Sumber gambar, ANTARA FOTO
- 
- Penulis, Faisal Irfani
- Peranan, Jurnalis BBC News Indonesia
 
Kasus keracunan yang menimpa lebih dari 7.000 anak akibat program Makan Bergizi Gratis (MBG) menimbulkan sorotan pada peran pelaksana di lapangan, Satuan Pemenuhan Pelayanan Gizi (SPPG).
Kontribusi SPPG dalam MBG berkaitan erat dengan penyediaan serta distribusi menu makanan kepada para siswa. BGN memasang target terciptanya 31.000 SPPG di seluruh Indonesia sampai akhir 2025 untuk mencapai 82 juta orang penerima manfaat MBG.
Proses pemilihan dan seleksi yang tidak akuntabel adalah salah satu masalah yang ditemukan TII. Selain itu, kapasitas SPPG yang ditunjuk tidak jarang di bawah standar.
Di lapangan, beberapa SPPG yang BBC News Indonesia sambangi mengaku menjaga kualitas pelayanan—termasuk perihal higienitas. Namun, sejumlah kendala serius tetap dijumpai. Bahkan sejumlah SPPG masih mengurus Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) dari Kementerian Kesehatan, walau mereka sedang beroperasi.
Pemerintah sendiri menanggapi keracunan masif MBG dengan menutup puluhan SPPG yang dipandang bermasalah.
Pegiat kesehatan masyarakat menyebut pemerintah semestinya mempertimbangkan penghentian sementara MBG dan membuat payung hukum yang tegas.
“Pemerintah perlu me-moratorium operasionalisasi penambahan SPPG dan jumlah penerima manfaat MBG hingga akhir 2025 agar lebih berfokus untuk mengevaluasi program MBG secara menyeluruh,” ucap pegiat tersebut.
Bagaimana SPPG bekerja dan apakah mitra Badan Gizi Nasional (BGN) ini adalah satu-satunya pihak yang perlu dikritisi?
Cerita dapur SPPG: ‘Kami selalu cek kelayakan bahan makanan’
Jam menunjukkan pukul setengah dua siang ketika BBC News Indonesia menyambangi salah satu lokasi Satuan Pemenuhan Pelayanan Gizi (SPPG) di Jakarta Selatan.
Seorang pekerja terlihat sedang sibuk membersihkan tumpukan papan makan yang berdiri di depannya. Tangannya cekatan memisahkan sisa makanan yang kemudian dia letakkan di kantong plastik berwarna hitam.
Tak lama, dia mengangkat dan menyerahkan papan makanan yang sudah kosong itu ke pekerja lainnya untuk dicuci.
Belasan pegawai tengah membereskan papan makanan yang baru diambil dari sekolah-sekolah.
“Di sini seperti tidak berhenti [operasionalnya]. Dari pagi sampai malam selalu ada pekerja dan kegiatan. Maklum, yang disiapkan juga tidak sedikit,” pekerja SPPG bernama Firman memberi tahu BBC News Indonesia, Senin (29/9).
Sumber gambar, DIMAS RACHMATSYAH/Middle East Images/AFP via Getty Images
Dari penuturan Firman, jam kerja SPPG sibuk belaka. Kegiatan biasanya dimulai pukul 10 malam sebelum makanan dikirimkan keesokan harinya. Para pekerja menyiapkan berbagai bahan untuk menu keesokan hari.
Menu masakannya sendiri diberikan untuk jangka waktu seminggu ke depan—atau lima hari sekolah.
Penentuan menunya ditetapkan dengan pemantauan Badan Gizi Nasional (BGN) selaku yang punya hajat Makan Bergizi Gratis (MBG).
Dua jam setelahnya, proses memasak dilakukan. Perlu waktu kurang lebih empat jam agar makanan siap disantap. Tahapan berikutnya yakni pengepakan makanan yang dikerjakan setidaknya sampai matahari terbit.
Ketika semuanya beres, makanan lantas dikirim.
Sebanyak 12 sekolah, mayoritas tingkat SD dan SMP, yang menjadi target distribusi SPPG tersebut. Per sekolah mendapatkan alokasi lebih dari 100 buah papan makan—satu untuk setiap orang. Apabila dikalikan 12 sekolah, SPPG ini harus mengurus 1.000 lebih MBG dalam sehari.
Padatnya ‘target’ harian yang mesti dipenuhi itu membikin SPPG bekerja dengan pembagian sif kerja.
Menurut Firman, terdapat empat sif dalam satu hari. Masing-masing sif berisi belasan pekerja yang mengawal dari pertama kali proses dijalankan sampai berakhir.
Sumber gambar, BBC NEWS INDONESIA
Bangunan tempat SPPG beroperasi ini cukup besar, sepintas mirip pabrik. Bagian depan merupakan area “bongkar muat” makanan.
Masuk ke samping, melewati satu pintu, telah disediakan ruang untuk membersihkan tatakan MBG. Sekitar tiga orang ditugaskan mengurusinya.
Tatakan yang telah dipisahkan dari isian makanan dimasukkan ke dalam dua bak air yang dibedakan fungsinya. Satu bak—dengan sudah ditambahkan sabun—untuk mencuci, satunya lagi membilas.
Dari situ, tatakan dibawa ke ruang penyimpanan yang terletak di gedung sebelahnya.
Sebelum memasuki penyimpanan tatakan, bersebelahan dengan tempat penyucian, ada empat wajan berukuran sedang dan besar yang berjejer. Di sinilah juru masak mengolah bahan-bahan yang disiapkan untuk MBG.
Selesai memasak, pekerja bakal mengangkut makanan ke area berikutnya—hanya dipisahkan tirai plastik—guna dikemas.
Sumber gambar, BBC NEWS INDONESIA
Firman mengaku para pekerja di SPPG senantiasa berupaya menjaga kebersihan, di tengah kejaran tenggat waktu.
Mempersiapkan makanan dalam volume besar, “bukan pekerjaan yang mudah,” dia menambahkan.
Kendala bukannya tidak ada. Yang kerap para pekerja hadapi yaitu kekurangan bahan. Solusinya, kata Firman, pekerja sesegera mungkin membeli bahan yang sama di pasar terdekat.
“Pernah kami kekurangan telur. Padahal menu hari itu ada telur matang. Akhirnya kami beli di pasar untuk setelahnya direbus di dalam [ruang masak],” ceritanya.
Beda Firman, beda pula Rizkiyah, pekerja SPPG di Madura, Jawa Timur.
Sering kali pengiriman bahan baku untuk MBG datang terlambat, yang berefek terhadap rentetan proses lainnya.
“Jadi kami molor waktunya buat ngerjain bahan-bahan yang mau dikerjakan sekarang,” terangnya kepada BBC News Indonesia.
Selain itu, Rizkiyah, yang bertugas di bagian sayur, mengungkapkan “terkadang bahan yang dipesan tidak sesuai dengan apa yang kami minta.”
“Kadang juga kurang higienis,” imbuhnya.
Sumber gambar, BBC NEWS INDONESIA
Rizkiyah, dengan situasi semacam itu, berharap SPPG lebih selektif dan memperketat bahan-bahan yang dikirim pemasok agar, di samping kualitas makanan terpenuhi, peluang terjadinya keracunan dapat diminimalisir.
Kabar mengenai anak-anak yang keracunan MBG melekat di ingatan Rizkiyah. Sebagai pekerja yang saban hari mengurus persiapan MBG, dia tidak ingin keracunan terus terulang.
“Langkah perbaikan bisa diawali dengan, misalnya, memperketat lagi kebersihan dalam membersihkan tatakan dan segalanya. Biar terhindar dari yang namanya keracunan,” ujarnya.
‘Sertifikat Laik Higiene Sanitasi sedang diurus’
Zainuri, selaku kepala SPPG tempat Rizkiyah bekerja, menerangkan walaupun SPPG yang dia pimpin belum pernah menyebabkan keracunan, sejumlah kekurangan—atau tantangan—dirasa memerlukan penanganan lebih serius.
Zainuri mencontohkan perihal kebersihan dapur dan keberadaan tempat sampah yang, berdasarkan penuturannya, “masih kurang.”
Ketersediaan alat pelindung diri (APD)—masker, sarung tangan, penutup kepala, maupun apron—yang seharusnya wajib dikenakan ketika selama proses di dapur juga belum mencukupi, tandas Zainuri.
Zainuri, kini, mengaku sedang mengambil langkah-langkah pencegahan dengan meningkatkan standar keamanan dapur serta mengurus Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) dari Kementerian Kesehatan.
Sehari-hari, SPPG yang dipimpin Zainuri membagikan sekitar hampir 4.000 porsi untuk 40 sekolah, dari level TK hingga SMA. Pendistribusian MBG ditempuh melalui dua kloter, pukul 6 dan 9 pagi.
Sumber gambar, Claudio Pramana/NurPhoto via Getty Images
Kepala salah satu SPPG di Pamekasan, Jawa Timur, Nurul Hidayat, mengucapkan hal senada: kepemilikan SLHS masih dalam proses pengurusan.
Namun, di luar itu, selama enam bulan sejak SPPG yang dia kelola membagikan MBG, “tidak ada keracunan dan keluhan dari sekolah,” papar Hidayat.
“Setiap pengolahan [MBG] itu kami mengontrol higienitas dapur. Dan ketika bahan baku datang, itu kami cek kelayakannya—apakah ada yang rusak atau tidak. Kalau tidak layak, kami kembalikan ke supplier,” responsnya.
Tidak cukup kebersihan dapur, alat transportasi untuk mengantar dan menjemput makanan pun turut dibersihkan, klaim Hidayat.
Seminggu sekali, mobil dicuci. Pihak sopir juga diminta selalu mengecek kondisi di dalam mobil, “takut di celah-celah itu ada semut atau binatang [yang bisa masuk ke makanan],” tambahnya.
Dalam rangka mencegah potensi keracunan terjadi, Hidayat memiliki satu strategi khusus: pengolahan makanan sebisa mungkin tidak terlampau dini.
“Kami memasak itu dari jam 1 untuk menghindari terjadinya [makanan] basi,” tegasnya.
‘Sebelum melihat operasional, lihat dulu regulasinya’
Pembentukan SPPG diatur dalam petunjuk teknis yang disusun Badan Gizi Nasional (BGN). Merujuk dokumen yang dirilis pada November 2024, terdapat lima model SPPG.
Pertama, SPPG yang dikelola sendiri oleh BGN.
Kedua, kerja sama dengan institusi pemerintah yang lain.
Ketiga, menggandeng pihak ‘swasta’—dalam hal ini yayasan atau CV.
Keempat, pendirian SPPG di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar).
Kelima, SPPG yang dibangun secara hybrid, atau untuk sekolah-sekolah yang sudah mempunyai dapur sendiri.
Perkembangan SPPG kemudian diwarnai beberapa masalah.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Maret 2025, menekankan bagaimana keterlibatan militer secara cukup masif di program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dinilai tidak sesuai tugas serta fungsinya.
Kehadiran militer tergambarkan melalui SPPG yang diurus TNI. Alasan di balik pengelolaan SPPG oleh tentara adalah sebab BGN membuka kerja sama dengan instansi pemerintahan lainnya.
Jumlahnya tidak tanggung-tanggung: hingga September 2025, TNI sudah membangun 452 SPPG di seluruh Indonesia. Sebanyak 339 di antaranya bahkan baru diresmikan akhir September lalu oleh Panglima TNI, Jenderal TNI Agus Subiyanto.
Kemunculan tentara di MBG dipandang organisasi sipil sebagai bentuk perluasan wewenang yang tidak berkorelasi dengan kepentingan militer.
Tidak berhenti pada tentara, kepolisian turut pula berpartisipasi. Polri, per Agustus 2025, mencatat bakal ada 458 SPPG yang mereka urus.
Sumber gambar, Claudio Pramana/NurPhoto via Getty Images
Dengan persyaratan yang cukup banyak serta kebutuhan modal yang tidak sedikit, SPPG, alih-alih membuka kesempatan bagi pengusaha UMKM, justru diisi “para pemodal besar atau pihak-pihak yang terafiliasi ke penguasa,” tulis TII.
“Jika institusi pelaksana program memiliki backing yang kuat, maka fungsi audit, evaluasi, dan pelaporan sangat mungkin untuk diintervensi,” papar TII.
“Bahkan ketika pelaksana program dipilih berdasarkan eksklusivitas, bukan tidak mungkin pelaksanaan program hanya sekedar menjadi formalitas, sehingga berdampak terhadap penurunan kualitas pelayanan kepada penerima manfaat.”
Dan tibalah pada kasus keracunan.
Sepanjang Januari sampai September 2025, terdapat lebih dari 7.000 korban keracunan diduga sebab sajian MBG, mengutip data lembaga kajian kesehatan, CISDI.
Temuan CISDI lainnya menjelaskan bahwa anak-anak penerima MBG pernah menemukan makanan dalam kondisi basi, berbau, atau rusak.
Kasus-kasus keracunan massal akibat MBG menempatkan SPPG di posisi tersudut.
Tapi, “kelalaian” maupun mismanagement SPPG punya keterhubungan ke pengelolaan MBG itu sendiri, jelas peneliti Transparency International Indonesia (TII), Agus Sarwono.
“Tentu sebelum melihat ke operasional, tentu kita perlu melihat dari aspek regulasinya. Nah, sayangnya, sampai sekarang itu program Makan Bergizi Gratis [MBG] ini belum ada regulasi yang ajeg,” jelas Agus.
Sejauh ini, Agus mengatakan, pelaksanaan MBG di lapangan—lewat SPPG—hanya bermodal ketetapan petunjuk teknis dari internal BGN.
BBC News Indonesia berupaya menelusuri regulasi yang mengatur teknis MBG. Sampai sekarang, aturan yang tersedia baru petunjuk teknis—juknis—yang dikeluarkan internal BGN.
Beleid setingkat peraturan presiden (perpres) hanya dijumpai tatkala pemerintah meresmikan Badan Gizi Nasional.
Ketiadaan aturan yang “ajeg,” sebagaimana diungkapkan Agus, membikin implementasi program menjadi banyak celah sekaligus lemah. Cakupan juknis pun dilihat Agus tidak seluas aturan yang tingkatannya lebih tinggi—seperti perpres.
Sumber gambar, ADITYA IRAWAN/AFP via Getty Images
Di juknis MBG, misalnya, belum tercantum prosedur standar penanganan insiden keamanan pangan seperti keracunan, kontaminasi silang, atau alergi makanan, tandas Agus.
Tanpa pedoman secara komprehensif, Agus melanjutkan, respons dalam penanganan insiden sebab MBG berpeluang berantakan.
“Ini ada kegagalan perencanaan karena sejak awal dibikin tanpa baseline yang jelas,” kata Agus.
Bayangan Agus, dengan keberadaan perpres maka “akan muncul peraturan-peraturan lain yang disusun Badan Gizi Nasional,” tuturnya.
“Dan itu sampai dengan operasional teknis, cara pengadaan, pemenuhan SOP, dan—yang penting—bagi SPPG yang dinilai tidak mampu memenuhi [kualifikasi], tutup,” tegasnya.
Agus, tidak ketinggalan, menuturkan proses pemilihan maupun persetujuan atas SPPG direalisasikan dengan minim transparansi. Risiko terburuknya, SPPG yang direkrut BGN tidak berkualifikasi serta berpengalaman dalam pemenuhan makanan berskala besar.
Keadaan semakin rumit manakala skema pengawasan kepada SPPG, menurut Agus, tidak dituntaskan secara maksimal.
Alhasil, kasus-kasus semacam penemuan buah atau sayuran yang basi, juga menu yang tidak layak konsumsi, masih menjadi tajuk pelaksanaan MBG.
“Kondisi ini menunjukkan lemahnya kontrol mutu dan tidak optimalnya sistem inspeksi harian dalam penyediaan bahan baku yang digunakan,” sebutnya.
Pemerintah, setelah banyak kasus keracunan yang mencuat ke publik, segera menyusun berbagai strategi penanganan.
Satu hal yang paling ditekankan: menutup sementara SPPG yang bermasalah. Pemerintah, diwakili Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, juga mendesak setiap SPPG wajib memiliki Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS).
Arahan pemerintah lantas diterjemahkan BGN dengan menutup lebih dari 50 SPPG yang terindikasi menyebabkan keracunan serta gangguan kesehatan di kalangan penerima manfaat.
Wakil Kepala BGN, Nanik S. Deyang, menegaskan upaya ini adalah “proses evaluasi menyeluruh agar kejadian serupa tidak terulang.” Dia menambahkan bahwa “keselamatan masyarakat—terutama anak-anak—menjadi prioritas utama.”
Puluhan SPPG yang diberhentikan diminta menanti hasil uji laboratorium Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Hasil itu, nantinya, bakal dipakai sebagai acuan dalam memutuskan langkah selanjutnya—perbaikan, penguatan pengawasan, atau pemberian sanksi.
Sumber gambar, ADITYA IRAWAN/AFP via Getty Images
Praktisi kesehatan masyarakat sekaligus pendiri lembaga kajian CISDI, Diah Saminarsih, menyatakan sebaiknya usaha pertama pemerintah adalah mengevaluasi total penyelenggaraan MBG dengan moratorium program.
“Bukan sekadar penanganan kasus per kasus,” ujarnya kepada BBC News Indonesia, Senin (29/9).
Saat moratorium dijalankan, Diah meneruskan, belanja MBG perlu difokuskan untuk perbaikan tata kelola, penguatan kerangka regulasi, hingga peningkatan kapasitas kelembagaan BGN.
Ihwal SPPG yang bermasalah, Diah mengungkapkan hal tersebut merupakan konsekuensi dari kekosongan payung hukum. Kerangka regulasi yang menjadi acuan MBG saat ini tergolong terbatas.
“Masih berupa SK [Surat Keputusan] Deputi Penyaluran BGN sehingga ruang lingkupnya masih terbatas untuk mengatur internal BGN. Pelibatan sektor lain, BPOM, Kementerian Kesehatan, dan lain-lain, belum diatur,” papar Diah.
Dengan hanya berpegangan pada petunjuk teknis BGN, “kami khawatir mendorong tata kelola SPPG menjadi cenderung tersentralisasi dan bingung dalam memilih serta merujuk standar pangan,” tambah Diah.
“Kalau payung hukumnya yang jelas, terutama setingkat perpres [peraturan presiden], kami menilai ini tujuan agar transparansi dan akuntabilitas bisa terlaksana, termasuk regulasi teknis atau pengawasan kepada SPPG,” ucapnya.
Sumber gambar, Claudio Pramana/NurPhoto via Getty Images
Paradigma pemerintah dalam menjalankan MBG sepanjang sembilan bulan terakhir masih berkutat pada percepatan dan target jumlah penerima manfaat. Perspektif ini, Diah mengatakan, harus diubah perlahan.
Presiden Prabowo Subianto, tidak lama ini, mengungkapkan jangkauan MBG ialah 82 juta orang. Klaim pemerintah, per September 2025, sudah ada 30 juta penerima manfaat yang disasar MBG.
“Sebagai seorang pemimpin, sebagai seorang bapak, saya bangga dengan 30 juta, tapi saya masih ingat 52 juta anak-anak kita masih berharap, masih menunggu dengan ibu-ibu hamil,” jelasnya.
Demi mewujudkan ambisi pemerintah, BGN mengaku kejar target pembentukan SPPG. Tahun ini, angka yang dipatok sebanyak 31.000 SPPG. Berselang sebentar dari masa-masa awal peluncuran program, BGN menargetkan 1.994 SPPG beroperasi hingga akhir Juli.
Per awal September, jumlahnya telah menyentuh 7.000 lebih SPPG. Angka tersebut kembali melonjak sampai di atas 9.000 SPPG hanya dalam kurun waktu satu bulan.
‘Tidak usah dilanjutkan’
Yasir tidak bisa menutup raut muka kekecewaan ketika menceritakan keadaan putranya, Farid, yang tengah terbaring lemas di rumah sakit di Baubau, Sulawesi Tenggara.
Farid merupakan satu dari puluhan korban keracunan akibat menu MBG di SMA Negeri 7 Baubau pada akhir September silam.
Melihat anaknya yang dirawat, Yasir mengaku hancur.
“Karena selama ini anaknya tidak pernah sakit. Lalu sekarang [setelah makan MBG] tiba-tiba sakit,” ujarnya kepada BBC News Indonesia, minggu lalu.
Yasir mendengar kabar Farid jatuh sakit dari istrinya. Dia lalu membawa motornya ke puskesmas tempat Farid menjalani perawatan.
Farid memberi tahu Yasir bahwa perutnya tidak karuan dan napasnya terasa sesak.
Penanganan di puskesmas tidak seketika membuat tubuh Farid berangsur membaik. Farid lantas dipindah ke rumah sakit. Total, Farid menghabiskan lima hari perawatan di dua lokasi itu.
Nelangsa yang dihadapi Farid, juga Yasir, tidak berhenti. Farid belum sembuh dan terpaksa dilarikan lagi ke rumah sakit.
Yasir tidak ingin melihat Farid kesakitan lagi hanya karena menyantap menu MBG. Dia berharap peristiwa pahit ini tidak terjadi untuk kali kedua.
“Tidak usah dilanjutkan [MBG ini],” pungkasnya.
Ahmad Mustofa (Madura) dan Irfan Mihzan (Baubau) berkontribusi dalam laporan ini.
 
					 
		 
                 
                 
                 
                 
                 
                 
                 
                 
                