Sumber gambar, YASUYOSHI CHIBA/AFP via Getty Images
Empat kelompok Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) menyatakan keluar dari BEM Seluruh Indonesia, usai menilai aliansi organisasi mahasiswa tersebut telah disusupi kepentingan pemerintah pada musyawarah nasional yang digelar akhir pekan lalu.
Alasan keempat BEM yang menilai musyawarah nasional telah disusupi agenda politik—sehingga memutuskan berpisah jalan, menunjukkan bahwa otoritas di Indonesia takut jika gerakan mahasiswa menjadi solid, kata pengamat.
BBC Indonesia belum bisa memverifikasi sejauh mana penetrasi politik pemerintah di dalam Musyawarah Nasional XVIII BEM Seluruh Indonesia (BEM SI) Kerakyatan di Padang, Sumatera Barat, yang berujung keluarnya Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Diponegoro (Undip), Universitas Sultan Agung (Unissula) Semarang, dan Universitas Tanjungpura (Untan) dari aliansi.
Namun, salah seorang bekas anggota BEM SI menceritakan bahwa penetrasi kepentingan cukup sering terjadi dalam gerakan mahasiswa, seraya menambahkan bahwa terpaan berulang itu cukup berperan dalam membuat sejumlah mahasiswa berubah pragmatis.
“Ujungnya, terkadang pergerakan ini justru menjadi pembuka jalan mereka ke politik saja,” kata Jojol, yang aktif dalam struktur salah satu BEM SI periode 2021-2023.
‘Tempat penguasa memoles muka’
UGM menarik diri dari Aliansi BEM SI Kerakyatan pada 20 Juli setelah menilai pelaksanaan musyawarah nasional jauh dari semangat persatuan gerakan mahasiswa karena dihadiri sejumlah politikus, pejabat pusat dan daerah, hingga petinggi kepolisian serta perwakilan Badan Intelijen Negara (BIN) Sumatera Barat.
Dalam pernyataan tertulisnya, BEM UGM bahkan menyebut musyawarah nasional itu sebagai “tempat penguasa memoles muka”.
Sehari berselang, Undip menyampaikan sikap serupa, disusul Unissula dan Untan pada 22 Juli 2025.
Koordinator Media BEM SI Kerakyataan, Pasha Fazillah Afap, menghormati keputusan sejumlah BEM yang memutuskan keluar dari BEM SI Kerakyatan dan menilai ihwal tersebut tak perlu dibesar-besarkan.
Sumber gambar, Aditya Irawan/NurPhoto via Getty Images
“Glorifikasi atas keluarnya satu-dua pihak justru berpotensi melemahkan substansi perjuangan kita bersama,” ujar Pasha pada 22 Juli.
Ketua BEM Universitas Dharma Andalas, Rifaldi, yang juga panitia musyawarah nasional menepis kehadiran para pejabat pusat dan daerah dan politikus itu akan melemahkan gerakan mahasiswa.
“Kami berkomitmen tidak mengganggu independensi kami untuk mengkritik kekuasaan,” kata Rifaldi, dikutip dari Tempo.co, seraya menambahkan bahwa kehadiran mereka adalah bagian komunikasi lantaran acara digelar di asrama haji yang dimiliki pemerintah.
Sejumlah pejabat pemerintah yang hadir pada musyawarah nasional juga menepis kehadiran mereka bertujuan melemahkan kritik mahasiswa.
“Terus kritik. Berikan masukan untuk kami di pemerintahan,” kata Menteri Pemuda dan Olahraga, Dito Ariotedjo, dalam pidato pembukaan musyawarah nasional BEM SI Kerakyatan.
Senada, pernyataan Vasko Ruseimy, Wakil Gubernur Sumatera Barat yang juga politikus Partai Gerindra, yang mengatakan, “Kami buktikan di sini. Kami hadir bersama adik-adik semua, bagaimana rasanya mendapatkan masukan-masukan [yang] benar.”
‘Tidak ada jabatan yang berharga direbut sampai harus ribut’
Perpecahan bukan satu-satunya arang yang mencoreng musyawarah nasional BEM SI Kerakyatan yang digelar 13-19 Juli 2025.
Sehari menjelang penutupan acara, kerusuhan antarpeserta juga pecah dan mengakibatkan beberapa peserta terluka. Poin perkelahian ini pula yang dijadikan landasan BEM UGM memutuskan keluar dari BEM SI Kerakyatan.
“Kami menyesalkan kejadian itu,” tulis BEM UGM dalam keterangan yang dilansir di akun Instagram, @bemkm_ugm.
“Bagi kami, tidak ada jabatan yang berharga untuk direbut sampai harus ribut. Kesatuan kita adalah aset berharga bagi gerakan rakyat sipil.”
Wiyu Ghaniy Allatif Yudistira, Presiden BEM Unissula, menilai musyawarah nasional BEM SI jauh dari nilai moralitas mahasiswa akibat banyak indikasi intervensi politik dan keculasan.
Sumber gambar, TEMPO/Putu Setia
“Bahkan, ada baku hantam antarpeserta forum, menandakan itu jauh dari substansi gerakan mahasiswa,” kata Wiyu dalam keterangan tertulis pada 22 Juli.
Terkait keributan yang pecah di sela-sela kegiatan, Rifaldi enggan berpolemik dengan menyebutnya sebagai dinamika gerakan.
Sebelum diterpa perpecahan, BEM SI Kerakyatan sejatinya tergolong aktif terlibat dalam aksi demonstrasi mengkritik kebijakan pemerintah.
Mereka, antara lain, terlibat dalam unjuk rasa menentang revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) pada Maret lalu dan penolakan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen pada Desember 2024.
Sumber gambar, Aditya Irawan/NurPhoto via Getty Images
BEM SI Kerakyatan berdiri pada 2021, sebagai sempalan BEM SI—tanpa embel-embel apapun.
Perpecahan terjadi selepas musyawarah nasional yang kebetulan juga digelar di Sumatera Barat pada 2021. Musababnya adalah keputusan panitia kala itu yang membatasi kuota peserta yang dapat hadir di lokasi musyawarah dengan alasan menegakkan protokol kesehatan COVID-19.
Kebijakan itu lantas mematik ketidakpuasan kelompok yang tidak bisa memasuki lokasi acara dan berujung pernyataan mosi tidak percaya.
Tak lama, kelompok ini kemudian mendirikan BEM SI tandingan dengan menambahkan jargon “kerakyatan” di belakang namanya, sementara kelompok awal menyematkan jargon “Rakyat Bangkit”.
Adapun BEM SI sebelum rangkaian perpecahan didirikan pada 2007 di Bogor, Jawa Barat, sebagai wadah bagi seluruh BEM universitas di antero Indonesia.
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Ubedilah Badrun, berpendapat gerakan mahasiswa tidak akan melemah kendati terjadi perpecahan pada salah satu aliansi gerakan seperti BEM SI Kerakyatan.
Menurut Ubedilah, setiap perpecahan dalam sebuah pergerakan mahasiswa akan menghasilkan kelompok dan aliansi baru.
“Sepanjang negara enggak bisa membangun demokrasi yang berkualitas dan sehat, sepanjang itu pula gerakan mahasiswa akan terus hadir,” ujar Ubedilah kepada BBC Indonesia, sembari memberi contoh bahwa meski terpecah, kedua BEM SI terkadang tetap menyuarakan isu sama yang mengkritik pemerintah.
Sumber gambar, Kementerian Penerangan/Wikipedia
Saat ditanya potensi dugaan penyusupan kepentingan pemerintah yang memicu perpecahan di musyawarah nasional BEM SI Kerakyatan, Ubedilah mengatakan bahwa hal tersebut masuk akal jika merujuk manuver pemerintah beberapa tahun belakangan.
Berdasarkan penelusuran di sejumlah kampus, Ubedilah kerap mendapati pihak di luar kampus yang mendata kandidat Ketua BEM yang akan maju dalam pemilihan dan memetakan kandidat terkuat yang berpotensi menang.
Andaikata kandidat terkuat dirasa tidak dapat dikontrol, terang Ubedilah, kemudian akan dimunculkan kandidat tandingan yang nantinya dipoles dengan tim dan kekuatan finansial kuat.
“Spanduknya banyak, media sosial aktif, dan punya tim sukses,” ujar Ubedilah.
Ajang mencari kader
Salah seorang mantan pengurus salah satu BEM SI yang memilih untuk dipanggil Jojol mengatakan, siasat pejabat pemerintah dan tokoh politik biasanya menyisipkan kepentingan dan agenda mereka lewat pemberian dana untuk kegiatan kelompok mahasiswa.
Sebagai balasan atas sumbangan tersebut, para pejabat atau tokoh politik kemudian mendapat kesempatan menjadi pembicara di kegiatan yang dilaksanakan mahasiswa, terang Jojol.
“Dalam pembicaraan itu mereka kemudian menyampaikan materi positif atau yang menjauhkan kritik,” tambahnya.
Tak jarang pula, ditambahkan Jojol, para pejabat atau tokoh politik menjadikan momen kegiatan mahasiswa, seperti musyawarah nasional, untuk mencari kader bagi partai-partai yang menaungi mereka.
“Dari sana pengaruh ditanamkan,” pungkasnya.
BBC Indonesia menghubungi Menpora Dito dan Wakil Gubernur Sumatera Barat Vasko, guna mengonfirmasi apakah pola tersebut terjadi di musyawarah nasional BEM SI XVIII, tapi sampai saat ini belum beroleh balasan.
Dengan kondisi tersebut, apakah badan eksekutif mahasiswa kini masih relevan di Indonesia?
Ubedilah menyebut BEM masih relevan sepanjang demokrasi di Indonesia belum berjalan baik. Ketika parlemen dan yudikatif belum berfungsi sebagaimana mestinya, terangnya, gerakan mahasiswa seperti BEM masih dapat menjadi alternatif.
Selain itu, Ubedilah menilai BEM masih relevan sebagai “laboratorium” untuk menghasilkan calon pemimpin bangsa.
“Untuk konteks masa depan, menurut saya BEM masih relevan,” pungkasnya.