanlah yang pertama.
Sumber gambar, Antara Foto/Galih Pradipta
Dalam empat tahun terkahir, Araf mencatat setidaknya dua kasus serupa yang menyeruak ke hadapan publik.
Pada November 2021, Sertu Bayu meninggal dunia setelah dianiaya dua perwira saat bertugas di Timika.
Desember 2023, tentara dengan pangkat prajurit dua berinisial MZR tewas setelah disiksa enam seniornya di Batalion Zeni Tempur 4/TK.
Araf mengatakan, kedua kasus itu serupa: proses penegakan hukumnya ditutup dari publik.
Andika Perkasa, kala itu menjabat Panglima TNI, meminta penyidikan ulang atas kasus pembunuhan Sertu Bayu. Andika menyebut terdapat kejanggalan dalam pengungkapan kasus tersebut.
“Pada titik seperti ini [proses hukum yang tertutup], dengan kondisi peradilan militer juga belum direformasi, maka publik patut sangsi bahwa proses hukum akan berjalan baik dan memberikan keadilan bagi korban,” ujar Araf.
Menurut Araf, impunitas akibat proses hukum yang tidak transparan berakar pada “kegagalan reformasi peradilan militer”.
Merujuk Pasal 3 ayat 4 Ketatapan MPR Nomor VII Tahun 2000, tentara yang melakukan tindak pidana umum harus diadili di peradilan umum.
Sumber gambar, Antara Foto/Nova Wahyudi
Berbeda dengan Al Araf, pengamat isu pertahanan Khairul Fahmi menilai peradilan militer sebenarnya sudah cukup memberikan efek jera bagi para tentara.
Jika diadili di peradilan umum, Fahmi khawatir tentara justru akan “menjadi jawara” di tahanan.
Menurut Fahmi, salah satu faktor yang membuat kekerasan di TNI kerap berulang adalah keteladanan yang minim di tingkat pimpinan unit terkecil di militer, seperti komandan peleton dan komandan kompi.
Ketegasan di tingkat itu, menurut Fahmi, krusial untuk menentukan “wajah anggota TNI”, baik di internal militer maupun kepada masyarakat sipil.
“Komandan di level bawah itu harus hadir karena berhubungan langsung dengan pembinaan dan teladan,” kata Fahmi.
“Kalau mereka enggak aktif, kekerasan eksesif bakal ada, termasuk di internal TNI,” ujarnya.
Arie Firdaus dan wartawan Eliazar Robert di Kupang berkontribusi untuk laporan ini
 
					 
		 
                 
                 
                 
                 
                 
                 
                 
                 
                