Sumber gambar, Courtesy of Netflix
-
- Penulis, Grace Tsoi
- Peranan, BBC World Service
Saat Netflix mengumumkan rencana membuat adaptasi live-action (film dengan tokoh manusia di dunia nyata) dari serial anime yang sangat populer, Solo Leveling, hal ini disambut dengan keraguan dan pro-kontra di kalangan penggemarnya.
Solo Leveling bercerita tentang seorang pemburu monster rendah hati. Ia mulai perjuangan dari tingkat terlemah menjadi yang terkuat—kisah klasik ketika seorang pecundang menjelma pahlawan.
Awalnya, kisah fiksi aksi ini adalah novel web Korea yang populer pada 2016. Tapi, popularitasnya melonjak secara global setelah diadaptasi menjadi serial anime delapan tahun kemudian.
Serial anime ini menjaring banyak penggemar, namun hal itu justru membuat mereka skeptis terhadap adaptasinya menjadi live-action.
“Saya belum pernah memiliki pengalaman yang baik dengan live-action, dan saya tidak melihat masa depan atau kebutuhan untuk keberadaannya,” kata seorang penggemar Solo Leveling asal Swedia, Andre Denisson.
Anime telah memikat imajinasi selama puluhan tahun, tetapi karya seni ini, termasuk penggemarnya, selalu tampak di luar jangkauan studio film mainstream.
Hollywood kesulitan membuat adaptasi live-action, namun para penerusnya—atas dasar permintaan pasar streaming—berusaha memanfaatkan genre ini.
Mengapa begitu sulit membawa anime ke layar dunia nyata?
Seni yang sulit ditebak
Adaptasi live-action adalah pertaruhan “kena atau meleset”, kata Ander Guerrero, seorang penggemar anime yang tinggal di Spanyol.
Dia khawatir, efek CGI untuk Solo Leveling tidak akan mampu menghidupkan materi aslinya: “Anime ini terlihat luar biasa terutama karena adegan pertarungannya, yang mungkin sulit untuk direplikasi dalam versi live-action.”
Ada banyak momen seperti itu dalam Solo Leveling. Versi kartun film ini berlatar di dunia di mana kelangsungan hidup manusia bergantung pada “hunter” atau pemburu—manusia dengan kemampuan khusus—yang bertarung dan mengalahkan monster magis yang muncul melalui portal misterius, atau “gerbang”.
Tingkat kemampuan pemburu monster sudah ditentukan sebelumnya dan tidak dapat diubah atau naik level.
Kita dikenalkan karakter utama, Sung Jin-woo. Dia adalah “senjata terlemah” umat manusia. Tapi, setelah mengalami pengalaman hampir mati, dia menjadi satu-satunya yang memiliki kemampuan untuk “meningkatkan level” kemampuannya.
Cerita ini, beserta adegan-adegan aksi yang ditampilkannya, bahkan menggeser kesukaan penggemar pada Demon Slayer dan One Piece untuk menjadi serial paling banyak ditonton dalam sejarah Crunchyroll, menurut Sony.
Crunchyroll merupakan platform streaming anime untuk penonton di luar Asia yang dimiliki Sony.
Sumber gambar, Courtesy of Netflix
Oleh karena itu, para penggemar tidak yakin Netflix dapat memenuhi ekspektasi mereka.
Mereka yang menonton adaptasi live-action “tidak akan mendapatkan pengalaman yang sama,” tegas Guerrero, yang memperkirakan hasilnya akan menjadi “cerita setengah matang” di mana poin-poin penting alur cerita akan hilang.
Mengubah anime menjadi live-action adalah tantangan berat. Baik itu dari segi kreativitas dan menjaga keseimbangan: di satu sisi ada penggemar yang kritis, dan di sisi lain, ada peluang untuk menjangkau penonton baru.
Terlepas dari siapa yang akan bermain dan produksinya, penting untuk menangkap nada yang tepat, kata Geoff Thew, yang mengulas anime di saluran YouTube-nya “Mother’s Basement” dengan hampir 1,4 juta pengikut.
“Hal-hal yang berhasil secara dramatis dan estetis dalam realitas yang ditingkatkan dalam animasi tidak selalu bisa diterjemahkan ke dalam live action,” katanya.
“Momen-momen ikonik dari anime asli mungkin tidak berjalan dalam live action, tetapi apapun perubahan yang Anda buat, momen-momen tersebut tetap harus dikenali oleh penggemar.”
Mimpi Hollywood
Hollywood pertama kali mengadaptasi anime menjadi film live-action pada 1990-an, tetapi hasilnya tidak memuaskan.
Adaptasi Dragonball Evolution pada 2009 dihujat oleh penggemar anime waralaba ikonik yang telah berusia empat dekade itu.
Sampai akhirnya, penulis skenario merasa terpaksa meminta maaf secara publik bertahun-tahun kemudian.
Begitu pula dengan film Ghost in the Shell yang rilis 2017. Film yang terinsiprasi dari manga Jepang dan dibintangi Scarlett Johansson dikritik keras praktik whitewashing—istilah ini merujuk pada penghapusan peran tokoh dari kelompok tertentu menjadi aktor kulit putih.
Film live-action ini disebut gagal total dan menelan kerugian lebih dari US$60 juta.
Namun, Hollywood tak menyerah dan mencoba lagi dengan beberapa proyek besar yang sedang dikerjakan.
Sumber gambar, Getty Images
Legendary, perusahaan produksi film AS di balik film-film seperti Dune dan Jurassic World, akan membuat film Gundam, seri anime fiksi ilmiah militer tentang robot raksasa yang dimulai pada 1979.
Aktris Sydney Sweeney dilaporkan sedang dalam negosiasi akhir untuk berperan dalam film tersebut.
Raksasa konten global, Lionsgate, dilaporkan sedang mempersiapkan Naruto, anime tentang ninja muda yang berjuang keras untuk menjadi pelindung desanya.
“Ada keinginan yang hampir mendesak untuk membuat film live-action yang sempurna, untuk memahami formula yang tepat,” kata Emerald King, pakar budaya Jepang di Universitas Tasmania, Australia.
Ukuran ceruk pasar mungkin punya peran dalam hal ini.
Pasar anime yang lebih luas, mencakup merchandise dan musik, diperkirakan bernilai sekitar US$34 miliar pada 2024, menurut Grand View Research, dan diperkirakan akan tumbuh menjadi lebih dari US$60 miliar pada 2030.
Netflix biasanya tidak merilis angka penonton yang detil. Tapi, data terbaru tampaknya hanya mengonfirmasi, minat terhadap anime terus meningkat.
Pada Juli lalu, platform tersebut berkata, lebih dari setengah dari 300 juta penggunanya menonton anime. Genre tersebut ditonton lebih dari satu miliar kali pada 2024, meningkat tiga kali lipat dalam lima tahun terakhir.
Dari segmen khusus ke pasar utama
“Menonton anime dulu dianggap ‘hanya untuk orang aneh’ saat saya masih muda,” kata Parisa Haghighat, seorang penggemar anime berusia 34 tahun dari Inggris.
Dia mengenal anime seperti Doraemon dan Sailor Moon di sekolah saat menghabiskan liburan musim panasnya di Thailand.
Parisa masih menonton anime, meskipun sekarang “sudah lebih dikenal umum dan keren, jadi beberapa orang yang dulu mengejek saya sekarang menontonnya sendiri!”
Pengulas anime, Geoff Thew, berpendapat pandemi memainkan peran penting dalam “perubahan drastis” sikap terhadap anime: “Karena terjebak di dalam rumah, orang-orang memiliki banyak waktu luang dan tidak banyak hal yang bisa dilakukan selain menonton TV secara maraton.”
Bagi sebagian orang, anime adalah “alternatif yang menyegarkan,” kata Cathy Boxall, kepala global hiburan di agen pemasaran Dentsu.
“Penonton menemukan bahwa anime menawarkan kompleksitas emosional, keragaman genre, dan keunikan budaya.”
Sumber gambar, Courtesy of Netflix
Lelah dengan waralaba Hollywood menjadi salah satu faktor yang muncul dalam penelitian.
Satu dari 10 responden dalam studi Dentsu berkata, menonton anime karena bosan dengan cerita klise Hollywood. Di AS, sebanyak tiga dari 10 orang menonton anime saat ingin istirahat dari film-film Hollywood.
Lalu, mengapa repot-repot dengan adaptasi live-action, padahal anime itu sendiri sudah menarik?
Dengan anime yang tersedia secara luas, Netflix kemungkinan melihat adaptasi live-action sebagai pembeda, kata Alex Cameron dari Parrot Analytics.
Penonton reguler mungkin ingin menonton anime asli setelah menonton versi live-action—dan itu berarti retensi dan keterlibatan yang lebih lama, tambahnya.
Netflix tampaknya juga belajar dari kesalahan masa lalu.
Enam tahun setelah adaptasi Death Note yang mendapat kritik tajam, versi live-action One Piece pada 2023 yang menampilkan figur internasional, mendapat pujian luas.
Meskipun ada upaya untuk membuat adaptasi live-action terasa lebih otentik, Dr King mengatakan perlu pendekatan yang lebih bijaksana: “Anda bisa terlalu berlebihan dalam berusaha menghormati dan akhirnya mengeksotiskan hal tersebut.”
Para pemain dan kru harus “sadar akan produk yang sedang dibuat,” tambahnya.
Misalnya, One Piece, pada dasarnya, adalah serial tentang bajak laut.
“Hal ini memungkinkan mereka untuk menafsirkan teks sesuai dengan semangat asli. Tanpa menjadi budak adaptasi, ia diizinkan untuk bebas,” katanya.
“Suasana keseluruhan serial ini [Solo Leveling] mirip dengan film superhero yang lebih gelap. Jika adegan pertarungannya keren dan Sung Jin-woo mendapat beberapa kesempatan untuk tampil keren setiap episodenya, penggemar kemungkinan besar tidak akan terlalu mengeluh,” kata Mr Thew.
Para penggemarnya memang optimistis karena Solo Leveling akan dibintangi dan diproduksi oleh tim Korea.
“Ini adalah cara yang baik untuk mempertahankan sebagian besar inti cerita—beberapa casting Hollywood menyebabkan hilangnya nuansa budaya atau cerita yang kecil, dan ini terkadang menjadi tulang punggung cerita,” kata Archie Moyo, seorang penggemar dari Zimbabwe.
“Saya antusias dengan versi live-action karena akan memperkenalkan banyak orang ke dunia Solo Leveling.“