Sumber gambar, KOMPAS.com/BAGUS PUJI PANUNTUN
-
- Penulis, Faisal Irfani
- Peranan, Jurnalis BBC News Indonesia
Beberapa murid SMA yang BBC News Indonesia temui merasakan pusing, mual, dan sakit perut selepas mengonsumsi menu MBG. Mereka meminta pengurus MBG memperbaiki pelayanan.
Advokat dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menuturkan bahwa MBG telah memenuhi kriteria untuk dituntut di pengadilan.
Gugatan ke pemerintah bukan barang baru. Pada 2016, puluhan warga menggugat jajaran pemerintah sehubungan pencemaran udara di Jakarta. Mereka menang. Pemerintah diminta memperbaiki kualitas kebijakan.
Menggugat ke pengadilan menjadi semacam pengingat bahwa pemerintah tidak bisa lari dari pertanggung jawaban atas kebijakan, program, maupun regulasi yang dikeluarkan, tambah advokat tersebut.
Pemerintah mengaku bakal berbenah dalam mengelola MBG, salah satunya dengan membentuk tim investigasi kasus-kasus keracunan. Tujuannya agar tidak terjadi simpang siur informasi, sekaligus penerapan mitigasi.
Di tengah gelombang keracunan karena MBG, Presiden Prabowo terus membanggakan keberadaan program tersebut. Dia, misalnya, pernah berujar banyak negara ingin meniru MBG. Pada momen yang lain, dia mengklaim tingkat keberhasilan MBG berada di angka 99,99%—nyaris sempurna.
‘Ayamnya sudah bau sebelum dimakan’
Nazwa mulanya tidak merasakan apa pun setelah melahap menu Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dibagikan di sekolahnya, SMA Negeri 7 Kota Baubau, Sulawesi Tenggara.
Sekitar 20 menit kemudian, perut Nazwa mulai sakit dan kepalanya oleng. Pada waktu bersamaan, Nazwa mual.
“Sampai di sini [tenggorokan], tapi tidak bisa keluar [muntah],” terangnya ketika ditemui BBC News Indonesia sehabis selesai mata pelajaran.
Nazwa terpaksa tidak dapat menuntaskan sekolah dan dibawa ke puskesmas terdekat. Di sana, Nazwa diberi obat. Kondisinya berangsur membaik, meski perutnya masih sakit.
“Seperti ada sesuatu yang berputar-putar [di dalam perut],” dia menambahkan.
Nazwa mengalami dugaan keracunan pada 16 September 2025. Ketika pertama kali menerima menu MBG, Nazwa sudah curiga. Bau kari ayam yang akan dia santap tercium aneh—seperti busuk.
Nazwa mengutarakan keresahan itu ke salah satu gurunya dan dibalas “mungkin karena habis ditutup,” Nazwa bercerita. Nazwa mengiyakan keterangan sang guru.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Adeng Bustomi
Tidak lama, guru lain datang ke kelas dan meminta murid-murid untuk tidak memakan menu MBG. Perintah tersebut disanggupi. Nazwa lantas memilih membeli makanan lainnya.
“Saya duduk-duduk sedikit, [muncul] keringat, sakit perut, sakit kepala. Saya melapor dan dibawa [ke puskesmas],” ungkap pelajar kelas sepuluh ini.
Nazwa tidak sendirian. Sebanyak 46 siswa di SMA 7 Baubau keracunan, disinyalir imbas makanan MBG. Korban mengalami mual, sakit perut, kepala pusing, sampai diare. Mereka dibawa ke puskesmas dan rumah sakit.
Arini, murid SMA 7 lain yang menjadi korban, mengisahkan momen keracunan adalah masa-masa yang tidak ingin dia ulang.
Dia seperti sedang diserbu bermacam sakit sekaligus: di kepala, perut, serta tenggorokan.
Dia mengira kesakitan itu hanya dirasakan seorang diri. Ternyata tidak.
“Saya dibawa ke [ruang] piket. Rupanya banyak siswa lain yang terkena [keracunan] juga karena MBG,” kenangnya.
Arini berharap peristiwa keracunan tidak kembali dialami murid-murid. Dia mengusulkan agar jarak waktu antara memasak dan pembagian makanan tidak kelewat jauh.
“Apalagi jarak makanan itu beda-beda. Ada yang cepat basi, ada yang tidak,” ucapnya.
Kasus keracunan akibat MBG terus bermunculan
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Hasrul Said
Keracunan di Baubau, Sulawesi Tenggara, bukan contoh tunggal peristiwa serupa. Dan jika dirunut, daftarnya begitu panjang.
Januari 2025, puluhan siswa SD di Nunukan Selatan, Kalimantan Utara, mengalami gejala perut mual serta diare. Penyebabnya diduga akibat konsumsi menu Makan Bergizi Gratis (MBG). Kondisi demikian turut dialami beberapa guru.
Gejala tersebut muncul jelang malam hari sehingga menguatkan dugaan bahwa pemicunya ialah konsumsi MBG pada paginya.
Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), selaku pelaksana MBG, mengaku akan mengevaluasi distribusi menu di lapangan.
Tidak hanya di lingkup SD, puluhan siswa dari salah satu SMA di lokasi yang sama juga merasakan gejala mual dan mencret, disinyalir setelah menyantap makanan MBG.
Di Bogor, Jawa Barat, sekitar 223 siswa—dari TK hingga SMA—keracunan akibat bakteri yang terdapat di menu MBG. Puluhan di antaranya terpaksa menjalani rawat inap di rumah sakit.
Buntut dari peristiwa ini, pemerintah kota Bogor sempat mengeluarkan status kejadian luar biasa (KLB) dan meminta siswa terdampak segera ditangani.
Bergeser ke Jawa Tengah, tepatnya Sragen, 196 orang keracunan sebab MBG. Korban terdiri dari siswa, guru, karyawan sekolah, sampai anggota keluarga. Gejala yang menyergap yaitu pusing, mual, serta diare. Tidak ada korban yang harus dirawat intensif.
Tidak jauh dari Sragen, di Wonogiri 110 siswa terkena mual, muntah, dan gejala diare imbas menu MBG. Seorang siswa dilarikan ke rumah sakit serta kegiatan belajar mengajar (KBM) dihentikan sementara waktu.
Kasus sama muncul di Yogyakarta. Di Gunungkidul, misalnya, 19 siswa dari tiga sekolah disebut keracunan usai memakan sajian MBG. Gejalanya berwujud nyeri perut, muntah, pusing, dan demam. Penanganan medis langsung dilakukan.
Korban mengalami mual, muntah, serta diare. Hasil laboratorium menunjukkan ada bakteri berbahaya—E. coli, Clostridium sp., dan Staphylococcus—yang menempel di makanan.
Di luar yang ditulis di atas, pemandangan keracunan hadir pula di Maluku serta Bengkulu.
Sumber gambar, CISDI
Kepala Pusat Studi Pangan dan Gizi (PSPG) UGM, Sri Raharjo, menilai rentetan keracunan di program MBG memperlihatkan “kegagalan sistemik dalam proses penyiapan, pengolahan, maupun distribusi makanan.”
Sri menyoroti lemahnya pengawasan terhadap waktu konsumsi. Makanan yang sudah dimasak, kata Sri, tidak semestinya disimpan lebih dari empat jam supaya mencegah pertumbuhan bakteri.
Dia menambahkan, kualitas air wajib bebas kontaminasi.
Sri mendesak pemerintah meningkatkan pemantauan atas MBG dengan audit rutin, pelatihan berkelanjutan untuk pekerja di dalamnya, hingga pemberian sanksi maupun pencabutan izin apabila terjadi kelalaian.
“Koordinasi dan evaluasi [MBG] yang masih lemah, [sehingga] diperlukan evaluasi dan perbaikan sistem yang [selama ini] belum berjalan efektif,” tegasnya.
Peluang membawa MBG ke ranah hukum
Masyarakat dapat menggugat setiap kebijakan pemerintah yang dianggap problematik ke ranah hukum, kata Wakil Ketua Riset Bidang Advokasi dan Jaringan YLBHI, Arif Maulana.
Dalam konteks program Makan Bergizi Gratis (MBG), Arif menyebut bahwa kebijakan ini “menimbulkan banyak masalah.”
Pendeknya, MBG dapat digugat, ucap Arif.
“Salah satunya adalah keracunan di masyarakat yang mengakibatkan anak-anak sakit, bahkan trauma [di] orangtuanya juga, selain kerugian material bagi masyarakat yang terdampak,” paparnya saat diwawancarai BBC News Indonesia, Senin (22/9).
Sumber gambar, EPA/Shutterstock
Kerugian itu, menurut Arif, bisa masuk kategori kerugian materiil atau immateriil. Oleh sebab itu, kata Arif, “masyarakat berhak—secara hukum dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan—mengajukan gugatan kepada pemerintah.”
Merujuk Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata, sesuatu yang merugikan orang lain—dan dilakukan oleh negara, swasta, atau pihak ketika—didefinisikan sebagai perbuatan melawan hukum.
Penjelasan ihwal “perbuatan melawan hukum” mengacu pada unsur-unsur pelanggaran atas undang-undang atau nilai-nilai di masyarakat, imbuh Arif.
“Dan mengakibatkan kerugian bagi masyarakat. Harus ada kausalitas sebab dan akibat yang nyata dalam arti kausalitasnya bisa dibuktikan juga,” tegasnya.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Irfan Sumanjaya
Ada dua saluran gugatan yang dapat dimanfaatkan, jelas Arif.
Pertama, class action, atau gugatan yang dilakukan satu atau lebih penggugat atas nama kelompok yang besar, yang masing-masing anggotanya memiliki kesamaan fakta dan peristiwa sehubungan gugatan yang tengah diupayakan.
Gugatan jenis ini, Arif menerangkan, bertujuan untuk mencari ganti rugi yang dilahirkan dari sebuah kebijakan atau tindakan.
Kedua, gugatan warga negara, dikenal sebagai citizen lawsuit. Gugatan ini memusatkan fokus pada usaha warga negara meminta pemerintah menuntaskan kewajibannya secara lebih serius dalam memenuhi hak-hak warga negara.
Tujuan citizen lawsuit, ucap Arif, bukan ganti rugi materi melainkan terciptanya mekanisme tata kelola penyelenggaraan negara yang kredibel serta komprehensif.
“Tuntutan dari citizen lawsuit ini adalah pemerintah itu mengubah kebijakan, baik itu membatalkan kebijakan, merevisi kebijakan, atau membuat kebijakan baru,” ujarnya.
“Intinya adalah agar pemerintah tidak melakukan kelalaian lagi yang merugikan publik.”
Baik class action maupun citizen lawsuit sama-sama memiliki jejak di Indonesia.
Lima tahun lalu, presiden waktu itu, Joko Widodo, digugat warga bernama Enggal Pamukty ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Enggal mewakili kelompok pedagang eceran—berisikan enam orang—yang memandang Jokowi lalai dalam mengantisipasi pandemi Covid-19.
Akibat dari kelalaian tersebut, Enggal menegaskan, dia dan pedagang eceran lainnya merugi setelah Covid-19 menyerang Indonesia. Dalam gugatannya, mereka meminta ganti rugi sebesar Rp20 juta dan Rp10 miliar.
Pemerintah menyatakan gugatan Enggal sebaiknya tidak ditempuh. Alih-alih menggugat, Enggal diminta membantu pemerintah dalam mengatasi pandemi Covid-19.
Kendati demikian, pemerintah menyerahkan sepenuhnya urusan gugatan Enggal ke pengadilan.
Pada 2016, warga Bukit Duri, berjumlah 93 orang, melayangkan class action ke pemerintah provinsi (pemprov) DKI Jakarta yang hendak “menertibkan” kawasan permukiman di sana.
Gugatan diambil lantaran masyarakat Bukit Duri merasa Pemprov Jakarta tidak mampu membuktikan lahan yang ditempati warga adalah milik mereka.
Lalu, warga Bukit Duri menyebut pemprov Jakarta ingkar janji setelah sebelumnya, 2012, menegaskan tidak bakal menggusur. Kala itu, pemprov Jakarta menyatakan ingin menata kawasan Bukit Duri dengan, salah satunya, membangun kampung susun.
Sedikit jauh ke belakang, 2001, class action dipilih kelompok yang tergabung dalam Komite Advokasi Pemakai Anti Kenaikan LPG (KAPAK LPG).
Peristiwa ini diyakini menjadi class action pertama di Indonesia, dengan basis Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Pihak yang digugat lewat class action kala itu adalah Pertamina. Penggugat berpandangan kebijakan menaikkan harga jual gas elpiji sebesar 40% oleh Pertamina merupakan perbuatan melawan hukum.
Pasalnya, Pertamina dituding tidak menginformasikan keputusan ini baik secara lisan maupun tertulis, di samping menihilkan proses sosialisasi serta tidak melibatkan partisipasi penggugat atau konsumen secara umum.
Keputusan meninggikan biaya jual elpiji keluar di tengah status Pertamina yang menguasai 80% pasar dalam negeri, klaim penggugat.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Irfan Sumanjaya
Contoh-contoh di atas ialah bentuk class action. Sekarang giliran citizen lawsuit.
Enam tahun silam, pada 2019, 32 warga yang tergabung dalam Koalisi IBUKOTA menggugat beberapa pihak di pemerintahan, mulai dari presiden, gubernur, hingga sejumlah menteri terkait pencemaran udara di ibu kota.
Sidang perdana dihelat pada Agustus 2019. Para penggugat menuntut tergugat untuk menurunkan tingkat pencemaran udara yang dinilai sudah dalam taraf memprihatinkan.
Dengan kata lain, pencemaran udara di Jakarta berpeluang merugikan 10 juta warga yang hidup di dalamnya. Kerugian mencakup kesehatan fisik serta finansial.
Persidangan berjalan cukup lama, sekira dua tahun, dan pada 2021 hasilnya diumumkan: Pengadilan Negeri Jakarta memutus bersalah seluruh tergugat.
Hukuman yang dijatuhkan kepada masing-masing tergugat bervariasi. Presiden, ambil contoh, diminta mengetatkan baku mutu udara nasional sampai cukup untuk melindungi kesehatan manusia.
Kepada menteri lingkungan hidup, pengadilan memerintahkan dilakukan supervisi atas inventarisasi emisi lintas batas tiga provinsi—DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat.
Kemudian dari sisi gubernur, satu di antara hukuman yang diberikan yaitu tuntutan untuk mengawasi ketaatan standar dan spesifikasi bahan bakar yang ditetapkan.
Putusan pengadilan tidak seketika ditaati para tergugat. Jajaran pemerintah pusat mengajukan banding ke tingkat Pengadilan Tinggi Jakarta dan ditolak.
Banding kembali dilanjutkan ke kasasi Mahkamah Agung (MA), pada 2023, dan—sekali lagi—tidak dikabulkan.
Meski diputus bersalah tiga kali di pengadilan, pemerintah dituding tidak melakukan perbaikan dalam konteks pencemaran udara di Jakarta.
Hal ini yang lantas menjadi dilema saat mengajukan class action atau citizen lawsuit. Putusan pengadilan tidak otomatis dieksekusi oleh pemerintah.
“Yang sering kali terjadi, pemerintahannya meskipun digugat dan kalah, tidak patuh pada putusan pengadilan. Ini sebenarnya dilematis juga,” sebut Arif berkaca dari pengalaman gugatan ihwal pencemaran udara.
Ketidakpatuhan pemerintah dalam menjalankan putusan pengadilan menunjukkan betapa “tidak demokratisnya rezim yang berkuasa,” imbuh Arif. Alasannya: pemerintah tidak mau ikut dan tunduk pada aturan hukum.
“Itu salah satu corak yang khas dari pemerintahan otoriter. Dan inilah gambaran pemerintahan kita hari ini. Dan itu yang terjadi,” katanya.
Tantangan—atau kendala—lain yang tidak luput dijumpai ialah dari segi pihak penggugat sendiri.
Masyarakat yang hendak menggugat pemerintah sehubungan kebijakan maupun program, pertama-tama, harus memahami mekanisme hukum terlebih dahulu, ucap Arif.
“Jadi mungkin tidak sederhana bagi masyarakat umum untuk mengajukan gugatan,” tandasnya.
Berikutnya, Arif memaparkan, ialah memastikan siapa yang mau melayangkan gugatan, atau ringkasnya: menjadi penggugat. Di poin ini, Arif menggaris bawahi bahwa “tidak semua orang bersedia berurusan dengan proses hukum.”
Terlebih, rangkaian babak di pengadilan memakan waktu yang tidak sebentar. Tenaga, waktu, hingga pikiran, tidak dapat dimungkiri, bakal tersita.
“Proses bersidang itu panjang dan ada tahapan-tahapan yang mesti dilalui. Tidak semua orang berani dan punya cukup waktu, merelakan waktu, untuk itu,” ungkap Arif yang turut tergabung dalam citizen lawsuit terhadap pencemaran udara di Jakarta.
Terlepas dari tantangan yang diperkirakan muncul, Arif mengaku gugatan kepada pemerintah merupakan “sebuah ikhtiar yang harus dilakukan.”
Semakin banyak gugatan justru menunjukkan betapa masyarakat memang tidak puas terhadap jalannya pemerintahan, tambahnya.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Aswaddy Hamid
Gugatan hukum adalah jalur penyampaian aspirasi yang beriringan dengan aksi maupun protes. Sifatnya saling melengkapi satu sama lain, tegas Arif.
“Saya pikir ini adalah peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Selama ini masyarakat sudah menempuh aksi dan protes. Di luar itu, ada mekanisme hukum yang tersedia dan bisa digunakan, melaui pengadilan negeri, pengadilan tata usaha negara, maupun juga pengadilan konstitusi,” paparnya.
Substansi dari class action dan civil lawsuit yaitu koreksi terhadap kebijakan, keputusan, atau regulasi yang dikeluarkan pemerintah.
Publik, Arif melanjutkan, mempunyai hak konstitusional yang melekat guna merealisasikan gugatan itu.
“Intinya adalah semacam ingin memberikan pesan bahwa pemerintah memang harus hati-hati di setiap kebijakannya. Kalau niatnya memang menyejahterakan, kenapa realitanya malah membebani rakyat?” pungkas Arif.
“Nah, di sinilah mekanisme gugatan dapat dipakai selain tadi sifatnya untuk mengoreksi, tapi juga memulihkan kerugian-kerugian yang dihadapi masyarakat.”
‘Janji politik yang besar tapi tidak dipenuhi prasyarat’
Makan Bergizi Gratis (MBG) menempel pada Prabowo Subianto sejak dia masih mengikuti kampanye Pilpres 2024 bersama Gibran Rakabuming Raka.
Di setiap kesempatan bertemu dengan calon pemilihnya, Prabowo senantiasa mengutarakan keinginannya untuk mewujudkan program ini.
Perjalanan MBG tidak mulus. Dari ketika pertama kali diluncurkan awal tahun lalu hingga sekarang, satu per satu masalah terus mengiringi.
Selain keracunan massal yang terlihat gamblang dan masuk radar pemberitaan, beberapa isu seperti dugaan keterlibatan tentara atau penunjukkan mitra yang sarat konflik kepentingan turut mencuat ke permukaan.
“Kalau kita melihat akar permasalahan itu sebelumnya kita harus melihat bahwa MBG ini menjadi janji politik yang populis, sangat ambisius, janji politik yang besar, tapi tidak cukup dipenuhi prasyarat mengenai basis datanya, kerangka regulasinya, atau kelembagaannya,” sebut peneliti kebijakan publik di Nalar Institute, Joko Susilo, kepada BBC News Indonesia, Senin (22/9).
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Fathur Rochman
Joko merinci argumennya dalam empat poin utama, berpedoman siklus kebijakan publik.
Pertama, dari aspek paling dasar, identifikasi masalah, Joko melihat terdapat kecenderungan MBG dijalankan secara sentralistik yang tergambarkan, salah satunya, dengan penyeragaman sepihak.
Tahap identifikasi masalah, Joko menerangkan, semestinya pintu masuk bagi pembuat kebijakan, dalam hal ini negara, untuk menyisir kesusahan yang menjangkiti masyarakat dan merumuskan solusinya secara tepat sasaran. Pelibatan masyarakat lantas krusial.
Karena diturunkan serupa komando dari atas ke bawah, ruang partisipasi masyarakat nyaris tertutup dan tidak diakomodir. Pendeknya, MBG dianggap pemerintah bisa menyelesaikan segala permasalahan.
“Kita bisa melihat bagaimana kawan-kawan pelajar di Papua menolak MBG. Bagi mereka, yang dibutuhkan itu pendidikan gratis, bukan makan siang gratis,” jelas Joko.
Kedua, agenda setting. Menurut Joko, pemerintah terkesan buru-buru dalam mengeksekusi MBG, sementara materi penunjangnya, seperti payung regulasi, lembaga yang menjalankan, hingga mekanisme akuntabilitas, seolah tidak masuk prioritas.
Dari sisi implementasi, dan ini yang ketiga, Joko berpendapat program MBG tidak menggunakan standarisasi yang jelas. Contoh jelasnya: ribuan siswa terindikasi keracunan akibat menu MBG.
“Dengan adanya keracunan di hampir 17 provinsi, maka ini memperlihatkan bagaimana standarisasi di MBG tidak jalan. Bagaimana memastikan agar mutu dan kualitas [menu] yang dimasak itu tetap aman, tidak sepenuhnya diterapkan,” tandas Joko.
Terakhir, keempat, aspek pengawasan serta evaluasi di MBG tidak berlaku maksimal, Joko menegaskan. Program yang memakan anggaran begitu besar, sebaiknya, menurut Joko, diawasi secara ketat sejak awal, bukan setelah muncul masalah yang ramai dibicarakan.
Berbagai masalah melahirkan desakan dari publik kepada pemerintah untuk menghentikan sementara dan mengevaluasi MBG.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebut kasus-kasus keracunan MBG berada di titik yang tidak lagi dapat ditolerir.
Program MBG, sebut KPAI, mesti disetop terlebih dahulu sampai pemerintah memastikan pengawasan maupun instrumen panduan dijalankan dengan baik.
Survei KPAI yang dibikin dengan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), think tank kesehatan, terhadap 1.624 responden anak di 12 provinsi pada periode 14 April hingga 23 Agustus 2025 menemukan bahwa sekitar lebih dari 500 anak pernah menerima makanan MBG dalam kondisi bau, rusak, atau basi.
Anak-anak turut menambahkan buah atau sayur yang mereka terima tidak jarang berulat. Mereka pun meminta perbaikan kualitas makanan, wadah penyajian, serta ketepatan waktu distribusi.
KPAI berpandangan penyaluran MBG yang serba cepat berpotensi membahayakan anak. Program ini perlu “mengerem sejenak” untuk memastikan kualitas, pengawasan distribusi, sampai penanganan darurat agar lebih terstandarisasi.
“Jangan sampai mengejar target, tapi mengabaikan keselamatan anak. Apalagi jika kita membayangkan anak-anak usia dini menjadi korban. Itu sungguh memprihatinkan,” sebut Wakil Ketua KPAI, Jasra Putra.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso
Pemerintah, sejauh ini, belum memperlihatkan tanda-tanda akan menghentikan MBG. Merespons perkara keracunan, Badan Gizi Nasional (BGN), yang menangani MBG, menjanjikan pembentukan tim investigasi yang terdiri atas ahli kimia, farmasi, serta kesehatan.
“Jadi, kami membentuk tim investigasi ini sebagai second opinion. Sebelum hasil dari BPOM keluar, kami sudah bisa mengira-ngira apa yang menjadi penyebab anak-anak ini sakit, apakah betul karena keracunan, alergi, atau hal-hal lain,” ucap Wakil Kepala BGN, Nanik S. Deyang, saat konferensi pers di Jakarta, Senin (22/9).
Dengan tim investigasi, pemerintah dapat mengambil tindakan-tindakan perbaikan, termasuk dari sisi Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) atau pengobatan anak yang keracunan apabila memang memerlukan penanganan lebih lanjut.
Pembentukan tim investigasi, tambah Nanik, juga wujud komitmen BGN—atau pemerintah—dalam rangka kesungguhan menangani kasus-kasus keracunan selain evaluasi menyeluruh.
“Sebetulnya beberapa kasus itu masih diduga keracunan karena ada banyak faktor-faktornya, apakah karena bahan makanan, prosesnya, atau mungkin setiap anak juga dalam posisi lagi tidak enak badan dan lain-lain. Ini yang perlu kami dalami supaya tidak menjadi isu yang liar,” ucap Nanik.
Keengganan pemerintah menyetop MBG berkelindan erat dengan motif politik, tutur Joko.
Data Center of Economic and Law Studies (CELIOS), lembaga riset ekonomi, memaparkan sebanyak 92% responden yang pernah mereka survei mengatakan memilih Prabowo-Gibran dalam Pilpres 2024 karena program MBG.
“Kalau kita melihat kenapa pemerintah ngotot dan terkesan tidak mendengarkan tuntutan warga untuk menghentikan sementara dan evaluasi [MBG] karena pemerintah merasa sudah tercipta janji politik dan harus kejar target,” tandas Joko.
Presiden Prabowo, pada Mei silam, dengan bangga mendapuk MBG mempunyai tingkat keberhasilan sebesar 99,99%. Indikatornya adalah jumlah penerima manfaat yang mencapai 3 juta orang serta angka keracunan di bawah 200 kasus.
Berselang empat bulan setelah klaim Prabowo, kasus keracunan diduga sebab MBG masih dijumpai dalam skala yang cukup masif, menyentuh ribuan anak—mengutip temuan CISDI.
Di momen seperti saat ini, pemerintah didesak bukan lagi perihal pemenuhan target, tapi dampak kebijakan terhadap anak-anak.
Menghentikan dan mengevaluasi program, terang Joko, adalah langkah yang realistis sekaligus dibutuhkan.
“Dari hampir di banyak kebijakan pemerintah, termasuk MBG, keberhasilan selalu dianggap dari serapan anggaran maupun output-nya. Tapi, sisi dampak dari output-nya itu kadang dilupakan,” sebut Joko.
Apakah, misalnya, makanannya menyehatkan anak? Atau, apakah makanannya dimasak dengan baik? Dan, satu lagi, pemerintah tidak melihat kualitas bagaimana proses program ini berjalan.”
Irfan Mihzan di Baubau berkontribusi dalam laporan ini.