Sumber gambar, Nurphoto via Getty Images
Angka kemiskinan di Indonesia mengalami penurunan, sesuai kata Presiden Prabowo Subianto. Tapi di balik itu, angka kemiskinan di perkotaan ternyata mengalami kenaikan. Apa yang terjadi?
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat persentase penduduk miskin pada Maret 2025 menurun 0,10 persen terhadap September 2024, menjadi 8,47 persen.
Jumlah penduduk miskin berkurang 210.000 orang pada periode sama, mencapai 23,85 juta orang.
Meski secara keseluruhan jumlah penduduk miskin menurun, BPS menyebut penduduk miskin di kota justru bertambah sekitar 220.000 orang.
Angka kemiskinan yang menurun secara keseluruhan “tidak menggambarkan peningkatan kesejahteraan,” kata ekonomi Eko Listiyanto.
Faktor apa saja yang menyebabkan penduduk miskin di perkotaan meningkat?
Kemiskinan di pedesaan turun, tapi di perkotaan naik
Meski secara keseluruhan jumlah penduduk miskin menurun, BPS menyebut ada kenaikan angka kemiskinan di wilayah perkotaan.
Hasil survei pada September 2024 menunjukkan persentase jumlah penduduk miskin di pedesaan sebesar 11,34%. Pada Maret 2025, jumlahnya turun menjadi 11,03%.
Sedangkan di perkotaan, jumlah penduduk miskin pada September 2024 berada di angka 6,66%.
Hasil survei terbaru menunjukkan angkanya naik menjadi 6,73%, artinya ada kenaikan sekitar 0,07%.
Dibanding September 2024, jumlah penduduk miskin Maret 2025 perkotaan meningkat sebanyak 220 ribu orang, dari 11,05 juta orang pada September 2024 menjadi 11,27 juta orang pada Maret 2025.
BPS melakukan survei terhadap 345.000 rumah tangga di seluruh Indonesia pada Februari 2025 lalu.
Survei tidak dilakukan pada Maret, sesuai jadwal yang seharusnya, karena bertepatan dengan bulan Ramadan. Biasanya pada bulan Ramadan konsumsi rumah tangga meningkat dibandingkan bulan-bulan lainnya.
Rumah tangga dengan jumlah pengeluaran Rp609.160 per kapita per bulan (garis kemiskinan Maret 2025), atau sekitar Rp20.000 per hari, digolongkan sebagai penduduk miskin.
Apa penyebab kemiskinan di perkotaan meningkat?
Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, mengungkap kenaikan itu dipengaruhi oleh jumlah pengangguran dan kenaikan harga pangan.
Pertama, terjadi kenaikan jumlah setengah penganggur sekitar 460.000 orang selama periode Agustus 2024 sampai Februari 2025.
Setengah penganggur adalah orang-orang yang bekerja kurang dari 35 jam dalam sehari, tetapi mereka masih mencari pekerjaan.
Kedua, kenaikan tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada laki-laki di perkotaan juga naik 0,19 persen dalam periode yang sama.
“Kita ketahui bahwa laki-laki kan sebagian besar ujung tombak dalam perekonomian, dalam bekerja. Jadi kenaikan tingkat pengangguran terbuka pada laki-laki ini akan berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan di perkotaan,” kata Ateng dalam konferensi pers pada Jumat (25/07).
Ketiga, dipengaruhi oleh kenaikan harga pangan yang mempengaruhi daya beli.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha
BPS mencatat “sebagian besar” komoditas pangan yang mengalami kenaikan harga dalam satu tahun terakhir, seperti minyak goreng, cabai rawit, bawang putih.
Lalu, apa yang menyebabkan angka kemiskinan di desa menurun, walaupun ada kenaikan harga pangan?
“Meski ada kenaikan juga pada harga pangan nasional, di desa seringkali punya akses ke pangan dan produksi lokal yang dapat mengamankan konsumsi minimumnya,” ujar Ateng.
Ditambah lagi nilai tukar petani (NTP) mengalami peningkatan. NTP biasa digunakan untuk mengukur kesejahteraan petani.
NTP dinilai baik ketika harga jual produk hasil pertanian cukup untuk menutup biaya produksi dan biaya hidup petani.
Satu hal lagi yang membuat angka kemiskinan di pedesaan menurun, kata Ateng, adalah peningkatan tenaga kerja di sektor perdagangan dan pertanian.
Dalam rentang waktu Februari 2024–Februari 2025, tenaga kerja di sektor perdagangan naik sebanyak 900.000 orang dan sektor pertanian naik 890.000 orang.
Data BPS ‘Meragukan’
Direktur Eksekutif INDEF, Esther Sri Astuti, meragukan rilis angka kemiskinan oleh BPS yang dinyatakan menurun.
“Saya kok sangsi ya dengan penurunan [angka kemiskinan]. Tapi, kalau toh itu menurun mungkin metode pengukuran kemiskinannya memang perlu diperbarui karena garis kemiskinannya itu kan juga masih pakai garis kemiskinan yang lama,” kata Esther kepada BBC News Indonesia.
Garis kemiskinan Rp609.160 per kapita per bulan dinilai “terlalu rendah”. Perbedaannya terlalu jauh dengan upah minimum di tiap provinsi (UMP), menurut Esther.
UMP tertinggi ada di Jakarta dengan nilai Rp5,3 juta, sedangkan yang terendah ada di Jawa Tengah dengan Rp2,16 juta.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso
Esther bilang penetapan garis kemiskinan semestinya diukur dari biaya hidup layak dan Rp20.000 per hari dianggap masih terlalu kecil.
Di sisi lain, jika angka kemiskinan benar-benar menurun, dia menduga itu didorong oleh program-program bantuan sosial pemerintah, mulai dari Bantuan Subsidi Upah (BSU), Program Keluarga Harapan (PKH), dan sebagainya.
Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, sepakat kalau bantuan sosial (bansos) yang diberikan pemerintah membantu penurunan jumlah penduduk miskin.
Namun, menurut dia, cara itu bukan “strategi pengentasan kemiskinan yang cukup baik” karena membuat “ketergantungan.
“Yang dibutuhkan untuk pengentasan kemiskinan yang sebenarnya itu adalah dengan menciptakan lapangan pekerjaan bagi orang miskin, yang bisa mengangkat pendapatan mereka dan mengangkat mereka dari kemiskinan secara permanen atau secara berkelanjutan.”
“Bukan mengandalkan pada program-program bansos, walaupun program-program bansos yang sudah digelontorkan itu secara statistik bisa mengurangi orang miskin,” ujar Faisal.
Ekonom lainnya, Eko Listiyanto, mengatakan data angka kemiskinan yang menurun masih “wajar”.
Sebab, survei BPS dilakukan pada Februari 2025, ketika perlambatan ekonomi “belum sedalam sekarang”.
Apalagi saat itu diskon tarif listrik dan berbagai bantuan pemerintah juga masih berjalan, sehingga daya beli masyarakat sedikit tertahan dari perlambatan.
“Jadi, ini secara keseluruhan tidak menggambarkan peningkatan kesejahteraan,” kata Eko.
Angka kemiskinan turun, belum berarti sejahtera
Lebih jauh, Eko mengatakan penurunan jumlah penduduk miskin tidak selalu berarti peningkatan kesejahteraan.
Kondisi kelompok masyarakat lainnya juga perlu diperhatikan sebelum membicarakan kesejahteraan.
Ketika di kelas miskin daya beli “tertahan dari perlambatan” karena bansos, menurutnya, di kelas rentan miskin dan menengah daya beli sudah menurun.
Itu terkonfirmasi dari data kemiskinan di perkotaan yang menurun, kata Eko.
Faisal menambahkan kelompok-kelompok di kelas rentan miskin dan menengah ini juga harus diperhatikan karena kontribusi mereka terhadap pertumbuhan ekonomi sangat besar—84% dari total konsumsi.
Sumber gambar, Bloomberg via Getty Images
Pelemahan daya beli ini disebut pada akhirnya akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Eko mengatakan faktanya pada Triwulan I, pertumbuhan ekonomi melambat, dan pertumbuhan ekonomi diprediksi tumbuh di bawah 5%.
“Target kesejahteraan meleset,” katanya.
Fenomena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal jadi salah satu penyebabnya–selain kenaikan harga, kebijakan pemerintah, dan krisis global.
Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker) mengatakan jumlah PHK tahun ini naik 32,19% dibanding tahun lalu.
“Orang kena PHK umumnya tidak langsung tiba-tiba jadi miskin karena sebelumnya mereka kerja formal, gaji minimal UMR (Upah Minimum Regional), di atas garis kemiskinan.”
Namun, jika terlalu lama tidak bisa mencari pekerjaan formal baru maka tabungan habis dan jatuh ke garis kemiskinan,” ujar Eko.
“Sangat mungkin di Februari 2025 fenomena PHK belum merepresentasikan keseluruhan situasi terkini, di mana pasca lebaran (Maret-April, dan seterusnya) PHK makin banyak.” dia menambahkan.
Pengumuman yang ditunda dan klaim keberhasilan
Pada Minggu (20/07) lalu, Presiden Prabowo Subianto sempat mengumumkan penurunan angka kemiskinan dalam pidatonya. Dia bilang bos BPS sendiri yang memberitahukan penurunan angka itu.
Prabowo mengklaim Indonesia sudah berada dalam jalur yang benar karena beberapa pencapaian dalam bidang ekonomi dan menepis narasi yang menyebutkan Indonesia dalam keadaan sulit dan gagal secara ekonomi.
Klaim itu diragukan oleh sejumlah pihak, termasuk masyarakat luas, karena BPS sempat menunda pengumuman data kemiskinan.
BPS seharusnya merilis data itu pada 15 Juli lalu. Namun, satu jam sebelum waktu yang sudah ditetapkan, BPS menunda pengumuman.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso
Dalam sesi rapat dengar pendapat BPS bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Kamis (17/07), Komisi X menanyakan langsung alasan di balik penundaan itu.
“Mohon untuk di dalam penyusunan data BPS ini jangan mengandung pesanan yang berimplikasi terhadap bagaimana supaya daerahku angka kemiskinannya naik, dibuat tinggi, agar apa? Agar bantuannya banyak,” kata Wakil Ketua Komisi X DPR RI Maria Yohana Esti Wijayati, dikutip dari detik.com.
Adapun Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan penundaan pengumuman angka kemiskinan dilakukan memastikan kualitas dan keakuratan data.
“Tidak ada alasan lain,” ujarnya.
Dia juga menekankan pihaknya tidak pernah mendapatkan pesanan dari pihak mana pun untuk melakukan penyesuaian, apalagi manipulasi data.
Sepuluh hari kemudian, tepatnya pada 25 Juli, BPS akhirnya merilis data kemiskinan.
Mengapa penurunan data kemiskinan kerap diidentikan dengan keberhasilan?
Para ekonom, Esther, Faisal, dan Eko, sepakat menyebut kemiskinan sebagai komoditas yang “seksi” bagi para aktor politik.
Tak heran jika angka kemiskinan sering dijadikan rujukan untuk menilai kesuksesan kepemimpinan dan pembangunan, baik di tingkat nasional maupun di daerah.
“Misalnya saya menjadi pemimpin, lalu di daerah saya tingkat kemiskinan turun, berarti saya berhasil dong karena banyak masyarakat miskin terentaskan,” ujar Esther.
“Tapi, kalau diumumkan tingkat kemiskinannya naik, pasti dibilang, ‘Jadi pemimpin kok enggak becus’,” lanjutnya.
Eko Listiyanto menambahkan, karena mudah dipolitisasi itulah, angka kemiskinan tidak pernah lepas dari perdebatan dan selalu menjadi hal yang “sensitif”.
Apalagi ketika ternyata ada ketidaksesuaian dengan kondisi di lapangan.
“Sudah seharusnya Indonesia melakukan upaya-upaya perbaikan data agar tetap relevan di mata internasional.
Kalau ternyata ‘peningkatan’ jumlah orang miskin meningkat, menurut Eko, dengan sosialisasi dan penjelasan yang baik besar kemungkinan akan diterima berbagai pihak.
“Karena data yang presisi akan memungkinkan penyelesaian masalah yang lebih tepat pula,” tambahnya.
Metode penghitungan akan diperbarui, tapi kapan?
Selama ini, BPS menggunakan metode penghitungan kemiskinan yang sudah dipakai sejak 1998. Oleh sebab itu, banyak ahli menuntut metode penghitungan baru.
Pada Juni lalu, Anggota Dewan Ekonomi Nasional, Arief Anshory Yusuf, mengatakan mengatakan revisi garis kemiskinan nasional sedang dilakukan.
Targetnya, rampung tahun ini. Sebab, garis kemiskinan Indonesia sudah semakin mendekati batas kemiskinan ekstrem yang ditetapkan Bank Dunia.
Idealnya, menurut Arief, garis kemiskinan nasional berada di rentang Rp750.000 hingga Rp1,5 juta, jika mengacu pada garis kemiskinan negara menengah-bawah dan menengah atas.
Berdasarkan klasifikasi Bank Dunia, Indonesia masuk kategori negara berpendapatan menengah-atas (upper-middle income).
Sumber gambar, AFP via Getty Images
BPS mengatakan pihaknya masih menunggu revisi itu dan siap mengimplementasikan jika garis kemiskinan yang baru sudah ditentukan.
Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, mengatakan proses pembahasan masih terus dilakukan, baik internal maupun eksternal—dengan institusi lainnya.
“Kalau kami dari tim teknis ketika nanti akan diimplementasikan apakah tahun depan, bulan Maret 2026 ataukah lainnya, kami tetap untuk menunggu dan kami terus melakukan persiapan demi persiapan di metode baru tersebut,” ujarnya.
Sementara itu, untuk garis kemiskinan ekstrem, Indonesia juga masih belum bisa memakai acuan garis kemiskinan global dari paritas daya beli (purchasing power parity/PPP) 2021, yang nilainya US$3,00 (setara Rp49.018).
Saat ini, Indonesia masih memakai acuan US$2,15 per kapita per hari (sekitar Rp35.129).
“Kami menyesuaikan metodenya (spasial deflator), tapi PPP-nya kami masih tetap karena ini terkait dengan RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) 2025-2029 agar evaluasinya bisa berkesinambungan,” kata Ateng.