Sumber gambar, Cortesía Museo de la Biblia de Washington
-
- Penulis, Juan Francisco Alonso
- Peranan, BBC News Mundo
“Tuhan, Allah orang Ibrani, mengutus aku untuk berkata kepadamu: Biarkan umat-Ku pergi untuk menyembah Aku di padang gurun.”
Ucapan Musa kepada Firaun menjadi awal perjuangan untuk membebaskan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir sehingga bangsa Israel dapat pergi ke tanah yang dijanjikan Tuhan.
Alih-alih menerimanya, Firaun berulang kali menolak permintaan Musa dan Harun. Bahkan beban kerja pada orang-orang yang diperbudak makin ditambah.
Serangkaian wabah hingga peristiwa supranatural seperti “Musa membelah laut merah” menjadi kisah yang paling dikenal dalam Alkitab, jauh sebelum Hollywood membawanya ke layar lebar.
Namun pada periode akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, terbit kitab suci dengan versi berbeda.
Dalam versi tersebut, kisah pembebasan “bangsa pilihan Allah” yang semula terdapat di dalam Kitab Keluaran serta kisah lain yang mengutuk perbudakan dan penindasan manusia tidak dimasukkan.
Versi yang sesuai untuk budak dan tuannya
Sumber gambar, Getty Images
“Bagian-bagian terpilih dari Alkitab untuk digunakan untuk para budak negro di Hindia Barat kekuasaan Britania”.
Itulah judul resmi Alkitab yang diterbitkan di London pada 1807.
Namun seiring berjalannya waktu, para sejarawan mengganti judulnya menjadi “Alkitab para budak”.
Alkitab versi ini diterbitkan oleh Komunitas Pengubah Keyakinan Budak-budak Hitam.
Mereka merupakan organisasi misionaris Gereja Inggris (Gereja Anglikan) yang fokus pada penginjilan terhadap para budak dari Afrika yang bekerja di perkebunan koloni-koloni Inggris di Karibia dan, kemungkinan juga di Amerika Utara. Tujuannya agar para budak tak ada yang mempertanyakan sistem perbudakan.
“Alkitab versi ini adalah kitab yang telah disunting secara ekstensif dengan tujuan untuk mempertahankan kontrol atas para budak,” kata teolog Inggris, Robert Beckford, kepada BBC Mundo.
“Ini adalah kitab yang menghapus sekitar 90% isi dari Perjanjian Lama dan 60% dari Perjanjian Baru,” ujar Beckford yang merupakan profesor bidang keadilan rasial dari The Queen’s Foundation di Birmingham, UK.
Pria yang mengajar di sekolah teologi ini menambahkan seluruh kisah Musa dan pembebasan bangsa Israel dari Mesir dihapus. Begitu pula semua bagian yang membahas kebebasan atau pembebasan manusia.
“Misalnya, surat saat Rasul Paulus berkata: ‘Dalam Kristus tidak ada budak atau orang merdeka’, dihapus,” ujarnya.
Sumber gambar, Silver Screen Collection/Getty Images
Direktur Koleksi Museum Alkitab Washington di Amerika Serikat, Anthony Schmidt, menunjukkan sekelumit salinan “Alkitab para budak” yang masih ada sampai kini.
“Ini adalah Alkitab yang sebagian besar isinya hilang dan ditujukan menyasar pada khalayak tertentu,” kata Schmidt, yang juga ahli agama dari Universitas Princeton.
Schmidt menegaskan praktik semacam ini telah umum terjadi sepanjang sejarah.
“Kami memiliki Alkitab lain yang juga dibuat ringkas dan disunting dengan alasan agar lebih mudah dipahami oleh kelompok tertentu. Misalnya, beberapa yang ditujukan untuk anak-anak. Dalam kitab untuk anak-anak itu, teks-teksnya diganti dengan ilustrasi,” ujarnya.
Namun, “Alkitab para budak” ini merupakan kasus berbeda, menurut ahli.
“Mereka yang menyuntingnya sengaja melakukannya dengan niat untuk memanipulasi orang-orang yang diperbudak,” ujar Schmidt.
“Ini mungkin karena mereka meyakini bahwa kisah-kisah seperti kisah Musa begitu berpengaruh sehingga dapat memicu pemberontakan.”
Schmidt juga memastikan bahwa orang-orang yang bertanggung jawab menerbitkan Alkitab versi ini tidak memeriksa Alkitab baris demi baris untuk menentukan teks mana yang akan diterbitkan dan mana yang tidak.
“Mereka tidak menghapus kata atau frasa, melainkan menghapus bagian dari seluruh kitab yang mereka anggap tidak penting. Misalnya, mereka menghapus sebagian besar Kitab Keluaran, tapi membiarkan referensi tentang Musa yang muncul dalam kitab lainnya,” ucap Schmidt.
Menurut Museum Alkitab Washington, edisi Alkitab Protestan berisi 66 kitab, versi Katolik memiliki 73 kitab, dan terjemahan Ortodoks Timur 78 kitab. Sedangkan, “Alkitab para budak” hanya berisi sekitar 14 kitab.
Tanpa melupakan konteksnya
Sumber gambar, Getty Images
Bagi Beckford, kemunculan “Alkitab para budak” merupakan momen bersejarah yang menunjukkan bukti lain adanya kontrol atas populasi budak di koloni-koloni Inggris.
“Kitab itu diterbitkan pada 1807. Pada Maret tahun itu, parlemen Inggris menghapuskan perdagangan budak di Kekaisaran Britania, tapi perbudakan sebagai sistem tetap berlanjut selama 30 tahun kemudian” kata teolog tersebut.
Kemudian, ia menambahkan: “Bagaimana budak-budak dipertahankan di perkebunan? Selain kekerasan, yang merupakan bagian integral dari perbudakan, diperlukan kerangka ideologis. Sebelum munculnya pseudosains yang mendukung supremasi kulit putih, Alkitab sangat penting karena mempromosikan gagasan bahwa Tuhan mendukung perbudakan.”
Ia pun mengutip ayat yang berasal dari surat Paulus kepada jemaat di Efesus. Berikut bunyinya: “Hamba-hamba, taatilah tuanmu dengan takut dan hormat, tanpa kemunafikan, seolah-olah kamu melayani Kristus.”
Ayat ini tentu saja dipertahankan pada “Alkitab para budak” karena memuat nuansa dukungan terhadap perbudakan.
“Ide dasarnya adalah memutarbalikkan Alkitab agar melayani teror rasial dan mempengaruhi orang-orang Afrika yang diperbudak bahwa Tuhan mendukung situasi mereka yang tidak manusiawi,” kata Beckford.
Secara terpisah, Schmidt juga percaya versi Alkitab tersebut mencerminkan konteksnya.
“Selama abad ke-18, beberapa penganut Kristen peduli terhadap kesejahteraan spiritual orang-orang yang dibawa dari Afrika, tapi pemilik perkebunan menentang agar mereka diinjili karena mereka takut hal itu akan mengancam otoritas mereka,” katanya.
“Untuk mengatasi penolakan para pemilik perkebunan, misionaris Anglikan berargumen dengan perpindahan agama para budak ke Kristen akan membuat mereka menjadi budak yang lebih baik, karena akan mengajarkan mereka untuk patuh,” tambah Direktur Koleksi Museum Alkitab Washington ini.
Peran Gereja Anglikan
Sumber gambar, Getty Images
Keterlibatan Gereja Anglikan dalam perbudakan telah terbukti secara historis.
Beckford memberikan contoh, Society for the Propagation of the Gospel Abroad yang merupakan salah satu organisasi di bawah naungan gereja pernah memiliki saham di perkebunan Codrington di Barbados yang mempekerjakan ratusan budak Afrika.
Pada 2023, Justin Welby, yang saat itu menjabat sebagai Uskup Agung Canterbury dan pemimpin tertinggi Gereja Anglikan, mengakui keterkaitan lembaga tersebut dengan perdagangan manusia dari Afrika. Hal ini terjadi setelah dilakukan penyelidikan internal.
Seiring “langkah-langkah untuk menghadapi masa lalu yang memalukan ini”, Welby pun mengumumkan penggelontoran dana sebesar US$135 juta untuk membiayai proyek-proyek berbagai komunitas yang “secara historis terkena dampak” perbudakan.
Namun, Schmidt berpendapat fakta “Alkitab para budak” diterbitkan oleh kelompok yang memiliki hubungan dengan Uskup Beilby Porteus (1731-1809).
Sosok ini merupakan salah satu pemimpin Anglikan pertama yang secara terbuka mengutuk perbudakan, bahkan menunjukkan upaya untuk mereformasi dan menghapuskan praktik ini. “Alkitab para budak” diduga caranya untuk melawan perbudakan secara subtil.
“Misionaris sesungguhnya memiliki visi progresif, mereka ingin meningkatkan kondisi hidup budak, mengurangi beban kerja mereka, memberikan perawatan medis, dan melarang pemisahan keluarga mereka,” kata ahli tersebut.
Sumber gambar, Getty Images
Kendati demikian, Schmidt mengakui tidak ada bukti dari para tokoh agama untuk menghilangkan perbudakan dengan segera.
“Saya yakin tujuannya agar hal penghapusan perbudakan terjadi secara bertahap, dalam satu atau dua generasi,” ucap Schmidt.
Pendapat serupa juga diungkapkan oleh Beckford, yang menyebutkan bahwa Gereja Anglikan pada masa itu mendukung “perbudakan Kristen”.
“Perbudakan Kristen adalah upaya untuk mempertahankan sistem perbudakan dengan dalih budak-budak Afrika menjadi lebih baik. Dari langkah ini, tujuan akhirnya adalah mereformasi sistem tersebut dan menghapusnya,” ujarnya.
Mengenai dampak Alkitab ini, para ahli yang diwawancarai mengakui hanya ada bukti dokumenter bahwa kitab kontroversial ini digunakan di perkebunan tebu di koloni-koloni Inggris di Karibia.
Namun, keduanya juga menduga Alkitab ini kemungkinan besar digunakan di perkebunan kapas di selatan Amerika Serikat saat ini.
Bagaimana dengan Gereja Katolik?
Sumber gambar, Getty Images
Menurut profesor Sejarah Gereja di Universitas Comillas dan San Damaso dari Spanyol, Jesús Folgado, gereja Katolik tidak memiliki “Alkitab untuk budak”.
“Ayat-ayat Alkitab yang dihapus oleh Gereja Anglikan dari Alkitab untuk membenarkan perbudakan adalah ayat yang sama yang digunakan beberapa paus dan pemimpin berbagai kongregasi keagamaan di Eropa untuk mengutuk perbudakan” ujar Folgado yang juga seorang imam dan doktor teologi kepada BBC Mundo.
Pada 1537, Paus Paulus III mengeluarkan surat keputusan Sublimis Deus, yang menyatakan: “Semua manusia, dari semua ras, harus menikmati kebebasan dan menjadi tuan atas diri mereka sendiri, dan tidak ada seorang pun yang diperbolehkan memperbudak mereka.”
Beberapa tahun kemudian, Paus Urbanus VIII mengancam akan mengucilkan setiap umat Katolik yang memperbudak seseorang.
Meskipun demikian, perbudakan tetap dilakukan di wilayah-wilayah jajahan Spanyol, Portugal, dan Prancis yang berada di Benua Amerika. Bahkan praktik ini dijalankan oleh institusi keagamaan itu sendiri.
“Memang ada kontradiksi bahwa para paus mengutuk perbudakan, tapi banyak kongregasi di Amerika memiliki budak,” kata Folgado.
“Namun, perbudakan di Amerika Latin Hispanik tidak dapat dibandingkan dengan perbudakan di Amerika dan Karibia yang merupakan koloni Inggris,” katanya.
Folgado kemudian menjelaskan, “Kongregasi agama memiliki budak, tapi kondisi mereka mirip dengan buruh harian di Castilla pada masa itu: mereka memiliki hari libur, dapat keluar dan menikah, meski tidak sepenuhnya bebas.”
Saat ini, hanya ada sedikit salinan dari versi kontroversial kitab suci ini. Satu salinan terdapat di Perpustakaan Universitas Fisk di Nashville, Tennessee, AS, dan dua salinan lainnya berada di universitas-universitas Inggris di Oxford dan Glasgow.
