Sumber gambar, ANTARA FOTO/Angga Budhiyanto
Isu sumber radiasi Cesium 137 (Cs-137) di Banten dan Lampung mencuat setelah otoritas di Amerika Serikat menemukan zat radioaktif ini pada udang dan cengkeh dari Indonesia. Situasi ini menandakan ketidakjelasan sistem keselamatan dan keamanan terhadap potensi radiasi radioaktif di Indonesia, menurut pegiat lingkungan.
Cesium 137 adalah unsur radioaktif buatan manusia yang memancarkan radiasi beta dan gamma, dengan jangka waktu paruh hingga 30 tahun.
Paparan Cs-137 dengan kadar tinggi jika terlepas ke lingkungan dapat menyebabkan mutasi DNA, kanker, hingga kematian pada manusia.
Baru-baru ini, pemerintah melalui Satgas Penanganan Radiasi Radionuklida Cs-137 mengonfirmasi cengkeh yang ditolak AS berasal dari Lampung.
Sementara di Banten, pemerintah setempat sedang mempersiapkan relokasi untuk warga karena laporan terbaru menunjukkan kadar Cs-137 mencapai 875.000 kali lipat di atas paparan radiasi alamiah.
Pakar nuklir membeberkan sejumlah persoalan, terutama sistem pencegahan yang selama ini belum optimal.
Banten: Warga tak paham simbol bahaya radioaktif
Pemerintah berencana merelokasi sementara warga yang tinggal di sekitar lokasi temuan cemaran radioaktif Cesium-137 di Kecamatan Cikande, Kabupaten Serang, Banten.
Menurut Kementerian Lingkungan Hidup, sejumlah titik di Kawasan Industri Modern Cikande terpapar Cs-137 dengan tingkat radiasi sangat tinggi. Angkanya mencapai 33.000 mikrosievert per jam, atau sekitar 875.000 kali lipat dari radiasi alamiah.
Fakta ini menunjukkan bahaya yang sangat serius terhadap keselamatan manusia dan lingkungan, dan telah menjadi “alarm keras”. Kawasan Industri Modern Cikande ditetapkan sebagai kawasan kejadian khusus Cs-137. Kawasan yang menampung sekitar 300 pabrik ini dikelilingi pemukiman penduduk.
Sejumlah warga mengaku belum mendapat penjelasan langsung tentang bahaya radiasi maupun mekanisme relokasi tersebut.
Di Kampung Sadang, Desa Nambo, garis-garis kuning dan stiker peringatan bahaya radiasi yang dipasang Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) kini membatasi halaman rumah dan warung kecil milik Sarmiti.
Sumber gambar, Dok. Warga/M. Iqbal
Namun perempuan paruh baya itu mengaku belum memahami arti tanda yang menempel di dinding rumahnya.
“Radiasi saja, sudah begitu doang,” katanya ketika ditanya wartawan soal arti stiker peringatan tersebut.
“Sebelumnya enggak tahu. Enggak ada yang kasih tahu. Enggak ada pengarah, enggak ada apa-apa. Cuma dibilang jangan melintas terlalu lama,” lanjutnya.
Warung kecil di halaman rumah Sarmiti masih buka seperti biasa. Anak-anak di sekitar rumahnya masih datang membeli jajanan sesekali waktu.
Ia mengaku belum pernah menjalani pemeriksaan kesehatan ataupun mendapat penjelasan soal wacana untuk mengungsi sementara.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Angga Budhiyanto
“Enggak ada juga pemeriksaan. Kami jalan seperti biasa aja. Alhamdulillah sehat,” ujarnya.
Meski pemerintah pusat melalui Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menyebut sedang menyiapkan lokasi relokasi sementara bagi warga terdampak, Sarmiti mengaku enggan pindah.
“Enggak mau, ya. Masalahnya rumah sendiri, walaupun jelek juga rumah sendiri,” katanya.
Tak jauh dari Kampung Sadang, di Kampung Combrang wilayah yang berjarak hanya beberapa ratus meter dari sumber utama cemaran radioaktif di PT Peter Metal Technologi (PMT), warga juga masih menunggu kejelasan.

Salah satu warganya, Arief, mengatakan informasi mengenai relokasi baru ia ketahui dari pemberitaan di media massa.
“Belum ada penyampaian resmi atau sosialisasi langsung ke warga. Kami hanya tahu dari televisi dan media sosial,” ujarnya.
Menurutnya, hal paling mendesak saat ini adalah transparansi informasi dan kehadiran pemerintah di lapangan.
“Kami berharap ada sosialisasi terbuka, hasil pemeriksaan yang jelas, dan langkah perlindungan yang adil. Yang paling penting bagi kami adalah rasa aman,” kata Arief.
Arief juga menilai, warga tidak ingin berspekulasi atau menebak-nebak tingkat bahaya paparan radiasi. Ia menekankan, masyarakat siap bekerja sama, asalkan pemerintah membuka data dan memastikan keselamatan mereka.
“Kekhawatiran kami bukan kepanikan. Ini bentuk tanggung jawab agar kami tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kami ingin komunikasi terbuka dan pemeriksaan kesehatan berkala,” ujarnya.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Angga Budhiyanto
Gubernur Banten Andra Soni, Senin (13/10), bilang jajarannya sedang menyiapkan relokasi sementara untuk penduduk yang tinggal di kawasan industri.
Andra memperkirakan relokasi akan mulai dilakukan setidaknya hingga Desember 2025, sampai dekontaminasi di 10 titik sumber pencemaran selesai dilakukan.
“Sedang dipetakan jumlah kepala keluarganya dan sebagainya, untuk dilakukan relokasi sementara sampai dekontaminasinya selesai,” ujar Andra.
“Kami pilih mana yang paling efektif untuk supaya masyarakat yang direlokasi sementara itu bisa menjalankan aktivitasnya seperti sedia kala, masuk sekolah dan lain-lain,” katanya.
Lampung: Merugikan petani cengkeh
Petani cengkeh di Lampung, Jahri Ibrahim, mengaku baru tahu kabar dugaan cemaran radiasi komoditas yang ditolak AS ini. Sejauh ini, pemerintah belum menyebut lokasi pasti sumber perkebunan cengkeh di Lampung yang diduga mengandung Cs-137.
“Nggak pernah dengar,” katanya. Ia juga tidak memahami dampak-dampak yang mungkin ditimbulkan dari radiasi tersebut.
“Setahuku memang pasaran kalau punya kami ini paling lokal… Iya, mungkin pengepulnya sih yang lebih ini [tahu pasar penjualannya],” tambah Jahri.
Petani cengkeh lainnya, Nur, juga baru mengetahui kabar temuan radiasi Cs-137. Ia meyakini kabar ini bakal merugikan petani cengkeh di Lampung.
“Kalau ada berita kayak gini kan pertama kan memang dia merugikan petani,” kata pria 47 tahun itu.

Umumnya panen cengkeh di Lampung berlangsung satu atau dua kali dalam setahun. Nur berkata, harga cengkeh yang sudah dikeringkan dari petani saat ini berkisar antara Rp105.000 hingga Rp 107.000 per kilogram.
Setelah isu radiasi ini beredar, para petani cengkeh di Lampung khawatir harga komoditas mereka anjlok. Padahal, kata Nur, di perkebunan “tidak ada bahan kimia apapun”.
“Di sini kan segala macam kan jauh, masih alami semua. Itu [paparan radiasi] mungkin dari pengepul,” katanya.
Luas areal perkebunan cengkeh di Lampung mencapai 9.000 hektare atau setara setengah Kota Bekasi. Produksinya mencapai 2.100 ton per tahun. Perkebunan cengkeh di Lampung melibatkan ribuan petani, di Lampung Barat saja diketahui jumlahnya mencapai 1.800 orang.
Sumber gambar, Dokumen pribadi
Kabar temuan radiasi juga mengejutkan Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Lampung, Irfan Tri Musri. “Ini bukan hanya informasinya yang luar biasa, tapi kejadiannya juga luar biasa,” katanya.
Irfan mendesak pihak berwenang segera mencari sumber radiasi Cs-137 pada temuan cengkeh di Lampung.
“Pemegang otoritas harus bisa mencari sumber paparan radiasi tersebut dari siapakah, dari proses penggudangan atau memang proses transportasi. Karena kalau saya cukup meyakini hanya kecil kemungkinan kalau sumber radiasi ini berasal dari tingkat petani,” katanya.
Ia juga berpendapat, tanpa temuan dari Badan Pengawas Makanan dan Obat-obatan (FDA) Amerika Serikat kemungkinan adanya radiasi tidak diketahui. Ini berarti membiarkan masyarakat hidup dengan radiasi berbahaya selama bertahun-tahun tanpa sistem keselamatan dan perlindungan.
Sumber gambar, Dokumen warga/Dian Wahyu
“Kita akan menanggung dosa yang sangat besar ketika FDA tidak menghasilkan temuan ini, karena kita juga berkontribusi menyebabkan paparan zat radioaktif kepada negara-negara yang mengimpor produk dari kita,” katanya.
Gubernur Lampung, Rahmat Mirzani Djausal mengakui keberadaan radiasi pada cengkeh dari daerahnya.
“Hari ini [kepala dinas pertanian] bertemu dengan saya sama tim, lagi telusuri. Kita
ingin cek cengkeh itu, cengkeh-cengkehnya dari mana saja yang keluar ekspor,” katanya, Selasa (14/10).
‘Gagap tangani temuan radiasi radioaktif’
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Yuyun Harmono, menilai pemerintah gagap saat menangani temuan FDA. Pemerintah baru bertindak setelah ada temuan dari negara lain, sementara langkah pencegahan tak pernah diketahui publik.
“Jadi, tidak kemudian seperti sekarang ini, yang terkesan, kemudian gagap. Kalau ini tidak dibuka oleh media massa internasional, mungkin juga kita tidak akan menganggap itu salah satu isu,” katanya.
FDA mulai menyelidiki kontaminasi Cs-137 pada udang beku yang berasal dari Indonesia sejak 19 Agustus. Penarikan udang beku asal Indonesia di pasaran AS secara menyeluruh dilakukan 25 September.
“Tapi kalau itu [paparan radioaktif] akumulatif terus-menerus dan kita tidak mengetahui itu, ya, publik akan dirugikan,” tambah Yuyun.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Angga Budhiyanto
“Kalau langkah kita untuk menjamin keamanan terkait radiasi nuklir ini masih seperti itu, jangan bermimpi untuk kemudian kita bangun pembangkit tenaga nuklir,” kata Yuyun.
Berdasarkan Badan Daftar Zat Beracun dan Penyakit (ATSDR) AS, paparan Cs-137 dapat merusak sel-sel dalam tubuh. Mereka yang terpapar juga mungkin mengalami sindrom radiasi akut, yang meliputi mual, muntah, diare, pendarahan, koma, dan bahkan kematian dalam kasus paparan yang sangat tinggi.
Mengapa harus tunggu laporan FDA baru bertindak?
Pemerintah sudah memiliki regulasi tentang sistem keselamatan dan keamanan zat radioaktif, kata peneliti senior nuklir di BRIN, Profesor Djarot Sulistio. “Masalahnya di implementasi,” ujarnya.
Djarot mengakui situasi penanganan Cs-137 saat ini seperti “pemadam kebakaran”.
“Kalau pemadam kebakaran memang ya itu perlu. Kalau ada kebakaran, segera dipadamkan…cuma apa enggak ada sistem pencegahan?” kata Djarot.
Namun, payung hukumnya sudah ada hampir hampir tiga dekade lalu yaitu UU No.10/1997 tentang Ketenaganukliran. Regulasi ini melahirkan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) yang tugasnya melaksanakan pengawasan terhadap segala kegiatan pemanfaatan nuklir.
Sumber gambar, BRIN
Namun, kata Djarot yang juga mantan kepala Bapeten, hampir di tiap kementerian dan lembaga sudah punya aturan sendiri mengenai sistem keselamatan dan keamanan zat radioaktif. Misalnya, terkait udang beku ada BPOM dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Ia melanjutkan, penanganan paparan radiasi tanggung jawabnya ada di Bapeten dan BRIN. Terkait keluar masuk barang berada di bawah Bea dan Cukai.
“Kemudian masalah lingkungan, ada KLH, ada Pemda sendiri. Kemudian masalah hukum ada polisi, dan lain sebagainya. Nah, itu memang kita tidak bisa mengatakan mereka harus ada komandan di satu, tidak,” katanya.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Angga Budhiyanto
Menurut Djarot, pencegahan radiasi Cs-137 di Indonesia bermasalah karena “penyakit pemerintah adalah koordinasi”.
Ia mengajukan tiga usulan sebagai langkah pencegahan terjadinya kebocoran radiasi zat radioaktif di kemudian hari.
Pertama, pemasangan alat pemantau radiasi di berbagai pintu masuk dan keluar barang dari dalam dan luar negeri. Misalnya, pelabuhan dan bandara.
Menurut Djarot, keberadaan radiasi bukan hanya berasal dari barang luar negeri, tapi juga kemungkinan kebocoran pada alat yang mengandung zat radioaktif di dalam negeri.
“Itu mencegah di domestik juga. Saya tidak sepenuhnya menyatakan bahwa itu [benda sumber radiasi] asli dari luar negeri, seolah-olah yang salah itu luar negeri. Kemungkinan berasal dari dalam negeri kan juga bisa, besi bekas dan lain sebagainya,” katanya.

Kedua, membuat sistem pendataan yang tertelusur dan rinci terkait penggunaan sumber radioaktif di Indonesia.
Tanggung jawab ini, menurut Djarot, harus diemban Bapeten yang punya peran memberi izin dan pengawasan penggunaan perangkat industri yang menggunakan zat radioaktif. Misalnya pabrik kertas, logam, rokok hingga industri medis.
Djarot berkata, Bapeten harus memastikan peralatan itu berizin dan tidak ada kasus hilang. Zat radioaktif yang ada di dalam peralatan tersebut sudah dibungkus secara aman. Jika bungkusnya rusak, hilang atau dilebur, maka kebocoran akan terjadi, kata Djarot.
“Kalau hilang itu jadi semacam sumber radioaktif yang tidak ada yang bertanggung jawab. Kemungkinan diambil orang yang tidak tahu bahwa itu ternyata sumber radioaktif, masuk ke tempat peleburan jadilah besi yang bisa dipakai, padahal itu mengandung sumber radioaktif,” ucapnya.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Angga Budhiyanto
Djarot juga mendorong Bapeten untuk mengawal kontrak jual-beli peralatan yang mengandung zat radioaktif. Saat peralatan tersebut sudah rusak, maka harus dikembalikan ke negara asal. “Supaya tidak membebani menjadi limbah di Indonesia,” kata Djarot.
Ketiga, menurut Djarot, seluruh kementerian dan lembaga terkait harus menganggap serius persoalan kontaminasi sumber radioaktif. Menurutnya, tidak semua lembaga terkait punya ahli di bidang nuklir. Misalnya, perdebatan pengadaan alat pemantau radiasi yang harganya miliaran rupiah.
“Mungkin ada orang mengatakan mahal… Tapi ketika kejadian, akan jauh lebih mahal,” katanya.
Wartawan M. Iqbal di Banten dan Dian Wahyu di Lampung ikut berkontribusi dalam artikel ini.