Sumber gambar, Antara Foto
Robig Zaenudin, polisi yang menjadi terdakwa kasus penembakan terhadap siswa SMK di Semarang, Gamma Rizkynata Oktafandy, divonis bersalah dan dijatuhi penjara selama 15 tahun.
Putusan hakim itu dibacakan pada sidang di Pengadilan Negeri Semarang, Jumat (08/08).
“Terdakwa Robig Zaenudin terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana kekerasan terhadap anak yang mengakibatkan mati dan melakukan kekerasan terhadap anak yang mengakibatkan luka,” kata Ketua Majelis Hakim, Mira Sendangsari.
Selain vonis penjara, Robig juga dijatuhi pidana denda sebesar Rp200 juta. Jika tak mampu membayarnya, Robiq harus menebus denda itu dengan penjara selama satu bulan.
Vonis ini sesuai dengan tuntutan jaksa penuntut umum, yang juga mengajukan hukuman penjara selama 15 tahun. Jaksa dalam persidangan pada 8 Juli silam menyebut hakim tidak memiliki alasan apapun untuk meringankan vonis terhadap Robig.
Merujuk vonis hakim, Robig terbukti melanggar pasal 80 ayat (3) dan ayat (1) UU Perlindungan Anak, pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, serta pasal 351 KUHP tentang penganiayaan.
Sumber gambar, ANTARA FOTO
Bagaimana rekam jejak kasus Gamma?
Aipda Aipda Robig Zaenudin, polisi anggota Polrestabes Semarang yang menembak pelajar SMKN 4 Semarang berinisial GRO alias Gamma hingga tewas, telah ditetapkan sebagai tersangka.
Aipda R juga dijatuhi hukuman pemberhentian tidak dengan hormat atau dipecat oleh Majelis Komite Kode Etik Polri (KKEP) Polda Jawa Tengah, pada Senin (09/12).
Kabid Humas Polda Jawa Tengah, Kombes Pol. Artanto, mengatakan Direktorat Kriminal Umum Polda Jateng telah melaksanakan gelar perkara kasus pidana terhadap Aipda R.
“Yang bersangkutan sudah dinaikkan statusnya menjadi tersangka. Itu per hari ini [Selasa, 9 Desember 2024],” kata Kombes Pol. Artanto dalam keterangan pers yang dilaporkan wartawan Kamal di Semarang kepada BBC News Indonesia.
Selain harus menghadapi proses hukum terkait tewasnya GRO alias Gamma, R juga dipecat sebagai anggota Polri.
Menurut Kabid Humas Polda Jawa Tengah, Kombes Pol. Artanto, Aipda R dinyatakan melakukan perbuatan tercela berupa penembakan terhadap sekelompok orang atau anak-anak yang sedang berkendara.
Aipda R kemudian diberi kesempatan tiga hari untuk mengajukan banding.
Anggota Kompolnas, Muhammad Chairul Anam, mengapresiasi hasil sidang komite etik yang digelar secara tertutup di ruang sidang bidang Propam Polda Jawa Tengah, Semarang, mulai pukul 13.00 hingga 20.30 WIB.
“Ada tiga putusan, yang bersangkutan melakukan perbuatan tercela, dipatsus selama 14 hari, dan PTDH,” kata Chairul Anam kepada kantor berita Antara.
Patsus yang dimaksud Chairul adalah akronim dari penempatan khusus, yaitu prosedur yang diterapkan kepada anggota Polri yang melakukan pelanggaran disiplin atau kode etik.
Patsus merupakan bentuk pengamanan yang berbeda dari penahanan biasa. Penempatan ini biasanya dilakukan di lokasi seperti markas, rumah kediaman, atau ruang tertentu yang ditunjuk oleh atasan.
Sumber gambar, ANTARA FOTO
Sidang komite etik terhadap Aipda R dihadiri oleh orang tua GRO, Andi Prabowo. Dia mengaku marah saat bertemu “orang yang membunuh anak saya”.
“Puas dengan pemberhentian tidak hormat yang dijatuhkan kepada tersangka,” kata Andi Prabowo.
Aipda R melepaskan tembakan bukan untuk membubarkan tawuran
Kepala Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Jawa Tengah, Kombes Aris Supriyono, mengungkapkan bahwa anggota Polres Semarang, Aipda R, melepaskan tembakan bukan untuk membubarkan tawuran.
Hal itu diketahui berdasarkan hasil pemeriksaan internal Propam Polda Jateng terhadap Aipda R atas tindakannya yang menewaskan siswa SMK Negeri 4 Semarang berinisial GR alias Gamma (17).
“Penembakan yang dilakukan terduga pelanggar tidak terkait dengan pembubaran tawuran yang sebelumnya terjadi,” ujar Kombes Aris dalam rapat dengar pendapat umum bersama Komisi III DPR RI, Selasa (03/12), sebagaimana dikutip Kompas.com.
Sumber gambar, ANTARA FOTO
Menurut Kombes Aris, Aipda R pulang dari kantor kemudian bertemu dengan satu kendaraan yang dikejar oleh tiga kendaraan.
Aipda R, kata Kombes Aris, berhenti dan meletuskan tembakan karena kendaraannya terpepet oleh pengendara yang disebut saling kejar-kejaran.
“Kemudian motif yang dilakukan oleh terduga pelanggar dikarenakan pada saat perjalanan pulang, mendapat satu kendaraan yang memakan jalannya, terduga pelanggar jadi kena pepet,” kata Kombes Aris.
“Akhirnya terduga pelanggar menunggu tiga orang ini putar balik dan terjadilah penembakan,” tambahnya.
Sumber gambar, Kompas.com
Dalam rapat dengar pendapat umum bersama Komisi III DPR RI, Kapolrestabes Semarang, Kombes Irwan Anwar, mengungkapkan, Aipda R sempat melihat aksi kejar-kejaran rombongan pengendara motor yang diduga pelaku tawuran pada Minggu (24/11) dini hari.
Aksi kejar-kejaran itu berlangsung sebelum Aipda R terekam kamera pengawas, berhenti, dan menembak Siswa SMK Negeri 4 Semarang berinisial GR alias Gamma (17).
“Di peristiwa ini ada kendaraan yang dikejar kendaraan lain, di mana si pengejar ini membawa senjata tajam. Ini yang disaksikan anggota (Robig), kemudian berniat mengejar,” ujar Kombes Irwan dalam rapat dengan Komisi III DPR.
Kombes Irwan tidak menjelaskan secara rinci soal tindakan Aipda R yang langsung mengarahkan tembakan ke pengendara motor.

Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

Pemaparan Kepala Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Jawa Tengah, Kombes Aris Supriyono, dan Kapolrestabes Semarang, Kombes Irwan Anwar, mengemuka setelah pihak keluarga GR alias Gamma merilis rekaman kamera pengawas atau CCTV yang diduga merekam detik-detik insiden penembakan tersebut.
Video yang diambil dari kamera pengawas sebuah toko swalayan itu sempat ditunjukkan salah satu kerabat korban berinisial U kepada awak media, Minggu (01/12).
Berdasarkan rekaman kamera pengawas, Aipda R sedang duduk menunggu di atas motornya di pinggir jalan. Tak lama berselang, polisi dari Satuan Resnarkoba itu memindahkan motornya ke tengah jalan dan mengacungkan senjata api ke arah motor yang melintas.
Terdapat tiga motor yang melintas pada saat kejadian, namun tak ada tanda-tanda tawuran pemuda seperti yang sempat dituturkan pihak Polrestabes Semarang.
Dari jarak dekat, Aipda R tampak seperti melepaskan tembakan ke arah dua motor yang melintas dengan cepat. Setelah itu, Aipda RZ kembali menunggangi motornya dan mengikuti motor para korban.
Sumber gambar, Antara Foto
Sebelum rekaman kamera pengawas ini dimunculkan, polisi berkeras siswa SMK di Semarang tewas karena terlibat tawuran.
Kapolrestabes Semarang, Kombes Pol Irwan Anwar, mengeklaim saat kedua kelompok terlibat tawuran, muncul anggota polisi yang mencoba untuk melerai.
Menurut Irwan, anggotanya melepaskan tembakan sebagai “tindakan tegas” karena ada serangan.
Agung, selaku paman Gamma, berkeras bahwa tidak ada penyerangan yang dilakukan almarhum keponakannya berdasarkan rekaman CCTV.
“Kita tidak percaya (almarhum Gamma) tawuran,” kata Agung kepada wartawan Kamal di Semarang.
Itu adalah salah satu dari berbagai kejanggalan yang dirasakan pihak keluarga seputar kematian Gamma.
Ekshumasi jenazah Gamma
Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Tengah melakukan ekshumasi jenazah Gamma Rizkynata Oktafansy, pelajar SMK yang menjadi korban penembakan oleh polisi di Semarang pada Minggu (24/11) silam.
Pembongkaran makam korban yang berlokasi di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Bangunrejo, Desa Saradan, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah berlangsung hari ini, Jumat (29/11).
Kakek korban, Siman mengaku ikhlas jenazah cucunya diangkat lagi untuk kepentingan ekshumasi, seraya menegaskan pihak keluarga menghendaki keadilan untuk remaja tersebut.
“Kalaupun harus dibongkar makamnya, biarlah. Ini demi memperjuangkan keadilan. Kematian cucu saya biar terungkap penyebabnya,” kata Siman kepada wartawan pada Jumat (29/11) seperti dikutip Tempo.co.
Sebelumnya, peneliti dari KontraS menduga kasus ini sebagai pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing), sementara Amnesty International Indonesia menyoroti “kegagalan sistemik dalam prosedur penggunaan senjata api” oleh polisi.
Sumber gambar, Antara Foto
Siapa anggota polisi yang diduga menembak?
Sebelumnya, seorang anggota polisi yang diduga menembak siswa SMKN 4 Semarang hingga tewas telah ditahan Kepolisian Daerah Jawa Tengah.
Polisi berinisial Aipda R itu disebut menembak sebanyak dua kali menggunakan senjata organik.
Namun demikian, Aipda R masih berstatus terperiksa dan belum tersangka.
“Penetapan tersangka kalau kasusnya naik sidik. Setelah dinyatakan [penyidikan], bisa ditetapkan tersangka, baru ditetapkan. Namun saat ini masih terperiksa,” kata Kabid Humas Polda Jawa Tengah, Kombes Pol. Artanto, Kamis (28/11), seperti dilaporkan Kompas.com.
Aipda R saat ini masih diperiksa Propam Polda Jateng.
Sumber gambar, Antara Foto
“Yang bersangkutan [Apida R] pakai senjata organik. Yang bersangkutan akan menjalani sidang etik atas tindakan eksesif yang dilakukan,” papar Artanto.
Dia ditahan selama 20 hari dalam rangka proses penyelidikan.
Menurut Artanto, ada bukti terjadi tawuran. Namun, sambungnya, R melakukan excessive action atau aksi berlebihan.
Polda Jateng berjanji akan bersikap transparan selama proses penyelidikan terhadap R.
“Proses ini diawasi internal Itwasum, Komnas HAM, Kompolnas, dan media dan Bidpropam,” jelas Artanto.
Pihak keluarga G alias Gamma menuturkan bahwa ada berbagai kejanggalan seputar kematian pelajar SMKN 4 Semarang tersebut.
Kejanggalan pertama adalah setelah Kapolrestabes Semarang mendatangi rumah keluarga G guna menjelaskan kronologi kejadian.
Menurut Agung, ada orang yang mengaku wartawan meminta pihak keluarga membuat video pernyataan bahwa pihak keluarga sudah mengikhlaskan kejadian, tidak membesar-besarkan masalah, dan proses hukum diserahkan ke Polrestabes.
Agung juga mengeklaim Kapolrestabes Semarang juga mendukung permintaan itu.
Namun, Agung menepis permintaan tersebut. “Saya ndak mau, pak. Saya harus rembukan dengan keluarga besar,” ujarnya menirukan ucapannya saat itu.
Kejanggalan kedua adalah pihak keluarga baru diberitahu soal kematian G pada pukul 12.00 siang, pada Minggu (24/11). Padahal, menurut kepolisian, Gamma meninggal pukul 01.00 dini hari.
“Kenapa kami baru diberitahu jam 12.00 siang? Kok selama itu?” kata Agung.
Menurutnya, pihak Polrestabes mengatakan G saat dibawa ke rumah sakit tidak membawa kartu identitas. Karena itu, identitas G dicari menggunakan sidik jari. Data sidik jari baru muncul pukul 10.00 pagi.
Namun, anehnya, pihak keluarga mendapat informasi dari warga sekitar bahwa pada Minggu pagi sudah ada polisi berpakaian preman yang menanyakan rumah G, anak pak Andi Prabowo. Warga, menurut Agung selaku paman G, sudah menunjukkan letak rumah G tapi yang bersangkutan tidak mau menjawab ada perlu apa.
Kejanggalan ketiga muncul belakangan.
Kepolisian awalnya membantah tuduhan ini dengan mengatakan banyak kalangan “belum mengetahui persis kejadiannya”. Polisi bersikeras siswa SMK di Semarang tewas karena terlibat tawuran.
Kapolrestabes Semarang, Kombes Pol Irwan Anwar, mengeklaim saat kedua kelompok terlibat tawuran, muncul anggota polisi yang mencoba untuk melerai.
Menurut Irwan, anggotanya melepaskan tembakan sebagai “tindakan tegas” karena ada serangan.
Agung, selaku paman Gamma, berkeras bahwa berdasarkan rekaman CCTV tidak ada penyerangan yang dilakukan almarhum keponakannya sebagaimana diklaim Polrestabes Semarang
“Kita tidak percaya (almarhum Gamma) tawuran,” kata Agung.
Sumber gambar, Antara Foto
Pada Selasa (26/11), keluarga korban G melaporkan Aipda R ke Polda Jateng.
Kabid Humas Polda Jateng, Pol Artanto membenarkan bahwa pihaknya telah menerima laporan pengaduan keluarga R.
Menurutnya, keluarga G melaporkan R dengan Pasal 338 tentang pembunuhan dan Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan.
“Kamis sudah membuatkan laporannya,” kata Artanto kepada Kompas.com, Kamis (28/11).
Di sisi lain, pihak SMK Negeri 4 Semarang meyakini remaja berinisial GRO sebagai “anak baik” yang tidak pernah terindikasi ikut tawuran.
Bagaimana kronologi versi polisi?
Dari keterangan sementara, ada dua tembakan saat kejadian pada Minggu (24/11) dini hari.
“Korban ada tiga. Ada dua kali tembakan. Ini kesimpulan sementara, akan berkembang,” kata Kapolrestabes Semarang Kombes Pol Irwan Anwar sebagaimana dikutip Detik.com.
Tembakan pertama mengenai korban tewas inisial GRO (17) yang membonceng satu motor bersama dua orang lainnya, yaitu A dan S. Adapun GRO berada di tengah. Peluru mengenai pinggangnya.
Kemudian tembakan kedua menyerempet dada A yang mengendarai motor dengan membonceng S dan GRO. Peluru itu kemudian mengenai tangan kiri S yang merangkul A dari belakang.
“Pertama mengenai pinggang almarhum. Kedua mengenai S dan A. Itu satu peluru. Posisi begini (memperagakan posisi S yang membonceng A),” jelas Irwan.
“Sekali lagi penanganan kasus excessive action atau tindakan berlebihan anggota dilakukan Polda Jateng,” imbuhnya.
Dalam peristiwa tawuran yang berujung pada penembakan oleh polisi berinisial R, kata dia, polisi telah memeriksa 17 saksi.
“Empat pelaku tawuran dari kedua kelompok sudah diterapkan sebagai tersangka,” katanya sebagaimana dikutip kantor berita Antara.
Sumber gambar, Humas Polrestabes Semarang
Kepolisian, kata Irwan telah memeriksa 12 anak yang terlibat tawuran, empat di antaranya ditetapkan sebagai tersangka.
Dalam keterangan terpisah, Kabid Humas Polda Jateng, Kombes Pol Artanto, bersama timnya melakukan “prarekonstruksi” di lokasi kejadian pada Selasa (26/11).
Artanto mengungkap polisi yang melepas tembakan hingga menewaskan GRO berinisial Aipda R, anggota Polrestabes Semarang.
Saat ini Aipda R sedang dalam pemeriksaan Pengamanan Internal (Paminal) Profesi dan Pengamanan (Propam), klaim Artanto.
Sumber gambar, Kamal
“Setiap penggunaan alat dan sebagainya dia harus dapat bertanggung jawab, apakah dia sudah melaksanakan sesuai dengan SOP atau dia melanggar,” katanya.
Seorang advokat lokal, Zainal Abidin Petir, mengeklaim menelusuri fakta di lapangan.
Ketua LBH Petir (Penyambung Titipan Rakyat) Jateng ini mengaku “belum puas” dengan keterangan kepolisian bahwa tiga anak yang kena tembak itu karena melawan, membawa senjata tajam, sehingga mereka harus menghadapi “tindakan tegas”.
“Maka saya mencari informasi, apakah betul anak itu termasuk gangster. Nah kami sudah menelusuri ke sekolah. Di sekolah, catatan anak itu baik sekali,” kata Petir.
Ia juga mendesak Kapolrestabes Semarang, Irwan Anwar, tidak segan-segan mengambil tindakan ”kalau memang anak buahnya yang salah tidak sesuai dengan SOP”.
“Kita cintai Polri dengan bersih-bersih institusi polri. Kalau ada yang salah sikat saja,” kata Petir kepada wartawan Kamal di Semarang yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Sumber gambar, Antara Foto
Bagaimana kronologi versi pihak sekolah?
SMK Negeri 4 Semarang mengeklaim tak pernah mendapat informasi dari polisi bahwa siswanya, GRO, tewas karena kena tembak polisi.
Setidaknya sampai Senin (26/11), pihak SMK Negeri 4 Semarang menyebut kematian siswanya sebagai “misterius”.
“Makanya kita pun juga istilahnya belum dapat info yang jelas, kita tak berani menyampaikan penyebab kenapa,” kata Staf Kesiswaan SMK Negeri 4 Semarang, Nanang Agus.
Dari informasi yang diperoleh pihak sekolah, saat peristiwa terjadi GRO sedang bersama dua rekannya bersepeda motor. Dua rekannya selamat dari insiden penembakan polisi.
Sumber gambar, Antara Foto
Keduanya diduga juga terkena tembakan tapi tidak mengalami luka serius. Satu masih dirawat di rumah sakit, sementara lainnya sudah kembali ke rumah.
“Dari pihak keluarga belum mengizinkan bertemu siapa pun,” kata Nanang.
Pihak sekolah juga meragukan keterlibatan GRO dan dua rekannya dalam tawuran.
GRO dan dua siswa lain tidak punya catatan pernah terlibat tawuran atau kasus kenakalan lainnya, klaim pihak sekolah.
“Anaknya baik. Kebetulan mereka anak-anak yang istilahnya terpilih. Mereka mengikuti ekstrakurikuler yang kita tahu paskibra, itu anak-anak pilihan,” tambah Nanang.
Bagaimana reaksi organisasi HAM?
Kepala Divisi Hukum KontraS, Andri Yunus, mengatakan pernyatan sepihak dari kepolisian atas peristiwa tewasnya pelajar SMK Negeri 4 Semarang, GRO, pada Minggu dini hari (24/11) hanya akan mengaburkan fakta yang sebenarnya.
Ini karena sampai Selasa (26/11) polisi belum menuntaskan proses penyelidikan dan penyidikannya guna mengurai peristiwa yang menimpa korban.
Padahal sebagai institusi yang memiliki sumber daya besar, polisi semestinya bisa melakukan investigasi yang komprehensif.
“Pola yang kami temukan di beberapa kasus serupa, statment-statment berupa klaim seperti itu jadi pembelaan institusi polisi ke publik, yang semestinya jika memang ada dugaan pelakunya dari kepolisian ya enggak perlu dilakukan upaya pengaburan fakta,” ujar Andri Yunus kepada BBC News Indonesia, Selasa (26/11).
Sumber gambar, Getty Images
Kalau merujuk pada Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 1 Tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian, apa yang dilakukan Aipda R dinilai telah melanggar pasal 8 mengenai penggunaan kekuatan dengan kendali senjata api.
Disebutkan di sana ada beberapa syarat atau kondisi polisi bisa menggunakan senjata api:
- Tindakan pelaku kejahatan atau tersangka dapat secara segera menimbulkan luka parah atau kematian bagi anggota Polri atau masyarakat
- Anggota Polri tidak memiliki alteratif lain yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan/perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka tersebut
- Anggota Polri sedang mencegah larinya pelaku kejahatan atau tersangka yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri dan masyarakat
- Namun perlu ditekankan, penggunaan kekuatan dengan senjata api merupakan upaya terakhir untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka
Sumber gambar, Getty Images
Dalam kasus yang menimpa korban, kata Andri Yunus, polisi diduga kuat langsung melepaskan tembakan tanpa memperhitungkan bahwa yang disasar adalah anak.
“Terlebih korban adalah anak, sudah jelas penggunaan senjata itu tidak mencerminkan prinsip-prinsip dalam Perkap,” katanya.
Dan kalaupun polisi terpaksa menembakkan senjatanya, maka tidak boleh menyasar organ vital yang bisa menyebabkan kematian.
“Yang paling penting sekalipun senjata api digunakan untuk melumpukan tidak boleh diarahkan ke bagian-bagian vital tubuh orang yang menyebabkan meninggal,” tegasnya.
Sumber gambar, Antara Foto
Menurut dia, polisi seharusnya menggunakan cara atau pendekatan yang persuasif apabila berhadapan dengan anak.
Sekalipun dianggap ada upaya ancaman balik seperti diancam dengan senjata tajam, harus diupayakan proses penegakan hukum.
“Kalau polisi pakai senjata api, sekali lagi hanya untuk melumpuhkan bukan untuk membunuh.”
Atas dasar itulah Andri Yunus menilai apa yang dilakukan Aipda R bisa disebut sebagai “pembunuhan di luar hukum” atau extrajudicial killing.
Sumber gambar, Getty Images
Sebab pada dasarnya polisi bukan pihak pengadil atau penentu hukuman seseorang yang dituduh melakukan tindak pidana.
Tugas polisi sesuai aturan KUHP melakukan penangkapan, penahanan, penyitaan, dan lain sebagainya yang kemudian membawa terduga pelaku ke kejaksaan untuk diadili di pengadilan.
Bukan bertindak layaknya “algojo” yang memberikan penghukuman.
Catatan KontraS pada Juli 2023-Juni 2024 menemukan 35 peristiwa extrajudicial killing yang menyebabkan 37 orang meninggal.
Andri juga menyerukan agar polisi secara transparan mengumumkan hasil uji balistik, hasil pemeriksaan Aipda R.
Jangan sampai, kata dia, kasus di Kota Semarang berakhir tanpa mengungkap kebenaran.
Tapi lebih dari itu, Andri Yunus, mendesak kepolisian agar tak cuma menjatuhkan sanksi etik jika anggotanya terbukti bersalah.
Tindakan anggota polisi tersebut harus dipertanggung jawabkan secara pidana karena bagaimana pun ada peristiwa yang menyebabkan hilangnya nyawa.
“Kami tidak ingin hanya disanksi etik, tapi pidana. Itu bisa berjalan beriringan,” katanya.
Kegagalan sistemik penggunaan senjata api oleh polisi
Amnesty International Indonesia menyoroti apa yang mereka sebut “kegagalan sistemik dalam prosedur penggunaan senjata api dan pola pikir aparat yang cenderung represif”.
Kasus penggunaan senjata api oleh polisi yang diduga menewaskan warga sipil juga terjadi di Kepulauan Bangka Belitung di hari yang sama dengan insiden siswa SMK Semarang.
Dalam kasus ini personel Brimob Polda Babel diduga menembak warga yang dituduh mencuri buah sawit hingga tewas.
Usman mempertanyakan mengapa penggunaan senjata api oleh polisi, yang seharusnya menjadi langkah terakhir, justru terkesan menjadi senjata utama.
Merespons peristiwa di Kota Semarang, Usman mengatakan dugaan penembakan remaja SMK “bukan hanya tidak legal, tidak perlu, tidak proporsional, dan tidak akuntabilitas, tetapi juga melanggar prinsip perlindungan hak asasi manusia”.
“Kejadian-kejadian ini tidak dapat dianggap sebagai insiden terisolasi, tapi mencerminkan kegagalan sistemik dalam prosedur penggunaan senjata api dan pola pikir aparat yang cenderung represif,” kata Usman, yang menuntut adanya pertanggungjawaban atas kasus-kasus penembakan.
Sumber gambar, ANTARAFOTO
Ia juga mendesak agar “negara juga harus merevisi aturan penggunaan senjata api, memastikan penggunaannya hanya sebagai upaya terakhir sesuai prinsip legalitas, nesesitas, proporsionalitas dan akuntabilitas agar tetap melindungi HAM”.
Menurut catatan Amnesty International Indonesia, dari 16 Januari hingga 24 November 2024 terdapat sedikitnya 31 kasus pembunuhan di luar hukum oleh aparat atas 31 korban.
Dalam sebulan terakhir terdapat setidaknya delapan kasus dengan delapan korban. Sebagian besar kasus sejak awal tahun ini diduga dilakukan oleh personel Polri, yaitu 23 kasus dengan 23 korban.
Bagaimana tanggapan polisi?
Kabid Humas Polda Jateng, Kombes Pol Artanto, membantah tudingan yang ditujukan pada institusinya. Dia mengatakan sebagian kalangan “belum mengetahui persis kejadiannya”.
“Saya menyampaikan bahwa yang bersangkutan (Aipda R), tentunya dia akan melakukan tindakan kepolisian, diskresinya, kan berdasarkan kemampuan dia menalar tentang situasi yang ada. Kapan dia harus melepaskan senjata tersebut,” kata Artanto.
Ia juga mengatakan anggota polisi memegang senjata api juga tidak sembarangan karena sudah melalui tes kejiwaan, dan ada aturannya ketika melepaskan tembakan.
“Salah satu pertama, apabila dia melihat adanya gangguan atau ancaman bagi orang lain atau bagi dirinya sendiri, atau kepentingan umum yang lebih luas. Tindakan itu tentunya ada beberapa tahap, misalnya dia ada kesempatan untuk memberikan peringatan, dia akan memberikan peringatan.
Kemudian apabila dia sudah terdesak, dia tentunya harus melakukan upaya lain yang sifatnya melumpuhkan dulu,” tambah Artanto.
Sumber gambar, Kamal
Saat ini, Aipda R yang diduga melepaskan tembakan hingga menewaskan Siswa SMK Semarang GRO sedang dalam pemeriksaan.
“Ini kan harus dikaji dulu, apakah yang bersangkutan sudah sesuai dengan SOP, bagaimana situasinya, keadaannya, dan kita tahu sendiri, kalau kreak (tawuran) itu di lapangan kayak apa, pada saat kejadian,” katanya.
Selain itu, polisi juga akan melakukan uji balistik, kata Artanto.
“Tentunya iya. Nanti kan proyektil yang ada di tubuh korban itu akan dilakukan proses pemeriksaan di labfor, apakah itu proyektilnya betul dari pistol milik yang bersangkutan,” katanya.
Artanto juga membantah tuduhan polisi merekayasa dan menutup-nutupi kasus ini.
“Tidak, kita kan transparan, pertama pada saat prarekonstruksi, kita kan membawa seluruh teman-teman media yang mau meliput…. Kita transparan dan silakan teman-teman dari sosial media atau pengamat lainnya untuk memonitor perkembangannya,” katanya.