Sumber gambar, Getty Images/Lim Weixiang – Zeitgeist Photos
-
- Penulis, Sam Bloch
- Peranan, BBC Future
Singapura telah lama menjadikan penghijauan dan penyediaan tempat teduh sebagai prioritas utama di setiap area. Mungkinkah kota-kota lain melakukan hal yang sama?
Panas adalah ancaman iklim paling mematikan bagi umat manusia karena merenggut lebih banyak nyawa setiap tahun ketimbang gabungan banjir, badai, dan kebakaran hutan.
Dan risiko paling besar ada di kota-kota, yang memanas dua kali lebih cepat daripada bagian lain planet ini akibat efek pemanasan perkotaan. Suhu udara di area perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan daerah pedesaan.
Seiring meningkatnya suhu, para pemimpin kota di seluruh dunia, mulai dari Paris di Prancis hingga Phoenix di AS, berencana menambah jumlah tempat teduh secara strategis.
Namun, Singapura yang panas terik mungkin sudah memiliki infrastruktur naungan terbaik di antara kota mana pun di Bumi.
Orang-orang di Singapura sudah punya cara mereka sendiri untuk menghadapi hujan deras dan panas menyengat. Yang paling utama mungkin adalah trotoar beratap.
Asal usul naungan publik ini tidak jelas. Meskipun “jalur kaki lima” yang menembus lantai dasar toko-toko dan rumah-rumah beratap ini menyerupai portico Bologna, kemungkinan besar jalur ini berasal dari Asia Tenggara.
Stamford Raffles, pejabat kolonial Inggris—yang dianggap sebagai pendiri Singapura pada awal abad ke-19—menuliskannya dalam rencana tata kota pertama pada 1822.
Sumber gambar, Getty Images/John Seaton Callahan
Raffles pernah mewajibkan pembangunan jalur pejalan kaki yang jelas, berkesinambungan, dan beratap di kedua sisi jalan demi menjamin kelancaran transportasi saat cuaca buruk. Namun, konsep “teras” beratap ini lambat laun ditinggalkan.
Jalan-jalan tersebut dihidupkan kembali dalam bentuk modern oleh Lee Kuan Yew, perdana menteri yang memimpin Singapura menuju kemerdekaan pada 1960-an.
Lee agak terlalu teliti dan memiliki minat khusus pada iklim dan kenyamanan. Ia yakin bahwa kelembapan menghambat produktivitas ekonomi negara.
Di dalam ruangan, ia mengubah Singapura menjadi apa yang disebut jurnalis Cherian George sebagai “negara ber-AC”. Di luar ruangan, ia fanatik terhadap tempat teduh.
Lee dikenal sering menguliahi bawahannya tentang desain jalan setapak dan promenade—tempat jalan-jalan—yang buruk. Dia terkadang berlutut di tanah yang panas membara untuk membuktikan suatu hal.
Ketika pemerintahan Lee membangun perumahan yang menjulang tinggi pada dekade 1960-an dan 1970-an, para perancang memastikan bahwa bagian lantai dasar setiap struktur tetap terbuka dan memiliki sirkulasi udara yang baik.
Para arsitek melestarikan lantai dasar tersebut sebagai “dek kosong” komunal yang memungkinkan warga berkumpul sambil menikmati angin sepoi-sepoi.
Selanjutnya, pada akhir 1980-an hingga 1990-an, badan perumahan dan transportasi Singapura mengambil langkah lain: mereka mengarahkan pemasangan kanopi logam mandiri di atas trotoar guna memastikan jalur menuju halte bus atau stasiun kereta tetap kering.
Sumber gambar, Getty Images/Siegfried Layda
Saat ini, pihak berwenang mengklaim telah membangun sekitar 200 kilometer trotoar beratap.
Bayangkan, jika steger konstruksi yang tersebar di seluruh New York adalah arsitektur trotoar permanen—pencapaian yang sangat tidak menarik, tetapi ternyata fungsional.
Di AS, pengembang properti diwajibkan untuk menjauhkan bangunan mereka dari jalan agar cahaya masuk lebih banyak.
Sebaliknya, di Singapura, mereka harus membuat kanopi pejalan kaki sepanjang 2,4 meter–3,7 meter dari lantai dasar bangunan mereka.
Penelitian menunjukkan kanopi tersebut memiliki efek yang serupa dengan halte bus yang bersih dan dirancang dengan baik.
Seperti kehadiran halte yang terasa bisa mempercepat waktu tunggu bus, warga Singapura juga melaporkan berjalan-jalan di trotoar terasa 14% lebih singkat daripada berjalan-jalan di bawah terik matahari.
“Anda berada di wilayah tropis yang selalu sangat panas, dan selalu sangat lembap,” kata Yun Hye Hwang, seorang arsitek lanskap dan profesor di Universitas Nasional Singapura.
Dengan suhu tinggi harian berkisar antara 31°C–33°C sepanjang tahun, “kita selalu membutuhkan tempat teduh,” tambahnya.
Hampir semua orang lebih memilih naungan alami dari kanopi pohon daripada atap logam buatan.
Namun, menurut Lea Ruefenacht dari Cooling Singapore, pohon memiliki keterbatasan.
Walaupun pohon memberikan keteduhan dan mendinginkan melalui penguapan air, kelembapan tambahan yang dilepaskan di iklim Singapura yang sudah lembap dapat memperparah hawa panas.
Sumber gambar, Getty Images/Lim Weixiang – Zeitgeist Photos
Untuk kenyamanan, Ruefenacht merekomendasikan keseimbangan antara naungan hijau dan abu-abu.
Di Singapura, naungan abu-abu terpadat ditemukan di lantai beton hutan pencakar langit di pusat kota.
Pengembang properti kini diwajibkan oleh otoritas untuk menyediakan naungan yang dianggap “memadai” di plaza atau area terbuka.
Ketentuan spesifiknya adalah setidaknya 50% dari area tempat duduk harus tetap sejuk antara pukul 09.00 hingga 16.00 waktu setempat.
Naungan yang diwajibkan tersebut dapat berasal dari berbagai elemen—seperti pohon, payung, atau tenda.
Namun, otoritas secara eksplisit menyebutkan dalam panduan desain bahwa bayangan dari menara atau bangunan tinggi di dekatnya juga dihitung sebagai sumber keteduhan.
Pendekatan ini sangat kontras dengan yang diterapkan di Kota New York. Di sana, bayangan yang ditimbulkan oleh bangunan terhadap ruang terbuka tidak dianjurkan, dan potensi bayangan tersebut bahkan dapat menjadi penghalang utama bagi rencana pembangunan baru.
Di iklim yang lebih dingin ini, pengembang diinstruksikan untuk menempatkan plaza mereka di sisi selatan yang menghadap matahari, untuk menciptakan kehangatan musim dingin. Faktanya, plaza tidak diperbolehkan menghadap utara.
Singapura memiliki prioritas yang berbeda. Idealnya, pengembang menempatkan plaza di sisi timur bangunan mereka, sehingga dapat didinginkan oleh naungan di sore hari. Ini adalah sisi di mana bayangan perkotaan jarang dimanfaatkan publik.
“Di wilayah tropis di dunia, sebagian masalahnya selalu terletak pada kenyataan bahwa permukiman mewarisi aturan bangunan dari wilayah beriklim sedang, dan mereka tidak selalu memiliki sarana untuk meninjaunya dan bertanya, ‘apakah ini cocok untuk kita?'” kata Kelvin Ang, direktur konservasi di Otoritas Pembangunan Kembali Perkotaan Singapura.
“Di Singapura, entah bagaimana ada banyak kesadaran bahwa aturan bangunan dan tata ruang harus mendorong adanya naungan, karena intensitas matahari.”
Sumber gambar, Bloomberg via Getty Images
Para perencana kota meyakini jika ruang publik tidak teduh, tidak akan ada yang menggunakannya.
Terlepas dari potensi dampaknya terhadap kelembapan, Perdana Menteri Lee menuntut adanya pepohonan di mana-mana karena yakin Singapura yang “bersih dan hijau” akan menarik bagi investor asing.
Di bawah komandonya, unit taman dan pepohonan yang baru dibentuk untuk merapikan jalan-jalan utama, menaunginya dengan kanopi lebar Angsana, trembesi, mahoni, dan akasia.
“Bunga boleh saja,” kata Lee kepada kepala departemen, “tapi beri saya naungan dulu”.
Pada 1970-an, ketika Lee menerapkan sistem penetapan harga kemacetan dan skema lain untuk mendorong warga beralih ke transportasi umum, ia menyadari adanya kendala: terik matahari yang menyengat di trotoar, penyeberangan, dan halte bus dapat membuat calon penumpang enggan menggunakan transportasi publik.
Oleh karena itu, ia mulai fokus pada perbaikan fasilitas tersebut.
Sumber gambar, NurPhoto via Getty Images
Di Los Angeles, pohon-pohon adalah hal terakhir yang dipikirkan dalam perancangan jalan.
Mereka baru ditanam setelah semua pekerjaan utama selesai—saluran bawah tanah digali, trotoar dicor, tepi jalan dan saluran air dibangun, serta jalan masuk rumah dituang semen.
Akibatnya, pohon-pohon itu cuma “dipaksakan” masuk ke lubang beton kecil di trotoar, tanpa perencanaan yang layak.
Namun, di Singapura, Lee memberikan perintah agar para perencana kota memasukkan faktor bayangan tersebut sebagai pertimbangan sejak awal perencanaan.
Saluran listrik di atas tanah yang merusak trotoar Los Angeles dan membuat pepohonan menjadi kecil dan rindang jarang ditemukan.
Sebagian besar utilitas diletakkan di bawah tanah, dalam lubang-lubang kecil yang membentang di sepanjang pepohonan jalan dan akarnya.
Infrastruktur hijau direncanakan oleh para perencana kota, direkayasa oleh badan pekerjaan umum, dan dikelola oleh dewan taman yang anggarannya meningkat sepuluh kali lipat di bawah kepemimpinan Lee.
Pendanaan dan koordinasi telah terbukti menjadi pembeda antara hutan kota yang subur dan sekumpulan pepohonan kota yang kumuh.
Selain jalan, para perencana kota Singapura mewajibkan penghijauan dalam pembangunan swasta, meregenerasi taman baru kota untuk mengkompensasi hutan hujan alami yang hampir punah.
Pemerintah Singapura memiliki banyak pengaruh. Melalui aturan pengambilalihan tanah oleh negara yang sangat kuat. Pemerintah memiliki sekitar 90% lahan, dan inspektur bangunan tidak akan mengizinkan sebuah bangunan untuk dihuni sampai mereka melihat pepohonan di tanah.
Kompleks perumahan umum Singapura yang luas juga dilengkapi dengan halaman berumput, halaman yang rindang, dan jalur setapak yang ditumbuhi pepohonan yang terhubung dengan taman dan cagar alam.
Akibatnya, pepohonan hampir ada di mana-mana, baik di lingkungan kaya maupun miskin.
Sumber gambar, Bloomberg via Getty Images
“Kami tidak membedakan antara wilayah kelas menengah dan kelas pekerja,” tulis Lee dalam memoarnya, mengklaim bahwa hal itu akan menjadi “bencana politik” bagi Partai Aksi Rakyat.
Hal ini membedakan Singapura dari kota-kota di Amerika, di mana naungan merupakan indikator yang andal untuk ketimpangan ekonomi.
Berkat kebijakan perencanaan kota yang cerdas—termasuk pengembangan ribuan hektar taman lokal dan upaya reklamasi lahan yang sangat ambisius—Singapura berhasil melakukan sesuatu yang luar biasa: kota ini menjadi lebih lebat dan lebih hijau secara bersamaan.
Pihak berwenang mengklaim hutan kota tumbuh dari 158.600 pohon pada 1974 menjadi 1,4 juta pada 2014, bahkan ketika kota tersebut bertambah tiga juta penduduk.
Saat ini, hampir separuh pulau ditutupi rerumputan, semak belukar, dan pepohonan berkanopi lebar. Hal ini meruntuhkan anggapan bahwa kota tidak dapat menyediakan ruang bagi alam seiring pertumbuhannya.
“Lingkungan biofisik lah yang menjadi faktor pembeda,” kata Daniel Burcham, mantan peneliti di dewan taman, ketika saya memintanya menjelaskan kesuksesan Singapura.
“Menanam pohon itu mudah, apalagi jika musim panas setiap hari dan curah hujan lebih dari 2 meter setiap tahun.”
Namun tanpa konsensus politik, tambahnya, tidak akan ada ruang yang tersisa bagi pohon-pohon itu untuk tumbuh.
“Ini adalah tujuan yang ingin mereka [pemerintahan Lee] kejar, dan itu adalah visi yang mereka semua sepakati bersama untuk mencapainya.”
Saat ini, Burcham mengajar arborikultur—ilmu budidaya pohon dan hutan—di Colorado State University di Fort Collins.
Kota semi-kering ini memiliki sistem pemerintahan di mana pemimpin politik menjabat dalam periode singkat—hanya beberapa tahun, bukan puluhan tahun.
“Beberapa orang akan mencirikan Lee Kuan Yew sebagai orang kuat, atau tokoh semi-otoriter, dan sampai batas tertentu, itu memang benar,” kata Burcham.
“Tetapi ini adalah satu hal baik yang datang dari sistem itu. Dia menetapkan tujuan ini dan menyediakan sumber daya material serta memberikan dukungan politik bagi rakyat untuk mencapainya.”
Meskipun hal ini membutuhkan koherensi lintas pemerintahan, pada prinsipnya tidak ada alasan mengapa pemerintah yang dipilih secara demokratis di kota-kota tropis seperti Miami atau Honolulu tidak dapat mempertahankan proyek semacam itu.
Sumber gambar, Getty Images/Ayan82
Jadi, apakah semua naungan ini melindungi warga Singapura?
Pada sore hari, jalanan di kawasan bisnis Singapura, yang terbenam dalam bayang-bayang gedung pencakar langit, adalah yang paling sejuk di kota ini.
Efeknya berakhir ketika matahari terbenam, dan gedung-gedung melepaskan radiasi matahari yang diserapnya.
Pada malam hari, halaman hijau kompleks perumahan umum mungkin menawarkan kelegaan paling besar, karena udaranya 1°C–2°C lebih dingin daripada angin yang berembus di kawasan komersial yang ramai.
Berdasarkan hubungan epidemiologis yang terbukti antara suhu udara dan penyakit akibat panas, dapat disimpulkan bahwa lingkungan yang paling teduh di Singapura adalah lingkungan yang paling aman dari risiko penyakit terkait panas.
Infrastruktur peneduh seperti pepohonan dan bangunan tidak akan cukup untuk mengatasi semua efek pemanasan akibat perubahan iklim, tetapi akan memberikan dampak.
Efektivitas yang sama seperti yang ditunjukkan Singapura—sebuah negara yang diperintah secara otokratis dan berfokus pada penyediaan naungan berkat obsesi pemimpinnya—kemungkinan besar tidak akan tercapai oleh pemerintah di Amerika Serikat.
Sebagian besar kota di AS juga tidak cukup beruntung memiliki iklim ideal seperti Singapura untuk menanam pohon.
Meskipun demikian, Singapura menunjukkan apa yang dapat dilakukan dengan perencanaan naungan yang disengaja oleh pemerintah.
Kota yang lebih sejuk untuk semua orang itu sangat mungkin diwujudkan, jangan berpura-pura menganggapnya mustahil.