Sumber gambar, Bloomberg/Getty Images
Rencana pembangunan peternakan babi di Jepara, Jawa Tengah, memantik penolakan dari sejumlah kelompok agama dan masyarakat. Sebelum Majelis Ulama Indonesia Jawa Tengah menerbitkan fatwa haram awal Agustus lalu, sejumlah peternakan babi telah berdiri di Jepara dan menghasilkan hampir 2.000 kilogram daging babi pada 2024.
Berbagai media massa memberitakan bahwa peternakan yang disengketakan hendak didirikan oleh PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk, dengan nilai investasi yang disebut Pemerintah Daerah Jepara bernilai Rp10 triliun.
Namun dalam keterangan tertulis yang mereka sebarkan kepada media massa, perusahaan itu membantah berencana membuka peternakan babi di Jepara.
Perusahaan yang dikenal memproduksi olahan pangan seperti nuget ayam itu membuat klaim, pihak tertentu menyebar surat palsu dengan dengan kop PT Charoen Pokphand Indonesia.
Dalam polemik yang terjadi, Bupati Jepara Witiarso Utomo menyebut pemerintahannya tidak menolak investasi. Meski begitu, kata Witiarso, rencana pembukaan peternakan babi harus mendapat restu ulama dan dan tokoh agama.
Alasannya, klaim Witiarso, “masyarakat Jepara memiliki kultur Islam yang kuat”.
Ketua MUI Jawa Tengah, Ahmad Darodji, bilang pihaknya menerbitkan fatwa haram setelah mendapatkan masukan dari “tokoh agama dan kelompok masyarakat” yang menolak peternakan babi di Jepara.
Apa yang diketahui dari polemik peternakan babi di Jepara sejauh ini?
Bagaimana duduk perkara penolakan peternakan babi?
Rencana pembangunan peternakan babi menyeruak di tengah masyarakat Jepara pada awal Juli via media sosial.
Seiring waktu, perbincangan di dunia maya itu meluas dan bergulir ke arah penolakan.
BBC News Indonesia belum bisa memverifikasi asal muasal seruan penolakan media sosial tersebut, tapi salah satu yang gencar menyuarakan adalah Yayasan Al Husna Internasional—pesantren di Jepara, yang mengunggah penolakan mereka atas rencana pembangunan peternakan babi di Facebook.
Sumber gambar, AFP/Getty Images
Dalam unggahan pada 28 Juli itu, Al Husna Internasional tidak menyebut nama perusahaan yang akan membuka peternakan di Jepara. Mereka menekankan soal potensi penyebarluasan najis akibat keberadaan peternakan tersebut.
Unggahan itu juga menggugat pejabat dan tokoh-tokoh agama setempat, dengan tulisan, “Ya, monggo derek dipikir. Kulo sih NO.”
Pada hari-hari setelahnya, penolakan kian meluas. Berbagai spanduk penolakan bermunculan di sejumlah titik di Jepara, baik dari lembaga swadaya masyarakat maupun kelompok keagamaan.
MUI Kabupaten Jember kemudian meminta pendapat MUI Jawa Tengah. Pada kesimpulannya, MUI Jawa Tengah menerbitkan fatwa haram pada 1 Agustus 2025.
Apa alasan MUI Jawa Tengah menerbitkan fatwa?
Dalam salinan fatwa bertarikh 1 Agustus 2025—yang diteken Ketua MUI Jawa Tengah, Ahmad Darodji, dan tiga petinggi lain—mereka mengharamkan pembangunan peternakan babi di Jepara “karena mayoritas masyarakat di kabupaten itu beragama Islam dengan tingkat religiositas tinggi”.
Mereka juga menyitir sejumlah hukum Islam yang menyatakan “bahwa babi adalah hewan haram dan najis berdasarkan hukum Islam”.
Oleh karena itu, terang MUI Jawa Tengah, “Usaha peternakan maupun budidaya babi, baik secara tradisional maupun modern mempunyai hukum yang sama dalam hal keharamannya.”
Sumber gambar, NurPhoto/Getty Images
Selain mengharamkan budidaya babi, MUI Jawa Tengah juga mengharamkan masyarakat menjadi pegawai peternakan babi, memberi izin usaha peternakan, dan membantu serta memfasilitasi berdirinya peternakan.
Ahmad Darodji mengatakan, fatwa haram itu berlaku untuk seluruh Jawa Tengah.
“MUI Jawa Tengah kewenangan se-provinsi. Jepara itu kasus,” ujar Darodji kepada BBC News Indonesia.
Perihal musabab terbitnya fatwa haram itu, Darodji mengklaim bermula dari permintaan kepada MUI Jawa Tengah. Mereka kemudian membahasanya lalu menerbitkan fatwa.
“Bukan hanya keresahan, tapi ada permintaan kepada kami agar ada fatwa itu. MUI itu kan pengayom umat, pelayan umat. Bimbingan dan pedoman kepada sesama muslim,” ujarnya.
Pemerintah Kabupaten Jepara menyatakan bahwa nilai investasi peternakan babi mencapai triliunan rupiah. Sejumlah pihak juga menyebut angka itu bisa menjadi pendorong ekonomi Jepara.
Babi hasil peternakan juga disebut akan diekspor, bukan untuk konsumsi masyarakat Jepara atau memenuhi permintaan di dalam negeri.
Apakah MUI Jawa Tengah mempertimbangkan rencana investasi yang muncul?
Darodji berkata, “Babi memang ada manfaat, tapi mudaratnya lebih banyak. Makanya Islam menyatakannya bersifat haram.”
Selain MUI Jawa Tengah, penolakan terhadap rencana pembangunan peternakan juga datang dari Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Jepara yang mengeluarkan tiga rekomendasi pada 3 Agustus 2025.
Sumber gambar, AFP/Getty Images
Tiga rekomendasi yang dituangkan dalam Surat Keputusan Nomor 36/PC.01/A.II.01.03/1416/08/2025.
Mereka meminta Pemda Jepara tidak mengizinkan pendirian peternakan babi di seluruh wilayah Jepara, dan usaha-usaha lain yang bertentangan dengan kultur religius masyarakat.
Lembaga itu juga mendorong “pengambilan kebijakan yang mendukung kesejahteraan dunia dan akhirat masyarakat”.
Mereka menyerukan agar pemerintah bekerja lebih kreatif dan sungguh-sungguh dalam menggali potensi daerah dari “sumber-sumber yang halal dan legal”.
Surat rekomendasi itu ditandatangani Rais Syuriah Pengurus NU Jepara Khayatun Abdullah Hadziq, Katib Syuriah Nasrullah Huda, Ketua Tanfidziyah Charis Rohman, dan Sekretaris Ahmad Sahil.
Bagaimana komentar Bupati Jepara dan berapa nilai investasi peternakan babi yang diwacanakan?
Bupati Jepara, Witiarso Utomo, mengatakan tidak akan menerbitkan izin peternakan babi tanpa restu tokoh agama dan ulama setempat.
“Setiap keputusan kebijakan di Jepara, termasuk soal investasi, harus sejalan dengan dawuh kiai dan fatwa MUI yang merupakan lembaga pemerintahan yang berwenang mengeluarkan fatwa. Tanpa persetujuan dari MUI, NU, dan tokoh agama lainnya, izin tidak akan kami keluarkan,” kata Witiarso.
Witiarso menyebut nilai investasi peternakan babi berkisar Rp10 triliun, sebuah nilai yang cukup besar untuk mendorong perekonomian kabupaten di pesisir utara Jawa itu.
“Setiap ekor babi dikenakan retribusi Rp300.000 dan juga akan CSR untuk masyarakat Jepara, ujar Witiarso, menjabarkan sejumlah keuntungan.
Sumber gambar, Dokumen Pemkab Jepara
Witiarso menyebut dirinya tidak menolak investasi di Jepara. Sebaliknya, dia mengakui investasi dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.
Namun Witiarso ingin bersikap hati-hati agar investasi tidak menimbulkan kegaduhan di masyarakat.
“Kami rekomendasikan [kepada perusahaan], kalau mau selesaikan ke MUI dan tokoh masyarakat dulu karena hal ini sensitif,” katanya.
Bagaimana komentar masyarakat Jepara?
Pendiri dan pengasuh Yayasan Pendidikan Pesantren Al Husna Internasional, Akhmad Mundoffar, yang gencar menolak rencana peternakan di Jepara menyebut peternakan babi di wilayahnya berpotensi menyebarluaskan najis.
“Ini kan proyek besar. Orang yang bekerja, misalnya, mampir ke pom bensin atau ke mana akan membawa ajis yang bisa membahayakan keabsahan ibadah orang-orang di Jepara,” kata Akhmad.
Yayasan Pendidikan Akhmad adalah salah satu yang vokal menolak rencana pendirian peternakan sejak awal.
Akhmad bilang, dia menyatakan penolakan karena tidak ingin pemerintah mengambil kebijakan yang berseberangan dengan kepentingan mayoritas warga.
“Pasti akan jadi masalah,” ujarnya.
Sumber gambar, AFP/Getty Images
Akhmad menyarankan perusahaan mencari lokasi lain untuk mendirikan peternakan babi, meskipun Jepara berpotensi kehilangan nilai investasi besar yang bisa mendorong perekonomian.
“Apapun alasannya yang jadi pijakan, entah tentang PAD (Pendapatan Asli Daerah) atau income, pemerintah harus menjadikan rakyat sebagai tolak ukur,” kata Akhmad lagi.
“Tidak ada untungnya nanti. Haramnya jelas, najisnya jelas.”
Peternakan babi direncanakan dibangun di Desa Jugo dan Desa Blingoh di Kecamata Donorojo yang berjarak sekitar 40 kilometer dari pusat kota Jepara.
Bagaimana komentar warga sekitar lahan yang diproyeksikan menjadi peternakan?
Sekretaris Desa Jugo, Rumadi, enggan berkomentar lebih lanjut dengan mengatakan, “Baru ada sekadar info. Kami belum bisa bersikap dulu.”
“Intinya, kami masih menunggu petunjuk.”
Sumber gambar, AFP/Getty Images
Rumadi berkata, Desa Jugo dihuni sekitar 1.050 jiwa dengan 65% di antara mereka beragama Islam.
Rumadi menyebut investor sempat datang sekali ke kampungnya sekitar dua bulan lalu untuk bertanya-tanya perihal rencana lokasi peternakan. Kala itu, lokasi yang dipertimbangkan adalah lahan tegalan seluas 68 hektare.
Lahan itu mayoritas diisi ketela dan pohon jati, serta sekitar 10 hektare lainnya berupa sawah tadah hujan yang dipanen setahun sekali, terang Rumadi.
Dengan nilai investasi yang disebut mencapai triliunan, apakah Rumadi melihat potensi dampak ekonomi jika peternakan jadi dibangun?
Dampak positif, mungkin warga kami yang Sebagian merantau bisa bekerja di sana [peternakan], tapi negatif, ya, ada juga. Mungkin dampak sosial seperti orang luar jadi masuk ke sana [Jugo],” pungkas Rumadi.
Perusahaan apa yang akan membangun peternakan babi di Jepara?
Merujuk berbagai pemberitaan dan perbincangan yang terjadi di Jepara, pembangunan peternakan babi diajukan PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk.
Mengurip situs perusahaan, PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk adalah salah satu perusahaan bidang peternakan dan produksi daging ayam dan sapi yang berhulu pada konglomerat Thailand, keluarga Jiaravanon.
Sejumlah produk olahan popular yang didistribusikan perusahaan ini, antara lain, jenama Fiesta dan Champ.
Namun dalam keterangan tertulis kepada media massa, perusahaan ini membantah hendak membangun peternakan babi di Jepara. Mereka menuding terdapat sejumlah orang yang membuat surat palsu berkop perusahaan mereka.
“Kami tidak pernah merasa akan mendirikan perternakan babi dan berkirim surat ke MUI, maka kami mulai melakukan penelusuran dan perlu melakukan klarifikasi,” kata Direktur Bidang Hukum dan Kepatuhan CPIN, Yustinus B Solakira.
Yustinus membuat klaim, perusahaannya tidak pernah mempekerjakan orang bernama Arip Abidin yang namanya tertera pada surat viral kepada MUI.
“Surat tersebut memalsukan nama perusahaan kami. Informasi ini penting diketahui MUI Jawa Tengah sekaligus masyarakat,” kata Yustinus.
Sumber gambar, AFP/Getty Images
Namun Yustinus mengeluarkan pernyataan itu, Bupati Jepara, Witiarso Utomo menyebut perusahaan berbasis di Thailan itu memilih kabupatennya sebagai lokasi peternakan karena ketersediaan jagung untuk pangan yang melimpah dan dekat dengan pelabuhan.
Topografi Jepara yang sedikit berlembah dan dekat dengan pantai disebut juga menjadi alasan dari perusahaan, kata Witiarso.
Baik Witiarso maupun perusahaan belum memerinci target produksi di peternakan yang akan dibangun di Jepara.
Witiarso hanya mengatakan ahwa babi yang diternakkan di sana akan diimpor dan hasilnya nanti sepenuhnya diekspor.
BBC Indonesia menghubungi perusahaan pada nomor yang tertera di situs terkait polemik dan alasan memilih Jepara, tapi sampai saat ini belum beroleh balasan.
Jepara rupanya sudah memiliki peternakan babi, bagaimana komentar pejabat dan warga?
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah, provinsi itu memproduksi daging babi sebanyak 2.551.541 kilogram pada 2024 atau naik dari tahun sebelumnya yakni 2.323.155 kilogram.
Daerah produsen daging babi terbesar di Jawa Tengah adalah Kota Pekalongan yakni sebesar 1.348.188 kilogram, disusul Kabupaten Sukoharjo sebesar 520.758 kilogram.
Kabupaten Jepara, pada laman tersebut tercatat sudah memiliki peternakan babi, dengan produksi daging sebesar 1.956 kilogram.
Produksi daging babi Jepara naik dibanding 2023 yang sebesar 1.870 kilogram.
Adapun populasi babi di Kabupaten Jepara pada 2024, menurut BPS, berkisar 237 ekor atau naik dari tahun sebelumnya yaitu 234 ekor.
Secara keseluruhan, populasi babi ternak di Jawa Tengah pada 2024 mencapai 48.526.
Merujuk data tersebut, Jepara artinya sudah menjadi salah satu daerah produsen daging babi ternak.
Bagaimana komentar pemerintah daerah dan mereka yang menolak rencana pembangunan peternakan, melihat data ini?
Ketua MUI Jawa Tengah, Ahmad Darodji, berdalih fatwa haram baru muncul saat ini karena baru ada keluhan dan permintaan dari masyarakat.
“Belum ada keluhan masyarakat. Kami terlambat, ya, boleh saja. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali,” ujar Darodji.
Darodji menambahkan, jika daerah lain yang memiliki peternakan babi nantinya juga meminta fatwa, maka lembaganya akan mengeluarkan seruan serupa.
“Sukoharjo minta, ya, kami berikan. Kami enggak mencari-cari,” katanya.
Sumber gambar, Getty Images
Pendiri Pesantren Al Husna Internasional, Akhmad Mundoffar, mengatakan penolakan baru terjadi kali ini disebabkan peternakan yang akan dibangun berskala besar.
“Peternakan babi yang sudah ada itu skala kecil,” ujar Akhmad Mundoffar.
Lantaran berskala kecil, ia menduga keberadaan peternakan babi yang sudah ada tidak terendus masyarakat Jepara sehingga kemudian tidak mematik protes.
“Sekarang ini sangat besar, potensi penyebaran najis luar biasa,” katanya, seraya menambahkan bahwa dengan polemik saat ini pemerintah semestinya menyetop keseluruhan aktivitas peternakan babi di Jepara.
“Yang sudah berjalan harusnya diminimalisir tau ditutup sekalian,” terangnya.
Apakah Pemerintah Jepara akan menutup peternakan yang sudah ada, seiring penolakan terhadap rencana peternakan baru?
“Kalau ditutup tidak, jika regulasi tidak disalahi. Kan berhak juga,” kata Bupati Witiarso Utomo.
Bagaimana komentar pengamat dan pemerintah pusat?
Pengamat ekonomi syariah Adiwarman Karim mengatakan, pembangunan semestinya mempertimbangkan beragam hal, salah satunya faktor sosial berupa respons masyarakat atas pembangunan tersebut.
“Keresahan sosial akibat pembangunan merupakan aspek eksternalitas,” kata Adiwarman.
Lantas, apakah penolakan di Jepara adalah perihal yang dapat diterima?
Sumber gambar, AFP/Getty Images
Dia mengatakan, “Dari sisi pemerataan ekonomi, penempatan peternakan babi di wilayah yang masyarakatnya dapat menerima, seperti Bali, Nusa Tenggara Timur, atau Toba, akan memperbaiki kritik pembangunan yang jawasentris.”
“Itu bagian dari konsep sustainable development yang memperhatikan lingkungan, ekonomi, dan sosial,” katanya kepada BBC News Indonesia.
Merujuk data BPS, produksi daging babi di Indonesia pada 2024 tercatat 130 ribu ton, dengan separuh di antaranya bersumber dari Bali.
Produksi daging babi di Indonesia sendiri terus menurun dalam lima tahun terakhir. Penurunan itu disebabkan wabah African Swine Fever (ASF) yang merebak di sejumlah wilayah Asia, termasuk provinsi produsen daging babi di Tanah Air seperti Sumatera Utara dan Nusa Tenggara Timur.
Sumber gambar, Bloomberg/Getty Images
Pada 2020, produksi daging babi Indonesia tercatat 280.937 ton (sekitar 280.937.000 kilogram) menjadi 130.871 ton (sekitar 130.871.000 kilogram).
Selain konsumsi dalam negeri, babi asal Indonesia selama ini juga diekspor, salah satunya ke Singapura.
Staf ahli Kementerian Hak Asasi Manusia, Rumadi Ahmad, meminta investor dapat mempertimbangkan aspirasi masyarakat di suatu daerah sebelum memulai usaha, termasuk dalam di Jepara.
“Dalam bisnis dan hak asasi manusia, ada rambu-rambu yang harus diperhatikan. Jangan sampai demi investasi justru menimbulkan persoalan di masyarakat,” ujar Rumadi yang juga berasal dari Jepara.
Menurut Rumadi, Indonesia saat ini memiliki Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2023 tentang Strategi Nasional Bisnis dan Hak Asasi Manusia yang salah satunya menyatakan bahwa pelaku usaha memiliki tanggung jawab menghormati hak asasi manusia.
“Dalam konteks investasi seperti peternakan babi, lebih baik investor juga memerhatikan sikap masyarakat. Karena bagaimana pun persoalan babi punya nuansa keagamaan lumayan tinggi,” ujarnya.
Apa dampak protes di Jepara terhadap peternak babi di daerah lain?
Alexander Kasim, salah seorang pemilik peternakan babi di Karanganyar, Jawa Tengah, mengaku peristiwa di Jepara tidak mengganggu usahanya.
Ia berpendapat, penolakan warga di Jepara mungkin disebabkan karena daerah tersebut bukan menjadi sentra peternakan babi.
“Jepara kan mungkin dulu belum pernah. Mungkin mereka [pengusaha] cari lokasi aman [dari wabah ASF],tapi masyarakatnya Jepara belum bisa menerima,” kata Alexander.
Sejak awal, ia dan warga sekitar peternakan babi sudah memiliki hubungan baik, bahkan sejumlah arga bekerja di peternakannya.
“Saya terjun [peternakan babi] sejak 2005.Sampai sekarang enggak ada penolakan. Maksudnya, [penolakan] benar-benar harus tutup, itu enggak ada,” katanya.
Alexander memiliki dua peternakan babi di Karanganyar, bahkan salah satunya berlokasi di kampung yang mayoritas warganya beragama Islam.
“Cuma dipisahkan sawah saja. Ada sawah dan Gudang, lalu ada kampung kecil. Di situ satu RT dan mayoritas Muslim, malah 100 persen Muslim,” kata Alex.
Bagaimana komentar warga yang tinggal dekat peternakan babi di Karanganyar?
Salah satu warga yang bernama Wardi (62) yang tinggal tidak jauh dari salah satu peternakan babi di Karanganyar, Jawa Tengah, mengaku tidak masalah tinggal tak jauh dari peternakan.
Menurut dia, keberadaan kandang babi itu justru membuka kesempatan kerja bagi warga sekitar.
“Dari dulu itu yang rumahnya dekat [peternakan] itu dulu banyak yang kerja di sini. Kalau sekarang tinggal sedikit karena penyakit [ASF] itu. Warga ini juga nggak menolak adanya peternakan babi itu,” kata Wardi.
Sebagai seorang muslim, ia mengaku tidak terganggu keimanannya meskipun tempat tinggalnya berdekatan dengan peternakan babi. “Mboten ganggu [keimanan],” ujar dia.
Hubungan yang harmonis antara warga dengan pemilik peternakan babi tersebut juga terlihat dari keberadaan hamparan sawah yang cukup luas di sekitar kandang peternakan babi yang dikelola oleh warga.
Menurut dia, sawah tersebut merupakan milik peternak babi, tapi memang diserahkan untuk warga secara bergantian.
“Ini kan dikasih sawah ini suruh ngelola. Ini semua punyanya yang milik kandang babi,” katanya.
Sumber gambar, AFP/Getty Images
Hasil dari pengelolaan sawah itu, menurut dia, tidak diminta oleh sang pemilik peternakan tetapi disuruh untuk dimasukkan ke kas kampung.
Warga kampung lainnya yang bernama Dakir (65) juga tidak mempermasalahkan keberadaan kandang peternakan kandang babi di kampungnya. Sejak awal, warga malah mempersilakan pemilik peternakan babi tersebut untuk membangun kandang di kampungnya tersebut.
Selain tidak merugikan warga, Dakir mengakui keberadaan peternakan babi itu justru membawa manfaat secara ekonomi bagi warga sekitar, seperti penyediaan apangan pekerjaan dan memutar perekonomian warung-warung di sekitar peternakan.
Dakir pun menegaskan keberadaan kandang babi itu sama sekali tidak melunturkan rasa keimanannya sebagai seorang muslim.
Bahkan, keberadaan peternakan babi itu juga disusul dengan berdirinya musala kampung yang tak jauh dari kandang tersebut.
“Waktu berdirinya ternak, kampung sebelah belum ada musola, lantas yang bikin musolanya sebagian dari Pak Robby [pemilik peternakan],” kata Dakir.
Arie Firdaus di Jakarta, Nugroho Putra di Jepara dan Fajar Sodiq di Solo berkontribusi pada laporan ini