Sumber gambar, Reuters
-
- Penulis, Ruth Comerford
- Peranan,
Angkatan Laut Israel mencegat iring-iringan kapal yang membawa bantuan menuju Gaza dan menahan para aktivis di dalamnya, termasuk pegiat iklim asal Swedia, Greta Thunberg.
Kementerian Luar Negeri Israel menyatakan beberapa kapal yang tergabung dalam Global Sumud Flotilla (GSF) telah “dihentikan tanpa insiden berarti” dan para penumpangnya diantar ke sebuah pelabuhan di Israel guna dideportasi.
Menurut pernyataan resmi, Angkatan Laut Israel juga telah memerintahkan kapal-kapal tersebut mengubah haluan karena mereka “mendekati zona pertempuran aktif.”
GSF menyatakan 30 kapal masih “berkeras berlayar menuju Gaza”, dan berjarak sekitar 46 mil laut dari tujuan.
Mereka menyebut pencegatan Israel sebagai tindakan “ilegal” dan bukan bentuk pertahanan, melainkan “aksi putus asa yang tak tahu malu.”
Sumber gambar, Kemlu Israel
Kelompok tersebut juga menuduh salah satu kapal sengaja ditabrak di laut, sementara kapal lain dihantam dengan meriam air.
“Tindakan ini secara jelas menunjukkan sejauh apa penjajah akan bertindak untuk memastikan Gaza tetap kelaparan dan terisolasi,” tulis GSF di media sosialnya.
“Mereka menyerang misi sipil damai karena keberhasilan bantuan kemanusiaan [memasuki Gaza] berarti kegagalan blokade mereka.”
Kementerian Luar Negeri Israel menyatakan flotilla telah mengetahui bahwa mereka “melanggar blokade laut yang sah” di sekitar perairan Gaza—meski belum jelas apakah kapal-kapal itu benar-benar memasuki zona blokade.
Israel juga merilis rekaman pencegatan yang memperlihatkan Thunberg duduk di dek kapal, menerima air dan jaket dari seorang tentara.
Pada Kamis (02/10) sore, kementerian itu mengatakan para aktivis yang ditangkap akan ditahan di Israel, untuk kemudian dideportasi ke Eropa.
Dalam sebuah tayangan yang disiarkan langsung dari kapal, tidak semua 44 kapal dihentikan dan dievakuasi.
Pemerintah Israel menyebut upaya flotilla yang membawa bantuan kemanusiaan sebagai tindakan “provokasi”, seraya menambahkan: “Greta dan rekan-rekannya dalam keadaan aman dan sehat.”
GSF menyebut sejumlah kapal mereka, termasuk Alma (kapal utama), Surius, dan Adara telah dicegat dan dinaiki otoritas Israel.
Mereka juga menuduh militer Israel “secara sengaja merusak sistem komunikasi kapal untuk menghalangi sinyal darurat dan menghentikan siaran langsung saat kapal mereka diboikot secara ilegal.”
Menurut GSF, pencegatan terjadi saat kapal berada 70 mil laut dari garis pantai Gaza. Mereka tadinya berharap sudah akan tiba di Gaza pada Kamis pagi.
Sumber gambar, EPA
Rangkaian pencegatan yang dilakukan Israel ini telah mematik protes di sejumlah negara, seperti Yunani, Italia, Jerman, Tunisia, dan Turki.
Dalam pernyataannya, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Volker Türk, mendesak Israel untuk “segera mencabut blokade Gaza dan mengizinkan masuknya bantuan penyelamatan dengan beragam cara yang memungkinkan,” serta memastikan skema bantuan kemanusiaan berjalan “tanpa hambatan.”
Serikat buruh Italia juga menyerukan mogok nasional pada Jumat “untuk membela flotilla, nilai-nilai konstitusional, dan untuk Gaza.”
Kementerian Luar Negeri Turki mengecam pencegatan tersebut sebagai “aksi terorisme” dan menuntut “pelaku serangan” diadili.
Ada pula Presiden Kolombia Gustavo Petro yang mengusir seluruh diplomat Israel yang tersisa dari negaranya, menyebut pencegatan itu sebagai “kejahatan internasional oleh Netanyahu.”
Tak hanya itu, Petro juga mengakhiri perjanjian perdagangan bebas dengan Israel yang berlaku sejak 2020, dan menuntut pembebasan dua warganya yang ikut dalam pelayaran flotilla.
Wakil Perdana Menteri Irlandia, Simon Harris, menyebut laporan pencegatan tersebut “mengkhawatirkan” dan menegaskan bahwa Israel harus menghormati hukum internasional. Setidaknya ada tujuh warga negara Irlandia ikut ditahan otoritas Israel, termasuk senator Sinn Féin, Chris Andrews.
Israel sebelumnya telah menggagalkan dua upaya pengiriman bantuan ke Gaza pada Juni dan Juli.
Mereka bahkan menyebut flotilla sebatas “kapal selfie,” tuduhan yang kemudian dibantah Thunberg.
Kepada BBC pada Minggu lalu, ia mengatakan: “Saya rasa tidak seorang pun rela mempertaruhkan nyawanya untuk aksi publisitas.”
Lembaga bantuan internasional sampai saat ini terus berusaha mengirim makanan dan obat-obatan ke wilayah Palestina itu, tetapi Israel membatasi pasokan.
Israel mengklaim hanya ingin mencegah bantuan jatuh ke tangan Hamas. Bersama Amerika Serikat, Israel hanya mendukung mekanisme distribusi alternatif melalui Gaza Humanitarian Foundation (GHF) —yang ditolak PBB karena dianggap tidak etis.
Bulan lalu, sebuah lembaga yang didukung PBB mengonfirmasi telah terjadi bencana kelaparan di Gaza. Kepala kemanusiaan PBB menyatakan kondisi itu merupakan dampak langsung dari “hambatan sistematis” Israel terhadap masuknya bantuan.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyebut pernyataan tersebut sebagai “kebohongan terang-terangan.”
Menteri Luar Negeri Prancis, Jean-Noel Barrot, mengatakan pihaknya telah memastikan “jika operasi pemeriksaan dilakukan, itu harus berlangsung dengan standar keamanan terbaik.”
Menteri Luar Negeri Italia, Antonio Tajani, juga menyebut dirinya telah mendapat jaminan dari Israel bahwa pasukan tidak akan menggunakan kekerasan terhadap 500 orang di kapal, termasuk politisi Prancis dan Italia.
“Pemeriksaan ini sudah direncanakan, kami membicarakannya dengan [Menteri Luar Negeri Israel Gideon] Saar agar tidak ada aksi kekerasan dari pasukan Tel Aviv, dan saya telah mendapat jaminan itu,” kata Tajani.
Wakil Perdana Menteri Irlandia, Simon Harris, menegaskan negaranya “mengharapkan penghormatan atas hukum internasional dan seluruh orang di dalam flotilla diperlakukan sesuai aturan.”