Sumber gambar, BBC News Indonesia/Silvano Hajid
- 
- Penulis, Silvano Hajid
- Peranan,
 
Dua malam terkubur dalam tumpukan beton, Alfatih Cakra Buana, santri berusia 14 tahun, merangkak keluar reruntuhan dipandu tim evakuasi yang sudah dapat memastikan jalur evakuasi aman untuk anak itu.
Terngiang-ngiang suara samar orang-orang dari luar menembus tebalnya reruntuhan, “Sabar, sabar ya dik,” kenang Alfatih.
Saya balas, “nggih pak, nggih, begitu terus, sampai saya pingsan.”
Namun, selama dua malam itu, yang Alfatih lihat hanyalah kegelapan. Tubuhnya tertutup material berpasir dalam posisi merebah miring.
Hanya bagian kepalanya yang bisa dibilang tidak tertutup material reruntuhan, menciptakan ruang yang membuat Alfatih bisa bernapas.
Alfatih adalah satu dari lima anak yang berhasil dievakuasi tim SAR gabungan dari reruntuhan musala Pondok Pesantren Al-Ghaziny di Sidoarjo, Jawa Timur, sepanjang Rabu (01/10).
Sumber gambar, BBC News Indonesia/Andra Anhar
Pada Senin sore, Alfatih salat berjamaah di musala itu. Dia sempat lari menyelamatkan diri, tetapi terlambat.
“Ada getaran, lalu [saya] langsung lari dan bangunan runtuh.”
Beberapa saat kemudian, Alfatih sempat meminta tolong. Dia juga mendengar suara minta tolong itu dari beberapa penjuru lokasi reruntuhan.
Alfatih mengaku tidak sadarkan diri, dia tidak bisa lagi membedakan dirinya yang sedang sadar atau bermimpi.
Inilah yang terjadi pada dirinya saat tim SAR gabungan berpacu dengan waktu pada Senin (29/09) hingga Rabu (01/10) malam dalam ‘golden time’ mencari tanda-tanda kehidupan di bawah reruntuhan bangunan.
Sumber gambar, BBC News Indonesia/Silvano Hajid
“Sempat ada selang air, saya minum, tapi itu terasa seperti mimpi,” jelas Alfatih.
Yang dia ingat hanyalah, badannya sulit bergerak.
Bahkan, Alfatih bilang, dia serasa tidur selama seminggu lamanya.
Dalam detik-detik penyelamatannya, Alfatih mendengar suara seperti mengetuk sesuatu. “Ketika terbangun, ada lubang, dan tim penyelamat,” tambahnya.
“Saya disuruh merangkak, lalu bisa keluar, dan langsung masuk ambulans.”
Ketika sadar sudah selamat, sebuah kalimat terlontar dari mulut Alfatih “tolong belikan es.”
Ambulans lalu membawa Alfatih ke rumah sakit terdekat.
Alfatih anak kita semua
Rabu malam (01/10) tangis sang ayah, Abdul Hannan Ikhsan, langsung pecah di posko evakuasi, di tengah para wali santri yang masih menunggu penyelamatan anak mereka.
Tim Basarnas menghubungi Hannan malam itu, menyampaikan kabar baik yang ia nantikan sejak Senin sore.
“Saya tidak terbayang, anak saya berada di daftar yang selamat, saya mencoba membaca salawat tak henti,” ungkap Hannan.
“Ini hampir 70 jam, anak itu kemungkinan [tidak] bertahan, tapi saya percaya, apabila Alfatih ditakdirkan hidup, pasti akan selamat,” tambahnya.
Acap kali Hannan memandangi ponselnya pada hari-hari penantiannya itu. Melihat foto-foto anak lelakinya.
Dia juga beberapa kali mengobrol dengan tim Basarnas di posko, mencari tahu proses evakuasi yang sedang berjalan.
Sumber gambar, BBC News Indonesia/Silvano Hajid
Rasa syukurnya pecah ketika kabar baik itu datang. Namun, dia juga memahami kecemasan para orang tua yang menantikan anak mereka bisa kembali dalam dekapan.
“Alfatih kini jadi anak kita bersama, kalau misal ada dari orang tua yang anaknya ditakdirkan syahid, ini anak kalian juga, semoga semua diberikan ketegaran.”
Kamis (02/10) pagi, senyum sumringah menghiasi wajahnya. Dia duduk di samping anaknya yang berbaring di ranjang ruang rumah sakit.
“Kamu paling suka apa? Ayam atau daging?” Tanya Hannan kepada anaknya.
Alfatih nampak lemas, sesekali tersenyum ketika sang ayah mengajaknya bercanda.
Tak lama, sang ibu telaten memotong kuku dan membersihkan tangan Alfatih.
Sumber gambar, BBC News Indonesia/Silvano Hajid
Raut wajah keluarga itu kini sudah berubah, jika dibandingkan dalam pagi yang sama pada Rabu (01/10).
“Mudah-mudahan kalau bertawakal ada kemudahan, dan banyak [anak] yang bisa terselamatkan,” ungkap Hannan pada Rabu (01/10) pagi.
Hannan sebagai ayah yang tak tahu nasib anaknya kala itu duduk sepanjang hari, bersandar di tembok koridor pesantren, tempat dia dan banyak wali santri menanti kepastian.
Hingga Rabu malam, ketika harapan semakin tipis, suara ambulans dari kejauhan menggema sampai posko evakuasi yang jaraknya sekitar 200 meter dari reruntuhan.
Kabar dari mulut ke mulut sebelum Basarnas mengumumkan korban selamat sudah muncul di kalangan para wali murid.
Pada momen itu, Hannan belum mengetahui anaknya selamat. Semua wali santri di lokasi itu sama-sama penuh cemas.
Namun, beberapa saat kemudian, tangis bahagia Hannan membasahi pipinya, di tengah hiruk-pikuk manusia di posko evakuasi itu.
Rencana selanjutnya
12 jam setelah penyelamatan Alfatih, dokter memberi tahu Hannan, bahwa keadaan Alfatih cukup stabil, sehingga sang anak bisa lekas pulang ke Bangkalan, Madura.
Tidak ada luka dalam, hanya saja, beberapa bekas luka terlihat dari lengannya.
Sang ayah kemudian menantangnya, “Al mau apa?”
Alfatih menjawab, “Mau motor dua tak.”
Sumber gambar, BBC News Indonesia/Silvano Hajid
Hannan menunggu pemulihan fisik dan psikis anaknya, sehingga di kemudian hari, dirinya bisa benar-benar merencanakan langkah terbaik untuk sang anak.
Ponsel Hannan berdering, ada panggilan video masuk.
Adik Al—sapaan akrab Alfatih—menelepon.
“Kakak, kapan pulang?” tanya sang adik di ujung sana.
“Besok,” jawab Alfatih dengan mantap.
Tentunya Hannan menunggu kepastian dari dokter yang merawat Alfatih.
Namun yang jelas, Hannan mengaku baru bisa mandi dan makan terasa lebih enak setelah tahu keadaan anaknya yang selamat.
 
					 
		 
                 
                 
                 
                 
                 
                 
                 
                 
                