Sumber gambar, ANTARA FOTO/Didik Suhartono
Polisi mulai menyelidiki kasus ambruknya bangunan Pondok Pesantren Al Khoziny, Sidoarjo, dengan memeriksa 17 orang saksi. Polisi berjanji bersikap transparan selama proses penyelidikan.
Pemeriksaan belasan saksi itu dilakukan untuk mendalami penyebab kegagalan konstruksi bangunan musala yang ambruk, kata Kapolda Jatim, Irjen Polisi Nanang Avianto, Rabu (08/10) malam.
“Pemeriksaan lanjutan akan melibatkan pihak yang bertanggung jawab dalam pembangunan serta sejumlah ahli,” kata Nanang Avianto.
Hasil pemeriksaan sementara menunjukkan ada indikasi kuat adanya kelalaian dalam proses pembangunan dan pengawasan struktur bangunan, jelasnya.
“Dari awal kami menduga kegagalan konstruksi menjadi penyebab utama. Karena itu, kami libatkan ahli teknik sipil dan ahli bangunan untuk memberikan analisis resmi,” jelasnya.
Menurutnya, dasar hukum yang dijadikan pijakan polisi adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, yaitu Pasal 46 ayat (3) dan Pasal 47 ayat (2).
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Didik Suhartono
Polisi juga menggunakan Pasal 359 dan 360 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang kelalaian yang menyebabkan kematian dan luka-luka.
Nanang Avianto menjelaskan, pihaknya akan memeriksa pula dokumen perencanaan dan izin bangunan ponpes tersebut.
Polisi akan memastikan apakah itu sudah memenuhi standar teknis seperti diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
Dia kemudian berjanji proses hukum akan berjalan transparan.
“Setiap orang sama kedudukannya di hadapan hukum. Siapapun yang terbukti lalai akan dimintai pertanggungjawaban,” tegasnya
Sampai Kamis (09/10) siang, total korban meninggal 61 orang dan 7 bagian tubuh.
Sementara itu, tim identifikasi korban bencana (Disaster Victim Identification, DVI) Polda JatimTimur sudah mengidentifikasi sebanyak 40 dari 57 jenazah korban ambruknya Ponpes Al Khoziny, Sidoarjo.
Enam jenazah baru teridentifikasi pada Rabu (08/10), setelah proses pencocokan data ante mortem dan post mortem dilakukan secara menyeluruh.
Kabid Dokkes Polda Jatim, Kombes dr. M. Khusnan Marzuki mengatakan, DVI telah memastikan enam jenazah yang baru teridentifikasi ini cocok.
“Tim DVI Polda Jatim telah melaksanakan identifikasi terhadap 6 kantong jenazah yang terdiri dari 6 jenazah cocok atau match dengan 6 nomor AM (Ante Morthem),” kata Khusnan dalam jumpa pers di Rumah Sakit Bhayangkara, Surabaya, Kamis (09/10).
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Didik Suhartono
Menurutnya, sampai dengan Kamis (09/10), tim gabungan telah mengidentifikasi total 40 korban.
“Sebagian besar korban sudah berhasil diidentifikasi. Saat ini masih ada 21 jenazah dan lima potongan tubuh lainnya yang perlu dipastikan identitasnya,” ujar Abdul Muhari, Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, dalam rilisnya, Rabu (08/10/2025) malam.
Sementara, jenazah korban yang belum berhasil diidentifikasi terus diperiksa oleh pihak kepolisian.
“Saat ini masih tersisa 31 kantong jenazah yang sedang dalam proses identifikasi di RS Bhayangkara Polda Jatim. Setelah itu, akan dilakukan rekonsiliasi oleh para ahli forensik DVI,” ungkap Khusnan Marzuki di RS setempat, Rabu (8/10) malam.
‘Istri saya masih terbayang anaknya seolah-olah masih hidup’
Sementara keluarga dan wali santri korban terus menunggu kepastian proses identifikasi korban.
Sebagian mereka menunggu kepastian itu di tenda BNPB di RS Bhayangkara, Surabaya.
Salah-seorang keluarga korban, Ahmad Yusuf Fauzan, warga Surabaya, masih menunggu kepastian anaknya yang belum berhasil diidentifikasi.
Saat ditemui di tenda penampungan keluarga korban, Rabu (08/10), sekitar pukul 20.40 WIB, Yusuf mengaku tidak akan pulang sebelum mendapat kabar pasti hasil identifikasi petugas.
“Namanya juga kabar tentang anak, ya saya tunggu. Saya tunggu mengikuti prosedur,” ujar Yusuf pasrah kepada wartawan Roni Fauzan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Sumber gambar, Roni Fauzan
Meskipun wajah pria berumur 47 tahun itu terlihat lelah, namun sesekali masih bisa melempar senyum ketika diwawancarai.
Yusuf sedang duduk sembari menemani istrinya yang tengah terbaring beristirahat di sampingnya. Mata istrinya terlihat masih sembab karena kesedihan.
“Dia (istrinya) masih terbayang-bayang anaknya seolah-olah seperti masih hidup. Selesai salat maghrib tadi, nangis lagi. Saya temani dan saya hibur supaya terus sabar,” tutur Yusuf.
Sang putra yang dinamai Zaky Yusuf, adalah anak semata wayang keluarga kecil ini.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Didik Suhartono
Alasan Yusuf Fauzan memondokkan anak laki-lakinya ke Pesantren Al-Khoziny adalah untuk melanjutkan sanad keilmuan agama di keluarganya yang juga pernah nyantri di Al-Khoziny.
“Biar sanad keilmuannya nyambung, mulai dari kakeknya, terus saya, lalu anak saya yang sekarang,” ungkap warga Jalan Hang Tuah, Kecamatan Semampir, Kota Surabaya ini.
Yusuf mengenang almarhum anaknya (13 tahun) sebagai anak penurut.
Menurut Yusuf, Zaky betah tinggal di Pesantren Al-Khoziny.
“Anak saya alhamdullilah kerasan (betah). Ya kalau satu-dua hari (pertama) nggak kerasan. Ya setelah satu minggu saya telepon, Gimana (kondisimu di sana) Nak? Ya alhamdullilah pak, (sekarang) saya kerasan,” ucap Yusuf menirukan pengakuan anaknya waktu itu.
Cerita-cerita di pertemuan terakhir – ‘Saya Mau ke Mekkah’
Pertemuan terakhirnya dengan anaknya, ungkap Yusuf, sekitar sepekan sebelum kejadian.
Zaky sempat pulang bersama sepupunya karena kedua anak itu mengalami sakit kulit ringan.
Mereka kemudian diizinkann pulang beberapa hari untuk proses penyembuhan.
Saat berada di rumah itulah, Zaky sempat memanfaatkan momen berfoto-foto selfi dan membuat konten Tiktok bersama ibunya, seraya kemudian berpesan “Mak, kalau bisa (foto) ini jangan dihapus ya, jadiin wallpaper. Terus tiktok jangan dihapus, buat kenang-kenangan,” kata Zaky waktu itu.
Namun entah mengapa baru dua hari di rumah dan sakit kulitnya masih belum sembuh benar, Zaky bersikeras meminta kembali ke pesantren.
Yusuf sempat mencegahnya agar jangan terburu-buru.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Didik Suhartono
“Nak, ndak usah balik dulu. Sembuh total. Nanti kalau masalah lambat, nanti langsung (saya sampaikan) ke kiai. Tapi dia tetap tidak mau,” aku Yusuf.
“Saya lebih kerasan di pondok,” sambung Yusuf menyitir kemauan keras anaknya.
Akhirnya Yusuf pun mengantar Zaky dan sepupunya ke pesantren pada Jumat sore 26 September, hingga peristiwa tragis itu akhirnya terjadi tiga hari kemudian.
Yusuf juga melanjutkan kisah tentang apa yang disebutnya sebagai isyarat unik dari anaknya.
Hal ini berdasarkan cerita salah-satu tetangganya. Ketika akan diberangkatkan lagi ke pesantren pada hari Jumat sore itu, tetangga itu sempat menyapa Zaky dan bertanya.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Didik Suhartono
“Mau ke mana, Ki?” Tanya tetangganya sambil mencandai Zaky.
Anak itu lantas spontan menjawab: “Mau ke Mekkah.”
Mendapat cerita dari tetangga tersebut, Yusuf merasa trenyuh.
“Saya langsung nangis mendengar cerita tetangga itu,” ungkapnya.
Tatkala pertama kali mendengar peristiwa robohnya musala pesantren itu, Yusuf dan istrinya langsung syok.
“Kami sangat syok. Istri saya pingsan dua kali malah. Saya juga syok tapi saya kuat-kuatkan saja. Wong namanya anak satu-satunya,” ungkap Yusuf lirih.
Sampai sepuluh hari penantian, Yusuf dan istrinya akan terus menunggu kepastian nasib anaknya.
“Kalau Zaky sendiri sampai sekarang belum ada (hasil identifikasinya). Entah itu meninggal atau nggak meninggal, saya nggak tahu. Saya cuma nunggu saja,” ujar Yusuf.