Sumber gambar, Yuli Saputra
Otoritas mengatakan kematian siswi di Bandung Barat, Jawa Barat, tidak berkaitan dengan keracunan Makanan Bergizi Gratis (MBG), tapi pakar kesehatan menganggap kesimpulan tersebut “gegabah”.
Seorang siswi SMK Negeri 1 Cihampelas di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, meninggal dunia, Selasa (30/09). Kematiannya dikaitkan dengan kasus keracunan massal program Makanan Bergizi Gratis (MBG) hampir sepekan sebelumnya.
Sekolah mengakui siswi berinisial BR yang berusia 17 tahun ini mengonsumsi paket MBG, namun namanya tak tercatat dalam daftar siswa yang mengalami keracunan pada Rabu (24/09) silam.
Kepada Badan Gizi Nasional (BGN) menegaskan BR meninggal dunia tidak terkait kasus keracunan MBG, sejalan dengan penjelasan Dinas Kesehatan Bandung Barat yang melaporkan gejala yang dialami BR pada Senin (29/09) sudah lebih dari 2×24 jam dari mengonsumsi MBG.
Sejumlah pakar kesehatan berpendapat dugaan kematian karena keracunan MBG tak bisa disingkirkan begitu saja dan merekomendasikan autopsi untuk memastikan penyebab kematiannya.
Insiden keracunan MBG di sekolah
Ratusan pelajar SMK Negeri 1 Cihampelas di Kabupaten Bandung Barat kembali mendapat paket MBG pada Rabu (24/09).
Menu hari itu adalah telur, pecel, dan kentang rebus. BR turut mengonsumsi MBG yang dikirim dari Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Maju Jaya tersebut.
“Kalau berdasarkan pengakuan dari teman-temannya beliau (BR) itu mengonsumsi (MBG),” ungkap Wali Kelas BR, Imron Komarudin, saat ditemui di SMK Negeri 1 Cihampelas, Jumat (03/10).
Nahas, paket MBG pada hari itu mengakibatkan 167 pelajar SMKN 1 Cihampelas keracunan. BR dan 32 teman sekelasnya tidak termasuk di antaranya.
“Setelah kejadian [keracunan] itu, saya langsung mengumumkan di grup orang tua siswa, jika terdapat gejala segera sampaikan,” ujar Imron.
Sumber gambar, Yuli Saputra
Imron mengaku sempat bertemu BR pada Rabu sore, saat insiden keracunan itu terjadi, dan kembali memastikan kondisi anak didiknya tersebut.
Saat itu, menurut Imron, BR mengaku kondisinya baik-baik saja. Ia sempat meminta BR untuk minum susu atau air kelapa, demi mencegah keracunan, dan meminta BR untuk memberi kabar jika terjadi sesuatu padanya.
“Itu terakhir ketemu waktu hari Rabu tanggal 24 September dalam kondisi yang sangat baik,” tutur Imron.
Setelah itu, Imron mengaku tidak sempat bertemu BR lagi lantaran sekolah menerapkan pembelajaran secara daring selama dua hari buntut kasus keracunan tersebut.
Sumber gambar, AFP via Getty Images
Pada Senin (29/09), Imron mendapatkan informasi BR tidak masuk sekolah, tapi tidak ada penjelasan dari keluarganya.
Esok paginya, Selasa (30/09), Imron mendapat pesan dari Sindi, kakak BR, melalui WhatsApp grup orang tua siswa, yang mengabarkan BR sakit dan izin tidak masuk sekolah.
Selang beberapa jam kemudian, Imron mendapat kabar BR telah meninggal dunia.
“Sekitar pukul 14.30 kalau enggak salah, saya lagi ngajar, ditelepon oleh salah satu teman saya bahwa ada salah satu rekannya yang membuat status bahwa BR sudah meninggal,” jelas Imron.
“Teman saya menyuruh saya coba cek benar enggak berita ini. Selanjutnya, saya langsung mengonfirmasi berita tersebut ke kakaknya. Kakaknya mengonfirmasi berita tersebut benar,” jelasnya kemudian.
Keluarga BR membenarkan anak kedua dari empat bersaudara itu sempat mengonsumsi MBG, bahkan hingga dua porsi yang didapat dari temannya yang tidak memakan jatahnya.
Paman BR, Nanang Suryana, mengatakan setelah mengonsumsi MBG tersebut, keluarga melihat BR tidak mengalami gejala keracunan seperti yang dialami teman sekolahnya.
“[BR] bilang ke uwanya yang perempuan, ‘Wa, orang lain mah pada keracunan, BR mah kuat sampai habis dua porsi’,” ujar Nanang Suryana saat ditemui di rumah duka di Kampung Selakopi, Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat, Jumat (03/10).
“Memang sampai Minggu (28/09) juga enggak ada gejala sama sekali, sehat bugar. Bahkan malam Seninnya, ngobrol sama saya tentang masalah keluarga,” lanjutnya.
Sumber gambar, ANTARA
Bermula dari sakit kepala, muntah, dan ‘seolah-olah’ kejang
BR baru mengeluhkan sakit kepala kepada kakaknya, Sindi, pada Senin (29/09).
Namun dia tetap pergi ke sekolah bareng dengan Sindi yang hendak kerja. Meski pada hari itu, Imron menyatakan BR tidak bersekolah.
Kepada Sindi, BR mengirim pesan pulang sekolah lebih awal karena sakit kepala.
“‘Teh, [BR] pulang duluan pusing, pengin ke rumah, pengin tiduran,'” ucap Sindi menirukan ucapan BR kala itu via pesan WhatsApp.
Selasa (30/09) dini hari, sekitar pukul 03.00 WIB, Sindi terbangun karena mendengar BR bolak balik ke kamar mandi.
Sumber gambar, Yuli Saputra
Awalnya Sindi mengira adik perempuan satu-satunya itu mengalami diare, tapi ternyata muntah-muntah.
“Pengin ngasih obat, tapi bingung jam 3 subuh, mau [beli] ke mana,” ujarnya.
Sindi mengira BR hanya mengalami masuk angin biasa. Ia pun meninggalkan BR sendirian di rumah untuk bekerja.
Sini melihat kondisi adiknya tidak begitu mengkhawatirkan pada Selasa (30/09) pagi itu. Dua adik laki-laki BR Surya dan Raksa Wira pun tetap pergi sekolah.
Namun saat Surya pulang sekolah sekitar pukul 13.00 WIB, dia menemukan BR dalam kondisi “seolah-olah kejang” dan tidak merespons panggilannya.
Surya langsung memanggil keluarga dan tetangganya untuk memberitahukan kondisi BR.
Nanang Suryana yang mendapat kabar mengenai kondisi keponakannya itu langsung berlari ke rumah BR yang lokasinya beda satu RT dengan rumahnya.
Nanang juga memanggil bidan untuk mengecek keadaan BR.
“Kata bidan, tensinya 50/70, tapi masih ada harapan dibawa ke rumah sakit. Kita panggil ambulans. Sambil menunggu ambulans, kita terus cek keadaannya,” kata Nanang.
Dalam perjalanan ke RSUD Cililin, Nanang melihat kondisi keponakannya sudah pucat kebiru-biruan. Pria berusia 53 tahun itu merasa BR sudah “tidak ada.”
“Ternyata pas masuk ke Rumah Sakit Cililin, orang-orang IGD sudah langsung pada ngomong, ini mah pasien DoA (Dead on Arrival). Jadi meninggal sebelum sampai rumah sakit,” sebut Nanang.
Kepala Pelayanan IGD RSUD Cililin, dr. Dwi Puspitasari Anggita mengatakan, pihaknya menerima BR di IGD RSUD Cililin pada Selasa (30/09) pukul 13.30 WIB.
Dwi menambahkan, pasien datang dengan keadaan yang tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan.
“Pasien datang kondisinya sudah pucat, kemudian kebiruan, gerakan napasnya sudah tidak ada, bagian-bagian badannya sudah dingin. Dilakukan pemeriksaan pada pupil memang sudah midriasis (pupil mata melebar) total,” jelas Dwi.
Pemeriksaan rekam jantung terhadap BR, lanjut Dwi, menunjukkan garis data tanpa gelombang yang menandakan jantung aktivitas jantung berhenti total.
“Dari tampakan pasien tersebut kami nyatakan sudah meninggal atau diagnosis IGD-nya dead on arrival (DoA),” papar Dwi saat jumpa pers di RSUD Cililin, Kamis (02/10).
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Abdan Syakura
Apa penyebab kematian BR?
Dengan kondisi DoA, Dwi menyatakan, pihaknya tidak bisa memastikan penyebab kematian BR.
Untuk mengetahui penyebab pastinya, Dwi mengatakan, pihak rumah sakit mengarahkan keluarga melakukan autopsi.
“Namun dari keluarga tidak ada arahan untuk melakukan tindakan tersebut,” kata Dwi.
Menjawab dugaan apakah kematian BR akibat MBG, Dwi mengatakan pihaknya tidak bisa memastikan hal tersebut.
Namun dari hasil anamnesa (proses wawancara medis mengenai kondisi pasien), Dwi menyatakan, pasien tidak ada riwayat mengalami gejala keracunan.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Abdan Syakura
“Memang walaupun dalam anamnesa ada keluhan tersebut (muntah-muntah), tapi jarak antara konsumsi MBG dengan kedatangan pasien ke RSUD Cililin lebih dari lima hari,” jelasnya.
“Tidak ada penyakit bawaan sebelumnya yang kami ketahui, walaupun dari [keterangan] pihak keluarga, (BR) mempunyai penyakit maag, tapi itu bukan penyakit kronis yang bisa sampai menyebabkan kematian,” lanjutnya kemudian.
Kakak BR, Sindi tidak mencurigai adiknya meninggal karena keracunan MBG. Sebab saat kasus keracunan mengemuka, BR tidak mengalami gejala yang mengarah pada keracunan dan beraktivitas seperti biasanya.
Menurutnya, BR meninggal akibat penyakit lambung yang dideritanya sejak lama.
Apalagi, menurut Sindi, BR punya kebiasaan makan yang buruk, seperti makan tidak teratur, jarang sarapan, tidak mau makan nasi, tapi lebih memilih mi dan makanan pedas lainnya.
“Enggak [curiga karena MBG]. Pas waktu viral keracunan MBG. [BR] langsung ditelepon, katanya enggak apa-apa,” kata perempuan 25 tahun ini.
Senada, Nanang Suryana menegaskan enggan mengaitkan kematian keponakannya dengan MBG dan menyalahkan pihak mana pun, kendati mendiang diketahui sempat mengonsumsi MBG.
Menurutnya, kesalahan ada di pihak keluarga sebab terlambat membawa BR ke rumah sakit.
“Ini tetap kelalaian. BR memang telat penanganan. Kata petugas medis juga, setelah dianalisis, ini dehidrasi berat kehilangan cairan karena perut kosong, muntah terus,” papar Nanang.
“[Saya] sama sekali tidak mengarah ke MBG karena sesuai keterangan petugas medis, reaksi racun itu 2×24 jam,” ujar Nanang.
‘Kemungkinan kematian akibat keracunan [MBG] tidak bisa disingkirkan’
Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, menegaskan tidak ada kaitan antara kematian BR dengan MBG.
Pernyataan Dadan tersebut mengacu pada penjelasan Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung Barat yang melaporkan gejala yang dialami BR pada Senin (29/09) sudah lebih dari 2×24 jam dari mengonsumsi MBG.
Dasar lainnya, BR tidak tercatat berobat ke fasilitas kesehatan yang menangani keracunan MBG di Kabupaten Bandung Barat.
Menanggapi pernyataan tersebut, pakar epidemiologi Universitas Indonesia, Pandu Riono, menegaskan pemerintah tidak bisa serta merta menyatakan dengan yakin bahwa kasus ini bukan disebabkan keracunan.
Terlebih lagi, BR sempat mengonsumsi MBG dan terjadi kasus keracunan di sekolahnya.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso
“Jangan menyatakan bukan karena [keracunan] MBG. Itu kan ketakutan semuanya, bilang bukan karena MBG. Tapi nyatakanlah situasinya masih belum jelas. Kemungkinan kematian yang disebabkan oleh keracunan [MBG] tidak bisa disingkirkan,” ujarnya.
Penyebab kematian BR, kata Pandu, masih misteri lantaran tidak dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Oleh karena penyebab kematian BR masih simpang siur, Pandu berpandangan, pemerintah harusnya mencari tahu penyebab kematiannya dan tidak membiarkan isunya berkembang.
“Kalau mau digali ya harus dilakukan pemeriksan lebih detail untuk mencari tahu apa sebab kematiannya. Apa betul-betul bukan karena MBG?” kata Pandu.
“Kalau bukan karena MBG, harus tahu karena apa. Penyebab kematian dalam surat kematian itu harus ada. Seorang dokter harus menyimpulkan walaupun kemungkinan salah.”
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Abdan Syakura
“Tidak bisa menyatakan bukan karena MBG dan itu kesimpulan yang menurut saya, dari segi kedokteran, terlalu gegabah,” lanjutnya.
Pernyataan Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung Barat yang menyebut gejala yang dialami BR lebih dari 2×24 jam setelah mengonsumsi MBG, menurut Pandu, tidak bisa dijadikan acuan.
Meski jarang, lanjutnya, gejala keracunan bisa muncul lima hingga enam hari setelah seseorang mengonsumsi makanan yang mengandung toksin.
Lagi pula, imbuh Pandu, siapa yang bisa memastikan BR tidak mengalami gejala keracunan dalam rentang waktu tersebut.
“Itu keyakinan mereka kan keracunan itu dianggapnya akut hanya dalam waktu 2×24 jam. Apakah betul rumah sakit tahu bahwa dia tidak bergejala, kan enggak tahu.”
“Bisa saja bergejala, dia merasakan, tapi tidak dikeluhkan,” ucap Pandu.
“Jadi tidak bisa, ‘oh [lebih dari] 2×24 jam kemudian bukan MBG.’ Itu kan denial-nya seperti itu karena semuanya takut,” sebutnya.
Pandu menambahkan observasi pada pasien yang diduga mengonsumsi atau mengalami keracunan semestinya dilakukan selama satu pekan.
Menguatkan pendapat Pandu, pakar kesehatan masyarakat, Profesor Tjandra Yoga Aditama, mengungkapkan gejala keracunan makanan bisa timbul dalam beberapa jam sesudah makan, tapi pada sebagian mikroorganisme lain membutuhkan waktu beberapa hari untuk memunculkan gejala.
Merujuk pada Center of Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat per 31 Januari 2025, Tjandra bilang gejala keracunan yang ditimbulkan bakteri atau virus memang berbeda satu sama lain.
Sumber gambar, AFP via Getty Images)
Misalnya, untuk keracunan akibat Staphylococcus aureus maka gejalanya dapat mulai timbul 30 menit sampai delapan jam.
Lalu, Vibrio gejalanya dapat muncul dalam 24 jam. Untuk Clostridium perfringens, gejalanya mulai muncul enam sampai 24 jam sesudah keracunan.
Sementara itu, keracunan akibat Salmonella maka gejalanya dapat timbul dalam kurun waktu enam jam sampai enam hari.
Selanjutnya, keracunan akibat Norovirus menunjukkan gejala yang mulai muncul dalam 12 sampai 48 jam.
Pada Clostridium botulinum maka gejala mulai timbul dalam 18 sampai 36 jam, Campylobacter dalam dua sampai lima hari.
Gejala yang ditimbulkan E coli mulai tiga sampai empat hari.
“CDC menyebutkan bahwa yang lebih lama adalah Cyclospora yang gejalanya dapat timbul sampai satu minggu dan Listeria yang sampai dua minggu,” papar Tjandra.
Untuk memastikan penyebab kematian BR, mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara ini menegaskan, sebaiknya dilakukan autopsi.
Paman BR, Nanang Suryana, mengamini banyak pihak menyarankan dilakukan autopsi terhadap mendiang guna mengetahui penyebab pasti kematiannya.
Akan tetapi, kata Nanang, keluarga menolak saran tersebut.
“Ada penawaran dari pihak berwajib untuk mengetahui penyebabnya jangan sampai simpang siur, tapi saya bersikeras menolak keras,” ujar Nanang, seraya menambahkan dirinya sudah membuat surat pernyataan yang pada intinya menolak autopsi terhadap BR.
Pupusnya cita-cita BR
BR tengah menempuh pendidikan tahun terakhir di SMKN 1 Cihampelas saat mengembuskan napas terakhir.
Sedianya, BR yang mengambil jurusan Teknik Instalasi Tenaga Listrik (TITL) ini akan mengikuti praktik kerja lapangan (PKL) pada pekan depan.
“Dia senang sekali karena dapat tempat PKL yang dekat di Cililin,” ungkap Nanang.
Nanang mengenang sosok keponakannya itu sebagai anak yang baik, perhatian, dan sayang sama keluarga.
Kepada Nanang, BR sempat menceritakan cita-citanya bekerja di Jepang, mengikuti jejak kakak kelasnya yang sukses berkarir di Negeri Sakura.
Sumber gambar, Yuli Saputra
Keinginan BR bekerja di Jepang, kata Nanang, demi memajukan kedua adiknya.
“Orangnya baik, perhatian, sayang sama keluarga seolah-olah dia tulang punggung keluarga untuk adik-adiknya.”
BR merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Kakaknya, Sindi, telah berkeluarga dan memiliki dua orang anak, meski masih tinggal serumah.
Sejak empat tahun lalu, BR dan saudaranya ditinggal ibunya bekerja ke Arab Saudi dan bapaknya yang bekerja di Karawang.
Otomatis BR menggantikan posisi orang tua untuk mengurus kedua adiknya.
“Dia bilang ke saya, ‘Biarin kakak yang sengsara, tapi adik-adik sukses’.”
“Dia benar-benar merasa sebagai ibu bagi adik-adiknya,” tutur Nanang.
Reportase oleh wartawan Yuli Saputra di Bandung