Sumber gambar, Detik.com
Warga Kuningan dan Cirebon, Jawa Barat, dikejutkan oleh dentuman dan getaran hebat pada Minggu (5/10) malam. Kejadian tersebut bersumber dari sebuah meteor berbentuk bola api yang melintas di wilayah mereka sebelum jatuh ke Laut Jawa.
Menurut peneliti astronomi dan astrofisika dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Thomas Djamaluddin, meteor yang melintas itu berukuran cukup besar.
Dentuman dan getaran yang dialami warga setempat merupakan hasil dari gelombang kejut yang tercipta ketika meteor besar itu memasuki atmosfer bumi pada kecepatan yang sangat tinggi.
Peristiwa itu ramai di media sosial, dengan sejumlah video menunjukkan sebuah cahaya terang yang melintas cepat di langit di atas kota di pesisir utara Jawa Barat tersebut sebelum menghilang di kejauhan.
Apa saja yang diketahui dari peristiwa meteor jatuh di Kuningan dan Cirebon itu sejauh ini?
Seberapa besar meteor yang melintasi Kuningan-Cirebon?
Thomas Djamaluddin, peneliti astronomi dan astrofisika dari BRIN, memperkirakan ukuran meteor yang jatuh di Laut Jawa setelah melintasi wilayah Kuningan dan Cirebon pada Minggu malam memiliki diameter sekitar 3-5 meter.
Dengan diameter estimasi terbesar 5 meter, ukuran meteor Cirebon tersebut kira-kira setara dengan apartemen tipe studio dengan luas sekitar 20 meter persegi.
Meskipun ukuran pastinya tak dapat dikonfirmasi karena lokasi jatuhnya, analisanya didasarkan pada dentuman keras yang didengar warga dan getaran yang tercatat oleh sensor BMKG.
Ukuran ini diperkirakan tidak lebih besar dari meteor yang meledak di Bone, Sulawesi Selatan, pada 2009, atau yang meledak di Chelyabinsk, Rusia, pada 2013.
Sumber gambar, Rahma Harbani/detikcom
Dalam peristiwa 17 tahun lalu di Bone, Thomas Djamaluddin menyebut ukuran diameter meteor berkisar 10 meter, sementara di Rusia sekitar 17 meter.
Meteor di Bone meledak di ketinggian 10 kilometer di atas permukaan laut dan serpihannya jatuh ke perairan Teluk Bone sekitar pukul 11.00 WITA.
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)—kini dilebur ke dalam BRIN—serta Badan Antariksa Ameriksa Serikat (NASA) menyatakan daya ledak meteor itu mendekati 50 kiloton TNT atau sekitar tiga kali lebih besar dari ledakan bom atom di Hiroshima, Jepang.
Ledakan dan getaran akibat ledakan meteor kala itu mengakibatkan kaca rumah-rumah warga bergetar.
Sementara ledakan meteor di Chelyabinsk, Rusia, mengakibatkan setidaknya 1.000 orang cedera tertimpa bangunan yang hancur akibat gelombang kejut yang ditimbulkannya.
Apa dampak jika meteor berdiameter 3-5 meter itu jatuh di daratan?
Andai meteor yang melintasi Kuningan dan Cirebon jatuh di daerah permukiman, kata Thomas Djamaluddin dari BRIN, meteor disebut dapat berbahaya.
Pasalnya, pecahan batu luar angkasa tersebut dapat menghasilkan kawah yang cukup dalam. Belum lagi potensi kerusakan akibat efek gelombang kejut yang dihasilkannya.
“Kedalamannya [kawah] bisa sedalam setidaknya lima meter,” kata Thomas.
Berdasarkan catatan BRIN, belum pernah ada meteor berukuran cukup besar yang jatuh di permukiman warga.
Namun, beberapa pecahan benda langit seukuran pasir atau kerikil beberapa kali sempat terjadi.
Ia mencontohkan peristiwa di Bengkulu pada 2015 dan Sulawesi Tengah pada 2021.
“Kalau seukuran kerikil, itu bisa tiap hari. Namun, makin besar [ukuran meteor], makin jarang kejadian,” kata Thomas.
Pecahan batu luar angkasa biasanya akan hancur saat memasuki atmosfer bumi. Hal itu terjadi karena benda angkasa itu bergesekan serta menghadapi tekanan udara ekstrem saat memasuki atmosfer.
Beberapa terkadang tidak hancur kendati sudah diterpa panas dan berhasil menumbuk bumi. Ini diistilahkan sebagai meteorit.
Sumber gambar, Getty Images
Thomas mengatakan, hancur atau tidaknya sebuah benda langit saat memasuki atmosfer bumi bergantung pada material dan ukuran benda tersebut.
Jika berupa pasir atau debu sisa komet, benda luar angkasa itu otomatis akan langsung hancur oleh panas saat memasuki atmosfer bumi.
“Hancur atau tidak itu tergantung ukuran dan materialnya,” kata Thomas lagi
“Melihat kasus di Cirebon yang bisa mencapai permukaan dan ada efek kejutnya, materialnya kemungkinan batu yang tidak rapuh.”
Apakah kedatangan meteor dapat diprediksi dan diketahui asal usulnya?
Selama ini, masyarakat cukup akrab dengan istilah “hujan” meteor.
Fenomena ini sejatinya merujuk saat bumi melewati serpihan komet atau asteroid, di mana sebagian di antaranya masuk ke dalam atmosfer bumi.
Thomas Djamaluddin menyebut fenomena ini dapat diprediksi karena memiliki siklus tertentu.
Serpihan tersebut juga tidak berbahaya karena kecil dan mudah terbakar saat memasuki atmosfer.
Ia merujuk hujan meteor Persied yang disebabkan material sisa dari komet Swift-Tuttle yang melewati matahari saban 135 tahun.
Sejumlah fenomena “hujan” meteor sendiri akan terjadi wilyah Indonesia sepanjang Oktober, seperti hujan meteor Draconid pada 8 Oktober, Taurid Selatan pada 10 Oktober, Delta Augurid pada 11 Oktober, Epsilon Geminid pada 18 Oktober, dan Orinid pada 21 Oktober.
Sumber gambar, Getty Images
Lantas, apakah meteor yang melintasi Kuningan dan Cirebon pada 5 Oktober terkait rangkaian “hujan” meteor tersebut?
“Tidak ada kaitannya,” ujar Thomas, seraya menyebut bahwa rangkaian “hujan” meteor itu berasal dari debu sisa komet, bukan bebatuan yang “nyasar” ke atmosfer bumi.
Di luar siklus tersebut, Thomas Djamaluddin menambahkan, meteor sejatinya dapat datang sewaktu-waktu.
Pasalnya, alam semesta dipenuhi bebatuan yang pecahannya tiba-tiba dapat mencapai dan memasuki atmosfer bumi.
“Macam-macam bentuknya dan bisa dari mana saja,” ujarnya.
“Ada [bebatuan] yang kita tidak bisa ketahui asal dan kapan berpapasan dengan bumi,” lanjut Thomas, seraya menambahkan bahwa BRIN tidak memiliki alat yang dapat mendeteksi benda langit yang masuk ke dalam wilayah udara Indonesia.
Hal sama disampaikan Kepala Tim Kerja Prakiraan, Data, dan Informasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisik (BMKG) Kertajati, Jawa Barat, Muhammad Syaiful Fuad yang menyebut lembaganya tidak memiliki instrumen untuk mendeteksi pergerakan benda langit.