Sumber gambar, BBC/Haryo Wirawan
Di sejumlah daerah di Indonesia, permainan layang-layang masih dilakukan di dekat bandara—meski berbahaya bagi penerbangan. Petugas keamanan bandara sudah melakukan upaya penertiban, tapi sebagian masyarakat tetap memainkannya karena mengaku tak punya tempat lain untuk bermain.
Di persawahan yang hanya berjarak sekitar dua kilometer dari Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, teriakan anak-anak bermain layang-layang terkadang tenggelam dalam raungan mesin pesawat yang melintas.
Anak-anak itu terus menarik-ulur tali layang-layang di sawah. Leher mereka mendongak ke langit, tapi mata mereka sesekali melihat ke sekitar, berjaga kalau-kalau petugas patroli bandara datang untuk menyita layangan mereka.
“Dulu, saya dan teman-teman pasti lari kalau ada petugas datang. Sekarang, saya lebih berani. Kalau layangan saya diambil, ya sedih, tapi kan bisa bikin lagi,” kata Atip, seorang anak yang bermain di sawah itu.
Pegiat dari Museum Layang-Layang Indonesia, Asep Irawan, menganggap situasi ini sebagai “benturan kepentingan” antara urusan keamanan dan keinginan untuk melakukan aktivitas yang sudah menjadi budaya turun-temurun.
“Memang bahaya untuk penerbangan, tapi sudah budaya juga, jadi bingung dan harus cari jalan tengah,” ucap Asep.
‘Layang-layang risiko serius untuk keamanan penerbangan’
Asep mengatakan benturan ini paling terasa di “musim layangan” yang biasanya jatuh pada Juli-Agustus, ketika cuaca panas dan angin kencang.
“Di bulan-bulan itu juga anak sekolah biasanya libur, jadi langit biasanya ramai layang-layang,” kata Asep.
Kepala Otoritas Wilayah I Otoritas Bandara Soekarno-Hatta, Putu Eka Cahyadi, mengakui bahwa di waktu-waktu itu pula biasanya terjadi peningkatan keluhan dari pihak maskapai penerbangan.
Ia mengambil contoh pada tahun ini, layang-layang mengganggu 21 penerbangan dari dan menuju Bandara Soekarno-Hatta pada 4-6 Juli lalu.
Dari 21 penerbangan yang terganggu, beberapa di antaranya terpaksa dialihkan ke bandara lain. Adapun sisanya batal mendarat karena terlalu bahaya jika harus terbang di dekat layang-layang.
Putu mengatakan bahwa layang-layang adalah “moving obstacles” atau “hambatan bergerak” bagi pesawat dan bisa menimbulkan “risiko serius untuk keamanan penerbangan”.
“Layang-layang bisa mengganggu pandangan pilot. Selain itu, layangan juga bisa masuk ke mesin pesawat. Bisa gawat itu,” ucap Putu.
Sumber gambar, BBC/Haryo Wirawan
Putu tidak melebih-lebihkan.
Pada Juli 2024, satu helikopter jatuh di Bali setelah mesinnya terlilit tali layang-layang. Akibat insiden itu, tiga WNI dan dua warga Australia yang merupakan penumpang helikopter terluka.
Pada Juli 2020, tali layang-layang dan bambu dari layang-layang ditemukan di dalam mesin satu pesawat yang mendarat di Bandara Soekarno-Hatta.
Walau pesawat itu bisa mendarat dengan aman, insiden ini memicu kekhawatiran akan keselamatan.
Satu bulan kemudian, pihak bandara membentuk satuan tugas untuk menertibkan orang yang masih bermain layang-layang di dekat kawasan bandara.
Lima tahun berlalu, masalah yang sama masih terus terulang.
Pada Juli lalu, Menteri Perhubungan, Dudy Purwagandhi, mendesak Otoritas Bandara dan pemerintah daerah di seluruh Indonesia untuk menangani gangguan penerbangan akibat penerbangan layang-layang.
Otoritas Bandara Soekarno-Hatta dan AirNav pun mengeluarkan peringatan resmi mengenai bahaya layang-layang ini.
“Kami bahkan datangi langsung masyarakat untuk kasih bola sepak atau raket badminton supaya mereka beralih ke aktivitas lain,” tuturnya.
Dalam kunjungan-kunjungan itu, Putu juga mengingatkan masyarakat bahwa daerah di dalam radius 15 kilometer dari bandara masuk dalam Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP).
Berdasarkan UU Penerbangan Nomor 1 Tahun 2009, tiap orang yang membuat halangan atau melakukan kegiatan di KKOP yang membahayakan keselamatan penerbangan bisa dipenjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak Rp1 miliar.
Mengapa menghentikan permainan layang-layang sulit dilakukan?
Namun, menurut pegiat layang-layang, bermain layangan memang sudah menjadi budaya di Indonesia sejak lama, sehingga sulit dihentikan begitu saja.
Seorang pengamat dari Museum Layang-Layang Indonesia, Asep Irawan, mengatakan bahwa budaya layang-layang di Indonesia diperkirakan sudah ada sejak purbakala.
Sumber gambar, BBC/Haryo Wirawan
Hampir setiap daerah di Indonesia, kata Asep, punya budaya main layang-layang, mulai dari untuk mengucap syukur kepada dewa, mengusir hama, hingga sekadar melepas penat.
“Budaya bermain layangan sudah turun-temurun dari nenek moyang kita, jadi tidak akan mati,” katanya.
Walau begitu, Asep mengakui bahwa bermain layang-layang di masa modern seperti sekarang memang harus lebih berhati-hati karena situasi lingkungan sudah berkembang pesat, terutama di perkotaan.
“Memang harus hati-hati, terutama anak-anak. Mereka sering asal main aja, enggak lihat potensi bahaya di sekitarnya,” tutur Asep.
Sumber gambar, BBC/Haryo Wirawan
Menurut Asep, bermain layang-layang bisa menimbulkan bahaya di berbagai tempat lain, tak hanya di dekat bandara.
Tahun lalu, misalnya, seorang anak laki-laki meninggal dunia tertabrak mobil di jalan Tol Cinere-Jagorawi. Dia diduga tak sengaja masuk ke jalan tol ketika mengejar layang-layang yang putus.
Pada 2020, layangan berukuran besar juga jatuh ke salah satu gardu listrik di Bali. Akibatnya, 70 ribu pelanggan PLN mengalami gangguan listrik di rumahnya.
Kepolisian akhirnya menahan pria yang menerbangkan layang-layang itu.
Kekurangan lahan bermain
Anak-anak di sawah dekat Bandara Soekarno-Hatta menyatakan mereka tidak ingin menimbulkan bahaya, apalagi untuk pesawat. Namun, mereka mengaku tak punya tempat lain untuk menerbangkan layang-layang.
Merujuk pada penelitian Royal Melbourne Institute of Technology (RMIT), Jakarta dan sekitarnya memang kehilangan 31% ruang terbuka hijau sepanjang 2000-2020 karena pembabatan hutan dan lahan untuk membangun jalan dan apartemen.
“Enggak ada tempat lagi di sini. Ada satu tempat lagi, sih, tapi ya masih dekat bandara juga,” kata Rasha, seorang remaja berusia 17 tahun yang kerap membuat dan menjual layang-layang di dekat bandara.
Rasha bercerita bahwa dia dan anak-anak lainnya sudah biasa bermain layang-layang di sana sejak kecil. RT/RW bahkan beberapa kali menggelar festival dan lomba layang-layang.
Sumber gambar, BBC/Haryo Wirawan
Rasha mengaku bingung karena RT/RW seolah mendukung mereka bermain layang-layang, tapi dia sering menjadi incaran petugas patroli.
“Polisi bahkan pernah datang ke rumah buat bakar dua layangan saya, sama benangnya juga. Setelah itu, saudara-saudara memarahi saya, bilang jangan main layangan tinggi-tinggi lagi, tapi belakangan saya main lagi,” tutur Rasha.
“Ya, bahaya, sih, tapi kalau layangan sudah diambil begitu, enggak ada takut lagi,” sambungnya.
Pengamat penerbangan, Alvin Lie, memperingatkan bahwa situasi seperti ini tak bisa dibiarkan terus-menerus. Dia pun mendesak pemerintah untuk bertindak tegas.
“Terutama untuk warga dewasa yang terbukti sengaja menerbangkan layangan di dekat bandara, harus ditindak tegas. Sudah ada kok aturan pidananya,” katanya.
Putu tak menutup kemungkinan membawa masalah ini ke jalur hukum. Namun, Putu mengatakan bahwa pihaknya lebih ingin mengedepankan edukasi jika berhadapan dengan anak-anak.
Di tengah dilema ini, Asep mencoba mencari jalan tengah.
“Menurut saya, memang seharusnya ada peraturan atau larangan, jangan dekat bandara, tapi susah. [Mereka] tinggalnya di situ. Satu-satunya cara, mungkin bisa diminta menerbangkannya jangan tinggi-tinggi,” katanya.
Saat ini, sebagian anak di dekat bandara mengaku sudah mulai paham bahaya. Mereka terlihat setidaknya mulai saling mengingatkan agar tak menerbangkan layang-layang terlalu tinggi.