Sumber gambar, Dokumen Miles Films
“Basi! Madingnya udah siap terbit!”
Bagi para remaja yang mencecap hidup pada era 2000-an, kalimat di atas sangat khas.
Bahkan saat diucapkan lagi di masa kini, pikiran pun langsung terlempar pada adegan Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra yang beradu mulut di film Ada Apa Dengan Cinta?
Sejak 2 Oktober 2025, film Rangga & Cinta tayang di layar lebar Indonesia sebagai rebirth film AADC yang fenomenal pada 2002. Namun rupanya kalimat ikonik tentang mading tadi, tidak akan ditemukan lagi dalam film rebirth ini.
Alih-alih mengulangnya, Cinta (Leya Princy) berkata pada Rangga (El Putra Sarira) kali ini: “Tunggu, tunggu! Siapa sih nama lo? Kok gue lupa ya? Berarti elo enggak penting!”
Buat sebagian mereka yang berharap pada nostalgia masa remajanya, ungkapan tersebut cukup membuat dahi mengernyit dan mempertanyakan mana dialog “mading” yang populer itu.
Sumber gambar, Dokumen Miles Films
Akan tetapi, para remaja yang saat ini didominasi gen-Z justru “nyambung” dengan dialog itu.
“Kalau sampai enggak ingat nama kan bener itu, enggak penting. Bisa dicoba nanti kalau ketemu yang ngeselin. Kalau mading siap terbit, enggak bisa,” ujar Chelsea, pelajar SMA, sambil tertawa.
Apa yang dilontarkan Chelsea dibenarkan teman-teman sekelasnya yang sengaja memesan tiket online untuk nonton bersama film Rangga & Cinta sepulang sekolah.
Tidak hanya bagian itu, teriakan “Aaaaaah gemeees!” juga sempat membahana dari deretan bangku para anak SMA ini ketika menyaksikan Rangga dan Cinta berpisah di bandara.
Selepas menonton, mereka juga kompak bersenandung lagu “Ingin Mencintai & Dicintai” yang dinyanyikan Cinta di film sambil berjalan keluar studio.
Bahkan sebagian mencoba koreografi geng Cinta saat membawakan lagu “Di mana Malumu”. Untuk diunggah di Tiktok, kata mereka serempak.
Melihat hal tersebut, kelahiran kembali AADC lewat Rangga & Cinta bukan lagi membangkitkan nostalgia, melainkan momen bagi para remaja masa kini untuk mengukir momennya sendiri.
Dari persahabatan hingga jatuh cinta yang pernah berjuta rasanya. Tanpa perlu dicampuri prasangka “zaman siapa yang lebih unggul”.
Bagaimana Rangga & Cinta di era gen Z?
Meski para pemainnya berisi anak muda, latar belakang waktu yang digunakan tetap mengambil era 2000-an dengan cerita yang sama dengan AADC ketika pertama kali hadir di bioskop pada 2002.
Dibuka dengan suasana sekolah di pagi hari dengan para siswanya yang berdatangan diiringi lagu “Ku Bahagia”, Cinta dan keempat temannya terlihat juga baru tiba di sekolah.
Hanya saja, adegan pembuka ini pada Rangga & Cinta sedikit berbeda karena lagu “Ku Bahagia” dinyanyikan sebagian besar pemeran siswa sambil menari.
Selanjutnya, garis besar cerita tidak berubah. Pengumuman lomba puisi, perkenalan tidak mengenakkan Rangga & Cinta di perpustakaan, konflik keduanya yang kemudian disatukan melalui buku “Aku” karya Sjuman Djaya, hingga jatuh cinta dan berkejaran di bandara, semuanya tak terlewat dalam Rangga & Cinta.
Sumber gambar, Dokumen Miles Films
Penyesuaian memang dilakukan Riri Riza selaku sutradara. Sebagian terlihat dari pengambilan gambar medium shot yang kerap digunakan ketimbang wide shot, terutama saat berada di areal terbuka.
Dulu, penonton dibuat kecantol dengan tatapan tajam Rangga ketika melintas di depan Cinta dan Borne yang berada di dalam mobil dengan pengambilan gambar wide shot.
Kali ini, penonton lebih diajak merasakan getir karena situasinya Rangga tengah duduk di dalam metro mini dan Cinta berada di mobil yang bersebelahan dengan metro mini tersebut. Pengambilan gambar two shot menggambarkan siapa Rangga dan Cinta.
Kencan Rangga dan Cinta di kafe pun disulap lebih intim saat keduanya berada di studio milik saudaranya. Keduanya pun bernyanyi dalam adegan ini sembari bermain piano. Rangga bukan lagi sosok pasif yang mengamati Cinta di atas panggung.
Tiap alur pun berusaha diberi konteks. Seperti kali ini, tarian geng Cinta yang kini banyak berseliweran di Tiktok punya latar belakang kisah cinta Maura yang berpacaran dengan cowok yang “ogah” modal.
Alya yang merupakan korban keluarga “broken home” juga diberi porsi untuk menuturkan ceritanya. Bahkan ayah Rangga di sini juga mendapat dialog lebih panjang mengenai kritikan terhadap oligarki dan penguasa yang culas.
Sumber gambar, Dokumen Miles Films
Bahkan lewat Rangga & Cinta, penonton AADC akhirnya tahu apa yang diucapkan Alya sehingga Cinta diperbolehkan menerabas masuk ke dalam bandara tanpa tiket pesawat demi bertemu Rangga.
Akibat hal ini, muncul berbagai seloroh di media sosial bahwa Rangga & Cinta adalah edisi revisi dari AADC. Akan tetapi, pemilihan istilah “Rebirth” memang lebih tepat daripada revisi atau remake.
Sebab, Rangga dan Cinta dalam film anyar produksi Miles Film ini hanya meminjam lini waktu saja di era 2000-an dengan printilan khasnya, seperti telepon kartu, telepon rumah, discman, buku diary, hingga perhelatan film Jiffest.
Sementara para pemainnya yang lahir pada 2003-2006 tetap membawa semangat generasi mereka ke dalamnya, meski berupaya mengadopsi karakter tokoh yang diperankan para pemain AADC sebelumnya. Tokoh-tokoh AADC lahir kembali untuk para remaja saat ini.
Hal ini terbukti ketika para generasi 90-an sibuk mengkritik akting para pemain, para gen Z asyik mencocokkan diri menjadi Cinta, Maura, Karmen, Alya, Milly, Rangga, bahkan Mamet.
Kendati demikian, memang ada sebagian detail yang lepas dan pergerakan alur yang kurang mulus dalam film rebirth ini. Ada juga problem suara, yang jujur, sedikit mengganggu ketika menonton karena ternyata sebagian pemain menyanyi secara langsung saat syuting untuk mendapatkan emosinya di depan layar.
Apa alasan menghidupkan Rangga & Cinta di masa kini?
Rencana mengangkat kembali kisah cinta Rangga dan Cinta ini tercetus sejak dua tahun lalu. Mira Lesmana dan Nicholas Saputra mulai membahas konsep dan memikirkan naskah yang akan dikembangkan pada 2023.
Ide untuk menjadikannya serial kemudian beralih ke layar lebar dengan menambahkan elemen penting sebagai bentuk pendekatan baru pada format rebirth ini.
Musik yang semula menjadi latar pada AADC, kini menjadi sarana bercerita bagi tiap karakter di Rangga & Cinta. Untuk itu, pemilihan pemain yang dilakukan di pertengahan 2024 juga mengedepankan musikalitas, tidak hanya akting.
Terpilih lah tujuh anak muda yang sebagian besar, baru pertama kali mencicip dunia layar lebar.
Salah satunya adalah El Putra, pemeran Rangga. Film ini menjadi debutnya di dunia hiburan bagi pemuda asal Manokwari, Papua yang berkuliah di Makassar.
Ini juga kali pertama bagi Leya Princy, pemeran Cinta, berada dalam produksi layar lebar karena dua proyek sebelumnya berupa serial.
Ada juga Kyandra Sembel yang memerankan Maura dan Katyana Mawira yang menjadi Milly. Keduanya pendatang baru di dunia akting.
Mira Lesmana, produser Rangga & Cinta, berkata kepada BBC News Indonesia, benang merah dari kelahiran kembali AADC melalui Rangga & Cinta adalah regenerasi.
“Regenerasinya enggak cuma pemain, tapi ada regenerasi penonton juga,” ucap Mira.
Mira meyakini perkembangan film Indonesia ditopang juga oleh para pemain. Kehadiran pemain muda dengan bakatnya merupakan upaya untuk menghidupkan dunia perfilman.
Problemnya, pesatnya industri saat ini tidak memberikan waktu persiapan yang cukup bagi bertumbuh dan merekahnya talenta baru.
“Kami sangat ingin menyiapkan waktu yang panjang itu. Mungkin untuk kebanyakan orang terlalu memakan biaya, karena itu kan investasinya besar dengan training dan lain-lain,” ucap Mira.
“Tapi menurut kami, memang itu cara terbaik untuk bisa melahirkan bintang-bintang yang enggak hanya cemerlang, tapi juga kuat mental karena mereka belajar tentang proses.”
Dari berbagai film besutan Miles Films, muncul nama-nama baru yang kemudian memberi warna dunia perfilman.
Laskar Pelangi (2008), misalnya, membuka kesempatan bagi anak-anak asli Belitung untuk bermain dalam filmnya. Untuk Rena (2005) menjadi debut Maudy Ayunda yang kini menjadi pesohor.
Begitu pula dengan Rachel Maryam yang mengawali karir aktingnya lewat Eliana, Eliana (2002) dan Lutesha yang tengah naik daun juga melejit usai tampil dalam film Bebas (2019).
Sumber gambar, Dokumen Miles Films
Mengenai penonton, upaya regenerasi ini sudah dirintis sejak kehadiran Petualangan Sherina (2000) saat film Indonesia mencoba bangkit pasca reformasi.
“Perfilman kita sedang lesu sekali saat itu. Salah satu pemikiran kami adalah harus tumbuhin generasi penonton anak-anak yang nantinya bisa menjadi pencinta film Indonesia,” ungkap Mira.
“Dan itu terjadi. Mereka yang dulu kecil bersama Petualangan Sherina tumbuh bersama film Indonesia dan mengingat hal itu sebagai bagian momen dalam kehidupannya, pergi ke bioskop.”
Ini juga yang terlintas ketika memutuskan mengalihkan Rangga & Cinta yang semula merupakan serial ke layar lebar. Setelah mengetahui banyak remaja yang menyaksikan AADC melalui pelantar digital, Mira makin bergelora menghidupkan lagi Rangga & Cinta versi layar lebar.
“Kami ingin banget kebiasaan menonton di bioskop untuk remaja hari ini itu kembali lagi seperti dulu waktu Ada Apa Dengan Cinta? Emosinya beda ketika melihatnya di bioskop. Apalagi bareng teman-teman. Aku ingin banget mereka kembali ke bioskop,” ujarnya.
Setelah tayang perdana di Busan International Film Festival 2025 disambung di tanah air, jumlah penonton Rangga & Cinta telah menembus lebih dari 850 ribu penonton.
Benar kah Rangga & Cinta bentuk kapitalisasi nostalgia?
Dosen SAE Institute, Julita Pratiwi menjelaskan bentuk paling sering dari kapitalisasi nostalgia adalah film. Alasannya, formula semacam ini bisa lekas memberi pemasukan sehingga banyak pelaku industri film melakukan hal ini.
“Walau sebenarnya hit and miss juga. Ada yang benar berhasil, ada yang biasa saja,” ujar Julita.
Namun dengan kelahiran kembali Rangga dan Cinta, Julita mencoba melihat kembali sepak terjang Miles Films yang tahun ini memasuki usia 30 tahun berada di industri perfilman tanah air. Baginya, kehadiran Rangga dan Cinta melampaui sekadar kapitalisasi nostalgia.
“Miles itu tumbuh bersama dengan, orang-orang di dalamnya yang terus menerus ingin belajar. Jadi, itu memang laboratorium pengetahuan mereka. Ada yang salah atau perlu evaluasi, mereka akan akui dan benar evaluasi. Di titik saat ini, aku melihat mereka mulai diisi sama anak-anak muda,” ujar Julita.
Karena itu, proyek yang dikerjakan termasuk Rangga & Cinta juga memiliki semangat merespons anak muda di masa kini.
“Sampai akhirnya, mereka segila itu menyentuh TikTok, Instagram story, terus menggaet segala partnership, yang memang arahnya ke anak muda,” tambah Julita.
Walakin, berkaitan dengan nostalgia, Rangga & Cinta ini tidak semanjur pada Petualangan Sherina yang pada film barunya mengangkat kelanjutan kisah Sherina dan Saddam.
Bagi para milenial, sebagian justru menyadari kisah cinta Rangga dan Cinta tidak segemas ketika ditonton dua dekade lalu. Meski tak bisa ditampik, lagu-lagu latarnya tetap terngiang.
“Kalau ngomongin nostalgia itu, setiap orang itu bisa terkoneksi sama nostalgia yang berbeda-beda. Ada yang mengingatkan memori, ada juga yang nyambungnya ke hal yang lain. Jadi tadi aku nonton, ada penonton yang sepertinya nonton AADC ketika SMA atau kuliah, tiap lagu mereka nyanyi,” tutur Julita.
Sumber gambar, Dokumen Miles Films
Mengenai latar waktu yang tetap mengambil era 2000-an, Julita berpegang pada prinsip film yang diperkenalkan David Bordwell dan Kristin Thompson. Salah satu poinnya mengenai “similarity and repetition” dan “difference and variation”.
Demi menjaga kemiripan dan repetisi untuk menyampaikan pesan dalam filmnya, ia berpandangan ini menjadi alasan Rangga & Cinta tetap mengambil latar pada 2000-an.
“Sepertinya memang ada beberapa aspek yang cukup fundamental banget di dalam naratif filmnya, yang membuat berpikir dua kali kalau mau nariknya ke era sekarang. Dan hal-hal yang fundamental itu cukup melekat di karakternya, khususnya latar belakang karakter utama,” ujar Julita.
Meski ada kemungkinan beberapa hal fundamental ini ditarik ke masa kini, seperti mengenai mading, lomba puisi, latar belakang ayah Rangga, hingga kecintaan pada sastra dan buku yang muncul simbolisasinya juga lewat Kwitang.
“Tapi mereka sepertinya enggak mau mengorbankan elemen-elemen utama itu atau latar belakang dari karakter-karakter utama yang sudah mereka ciptakan itu,” kata Julita.
Kendati demikian, Julita mengapresiasi Miles Films yang berusaha menghidupkan masa-masa itu dengan latar masa 2000-an yang ikonik.
Citra Dewi, penonton SMA yang menyaksikan film Rangga & Cinta, mengaku menyukai film ini meski ia sempat kebingungan juga dengan latar waktunya. Dari soal mading hingga bertukar pesan lewat surat yang dilakukan Rangga dan Cinta.
“Kalau ngomongin percintaannya, Rangga-Cinta ini masa kini banget. Mereka enggak bilang jadi pacar, tapi ya tahu saling sayang dan perhatian saja. Itu kita-kita sekarang gitu, HTS-an aja (Hubungan tanpa status). Bedanya Rangga dan Cinta repot juga ya surat-suratan,” ujar Citra.
Sementara itu, Mira Lesmana sebagai produser justru melihat anak-anak muda sekarang gayanya kembali seperti era 2000-an.
“Kami memutuskan tetap periodis karena generasi sekarang menurut aku juga suka hal-hal yang vintage. Mereka kembali ke 90s, baju mereka juga Y2K,” kata Mira.
Alasan lain, Mira berkata kehidupan di masa itu menarik, terutama pertemanan atau percintaan. Pada masa itu, ketiadaan gawai tidak dianggap repot justru malah mendekatkan.
“Pertemuan Rangga dan Cinta itu selalu harus sifatnya bertemu. Persahabatan juga ketika kumpul bersama tidak ada yang terganggu dengan handphone atau media sosial. Menurut aku, itu sebuah kehidupan yang ingin juga kami perkenalkan ke generasi sekarang,” ujar Mira.
Persahabatan masa kini memang telah dicampuri media sosial.
Chelsea, pelajar SMA, berkata persahabatan bisa dilihat dari seberapa jauh di media sosial. “Kalau cuma jadi berteman di first account, ya biasa aja. Kalau sahabatan banget, bahkan masuk ke third account juga, enggak cuma second account,” katanya.
Menanggapi tentang kapitalisasi nostalgia, Mira mengungkapkan tujuannya lebih mengajak orang yang sudah familiar dengan AADC. Bukan hanya mereka yang pernah menonton pada 2002, melainkan mereka yang kini menonton hanya lewat gawai atau televisi.
“Ada banyak sekali remake dari luar. So why not make our own remake? Itu salah satunya sih, bukan mengkapitalisasi nostalgia.”
Seperti yang dilakukan Ayu Respati dengan putrinya, Andhira yang baru masuk SMA.
Ayu mengingat masa mudanya “war” tiket AADC dan sibuk merombak seragam sekolah dengan kaus kaki panjangnya agar mirip Cinta. Kini, Andhira sengaja diajaknya nonton bersama.
“Tadinya mau ngenalin ini lho masa muda Mama kayak gini. Malah dia yang baper sama Rangga-Cinta. Terus mau nonton lagi sama sahabatnya juga karena lihat geng Cinta,” ujar Ayu.
Musik, buku, dan cinta
Dari segudang hal ikonik, buku dan membaca merupakan sesuatu yang penting dalam AADC yang kemudian dihidupkan kembali.
Pada masanya, buku “Aku” karya Sjuman Djaja menjadi buruan. Muda-mudi sibuk menekuni puisi Chairil Anwar dan bertukar puisi untuk menaklukkan hati pujaannya. AADC ikut berkontribusi dalam tren itu.
Bagaimana dengan Rangga & Cinta?
Mira Lesmana melihat anak-anak saat ini sebenarnya punya ketertarikan terhadap buku dan sastra.
“Jadi, yang menarik dari gen Z ini, mereka kan banyak dicap macam-macam. Tapi di saat yang sama, baik di Indonesia maupun di berbagai dunia, kebiasaan membaca buku itu tumbuh lagi sebenarnya walau belum luas,” ucap Mira.
Ia menyoroti bertumbuhnya toko buku independen bahkan toko buku besar yang mengubah gayanya menjadi toko buku butik yang ampuh menarik minat anak muda.
“Buku seperti Laut Bercerita tiba-tiba diserbu Gen Z. Jadi, kayaknya ada pertumbuhan, mereka mulai kembali mencintai buku. Karena itu, kami pertahankan di film. Dengan harapan, bisa lebih luas lagi cinta mereka terhadap sastra dan buku,” kata Mira.
Sumber gambar, Dokumen Miles Films
Dominicus, pelajar SMA yang baru selesai menyaksikan film ini, mengakui membaca mulai digemari. Ia dan teman-temannya sering mampir ke toko buku di Blok M atau main ke Perpustakaan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
“Tadinya buat nongkrong aja di Blok M kan viral. Tapi sekalian liat-liat buku. Ada yang sekalian beli, ada yang minjam aja di perpustakaan. Kayaknya jadi ingin cari buku yang ada di film tadi juga sih.”
Di luar itu, pemeran Rangga dan Cinta yaitu Leya dan El pun menjadi sorotan di media sosial, karena memiliki hobi membaca dan membagikan buku yang tengah mereka baca. Warganet pun banyak yang penasaran dengan buku bacaan tersebut.
Mengenai pendekatan musikal yang disebut Mira sebagai pembeda dari AADC, hal ini dianggap sesuai dengan penonton saat ini. Dengan pengalaman dari Petualangan Sherina, Mira dan Riri Riza melakukan pendekatan serupa.
“Tidak full musikal seperti Les Miserables atau West Side Story. Mungkin lebih mendekati La La Land atau ya Petualangan Sherina. Inspirasi utama dari lagunya Melly (Melly Goeslaw). Bentuk lagu dan koreografinya pun disesuaikan dengan referensi modern,” kata Mira.
Sumber gambar, NeoPhoto via Getty Images
Secara terpisah, Julita Pratiwi yang merupakan peneliti film, berkata film Rangga & Cinta lebih pas disebut film musik. Meski beberapa adegan, terlihat upaya untuk memberikan sentuhan musikal dengan permainan pencahayaan yang berubah-ubah. Seperti ketika Cinta tengah marah dan menyanyi, maka sekeliling berubah merah.
Pengaruh La La Land juga sempat terasa ketika Rangga bermain keyboard dan menyanyi. Lalu, ruangan beralih kosong, dan kamera hanya fokus pada Rangga dan Cinta dilatari pencahayaan redup.
Terlepas dari apapun itu, Rangga & Cinta berada dalam babakan waktu yang berbeda, sehingga sukar dibandingkan dengan pendahulunya yang hingga membuat kaca loket bioskop pecah karena padatnya antrean.
Meski begitu, Rangga & Cinta berhasil memberikan kesegaran di tengah hiruk pikuk film Indonesia yang melulu soal hantu. Bahkan kembali membuat para muda-mudi punya memorinya sendiri.