Sumber gambar, ANTARA FOTO/Umarul Faruq
Beberapa santri yang tidak memiliki pengetahuan tentang konstruksi bangunan mengaku dilibatkan dalam proses pengecoran salah satu bangunan di Pondok Pesantren Al Khoziny, Sidoarjo, Jawa Timur, yang runtuh pada Senin (29/09) sore.
Ahmad Zabidi mengatakan anaknya yang belajar di pesantren Al Khoziny selamat karena tengah beristirahat di kamarnya setelah ikut kerja bakti pengecoran bangunan musala.
“Seandainya dia masih ada di atas bangunan ya tentunya ikut jatuh bersama dengan material yang ambruk itu,” tutur Zabidi ketika ditemui di seputaran lokasi pesantren, Jumat (03/10).
Pakar teknis sipil struktur menyebut bahwa pembangunan musala di Ponpes Al Khoziny tak terencana dan tidak sesuai kaidah teknis.
Pemerintah pun berjanji untuk membuat aturan khusus tentang pembangunan pesantren. Namun rencana itu, menurut pengamat pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia, Itje Chodidjah seperti “tambal sulam”.
“Kenapa pemerintah baru akan berjanji membuat regulasi? Regulasi-regulasi pembangunan kan sudah ada di dalam aturan. Nah, ini kan kita jadi seperti tambal sulam kalau ada kecelakaan baru kita repot,” kata Itje.
Data pada Jumat (03/10) malam pukul 23.05 WIB, jumlah korban terdampak mencapai 167 orang. Sebanyak 118 orang telah ditemukan, dan 14 orang dinyatakan meninggal dunia.
Kesaksian santri ikut pengecoran ponpes
Sumber gambar, JUNI KRISWANTO/AFP via Getty Images
Dua anak dari Ahmad Zabidi belajar di Ponpes Al Khoziny. Anak pertamanya telah menjadi santri di pondok itu sekitar lima tahun, sedangkan anak keduanya dari tahun lalu.
Kedua anak Zabidi selamat dari peristiwa maut runtuhnya bangunan musala ponpes itu.
Warga Surabaya ini bilang pembangunan lantai empat musala telah berlangsung sekitar sembilan bulan.
Dalam proses itu, menurutnya, sejumlah santri kerap dilibatkan dalam pembangunan, salah satunya adalah anaknya.
“Semua santri itu cuma bantu-bantu, santri itu katakanlah bukan jadi tukangnya,” kata pria usia 49 tahun itu ketika ditemui di seputaran lokasi pesantren, Jumat (03/10).
Sumber gambar, Roni Fauzan
Saat musala runtuh, dia bilang anaknya sedang beristirahat melepas lelah di kamar asramanya seusai ikut kerja bakti mengecor lantai empat.
“Seandainya dia masih ada di atas bangunan ya tentunya ikut jatuh bersama dengan material yang ambruk itu,” tutur Zabidi.
Zabidi mengaku anaknya sering membantu kegiatan pengecoran dan telah menjadi kebiasaan bagi santri untuk diperbantukan melaksanakan tugas ponpes, termasuk pembangunan.
“Karena semua santri insya Allah kepingin dilibatkan, karena membantu proses pembangunan di pondok itu adalah sebuah kebanggaan. Bangga setidaknya ada sedikit memberikan sumbangsih untuk pembangunan pondok,” katanya.
Zabidi pun bilang santri bekerja bersama tukang bangunan yang profesional.
“Yang kasih rekomendasi ya tukang-tukangnya itu. Santri tahu apa? Santri cuma kulinya, cuma ikut usung-usung [angkat-angkat] material cor,” kilahnya.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Umarul Faruq
Saat peristiwa itu, anak kedua Zabidi sedang ikut salat Asar bersama ratusan santri lain di bangunan musala.
Zabidi bilang anaknya berada di musala lama, yang letaknya berdekatan dengan musala baru yang ambruk.
Dia bilang anaknya sempat merasakan getaran kuat saat salat, sebelum bangunan runtuh.
Ketika bangunan musala baru itu mulai runtuh, ada yang spontan menghentikan salat, ada yang tetap melanjutkan ibadah.
Anak Zabidi sempat menolong lima temannya yang tertimpa runtuhan bangunan.
“‘Maaf ya teman-teman, aku sudah tidak bisa menolong yang lain. Aku takut ada yang roboh lagi’,” papar Zabidi menirukan ucapan anak keduanya itu.
Sumber gambar, JUNI KRISWANTO/AFP via Getty Images
Santri itu bilang membantu pengecoran bangunan adalah salah satu hukuman bagi mereka yang tidak mengikuti kegiatan ponpes.
Selama enam tahun belajar di sana, dia bilang hukuman membantu pengecoran telah menjadi tradisi.
Muhammad Sukron, 46 tahun, orang tua santri Al Khoziny asal Kabupaten Sampang mengatakan bahwa sebelum kejadian sudah mendengar dari anaknya bahwa ada pengecoran lantai musala di Ponpes Al Khoziny.
Dia bilang para santri terutama yang senior dilibatkan dalam pengecoran tersebut. Ia juga sempat mengingatkan anaknya untuk hati-hati apabila kebagian untuk membantu pengecoran musala.
“Tapi pada waktu, [anak saya] itu menjawab, karena saya masih Diniyah, masih santri baru tidak punya tugas untuk membantu ngecor, yang senior-senior [yang dapat tugas],” kata Sukron.
Sejak masuk pondok pada Juni lalu, anaknya memang sering menginformasikan bahwa sebagian santri di ponpes itu tengah sibuk membantu pembangunan musala.
Sumber gambar, Reuters
Sementara itu, keluarga dari Muhfi Aldian, santri yang tewas akibat peristiwa maut itu, mempertanyakan mengapa masih ada aktivitas di bawah musala yang tengah dibangun itu.
“Ketika ada aktivitas renovasi atau pembangunan, pertanyaan kami sebagai keluarga, kenapa ada aktivitas santri yang di bawah? Sementara yang di atas masih dilakukan pembangunan,” kata bibi korban, Hamida Soetadji.
“Jangankan proses, dalam proses pengecoran itu kan harus ada pengeringan. Pengeringan pun itu kan tidak boleh di bawahnya [ada aktivitas], itu yang kami sesali, jadi keluarga menyesali itu,” ujarnya.
Hamidi juga menyebut keterlibatan santri dalam proses pembangunan itu memang biasa terjadi.
“Tapi konstruksinya memang harus benar, jadi santri itu kan hanya membantu saja, mungkin mengangkat bahan cor, tapi untuk konstruksinya memang harus dihitung detil-detil, sangat detil, tapi ini saya enggak tahu ya, yang terjadi itu seperti apa,” tambahnya.
Sumber gambar, Aprilia Devi/detikJatim
BBC News Indonesia telah beberapa kali berupaya mewawancarai pengurus pesantren terkait pelibatan santri dalam pembangunan, namun ditolak oleh sejumlah santri yang menjaga lokasi itu.
Abdus menyebut bangunan itu sedang dalam tahap pengecoran terakhir.
“Ini pengecoran yang terakhir saja, itu jebol. Ya, hanya itu. [Proses pembangunan] sudah lama, sudah sembilan bulan. Kurang lebih sembilan sampai 10 bulan,” ujarnya.
Abdus menerangkan bahwa bangunan tersebut memiliki tiga lantai, dengan tambahan satu dek di bagian paling atas. Proses pengecoran dilakukan tepat di area dek yang berada di puncak bangunan itu.
“Mungkin sudah selesai atau bagaimana, enggak tahu. Soalnya ngecor mulai dari pagi. Saya kira ngecornya mungkin hanya empat jam, lima jam selesai. Mungkin jam 12 sudah selesai,” kata Abdus.
Dugaan pembangunan tidak punya IMB dan kesalahan konstruksi
Dugaan tak adanya izin mendirikan bangunan (IMB) dari musala itu pun mencuat. Hal itu diungkap oleh Bupati Sidoarjo, Subandi saat meninjau lokasi.
“Ini saya tanyakan izin-izinnya mana, tetapi ternyata enggak ada, ngecor lantai tiga, karena konstruksi tidak standar, jadi akhirnya roboh,” ujar Subandi, Rabu (01/10).
Dia bilang pembangunan tanpa IMB seharusnya tidak boleh dilaksanakan karena pengerjaan konstruksinya akan tak sesuai standar dan beresiko.
“Nanti akan kita sosialisasikan kembali, kalau ada pembangunan yang tidak dilengkapi izin, akan kita berhentikan dahulu, kita tidak ingin musibah ini terulang kembali,” katanya.
Sumber gambar, Robertus Pudyanto/Getty Images
Permasalahan tentang IMB rumah ibadah dilaporkan telah berlangsung cukup lama di beragam tempat.
Lalu, dalam catatan Dewan Mesjid Indonesia pada 2016 lalu, ada sekitar 95% atau 37.000 masjid dari total 39.000 masjid di Provinsi Jawa ternyata belum memiliki IMB.
Contoh lain, pada 2018, dari 167 masjid dan musala di Kota Kediri, hanya 18 yang memiliki IMB.
Begitu juga dengan di Kabupaten Pasuruan. Di sana hanya 25% masjid yang memiliki IMB dari total 1.670 rumah ibadah pada 2021.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Umarul Faruq
Deputi Operasi dan Kesiapsiagaan Basarnas Edy Prakoso berkata, penyebab bangunan ponpes itu ambruk karena diduga fondasi bangunan yang tidak kuat.
Selaras dengan pandangan itu, pakar teknik sipil struktur Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Mudji Irmawan menyebut pembangunan musala itu tak terencana dan tidak sesuai kaidah teknis.
“Kalau kita lihat sejarah pembangunan ruang kelas pondok pesantren ini awalnya merupakan bangunan yang direncanakan cuman satu lantai,” kata Mudji, Selasa (30/09).
Namun, katanya, pengurus ponpes menambah ruang baru di lantai dua dan tiga.
Penambahan lantai itu, lanjut Mudji, membuat beban yang ditanggung lantai satu semakin bertambah, namun tidak diimbangi oleh kaidah teknis, berupa perhitungan dan perencanaan.
Bagaimana pembangunan pesantren di tempat lain?
Sumber gambar, Ahmad Mustofa
Pelibatan santri dalam pembangunan ponpes disebut sering terjadi. Salah satunya adalah di Pondok Pesantren Al Fudhola’di Pamekasan, Jawa Timur.
Pengasuh ponpes itu, Fadholi Muhammad Ruham tidak menampik adanya pelibatan santri dalam pengerjaan pembangunan.
Namun, menurutnya, pelibatan santri hanya terbatas pada urusan kebersihan dan mengangkut material.
“Jadi kalau yang terkait dengan teknis jangan santri, itu berbahaya. Harus yang ahli di bidangnya,” jelas Fudholi.
Sumber gambar, Ahmad Mustofa
Dia mengaku menggandeng tenaga profesional untuk proses pembangunan gedung pesantren, termasuk berkoordinasi dengan pemda setempat.
“Kalau memang nanti targetnya lantai tiga, lantai dua dan semacamnya itu memang sudah direncanakan. Harus itu, harus karena ini menyangkut keselamatan semua,” tegasnya.
Karena itu, ia mendorong pemerintah agar hadir dalam setiap pembangunan di pesantren. Sehingga insiden yang terjadi di Ponpes Al Khoziny tidak lagi terjadi.
“Pemerintah jangan membiarkan liar ya, bangunan-bangunan yang itu seperti yang terjadi baru-baru ini ya. Itu kan mengancam keselamatan penghuni apalagi santri yang banyak ya,” katanya.
Bentuk kehadiran pemerintah bisa berupa pendampingan dan memberikan masukan dalam konstruksi bangunan, termasuk menerjukan petugas untuk membantu mengecek struktur tanah.
Efektifkah upaya-upaya pemerintah?
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Didik Suhartono
Peristiwa yang memakan korban di Sidoarjo membuat pemerintah bereaksi.
Menurutnya, hal itu banyak terjadi di Indonesia sehingga berisiko menimbulkan kejadian yang tak diinginkan akibat pengawasan teknis yang kurang optimal.
Menteri Agama Nasaruddin Umar bilang akan memperkuat pengawasan dalam teknis konstruksi bangunan di ponpes, madrasah dan juga lembaga pendidikan lainnya
“Semoga ini yang terakhir. Ke depannya kami akan memperkuat pengawasan dalam hal teknis konstruksi bangunan,” kata Nasaruddin.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Ima/SA/YU
Selain pengawasan, Nasaruddin juga bilang akan membuat aturan khusus pembangunan dan mengevaluasi bangunan yang ada agar memenuhi standar teknis dan keselamatan.
Dia bilang pihaknya akan segera bertemu dengan sejumlah pihak, termasuk ahli pembangunan untuk merumuskan aturan itu.
“Kita semua perlu introspeksi. Harapannya semua proses konstruksi baik di lingkungan pesantren maupun non pesantren harus mengikuti aturan yang berlaku demi keselamatan bersama,” katanya.
Sumber gambar, ANTARAFOTO/Aditya Pradana Putra
Upaya untuk mengevaluasi kondisi dan izin bangunan pesantren yang kini berdiri juga didorong oleh Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat (Menko PM) Muhaimin Iskandar.
“Bukan sekedar soal regulasi, Kemenag harus jemput bola, regulasi sudah banyak, jemput bola Kemenag semua, jemput bola ambil inisiatif,” kata Muhaimin, Kamis (02/10).
Muhaimin mengatakan, pengecekan bangunan pesantren secara langsung harus segera dilakukan. Sebab, dia khawatir peristiwa serupa bisa menimpa para santri di daerah lain.
Selain itu, Muhaimin bersama Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Pratikno juga mengaku menyepakati dua langkah, usai runtuhnya musala Ponpes Al Khoziny.
Kedua, kata Muhaimin, akan dilakukan pendampingan teknis terhadap ponpes yang sedang membangun.
Di sisi lain, Cak Imin mengingatkan agar seluruh pesantren yang sedang membangun harus melibatkan tenaga ahli teknik.
“Gotong royong boleh, tetapi tetap harus ada hitungan ilmunya. Kita tidak boleh lagi membangun tanpa kalkulasi teknik. Itu sangat berisiko,” ujarnya.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Umarul Faruq
Namun rencana membuat aturan, menurut pengamat pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia, Itje Chodidjah seperti “tambal sulam”.
“Kenapa pemerintah baru akan berjanji membuat regulasi? Seharusnya regulasi-regulasi pembangunan itu kan sudah ada di dalam aturan-aturan yang lain. Nah, ini kan kita jadi seperti tambal sulam kalau ada kecelakaan baru kita repot,” kata Itje.
Dia bilang yang perlu diperkuat seharusnya adalah proses pendataan dan pengawasan tiap pesantren, mulai dari pembangunan hingga pelaksanaan.
“Jadi Kemenag harus memastikan apakah kondisi pesantren-pesantren di Indonesia ini semuanya dalam kondisi aman secara fisik.”
“Dan itu tidak perlu harus dari Jakarta, di setiap wilayah kan ada kantor, mereka yang melakukan inspeksi dan peng-cluster-an, mana yang mesti diutamakan untuk dimonitor, yang kemudian mendapatkan pendampingan untuk membenahi kualitas bangunan fisiknya,” ujar Itje.
Wartawan Ahmad Mustofa dari Madura dan Roni Fauzan dari Sidoarjo, berkontribusi dalam liputan ini.