Sumber gambar, ANTARA FOTO/Andry Denisah
Pemerintah akan meningkatkan campuran etanol dalam bensin menjadi 10% (E10) dalam tiga tahun ke depan. Namun, pegiat lingkungan mendesak agar bahan baku etanol tersebut tidak diproduksi melalui deforestasi dan konflik masyarakat adat.
Mandat E10 diperkirakan akan mendorong pertumbuhan industri etanol di Indonesia. Artinya, akan ada perluasan lahan perkebunan tebu atau tanaman sejenis.
Salah satu wilayah yang menjadi prioritas proyek swasembada gula dan bioetanol adalah Merauke, Papua Selatan. Saat ini, masyarakat adat di sana sedang menghadapi konflik dengan perusahaan.
Baru-baru ini, Kementerian ESDM mengklaim Pertamina akan menyiapkan base fuel tanpa campuran etanol kepada SPBU swasta.
Etanol disebut sebagai bahan campuran yang mampu mendongkrak oktan (RON) BBM, dan ramah lingkungan. Persoalan yang dihadapi saat ini, menurut pemerhati energi bukan pada etanol melainkan tahapan pencampurannya.
Apa yang dikatakan pemerintah soal campuran etanol ke bensin?
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengklaim Presiden Prabowo Subianto setuju dengan mandatori campuran etanol 10% (E10) pada bensin.
“Ke depan kita akan mendorong untuk ada E10. Kemarin malam sudah kami rapat dengan Bapak Presiden. Pak Presiden sudah menyetujui untuk direncanakan mandatori 10% etanol,” katanya, Selasa (08/10).
Saat ini, pencampuran etanol pada bensin diterapkan pada produk Pertamax Green 95 dengan kadar 5% (E5) yang dimulai Juli 2023. Tapi sifatnya masih opsional, bukan kewajiban.
Bahlil bilang, kebijakan mandatori E10 bertujuan “agar kita tidak impor banyak, dan juga untuk membuat minyak yang bersih, yang ramah lingkungan”.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha
Ia menambahkan, pemanfaatan etanol yang berasal dari nabati (misalnya singkong, tebu, jagung dan sorgum) merupakan upaya pemerintah mencapai kemandirian energi. Namun, butuh waktu untuk pengembangan E10.
“E10 masih dalam pembahasan, kita menguji coba dulu. Sudah dinyatakan clear, bagus, baru kita jalankan. Butuh 2-3 tahun terhitung dari sekarang. Jadi kita harus hitung baik-baik dulu,” katanya.
Pemerintah tengah menyiapkan lahan untuk mendukung peningkatan produksi tanaman penghasil bahan baku etanol. Setelah itu, akan dibangun pabriknya.
Bahlil bilang, akan ada dua pabrik yang dibangun, yakni pabrik etanol berbahan baku singkong dan tebu.
“Tebu kemungkinan besar di Merauke, sementara singkong lagi dipetakan,” jelasnya.
Bagaimana arah kebijakan bioetanol?
Runutan kebijakan etanol untuk campuran bensin ini tidak muncul begitu saja. Proyek swasembada gula dan penyediaan bioetanol sudah dirancang sejak pemerintahan Joko Widodo.
Sebulan aturan ini diteken, Jokowi menanam tebu perdana di Merauke.
“Dan pemerintahan Pak Prabowo ke depan sudah menyampaikan bahwa beliau akan berkonsentrasi di pangan dan energi, nah di sini (Merauke tempatnya),” kata Jokowi kala itu.
Setahun kemudian, aturan ini dikuatkan dengan pembentukan Satgas Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol. Lokasinya spesifik: Kabupaten Merauke, Papua Selatan.
Pemerintah menargetkan satu juta hektare lahan di sana dikembangkan menjadi perkebunan tebu—bagian Proyek Strategis Nasional (PSN).
Sekitar 600.000 hektare lahan sudah dijatah akan dikelola sembilan perusahaan perkebunan tebu. Luas lahan ini hampir setara dengan Pulau Bali.
Sebagian mulai digarap dengan menggusur lahan, hutan dan rawa. Wilayah perkebunan tebu ini tersebar di Distrik Tanah Miring, Animha, Jagebob, Eligobel, Sota, Ulilin dan Muting.
Pemerintah punya target produksi gula di Merauke mencapai tiga juta ton per tahun mulai 2027.
Pada tahun yang sama, perkebunan-perkebunan tebu ini akan berintegrasi dengan pabrik bioetanol dengan kapasitas 300.000 kl per tahun.
Mengapa dikaitkan dengan isu deforestasi dan konflik agraria?
Karena yang saat ini sedang dibangun—perkebunan tebu di Merauke—menghadapi konflik dengan masyarakat adat.
Konflik terbaru mencuat pertengahan September silam, saat sebuah perusahaan perkebunan tebu diduga menerabas masuk lahan adat milik marga Kwipalo.
Perusahaan tebu di Distrik Jagebob itu berencana membuka akses jalan untuk perkebunan.
Sumber gambar, Pusaka Bentala Rakyat
Aksi ini direspons Marga Kwipalo dengan menghentikan eksavator dan buldoser.
“Kami manusia, kau lihat. Kau punya tangan, kami juga punya tangan,” kata Vincen saat beradu mulut dengan orang-orang perusahaan yang membongkar lahannya.
Vincen Kwipalo selaku tetua adat bersama kuasa hukumnya melayangkan somasi atau teguran ke perusahaan atas tuduhan penyerobotan tanah adat suku Yei.
Sumber gambar, Pusaka Bentala Rakyat
Pada 6 Oktober, keluarga Vincen mendapat serangan sekelompok orang. Mereka menggunakan panah, parang, kapak hingga senapan angin dan meniupkan ancaman pembunuhan.
“Mereka berteriak, ‘bongkar rumah, bakar rumah, bunuh orangnya’,” kata Vincen kepada BBC News Indonesia.
Ini bukan serangan pertama terhadap sosok yang keras menolak perkebunan tebu dalam skema PSN Merauke.
Dalam wawancara lainnya, seorang warga lokal di Merauke terpaksa melepas sebagian tanah adatnya pada perusahaan dengan harga Rp300.000 per hektare.
“Karena kita juga berpikir jangan sampai ada hal-hal buruk yang terjadi pada keluarga kita orang,” katanya.
Sumber gambar, Pusaka Bentala Rakyat
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mencatat proyek swasembada gula dan bioetanol di Merauke bukan hanya menabur konflik agraria, tapi juga merusak hutan.
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi, Uli Arga Siagian, bilang hilangnya hutan dan biodiversitas akan memperparah kondisi ekologis.
“Satu, banjir dan longsor akan semakin kerap terjadi, dan yang kedua, dalam konteks yang lebih besar, ini akan berkontribusi pada pelepasan emisi yang sangat besar dan kemudian membuat situasi iklim kita semakin kritis,” ujar Uli.
Kata Uli, kebijakan 10% etanol pada bensin dengan dalih energi bersih akan menjadi kontradiktif dengan cara memperolehnya.
“Sebenarnya dia juga kotor karena dia merusak ekosistem, dia merampas tanah atau wilayah milik masyarakat,” katanya.
Apa akar persoalannya?
Kepala bidang kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Benni Wijaya belum melihat terobosan dari pemerintah mencari jalan keluar persoalan ini.
Hal ini membuatnya yakin proyek bioetanol di Merauke akan mengikuti jejak proyek-proyek energi ramah lingkungan lainnya yang bermasalah.
Berdasarkan pantauan KPA, proyek energi ramah lingkungan lainnya seperti biomassa dan nikel—untuk keperluan baterai—yang sudah beroperasi masih digelayuti persoalan konflik lahan.
“Praktiknya di lapangan, industrinya tetap saja masih menggunakan cara-cara lama. Enggak ada perubahan. Pasti saja merampas tanah masyarakat, pasti saja merusak lingkungan,” katanya.
Sumber gambar, Laporan KPA
Hasil pemantauan dan analisis KPA memperlihatkan industri nikel tidak jauh lebih kotor dari industri tambang lainnya.
Industri ini ditemukan turut memicu penggusuran, merusak lingkungan dan melanggengkan praktik perbudakan di dalam industrinya.
Konflik ini di antaranya terjadi di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Sebanyak 32 warga desa dikriminalisasi perusahaan dengan tuduhan menghalang-halangi aktivitas pertambangan.
Di Morowali, Sulawesi Tengah terjadi konflik horizontal buruh lokal dan TKA dan lain-lain.
Sementara itu, di Kabupaten Buru, Maluku, wilayah masyarakat adat yang sudah memiliki 62 sertifikat komunal dicaplok perusahaan untuk proyek energi biomassa yang telah dimulai sejak 2022.
Akar persoalan konflik agraria yang menahun, kata Benni, karena tidak ada pengakuan hukum dari pemerintah atas kepemilikan tanah masyarakat adat.
Saat proyek datang, masyarakat adat dengan mudah disingkirkan.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin
“Tidak pernah diakui hak atas tanah masyarakat yang sudah bermukim 90-an tahun di sana, menggarap tanah yang seharusnya dia menjadi pemilik atas tanah itu,” katanya.
KPA melaporkan terjadi peningkatan letusan konflik agraria dalam lima tahun terakhir.
Dalam data 2024, konflik agraria tercatat mencapai 295 kasus, naik 21% dari tahun sebelumnya.
KPA: ‘Tanam paksa model baru’
Benni juga melihat program ketahanan energi berbasis pada nabati ini akan mengubah pola pertanian masyarakat. Perkebunan akan dibuka dengan jenis-jenis tertentu.
“Itu menghancurkan keragaman pangan-pangan lokal, menggantikannya dengan pangan-pangan yang memang bernilai tinggi secara industri,” katanya.
Lahan, hutan, rawa dan sungai yang semula menjadi sumber penghidupan masyarakat adat, perlahan hilang, lanjut Uli.
“Pemerintah membangun sebuah proyek pangan besar yang melibatkan korporasi, lalu mengusur tanaman-tanaman masyarakat, dan masyarakat disuruh masuk menjadi pekerja di dalamnya. Nah, ini kan yang kita katakan sebagai sistem tanam paksa model baru,” tambahnya.

Rencana pabrik bioetanol hanya satu bagian dari PSN di Merauke. Lainnya, adalah cetak sawah dan perkebunan tanaman adaptif.
PSN Merauke rencananya akan menggunakan lebih dari dua juta hektare lahan, yang terdiri atas lima klaster dan tersebar di 13 distrik.
Wilayah lain yang ditetapkan sebagai kawasan serupa adalah Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Sumatra Selatan.
Bagaimana industri menyambut E10?
Asosiasi Produsen Spiritus dan Ethanol Indonesia (APSENDO) mencatat saat ini ada sekitar 13 pabrik pengolahan etanol di Indonesia yang beroperasi.
Mereka terintegrasi dengan perkebunan tebu seluas 500.000 hektare yang tersebar di Jawa, Sumatra dan Kalimantan. Kebanyakan produksi etanol ini disalurkan pada sektor non-energi.
“Itu semua existing, itu sebenarnya bukan dari daerah hutan yang kita tebangin, bukan. Itu sudah ada dari zaman Belanda dulu. Dengan total giling tebu sekitar 35 juta ton,” kata Ketua Umum APSENDO, Izmirta Rachman.
Ia mengatakan, pabrik yang sudah ada ini siap dan akan mendukung kebijakan E10.
“Karena multiplier effect ekonomi maupun multiplier effect terhadap pengurangan impor fosil maupun multiplier effect terhadap penurunan emisi itu sangat menguntungkan negara kita,” katanya.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi
Untuk menambah kapasitas produksi tebu mengejar mandatori E10, Izmirta tak menampik industri akan membutuhkan bukaan lahan dan mendirikan pabrik baru.
Saat ditanya bagaimana industri memastikan hal itu tidak berdampak pada hutan dan lahan masyarakat adat, ia menyerahkan hal ini kepada pemerintah.
“Itu adalah koridornya dari kementerian terkait, bagaimana memastikan semua lahan tebu itu perizinannya legal, konversinya benar-benar bukan hutan lindung. Makanya saya katakan enggak bisa satu sektor saja,” katanya.
Industri etanol yang sudah berjalan saat ini, kata Izmirta, akan ikut dengan regulasi pemerintah.
“Silakan nanti molasenya [bahan baku etanol], mau ada sertifikasi silakan. Bahwa molasenya memang berasal dari tanaman tebu yang ditanam bukan di areal yang merupakan deforestasi,” tambahnya.
Berapa kapasitas etanol yang dimiliki saat ini?
Industri etanol yang sudah eksis punya produksi siap pakai sebagai campuran bensin sebesar 60.000 kilo liter (kl) per tahun. Kapasitasnya bisa didongkrak hingga 330.000 kl, kata Izmirta.
Pada 2024, konsumsi pertalite—bensin subsidi—di Indonesia diperkirakan 29,7 juta kl, sedangkan konsumsi bensin non-subsidi yang diestimasi APSENDO mencapai 8 juta kl.
Dengan asumsi angka konsumsi BBM dan ketersediaan etanol di Indonesia, maka untuk memenuhi E10 (pada bensin subsidi dan non-subsidi), dibutuhkan setidaknya etanol 3,8 juta kl per tahun.
Dengan jumlah ini, maka diperlukan perluasan lahan perkebunan tebu jutaan hektare.
Namun, APSENDO mengklaim dari pabrik yang sudah ada, mampu memenuhi produksi etanol 5% (E5) pada bensin non-subsidi sebagai awalan. Jumlahnya bisa digenjot sekitar 400.000 kl.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso
Kata dia, kalangan industri sudah pasti akan merevitalisasi produknya ke arah sana asalkan program ini serius dan mendapat dukungan dari pemerintah.
“Yang tadinya tidak tertarik sama fuel grade [etanol yang memenuhi persyaratan sebagai campuran bahan bakar], kemudian dengan melihat program ini jalan, mereka akan menambah destilasi kolom, sehingga mereka bisa memurnikan dan menaikkan dia punya etil alkohol menjadi 99,9%,” jelas Izmirta.
Ia menambahkan, revitalisasi produk etanol agar bisa dicampur dengan bensin ini tidak memerlukan “teknologi yang canggih, tapi bisa investasi yang tidak terlalu besar”.
Tapi, menurut Izmirta, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar industri etanol bisa ikut terlibat dalam kebijakan E10.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Irfan Sumanjaya
Pertama, harga etanol lebih tinggi dari harga base fuel. Dengan demikian, mencampur etanol dengan base fuel akan membuat harga jual bensinnya lebih tinggi.
Pihak industri, menurutnya, menginginkan adanya insentif agar harganya tetap terjangkau.
“Kedua, ketersediaan bahan baku, bagaimana mengatur tata niaga molase agar supaya diprioritaskan untuk kepentingan hilirisasi dan blending mandatori ini”.
“Dan ketiga, bagaimana segera melakukan percepatan pertumbuhan swasembada gula dan pencapaian perluasan area tanam dan produktivitas,” tambah Izmirta.
Selain itu, ia juga melihat adanya potensi pengolahan etanol dari molase sebesar 1,6 juta ton per tahun. Jika diolah, molase ini bisa menghasilkan 400.000 kl etanol.
Bagaimana respons pemerintah?
Dirjen Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) di ESDM, Eniya Listiani Dewi, mengatakan etanol untuk mandatori E10 harus berasal dari dalam negeri.
“Menurut Perpres Nomor 40 Tahun 2023, itu kan swasembada gula dan bioetanol. Jadi kalau kita makin produksi gula, maka otomatis bioetanolnya makin banyak, karena apa? Bioetanol itu dibuat dari ampas tebunya yang disebut molase,” katanya.
Untuk mengejar swasembada pangan diikuti dengan produk bioetanol, ke depannya akan ada klaster wilayah-wilayah di Indonesia.
Misalnya di Lampung dengan ketela, Gorontalo dengan jagung, dan sagu di Indonesia bagian timur, kata Eniya.
“Jadi semua didorong untuk bisa menghasilkan bioetanol, dan itu enggak langsung dengan pangan ya, karena yang dipakai adalah ampasnya,” lanjutnya.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
Saat ditanya, apakah pemerintah akan memastikan sumber bahan baku bioetanol ini tidak berasal dari lahan deforestasi dan konflik, Eniya menjawab, “Lahan tidak ada kaitannya dengan isu clean and sustainable.”
Terkait persoalan konflik PSN di Merauke, dalam beberapa kesempatan Menteri HAM, Natalius Pigai menjelaskan, “Kami sedang mendorong pembangunan dan pengelolaan usaha berbasis HAM melalui berbagai kebijakan dan regulasi”.
Upaya yang dilakukan, kata Natalius, yakni dengan menyiapkan instrumen hukum tentang bisnis dan HAM yang antara lain dalam bentuk perpres, inpres, permen dan petunjuk teknis dan pelaksanaan.
Apa itu etanol dan dampaknya jika dicampur pada bensin?
Etanol adalah alkohol murni yang bahan dasarnya berasal dari fermentasi molase. Namun pada negara yang mengalami surplus tebu, biasanya menggunakan nira tebu (sugarcane juice).
Molase yang dikenal sebagai tetes tebu, merupakan produk sampingan pengolahan tebu menjadi gula.
Dalam proses pembuatan gula dari tebu, molase adalah produk yang tetap cair alias tidak dapat mengkristal saat gula dimasak. Cairan cokelat hingga kehitaman ini dianggap limbah.
Etanol hasil fermentasi nabati ini punya kadar oktan bisa lebih dari 110. Jika dicampur dengan bensin, maka ia bisa mendongkrak nilai RON pada bensin tersebut.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Andry Denisah
Kami menghimpun sejumlah riset mengenai efek penggunaan campuran etanol pada bensin:
- Meningkatkan oktan dan kualitas pembakaran
- Mengurangi impor bahan bakar
- Peningkatan kualitas udara karena campuran etanol bisa mengurangi emisi karbon
- Kandungan energi lebih rendah, sehingga lebih banyak konsumsi bahan bakar dibutuhkan
- Kendala teknik pada mesin karena campuran etanol dapat menangkap air. Pada mesin tua, penyesuaian suku cadang dibutuhkan.
- Pengaruh biaya karena harga etanol lebih tinggi dari bahan bakar dasar. Tapi hal ini sangat bergantung kebijakan subsidi
- Perluasan lahan. Jika lahan yang digunakan hutan dan gambut, justru menyebabkan emisi besar dan hilangnya keanekaragaman hayati. Perluasan lahan juga berpotensi pada konflik agraria pada masyarakat
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Adiwinata Solihin
Mengapa industri di Indonesia cenderung menggunakan molase sebagai bahan dasar etanol?
“Karena molase itu gula sederhana, sukrosa gula sederhana. Itu [bisa] langsung fermentasi,” kata Ketua Umum Asosiasi Produsen Spiritus dan Ethanol Indonesia (APSENDO), Izmirta Rachman.
Menurut Izmirta, nabati lain seperti jagung dan singkong harus “dipecah dulu” sebelum masuk tahapan fermentasi.
“Dia perlu pre-treatment,” katanya.
‘Bukan soal etanol tapi kualitas’
Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), Ahmad Safrudin mengklaim lembaganya sudah mendorong campuran etanol sejak isu bensin bertimbal berlangsung. Pada 2003, Indonesia sudah bebas dari bensin bertimbal.
Menurutnya, pemanfaatan etanol untuk campuran bensin dapat meningkatkan efisiensi pembakaran pada ruang bakar mesin kendaraan, sehingga bisa menghemat energi sekaligus menekan emisi gas buang kendaraan, baik emisi pencemaran udara (PM10, PM2.5, HC, CO, SOx, NOx) maupun emisi Gas Rumah Kacar (CO2).
“Tahun 2001 kami sudah mengusulkan pakai etanol, karena etanol itu oktan number-nya tinggi antara 110 sampai 130. Jadi untuk octane booster sangat efektif,” kata Puput, sapaan Ahmad Safrudin.
Hal yang ia persoalkan hari ini adalah tahapan pencampuran etanol. Kata dia, pihak Pertamina semestinya membeli base fuel yang tidak dicampur etanol dari hulunya.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Dedhez Anggara
“Keberadaan etanol pada base fuel telah mengaburkan sifat kimia dan fisika base fuel sebagai raw material [bahan dasar] utama pada proses produksi BBM dengan spesifikasi tertentu,” katanya.
Selain itu, kata Puput, karena sifat etanol dapat menangkap air, proses distribusinya yang panjang akan memengaruhi kualitas bensin sebelum dicampur dengan unsur-unsur lainnya, dan disalurkan ke konsumen.
Air yang ditangkap etanol ini dimulai saat pengapalan sampai pengiriman ke depo. Bisa air laut, embun, atau hujan.
“Sehingga oktannya turun, kemudian kualitas bensinnya juga relatif turun,” jelasnya, sambil menambahkan hal ini akan menjadi biaya tambahan bagi pihak SPBU, khususnya swasta.
“Jadi blending etanol seharusnya memang belakangan, setelah siap dikirim ke SPBU.”
Dari lahan yang bersih
Kebijakan mencampur etanol pada bensin sudah menjadi tren dunia. Banyak negara sudah menerapkan campuran etanol, bahkan ditargetkan mencapai E30.
Direktur Eksekutif KPBB, Ahmad Safrudin, mendukung kebijakan campuran etanol pada bensin di Indonesia. Tapi ia menekankan mutu harus tetap dijaga dengan tidak membeli base fuel yang sudah tercampur etanol.
Bukan hanya itu, ia juga menegaskan agar bahan baku etanol harus berasal dari lahan yang bebas deforestasi dan berkonflik dengan masyarakat.
“Kalau mau serius, etanol ini manfaatkan saja lahan-lahan terlantar, yang ada di Pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, jangan mengambil lahan yang masih hutan alam,” katanya.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Jessica Wuysang
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi, Uli Arga Siagian menilai untuk mengatasi hal ini, pemerintah semestinya “mengontrol pola konsumsi [BBM] secara nasional”.
Caranya adalah dengan membuat kebijakan agar masyarakat beralih ke transportasi publik.
“Jadi percuma kita mau mengurangi ketergantungan terhadap fosil, terhadap bioetanol terhadap biodiesel, kalau kemudahan membeli jauh lebih banyak kendaraan pribadi itu masih tersedia, sementara akses dan perbaikan kendaraan atau fasilitas umum itu tidak kunjung membaik,” katanya.