Sumber gambar, Dokumen Polres Situbondo
Atap bangunan asrama putri Pondok Pesantren Syekh Abdul Qodir Jaelani di Situbondo, Jawa Timur, roboh pada Rabu (29/10) dini hari. Seorang santri meninggal dunia dan belasan lain terluka. Ini adalah kejadian ketiga yang menimpa pesantren dalam beberapa bulan terakhir.
Menurut pengamat, kejadian berulang ini menunjukkan ada celah dalam prasyarat pendirian pesantren. Untuk itulah penting dilakukan penindakan hukum jika ditemukan indikasi kelalaian.
Upaya hukum terkait kasus robohnya bangunan pesantren di Situbondo ini ditekankan oleh pengamat, karena Polda Jatim sejauh ini belum menetapkan tersangka kasus runtuhnya bangunan robohnya Pondok Pesantren Al Khoziny, Sidoarjo, Jatim.
Polda Jawa Timur mengklaim bersikap hati-hati dalam menangani kasus yang mengakibatkan 67 santri meninggal dunia tersebut.
Sebelum insiden robohnya atap bangunan pesanten di Situbondo, kejadian serupa terjadi di Bandung Barat, Jawa Barat.
Di sana sebuah pesantren roboh pada Minggu (26/10) yang menyebabkan seorang santri meninggal.
Kementerian Agama berjanji segera mengambil tindakan terkait tiga kasus robohnya tiga pesantren tersebut.
Terbaru, mereka mengeklaim bakal mengubah Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2020 tentang Pendirian dan Penyelenggaraan Pesantren.
Dikatakan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan syarat kelaikan bangunan akan dimasukkan dalam urusan perizinan pendirian pesantren.
Namun di sisi lain, seorang pengamat mengingatkan bahwa anggaran pemerintah yang digelontorkan untuk dunia pesantren itu “sangat minim”. Dia khawatir ini berpengaruh terhadap kualitas bangunan pesantren.
Selama ini, sumber dana pesantren umumnya bergantung pada donatur, iuran santri hingga koperasi.
“Biaya operasional pesantren dari pengasuh atau ustadz dan ustadzahnya. Semuanya menjadi tanggung jawab pesantren atau kyai itu sendiri, maka kualitas bangunan misalnya bisa jadi salah satu dampaknya,” kata Dosen Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Suwendi kepada wartawan Riana Ibrahim yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Kamis (30/10).
Bagaimana kronologi kejadian robohnya atap pesantren di Situbondo?
Sumber gambar, Diana Dinar
Pengasuh Ponpes Salafiyah Syafi’iyah Syekh Abdul Qodir Jaelani di Situbondo, Jatim, KH Muhammad Hasan Nailul Ilmi menyebut, robohnya atap asrama putri ini akibat hujan deras disertai angin kencang.
Ia pun mengaku tidak menyangka hal ini terjadi mengingat bangunan asrama putri itu baru selesai dibangun pada Juli 2023.
“Masih dua tahun empat bulan usia bangunannya. Masih baru,” ucap Hasan, seperti dilaporkan wartawan Diana Dinar untuk BBC News Indonesia, Kamis (30/10).
Hasan pun menceritakan awal mula peristiwa tersebut. Menurut dia, hujan mulai turun sangat lebat dengan angin kencang sekitar pukul 23.00 WIB.
Lalu, sekitar pukul 00.30 WIB, terdengar suara gemuruh yang sangat keras sehingga para pengasuh dan penghuni pondok terbangun dan bergegas memeriksa kondisi pondok saat itu.
“Ada yang berteriak memberi tahu bahwa pondok putri di lantai dua atapnya ambruk. Saya langsung ke atas dan benar, genteng dan kayu penyangga runtuh dan mengenai santri putri,” ujar Hasan.
Di dalam kamar yang berada di lantai dua itu, sebanyak 19 santri tengah tertidur.
Akibat kejadian tersebut, seorang santri Putri Helmilia Oktaviantika (13) meninggal karena tertimpa kayu penyangga.
Putri sempat dilarikan ke rumah sakit, namun nyawanya tidak tertolong. Adapun 11 santri putri lainnya mengalami luka-luka.
Putri yang merupakan warga Desa Rawan, Kecamatan Besuki, Situbondo, Jawa Timur ini telah dimakamkan Rabu (29/10) pukul 06.00 WIB.
Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Syekh Abdul Qodir Jailani, yang berada di Desa Blimbing, Kecamatan Besuki, Situbondo ini berdiri sejak 2007. Sebanyak 300 santri yang terdiri dari santri putra dan putri tinggal di situ.
Pasca insiden ini, Hasan berkata kegiatan pondok diliburkan selama sepekan.
Asrama putri juga belum bisa ditempati sehingga para santri putri diliburkan sementara dan diharapkan segera bisa menempati asramanya lagi.
“Asrama putri belum bisa ditempati karena belum kami perbaiki. Santri putri diliburkan sejak kemarin.”
Secara terpisah, Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Timur, Gatot Soebroto berkata ada penyebab lain atap ponpes ambruk.
Selain hujan lebat dan angin kencang, diduga adanya keretakan pada beberapa bagian bangunan akibat gempa bumi berkekuatan 5,7 SR yang terjadi pada 25 September lalu turut berpengaruh.
Kepolisian Resor Situbondo masih menunggu hasil penyelidikan lanjutan untuk memastikan penyebab ambruknya atap bangunan asrama putri itu.
Kapolres Situbondo Ajun Komisaris Besar Rezi Dharmawan menduga penyebab sementara karena cuaca.
‘Mondok hanya bayar Rp20 ribu per bulan dan beras’
Duka menyelimuti keluarga Putri Helmilianti Oktaviantika (13) yang meninggal dunia karena tertimpa atap roboh di pondok pesantrennya.
Bibi Putri, Rina, yang dijumpai di rumah duka mengingat keponakannya sebagai anak yang pendiam.
Sebagai anak sulung, kata Rina, Putri juga berupaya mengerti kondisi orang tuanya.
“Kalau sekolah, dia enggak dikasih uang saku, tidak pernah protes. Dia berangkat saja tetap sekolah. Setelah lulus, cita-citanya ingin hafal Al-Quran. Makanya terus mondok. Ini baru mondok dapat enam bulan,” ucap Rina.
Selain itu, mondok juga dianggap Putri bisa meringankan orang tuanya.
Selama tinggal di pesantren, biaya yang dikeluarkan hanya Rp20 ribu per bulan dan beras 15 kilogram.
Menurut Rina, orang tua Putri sangat terpukul apalagi Putri baru berulangtahun pada 20 Oktober lalu. “Anaknya pendiam dan pengertian.”
Secara terpisah, Aura Adelia (14), sesama santri, mengalami patah jari kaki akibat tertimpa runtuhan bangunan.
Ia pun mencoba mengingat peristiwa yang terjadi.
Malam itu, Aura langsung tertidur seperti biasa hingga ia merasa ada sesuatu yang keras menimpanya. Ia pun menyingkirkan benda tersebut dan berusaha keluar kamar tanpa penerangan.
“Tidak ada tanda-tanda. Saya juga tidak tahu apa-apa, terbangun sudah ambruk. Di luar itu, gerimis,” ujar Aura.
Dalam usahanya untuk keluar bangunan, ia merasakan sakit pada bagian kaki yang sempat tertimpa. Ia pun melihat kaki kanannya berdarah dan sangat nyeri jika digerakkan.
“Akhirnya, saya minta tolong. Ada yang menggendong saya dan dibawa ke rumah sakit.
Selain dirinya, Aura menyebut ada santri lain yang diketahuinya juga mengalami luka parah. Dua rekannya dibawa ke RSIA Jatimned dan dua lainnya di RSUD Besuki.
Pengasuh pondok dan Bupati Situbondo Yusuf Rio Wahyu Prayogo mengaku akan menjamin biaya pengobatan dan perawatan para korban.
Sumber gambar, Diana Dinar
Apa tindakan Kementerian Agama pasca kejadian berulang?
Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren di Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, Basnang Said menyampaikan pihaknya telah meninjau lokasi kejadian tersebut.
Selama ini, permohonan pendirian pesantren tidak mewajibkan pengaju untuk melampirkan keabsahan dan kelaikan bangunan.
Berikut lampiran yang diatur dalam PMA No 30/2020:
- Surat pernyataan yang memuat komitmen untuk mengamalkan nilai Islam rahmatan lil’alamin dan berdasarkan Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta Bhinneka Tunggal Ika.
- Fotokopi KTP kyai pengasuh pesantren
- Kurikulum dan Dokumen pembelajaran
- Daftar nama santri mukim paling sedikit 15 orang
- Keputusan pengeshan badan hukum bagi yayasan dan organisasi masyarakat Islam
- Daftar nama pendidik dan tenaga kependidikan
- Foto gedung, papan nama, dan denah pesantren
- Surat keterangan domisili dari desa/kelurahan
- Fotokopi bukti dokumen kepemilikan tanah
Selanjutnya, Kepala Kantor Kementerian Agama akan melakukan pemeriksaan kelengkapan dokumen, verifikasi, dan kunjungan ke lokasi.
Sekitar dua minggu lebih, proses ini berjalan sampai keluar rekomendasi dari Kepala Kantor Kementerian Agama pada Menteri Agama.
Menteri akan memberikan izin terdaftar bagi pesantren yang memperoleh rekomendasi ini.
Izin terdaftar ini diberikan dalam bentuk Piagam Statistik Pesantren yang memuat: nomor statistik pesantren, nama pesantren, alamat, dan pendirinya.
Basnang menyadari hal ini sehingga dalam revisi peraturan nanti akan ada petunjuk teknis yang lebih rinci.
“Ke depannya, pesantren untuk mendapatkan nomor statistik pesantren, maka seluruh bangunan—termasuk asrama dan masjidnya—supaya melampirkan PBG (Persetujuan Bangunan Gedung) dan SLF (Sertifikat Laik Fungsi),” ucap Basnang.
Untuk bisa memperoleh PBG dan SLF ini, sambungnya, tata letak dan konsep arsitekturnya juga harus diserahkan pada otoritas yng berwenang untuk dikaji terkait keselamatan dan keamanan bangunan.
Saat ini, ada lebih dari 42 ribu pesantren di Indonesia. Namun dari data Kementerian Pekerjaan Umum hanya 51 dari puluhan ribu pesantren tersebut yang memiliki PBG.
“Tentu kita sedang melakukan pendataan sekarang bekerjasama dengan penyuluh agama seluruh Indonesia. Pendataan juga meliputi pesantren yang memiliki bangunan gedung yang tinggi, misalnya,” ujar Basnang.
Sumber gambar, Garry Lotulung/NurPhoto melalui Getty Images
Bagaimana mengurai benang kusut pesantren?
Dosen Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Suwendi, mengatakan lembaga pendidikan pesantren “kerap memperoleh perlakuan tidak adil”.
Salah-satu buktinya, kata Suwendi, baru pada 2019 lalu membaga pesantren “baru diakui” melalui sebuah undang-undang.
“Pesantren ini sebagai ruang pendidikan yang asli Indonesia memang bisa dibilang sangat terlambat untuk diakui sebagai bagian dari sistem pendidikan, termasuk kemudian mendapatkan kesetaraan seperti halnya pada lembaga pendidikan lain,” kata Suwendi kepada wartawan Riana Ibrahim yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Kamis (30/10)
Bukti lainnya, pesantren juga disebutnya belum mendapat perlakukan adil terkait anggaran.
Ia menyebut mengenai alokasi pendidikan dari APBN sebesar 20% itu hanya kecil sampai ke pesantren.
“Katakan hari ini, ada 3000 sekian triliun APBN secara keseluruhannya pada 2025. Hitungan 20% ya berarti 600 triliun ya. Nah, dari 600 triliun itu yang nyangkut ke pesantren hanya 1 triliun yang berarti 0,1 sekian persen, padahal jumlah santri ada sekitar 1,6 juta dan 42 ribu pesantren,” ungkapnya.
Padahal sesuai undang-undang, pesantren juga menjalankan fungsi pendidikan, katanya.
Suwendi juga menyebut anggaran untuk renovasi bangunan pesantren yang minim.
Dia menduga, minimnya anggaran bagi pesantren ini berdampak pada kualitas bangunan.
Pendanaan dari pemerintah memang ada tetapi tidak banyak, ungkap penelitian itu.
Riset itu juga menyimpulkan, masalah transparansi dan akuntabilitas juga sering dijumpai di pesantren. Sebagian pesantren disebut belum memahami pentingnya pencatatan dan pembukuan untuk mengatur aliran keuangan.
Menanggapi masalah anggaran bagi pesantren, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren di Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, Basnang Said berkata, pihaknya membuka ruang bagi pesantren jika membutuhkan pendanaan untuk renovasi fasilitas.
Selama ini, pendanaan tersebut dapat diajukan dan akan diverifikasi oleh Kementerian Agama.
Terkait kasus pesantren di Situbondo, Kementerian Agama akan memberikan donasi Rp200 juta untuk renovasi bangunan.
‘Lakukan tindakan hukum’
Sementara, terkait dengan upaya hukum mengenai robohnya bangunan pesantren, Suwendi menyerahkan pada penegak hukum.
Menurut dia, penegak hukum harus bekerja berdasarkan bukti yang ada.
Sehingga jika terbukti lalai dan ada yang menyalahi aturan, maka pihak yang bersangkutan dapat ditindak secara hukum.
Secara terpisah, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Eva Achjani Zulfa menyampaikan perlu ditelusuri penyebab bangunan ambruk.
Pada kasus yang sempat terjadi di Pesantren Al Khoziny di Sidoarjo, polisi telah menggunakan Pasal 359 dan 360 KUHP beserta dugaan pelanggaran UU No 28/2002.
Untuk itu, penindakan secara hukum perlu diperlukan untuk mencegah terulangnya kejadian serupa di kemudian hari.
Eva juga mempertanyakan pengawasan dari Kementerian Agama.
Namun mengenai lambatnya penanganan polisi pada kasus Al Khoziny, Eva berpandangan bisa jadi polisi memang berhati-hati menelisik perkara ini.
Ana Abdillah, yang pernah mendampingi korban kekerasan seksual di pesantren, mengaku sikap tertutup sebagian pesantren merupakan tantangan bagi aparat saat menangani masalah hukumnya.
Wartawan Diana Dinar di Situbondo berkontribusi dalam liputan ini.
 
					 
		 
                 
                 
                 
                 
                 
                 
                 
                 
                