Sumber gambar, Getty Images
-
- Penulis, Daniel Pardo
- Peranan, BBC Mundo*
Pemimpin oposisi Venezuela sekaligus aktivis pro-demokrasi, María Corina Machado, meraih penghargaan Nobel Perdamaian 2025 pada Jumat (10/10) lalu.
Komite Nobel memujinya sebagai “salah satu contoh keberanian warga sipil paling luar biasa di Amerika Latin saat ini”. Machado juga diapresiasi atas “kerja kerasnya yang tak kenal lelah dalam mempromosikan hak-hak demokrasi bagi rakyat Venezuela”.
Selama bertahun-tahun Machado, 58 tahun, menjadi suara utama oposisi terhadap rezim Presiden Venezuela Nicolás Maduro Moros, yang pemerintahannya selama 12 tahun dianggap tidak sah oleh banyak negara.
Mentornya adalah mantan presiden Venezuela Hugo Chávez, yang ideologi politik sosialisnya dikenal banyak orang sebagai Chavismo.
Selama bertahun-tahun pula, Machado dipandang sebagai musuh bebuyutan partai penguasa, sekaligus tokoh oposisi yang bahkan di puncak kekuasaan Chavismo tetap teguh mengkritik Hugo Chávez dan sistem pemerintahannya.
Sebagai tanggapan, pihak berwenang semakin memberlakukan pembatasan terhadapnya.
Mereka mencekalnya, mencabut jabatannya sebagai anggota parlemen di Majelis Nasional, dan melarangnya memegang jabatan publik—tindakan yang mereka justifikasi dengan dugaan hubungannya dengan “imperialisme” AS.
Terlepas dari upaya-upaya ini, Machado tetap melanjutkan aksi-aksi politinya dan akhirnya menjadi pemimpin oposisi Venezuela yang tak terbantahkan dan dia melakukannya dengan tekad yang kuat.
Antara 2023 hingga 2024 dia melakukan perjalanan melintasi Venezuela dua kali, meskipun jalanan yang dilintasi diblokir, penerbangannya dibatalkan dan mobilnya dilumuri darah hewan.
Pada bulan-bulan terakhir 2024, surat perintah penangkapannya dikeluarkan.
Selama turnya di jalanan yang ramai, puluhan orang memberinya rosario yang ia simpan, diberi label nama, tempat, dan tanggal, lalu dikalungkan di lehernya.
Dalam demonstrasi-demonstrasi terbesar, ia terlihat mengenakan hingga sepuluh rosario di dadanya.
“Dalam setiap rosario, saya ingat mengapa saya melakukan apa yang saya lakukan dan betapa banyak doa yang mendorong kami untuk terus berjuang,” kata pemimpin oposisi tersebut.
Ia berbicara setelah pemilu Juli 2024, saat Nicolás Maduro dinyatakan sebagai pemenang Pilpres, meskipun ada klaim kecurangan.
Dewan Pemilihan Nasional (CNE), badan pemilu yang berafiliasi dengan pemerintah, tidak pernah merilis hasil rinci untuk melegitimasi kemenangannya, meskipun ada tuntutan dari komunitas internasional.
Kurang dari satu jam setelah CNE mengumumkan kemenangan Maduro, Machado maju mengumumkan bahwa kandidatnya, Edmundo González Urrutia, telah memenangkan pemilu dan ia memiliki bukti untuk membuktikannya.
Machado, yang memulai karier politiknya dalam organisasi pemantau pemilu, kali ini bekerja sama dengan aktivis oposisi lainnya untuk mengawasi sistem pemilu yang terautomatisasi.
Hal ini memungkinkan mereka untuk melakukan penghitungan suara paralel dengan menggunakan catatan resmi yang dijaga oleh saksi mereka.
Dengan langkah ini, kelompok opsisi mengungkap apa yang mereka sebut sebagai “penipuan Maduro” dan membuat negara-negara seperti Amerika Serikat mengakui González sebagai pemenang berdasarkan “bukti yang sangat kuat”.
“Menang butuh waktu lama, dan mengklaim kemenangan mungkin butuh waktu juga,” Machado mengulangi pesan suara yang menyentuh hati kepada para pendukungnya.
“Jadi kita harus melawan—kita harus tetap dekat dengan rakyat dan mengatakan kepada mereka bahwa kita tidak akan meninggalkan mereka, karena kita akan terus berjuang sampai akhir.”
Sumber gambar, Getty Images
“Sampai akhir” menjadi slogannya, menjadikan Machado semacam penyelamat rakyat dan pemimpin koalisi oposisi yang selama bertahun-tahun menganggapnya sebagai duri dalam daging karena sikapnya yang menentang dialog dengan pemerintah Maduro dan proses pemilu, serta mendukung intervensi militer internasional.
Namun Machado, sebagaimana ia katakan kepada saya dalam sebuah wawancara pada November 2023, telah berubah—sebagaimana jutaan rakyat Venezuela telah berubah:
“Kami telah membuat banyak kesalahan, dan ketika kesalahan dibuat berdasarkan apa yang Anda yakini benar, atau karena Anda tidak memiliki semua informasi, atau karena Anda meremehkan apa yang Anda hadapi, Anda harus belajar darinya.”
“Kami telah menemukan jati diri kami. Kami telah menyadari: ‘Hei, saya mampu melakukan ini.'”
Siapa María Corina Machado?
María Corina Machado Parisca memiliki tiga anak dan merupakan anak tertua dari empat bersaudara.
Ayah Machado adalah seorang pengusaha bergengsi di industri logam yang perusahaannya dinasionalisasi oleh Hugo Chávez, pendahulu Maduro.
Ibunya adalah seorang psikolog dan pemain tenis ternama.
Sebagai seorang insinyur industri dengan spesialisasi keuangan, María Corina bekerja di dunia bisnis sebelum bergabung dengan berbagai organisasi yang berfokus pada pengentasan kemiskinan dan pengawasan pemilu.
Sumber gambar, Getty Images
Dari sana, ia semakin dekat dengan Partai Republik di Amerika Serikat—negara tempat ia tinggal dan menjalin ikatan serta koneksi politik dengannya.
Chavismo selalu menganggapnya sebagai kaki tangan “rencana kudeta imperialis.”
Dakwaan pertama yang diajukan terhadapnya adalah dugaan menerima uang secara ilegal dari yayasan-yayasan AS, dakwaan yang berujung pada larangan bepergian selama tiga tahun.
Pada 2010, ia menjadi bagian dari Majelis Nasional sebagai wakil independen dengan pesan anti-komunis, dan pada 2012 ia kalah dalam pemilihan pendahuluan presiden oposisi dari Henrique Capriles.
Sumber gambar, Getty Images
Setelah didiskualifikasi, Machado menghabiskan sepuluh tahun terakhir berkecimpung dalam politik di luar sistem—mempromosikan “penggulingan Maduro” pada 2014 bersama Leopoldo López dan mendukung protes pada 2017 dan 2019.
Dia adalah orang pertama yang melabeli pemerintah sebagai “diktator”, menolak semua upaya negosiasi dengan Chavismo.
Dia juga membela penggunaan kekuatan untuk menggulingkan Maduro dan menentang partai-partai oposisi utama, menuduh mereka sebagai “kolaborator”.
Hal ini, ditambah dengan kegigihannya untuk tetap tinggal di negara itu meskipun ada ancaman penangkapan—dan mungkin memanfaatkan koneksi keluarganya di industri logam—membuatnya dijuluki “Wanita Besi”.
Seiring memudarnya kepimpinan Capriles, López, dan Juan Guaidó, dia muncul sebagai pilihan jelas—generasi terakhir—untuk menghadapi Maduro.
Koneksi baru dengan masyarakat
Di kalangan akademis, sering dikatakan bahwa rakyat Venezuela memiliki budaya politik caudillista (orang kuat).
Dimulai dengan Simón Bolívar, abad ke-19 dan ke-20 dipenuhi oleh para pemimpin yang paternalistis.
Meskipun budaya ini sudah ada sebelum masa ini, banyak yang menelusuri akar budaya politik ini pada penemuan dan kemudian nasionalisasi minyak bumi—sumber daya yang menumbuhkan gagasan tentang “negara ajaib” yang menghidupi setiap rakyat Venezuela.
Hugo Chávez, dengan caranya sendiri dan untuk alasan-alasan tertentu, adalah eksponen terakhir dari budaya ini.
Machado, yang berasal dari posisi ideologi yang berbeda dan adalah seorang perempuan, mengusulkan suatu cara baru untuk terhubung dengan masyarakat dalam kultur politik yang sama.
Ini terbukti dalam demonstrasi besar-besaran yang ia gelar selama proses pemilihan umum 2024: orang-orang—pria, perempuan, dan anak-anak dari semua lapisan sosial—berteriak kepadanya, memeluknya, mencium wajah dan tangannya.
Mereka memanggilnya “cintaku”, “ratuku”, “jaga dirimu, gadisku”. Mereka memandangnya sebagai seorang putri, seorang ibu, dan seorang nenek. Mereka berdoa kepada Tuhan untuknya.
Mereka mengagumi dan menghormatinya karena “arrecha” (ganas), “berani, dan konsisten”.
Sumber gambar, Getty Images
Pada 13 Januari 2012, Presiden Hugo Chávez memberikan pidato kenegaraannya sebelum Majelis Nasional.
Di tengah serangkaian pertanyaan dari perwakilan terpilih, suara lantang seorang wakil oposisi berusia 44 tahun terdengar.
“Bagaimana Anda bisa bicara tentang menghormati sektor swasta jika Anda sendiri telah mengabdikan diri untuk merampas, yang adalah pencurian?” tanya María Corina Machado.
Chávez menjawab, setelah hening lama dan di tengah teriakan dari bangku partai yang berkuasa: “Saya sarankan Anda memenangkan pemilihan pendahuluan, karena Anda tidak berada di liga yang tepat untuk berdebat dengan saya.”
Setelah jeda lagi, ia menambahkan: “Elang tidak memburu lalat.”
Dua belas tahun kemudian, Machado memenangkan pemilihan pendahuluan dengan 95% suara dan pemilihan presiden—bersama González Urrutia—dengan 70% suara, menurut catatan resmi.
Dan ia dianugerahi Nobel Perdamaian atas “pengabdiannya selama bertahun-tahun untuk memperjuangkan kebebasan rakyat Venezuela.”
Lalat itu kemudian menjadi elang: dialah yang kini bersemayam di hati mayoritas rakyat Venezuela.