Sumber gambar, Anadolu via Getty Images
-
- Penulis, Mohamed Morsy
- Peranan, BBC News Arabic
“Perang telah usai”. Demikian kata Presiden AS, Donald Trump, yang dengan bangga menggambarkan hasil perjanjian gencatan senjata antara Israel dan Hamas.
Kesepakatan tersebut mencakup penarikan mundur pasukan Israel dari sebagian wilayah Gaza serta pertukaran tahanan dan sandera antara kedua belah pihak.
Namun, berbagai butir penting yang diuraikan dalam rencana Trump masih belum terselesaikan dan dapat mengancam keberlangsungan gencatan senjata.
Jadi, seperti apa masa depan Gaza dan akankah Hamas melucuti senjatanya?
Sumber gambar, Getty Images
Rencana Trump menyatakan bahwa Gaza harus dikelola sementara oleh “komite Palestina yang teknokratis dan apolitis, yang bertanggung jawab atas operasional layanan publik sehari-hari”. Dengan kata lain, sebuah organisasi non-partisan yang menjalankan layanan publik di wilayah Gaza.
Komite ini akan terdiri dari warga Palestina yang kompeten serta pakar internasional di bawah pengawasan badan transisi internasional baru—yang disebut “Dewan Perdamaian” dalam dokumen rencana resmi.
Negara anggota dan sosok di dalam dewan ini akan diumumkan secara resmi. Tapi, mantan PM UK, Tony BLair, disebut-sebut bakal berperan.
Sumber gambar, PA Media
Rencana tersebut juga menyerukan AS, bekerja sama dengan negara-negara Arab dan internasional, untuk membentuk pasukan stabilisasi internasional.
Pasukan ini akan segera dikerahkan di Gaza untuk memberikan pelatihan dan dukungan kepada kepolisian Palestina.
Kepolisian inilah yang akan berkoordinasi erat dengan Yordania dan Mesir sebagai solusi keamanan internal jangka panjang.
UK dan Prancis saat ini sedang menggodok resolusi Dewan Keamanan PBB untuk membentuk pasukan ini.
Sumber gambar, Dawoud Abu Alkas / Reuters
Apakah Hamas akan melucuti senjatanya?
Israel berkeras Hamas melucuti senjatanya.
Setelah kembali ke AS dari Timur Tengah, Trump berkata, “Jika mereka tidak melucuti senjatanya sendiri, kami yang akan melucuti senjata mereka. Dan itu akan terjadi dengan cepat dan mungkin dengan kekerasan…”
“Saya berbicara dengan Hamas, dan saya berkata, Anda akan melucuti senjata, kan? Ya, Pak, kami akan melucuti senjata. Itulah yang mereka katakan kepada saya.”
Sumber gambar, Bashar Taleb / AFP via Getty Images
Namun, kantor berita AFP sebelumnya mengutip seorang pejabat Hamas yang mengatakan bahwa pelucutan senjata “tidak mungkin dan mustahil”.
Setelah gencatan senjata berlangsung, kantor berita AFP mengutip seorang pejabat Hamas yang tidak disebutkan namanya. Dia mengatakan bahwa Hamas tidak akan berpartisipasi dalam pemerintahan Gaza selama masa transisi.
Namun pejabat tersebut mengatakan kepada AFP bahwa Hamas akan tetap menjadi “bagian inti dari struktur Palestina.”
Hamas menyatakan keraguan tentang keterlibatan internasional, khususnya potensi peran mantan PM UK, Tony Blair.
Sumber gambar, Reuters
Di mana para anggota Hamas?
Berbagai rekaman video dan foto dari Gaza menunjukkan para petempur Hamas berada di jalanan setelah penarikan mundur pasukan Israel.
Sumber gambar, Anadolu via Getty Images
Sumber-sumber lokal memberi tahu BBC bahwa Hamas telah mengerahkan ribuan personel untuk merebut kembali kendali atas wilayah-wilayah yang baru-baru ini dikosongkan oleh pasukan Israel.
Hamas membantah niatnya untuk kembali mengambil alih kendali secara penuh atas Gaza.
Klan mana yang bertempur dengan Hamas?
Sumber gambar, Getty Images
Setelah gencatan senjata, bentrokan pecah antara petempur Hamas dan anggota klan, yang mengakibatkan puluhan korban tewas dan luka-luka.
Dalam kunjungannya ke Timur Tengah, Trump mengatakan Hamas telah menerima lampu hijau untuk melakukan “operasi keamanan internal” di Gaza.
Trump menambahkan bahwa Hamas ingin “menghentikan masalah” dan bahwa “mereka telah diberi wewenang untuk melakukannya secara sementara”.
Pada Kamis (16/10), Trump mengunggah pesan di Truth Social: “Jika Hamas terus membunuh orang di Gaza, yang bukan merupakan kesepakatan, kami tidak punya pilihan selain masuk dan membunuh mereka.”
Ia kemudian mengklarifikasi bahwa “kami” tidak mengacu pada pasukan AS.
Analis Palestina, Jihad Harb, mengatakan kepada BBC bahwa “hanya ada dua pilihan untuk masa depan Gaza: membolehkan Hamas mengendalikan Jalur Gaza dengan persetujuan Israel, atau secara bertahap mengalihkan kewenangan kepada Otoritas Palestina (PA)—tapi opsi ini ditolak oleh [Perdana Menteri Israel, Benjamin] Netanyahu.”
PA sampai saat ini memerintah Tepi Barat yang diduduki Israel.
Sumber gambar, Reuters
Pada Juni lalu, Netanyahu mengatakan Israel telah “mengaktifkan klan” di Gaza untuk melawan Hamas.
Hamas menuduh klan-klan tersebut bekerja sama dengan Israel.
Setelah muncul laporan bahwa Israel memberi senjata kepada kelompok pimpinan Yasser Abu Shabab, Netanyahu berkata, “Apa yang salah dengan [pemberian senjata] ini?” dalam sebuah video di X.
“Tindakan ini semata-mata demi menyelamatkan nyawa tentara Israel… dan mempublikasikan [laporan tersebut] hanya menguntungkan Hamas”.
Hamas baru-baru ini bentrok dengan klan Daghmash. Hamas menuduh beberapa anggota klan tersebut berafiliasi dengan kelompok bersenjata yang setia kepada Israel.
Bagaimana pandangan di Israel?
Sumber gambar, Abir Sultan / EPA / Shutterstock
Jurnalis Israel, Eli Nissan, mengatakan kepada BBC News Arabic bahwa ia tidak melihat peran Hamas dalam pemerintahan Gaza di masa depan. “Bukan hanya karena sikap yang berlawanan dengan Israel tetapi juga karena ketidakpuasan penduduk Gaza setelah dua tahun perang.”
Sikap resmi Israel di bawah Netanyahu menolak pemberian peran apa pun bagi Hamas dalam pemerintahan Gaza.
Israel juga menentang kembalinya Otoritas Palestina (PA) untuk mengelola Gaza.
Posisi ini menguat setelah serangan Hamas pada 7 Oktober yang menewaskan sekitar 1.200 orang, kemudian disusul aksi militer Israel yang menewaskan sedikitnya 67.000 orang, menurut Kementerian Kesehatan Gaza yang dikelola Hamas.
Sumber gambar, Jalaa Marey / POOL / EPA / Shutterstock
Dalam wawancara dengan Fox News pada Agustus, sebelum kesepakatan gencatan senjata tercapai, Netanyahu mengatakan Israel berencana mengambil kendali penuh atas Gaza dan kemudian menyerahkannya kepada “pasukan pemerintahan Arab” yang tidak disebutkan namanya.
Netanyahu mengatakan Israel bermaksud menyerahkan pemerintahan Gaza kepada “pasukan Arab yang akan menjalankannya dengan benar, tanpa menimbulkan ancaman bagi kami, sekaligus menjamin kehidupan yang layak bagi penduduk Gaza.”
Eli Nissan yakin pemerintah Netanyahu menolak Otoritas Palestina mengendalikan Gaza karena ia ingin menghindari hubungan antara Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Ia menambahkan bahwa Netanyahu mungkin akan menyerah pada tekanan Trump yang ingin Otoritas Palestina berpartisipasi secara terbatas dalam pemerintahan Gaza.
Otoritas Palestina
Otoritas Palestina mengendalikan Tepi Barat secara terbatas.
Dalam rencananya, Trump membayangkan Otoritas Palestina akan mengendalikan Gaza.
Menurut rencana tersebut, hal ini akan terjadi setelah Otoritas Palestina menyelesaikan program reformasi “sebagaimana diuraikan dalam berbagai proposal, termasuk rencana perdamaian Trump pada 2020 dan inisiatif (perundingan damai yang digagas) Saudi-Prancis.”
Reformasi yang diinginkan AS mencakup pengurangan dugaan korupsi oleh Otoritas Palestina.
Sumber gambar, Reuters
Israel menduduki Gaza setelah perang 1967, tetapi Otoritas Palestina—yang didominasi gerakan Fatah—mengambil alih kendali setelah Israel menarik mundur pasukannya pada 2005.
Fatah menyerahkan kendali atas Gaza kepada Hamas pada 2007 setelah bentrokan internal yang keras.
Fatah didirikan oleh beberapa orang, termasuk mendiang presiden Otoritas Palestina Yasser Arafat.
Pada 1990-an, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) pimpinan Fatah secara resmi meninggalkan perlawanan bersenjata terhadap Israel dan mendukung resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menyerukan pembentukan negara Palestina dengan menggunakan perbatasan tahun 1967.
Sumber gambar, Paul J Richards / AFP via Getty Images
Otoritas Palestina menyambut baik inisiatif Trump.
Perdana Menteri Otoritas Palestina, Mohammad Mustafa, mengatakan kepada kantor berita Reuters, “Kami sudah ada di sana [di Gaza]”, seraya menekankan bahwa “pengaturan internasional untuk bantuan dan pemantauan adalah satu hal, tata kelola dan pengiriman sebenarnya adalah hal lain”.
Sumber gambar, Wiktor Szymanowicz / Future Publishing via Getty Images
Ia menambahkan bahwa banyak negara, termasuk negara-negara Arab, percaya bahwa Otoritas Palestina harus “bertanggung jawab” atas Gaza karena itulah “satu-satunya cara praktis untuk menyelesaikan masalah”.
Presiden Trump
Sumber gambar, AP
Donald Trump berulang kali menegaskan bahwa Hamas harus dikalahkan untuk mengakhiri konflik, tetapi seiring waktu visinya untuk masa depan Gaza pascaperang telah bergeser.
Sebelumnya, Trump melontarkan ide mengubah Gaza menjadi “Riviera Timur Tengah”, lengkap dengan resor hotel serta merelokasi penduduk ke Mesir atau Yordania. Ide-ide ini tidak ada dalam rencana terbarunya.
Sumber gambar, Reuters
Namun bagaimana dengan detil rencananya? Siapakah para teknokrat Palestina? Dan apa yang kita ketahui tentang “Dewan Perdamaian”?
Rencana Trump tidak memberikan rincian yang jelas tentang badan internasional ini, meskipun media telah menyebarkan nama-nama tokoh non-Palestina yang diyakini dipertimbangkan untuk menjadi anggota.
Belum ada konfirmasi resmi yang dikeluarkan, dan Trump baru-baru ini mengatakan ia tidak yakin apakah Tony Blair “cukup populer untuk peran tersebut”.
Sumber gambar, BBC News
Saat bepergian ke Timur Tengah, Trump menghindari memberikan jawaban langsung atas pertanyaan BBC tentang pasukan multinasional tersebut. Dia mengatakan:
“Ini akan menjadi pasukan yang besar dan kuat. Ini tidak akan sering digunakan, karena orang-orang akan berperilaku dengan baik.”
Ia menambahkan bahwa “Dewan Perdamaian” yang mengawasi transisi Gaza “akan siap sesegera mungkin.”
Ketika ditanya tentang solusi dua negara, Trump menjawab:
“Banyak orang lebih suka satu negara, beberapa lebih suka dua negara. Kita lihat saja nanti. Saya belum berkomentar tentang itu.”
Sumber gambar, Julien De Rosa / AFP via Getty Images
Mesir dan Qatar—dua mediator utama—telah mendukung kerangka kerja internasional yang dikenal sebagai Deklarasi New York.
PBB mengadopsinya sebagai bagian dari upaya menyelesaikan konflik Israel-Palestina dan memajukan solusi dua negara.
Deklarasi New York menyerukan pembentukan komite administratif transisi di Gaza di bawah naungan Otoritas Palestina.
Deklarasi ini menekankan bahwa tata kelola dan penegakan hukum di seluruh wilayah Palestina—termasuk Gaza—harus berada di tangan Otoritas Palestina.
Visi ini sejalan dengan pernyataan pejabat Mesir dan Qatar yang mengaitkan masa depan Gaza dengan pembentukan negara Palestina.
Apakah Otoritas Palestina mendapatkan kesempatan untuk membuktikan seberapa suksesnya mereka dalam mengelola Gaza? Itu akan bergantung pada banyak faktor di luar kendali mereka saat ini.
Reportase tambahan oleh Hesham Shawish and Zakariya Ayyad, BBC Monitoring dan Andrew Webb, BBC World Service