Sumber gambar, Antara Foto
Presiden Prabowo Subianto berencana membagikan 330 ribu televisi pintar (smart TV) bagi sekolah di semua jenjang pendidikan untuk mendukung proses belajar mengajar.
Pengamat menilai rencana itu menunjukkan bahwa pemerintah gagal memahami masalah mendasar dalam dunia pendidikan di Indonesia. Proyek ini dikhawatirkan akan membuka celah korupsi, seperti pengadaan laptop yang kini menjerat eks menteri Nadiem Makarim.
Proyek laptop pada era Nadiem memimpin Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, menurut Kejaksaan Agung, ditengarai merugikan negara Rp1,98 triliun.
“Pemerintah enggak punya perspektif pendidikan dalam mengelola pendidikan… Saya khawatir kita jatuh ke lubang yang sama,” ujar Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia, Ubaid Matraji.
Sejumlah guru, terutama yang berbasis di kota besar, menyambut baik penyediaan televisi pintar ini. Namun sebagian guru yang berdinas di daerah pelosok menilai proyek ini sebagai “pemborosan” karena keterbatasan infrastruktur pendukung seperti listrik dan internet.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti pada 11 September lalu mengatakan, teve pintar hanya akan diberikan kepada sekolah yang sudah mengajukan permintaan. Ia menepis isu bahwa sekolah internasional juga akan menerima perangkat tersebut.
Apa yang direncanakan dari pengadaan teve pintar untuk sekolah?
Rencana pendistribusian smart TV berhulu pada arahan Presiden Prabowo Subianto saat peringatan Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2025.
Kala itu, Prabowo menyebut akan membagikan satu unit teve pintar untuk setiap sekolah. Tujuannya, klaim dia, “untuk membantu proses pembelajaran jarak jauh”.
Menurut Prabowo, teve pintar dapat adalah solusi bagi para siswa di sekolah yang kekurangan guru. Mereka disebutnya dapat mengikuti pembelajaran secara daring lewat perangkat tersebut.
Sumber gambar, Antara Foto
Arahan Prabowo itu kemudian ditindaklanjuti Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah dengan menerbitkan surat edaran bertanggal 14 Agustus 2025.
Surat bernomor 2200/C4/DM.00/02/2025 tersebut meminta semua sekolah, baik negeri maupun swasta di seluruh Indonesia, untuk segera melengkapi formulir kesediaan menerima bantuan teve pintar.
Dalam pertimbangannya, surat edaran itu menyebut bahwa rencana pendistribusian perangkat adalah tindak lanjut Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2025 tentang Percepatan Pelaksanaan Program Pembangunan dan Revitalisasi Satuan Pendidikan serta menyitir pernyataan Presiden Prabowo saat peringatan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2025.
Sumber gambar, Antara Foto
Prabowo kembali mengulangi rencana pendistribusian Smart TV dalam pidatonya di sidang tahunan MPR, pada 15 Agustus silam.
Kala itu, Prabowo kembali mengatakan bahwa kebijakan ini bertujuan agar anak-anak di seluruh Indonesia bisa mendapat kesempatan belajar dari guru yang berkualitas, kendati hanya lewat audio-visual.
Setelah sempat tak ada kabar, rencana itu meramai kembali setelah Prabowo di sela-sela peninjauan Sekolah Rakyat Menengah Atas 10 Jakarta Selatan pada 11 September lalu mengatakan bahwa sebanyak 10 ribu sekolah telah mendapatkan smart TV.
Prabowo bilang, sebanyak 100.000 teve pintar akan kembali didistribusikan pemerintah pada November mendatang dan jumlahnya akan terus meningkat seiring waktu.
Prabowo menargetkan 330 ribu smart TV sudah akan didistribusikan untuk sekolah di semua jenjang pendidikan pada tahun ajaran 2025.
“Idealnya nanti satu kelas satu layar. Di situ [smart TV], pelajaran-pelajaran akan dihadirkan lewat konten terbaik, berupa animasi,” ujar Prabowo.
Sumber gambar, Antara Foto
Prabowo berpendapat, keberadaan teve pintar itu juga akan membantu siswa sekolah di daerah-daerah terluar, terdepan, dan tertinggal untuk mengakses guru-guru berkualitas.
Ia menyebut, pemerintah akan menyeleksi guru-guru terbaik untuk dapat dilibatkan dalam proses pembelajaran jarak jauh itu.
“Guru-guru terbaik tiap mata pelajaran kita akan seleksi, mungkin 20-30 guru terbaik akan siaran dari studio jarak jauh,” kata Prabowo.
“Kita bisa long-distance education, tele-education, untuk membantu daerah-daerah terluar dan terpencil. Termasuk juga daerah-daerah di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan juga lokasi yang guru-gurunya kurang,” klaim Prabowo.
Bagaimana komentar para guru?
BBC News Indonesia mewawancarai guru di sejumlah daerah, seperti Sumatera Barat dan Papua.
Beberapa menilai smart TV dapat menjadi altenatif meningkatkan minat belajar para siswa, terutama mereka yang berbasis di kota besar.
“Bagus sih. Media pembelajaran bertambah dan lebih modern,” kata Kepala Sekolah SMKN 7 Padang, Evy Fitriana.
Sebagai sekolah yang berlokasi di ibu kota provinsi, Evi menyebut infrastruktur pendukung seperti internet dan listrik tidak menjadi kendala berarti. Begitu pula soal kemampuan para guru dalam mengintegrasikan perangkat tersebut ke dalam proses belajar mengajar.
“Kalau guru nanti kami latih dulu dan berikan sosialisasi, bagaimana menyesuaikan [penggunaan smart TV] dengan materi pelajaran,” kata Evy.
Sumber gambar, Antara Foto
Berbeda dengan Evy, Kepala Sekolah SMAN 1 Pagai Utara Selatan, Kristin Filiana Maringga, belum dapat membayangkan efek teve pintar dalam proses belajar mengajar di sekolahnya.
Pagai Utara terletak di gugusan Kepulauan Mentawai yang berjarak sekitar 150 kilometer sisi barat Kota Padang.
Kristin menyebut infrastruktur pendukung seperti listrik dan internet “pas-pasan” di sekolahnya.
“Kecepatan internet di sini masih di bawah standar. Listrik PLN juga sering mati,” kata Kristin.
Dengan daya dukung yang minim, maka Kristin menyebut pengadaan teve pintar akan menjadi pemborosan.
“Saya ragu dengan smart TV ini karena daya dukung belum ada. Fungsi smart TV itu nanti bagaimana?” katanya.
Tak berbeda pernyataan Sutarji, salah seorang guru SMPN 14 Koya Koso di Kota Jayapura, Papua.
Sutarji berdinas di Koya Koso yang berjarak sekitar 20 kilometer ke pusat kota Jayapura. Sekolahnya juga belum memiliki jaringan internet.
“Kalau untuk sekolah saya yang ada di pinggiran kota seperti di Koya Koso, listrik kami ada, tapi hanya memang kebutuhan internet belum begitu memadai,” kata Sutarji.
“Saat ini, sekolah masih menggunakan internetnya dari orbit atau kadang dari ponsel masing-masing guru.”
Padahal, terang Sutarji, ia sudah memiliki gambaran soal pengintegrasian teve pintar ke dalam proses belajar mengajar. Salah satunya dengan memanfaatkan perangkat itu sebagai medium lembar kerja mandiri siswa.
“Agar aktivitas lebih berwarna dan efektif, siswa bisa maju ke depan untuk mengerjakan,” ujarnya.
Sumber gambar, Antara Foto
Rahmatullah, salah seorang guru SD Negeri Inpres Tanjung Ria Jayapura berpendapat, alokasi dana pengadaan teve pintar semestinya dialihkan untuk kebutuhan mendasar seperti perbaikan infrastruktur.
Pasalnya, infrastruktur sekolah di daerah-daerah masih tertinggal dibanding kota-kota besar.
“Dengan kondisi yang ada sekarang, sebenarnya lebih baik kalau dialihkan ke perbaikan,” kata Rahmatullah.
“Terutama daerah 3T, itu kan banyak sekali sekolah yang atapnya rubuh atau kursi tidak ada. Sedangkan smart TV hanya bisa di sekolah yang, misal, kapasitas listrik berapa dan tersedia internet.”
Alhasil, Rahmatullah pun belum memiliki bayangan perihal bagaimana ia mengintegrasikan teve pintar dengan proses belajar mengajar di sekolahnya.
“Ya, paling pengganti papan tulis aja sih,” ucapnya.
Bagaimana komentar pakar pendidikan?
Sejumlah pakar pendidikan menilai kebijakan itu sebagai bentuk ketidaktahuan pemerintah akan masalah mendasar di pendidikan Indonesia.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menilai tidak semua sekolah di Indonesia memiliki fasilitas listrik dan internet yang baik, terutama di daerah yang jauh dari perkotaan.
Dia pesimis teve pintar dapat memenuhi cita-cita Prabowo yang hendak meningkatkan kualitas pendidikan di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar—istilah pemerintah untuk daerah dengan “pembangunan buruk” dan “sulit diakses”.
“Kalau didistribusikan ke kota, sama saja enggak ada manfaatnya,” kata Ubaid.
Ubaid dan lembaganya menemukan sejumlah sekolah yang sejatinya tidak membutuhkan Smart TV, tapi telah menerima perangkatnya, seperti SMAN 1 Jakarta dan SMA Kolase Gonzaga.
“Saya enggak pernah tahu kajian [kebijakan teve pintar] seperti apa. Jadi, bagaimana kita berharap berdampak baik terhadap kualitas pendidikan kalau [kebijakan] suka-suka pejabat,” tuturnya.
Sumber gambar, Antara Foto
Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti menyebut sekolah-sekolah di Indonesia punya kelengkapan fasilitas dan infrastruktur yang berbeda.
Retno berkata, FSGI menemukan salah satu sekolah yang ada di pulau terluar di Indonesia yang bahkan tidak memiliki listrik.
“Ada guru yang cerita bahkan untuk menyalakan laptop saja harus menggunakan aki motor,” kata Retno.
“Jadi, FSGI bersikap sebaiknya kebijakan ini dibatalkan. Jangan sudah dibelikan, tapi tidak bisa dimanfaatkan.”
Ubaid dan Retno sependapat: pemerintah semestinya berfokus pada sejumlah hal mendasar, seperti peningkatan kualitas serta kesejahteraan guru, pembukaan akses pendidikan seluas-luasnya, dan peningkatan infrastruktur pendidikan.
“Anak enggak sekolah masih jutaan. Mengalokasikan dana untuk itu [anak putus sekolah] akan langsung bermanfaat,” ujar Ubaid.
Sumber gambar, Antara Foto
Berdasarkan catatan JPPI per Mei 2024, terdapat 3.094.063 anak yang tidak sekolah di Indonesia, salah satunya karena faktor keterbatasan ekonomi.
“Kebijakan itu disebut tepat sasaran jika sesuai dengan kebutuhan yang diajukan sekolah yang kemudian bisa dimanfaatkan untuk peningkatan kualitas pendidikan, tapi itu kan enggak ada [dalam kebijakan teve pintar],” lanjutnya.
“Pemerintah enggak punya perspektif pendidikan dalam mengelola pendidikan.”
Begitu pula pernyataan Retno yang menyebut pemerintah sebaiknya berfokus atas hal mendasar seperti peningkatan kualitas guru.
Ia menganalogikan guru sebagai seorang sopir yang jika punya keterampilan mumpuni akan mampu mengemudikan kendaraan apapun dengan baik.
“Nah, kurikulum itu seperti mobil. Kalau guru bisa nyetir, dia bisa bawa mobil apa saja. Bisa membawa anak-anak ini bergerak ke tempat yang lebih maju atau yang berkualitas,” terang Retno.
Perihal lain adalah peningkatan kesejahteraan guru, terang Retno.
“Pastikan guru di daerah tertinggal mendapat berbagai tunjangan keistimewaan sehingga mereka mau dan bersedia memajukan pendidikan di daerah 3T,” ujarnya.
Total anggaran Rp 79 triliun, tapi tanpa tender
Merujuk data Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), anggaran pengadaan teve pintar untuk sekolah di semua tingkat pendidikan tercatat sebesar Rp 7.909.277.430.000 atau Rp 7,9 triliun
Deputi Bidang Hukum dan Penyelesaian Sanggah LKPP Setya Budi Arijanto mengatakan, dana pengadaan Smart TV diambil dari pos anggaran Kementerian Dasar dan Menengah.
“Kalau enggak salah, harganya Rp 26 juta per unit,” kata Setya, dikutip dari Tempo.
Spesifikasi teve pintar yang dipatok pemerintah adalah berukuran 75 inchi dengan mode 75WM61Fe. Produk beroperasi dengan Android 13 dan kapasitas memori 16 gigabyte.
Perangkat ini membutuhkan tegangan listrik 100-240 volt dan sudah akan diintegrasikan dengan akun Merdeka Mengajar serta beragam aplikasi penunjang lain.
Setya menyebut, pengadaan teve pintar dilakukan dengan penunjukkan langsung—tanpa tender seperti program pengadaan pemerintah sebelumnya.
Sumber gambar, Antara Foto
Merujuk spesifikasi yang ditetapkan, LKPP kemudian memberikan penawaran untuk dua perusahaan elektronik yakni Acer dan Hisense. Keduanya dipilih karena dianggap mampu memenuhi kriteria dan punya TKDN di atas 25 persen.
Setelah negosiasi selama 20 hari, terang Setya, pemerintah kemudian memilih Hisense karena menawarkan harga yang lebih murah.
Terkait pengadaan tanpa tender, Setya pun berdalih tak ada hukum yang dilanggar.
Ia menyebut kebijakan itu telah merujuk Keputusan Presiden Nomor 46 Tahun 2025 tentang perubahan kedua atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Beleid tersebut menyatakan bahwa setiap program pemerintah yang berhubungan dengan digitalisasi tidak wajib menggunakan tender.
Alhasil, pengadaan teve pintarV tidak perlu melalui tender meskipun nilainya mencapai Rp 7,9 triliun.
Ubaid Matraji menyoroti pengadaan Smart TV tanpa tender. Ia khawatir pengadaan ini bakal bermuara seperti rencana pengadaan laptop Chromebook yang sempat digagas pemerintah sebelumnya.
Kebijakan itu belakangan justru berujung jerat korupsi untuk Nadiem Makariem dan sejumlah pejabat kementerian lain.
“Kenapa enggak belajar dari periode lalu soal pengadaan barang? Kok diulangi? Saya khawatir kita jatuh ke lubang yang sama [kasus korupsi],” kata Ubaid.
Sumber gambar, Antara Foto
Merujuk sejumlah platform jual-beli daring, harga teve pintar merek Hisense 75 inchi bervariasi, mulai dari kisaran Rp 11-15 juta untuk tipe 4K Google TV/AndroidTV dan QLED Google TV hingga tertinggi tipe ULED Premium Hisense 75U80H seharga Rp 36,9 juta
“Jadi smart TV apa yang per unitnya Rp 26 juta? Saya sempat beli, tapi enggak segitu,” ujar Ubaid.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Wana Alamsyah, mewanti-wanti perihal potensi penyelewenangan seiring penghapusan mekanisme tender dalam pengadaan teve pintar.
“Regulasi pengadaan barang tertutup tanpa tender itu membuka lebar-lebar celah untuk korupsi,” ujar Wana dalam keterangan tertulis pada 12 September.
Sumber gambar, Antara Foto
BBC News Indonesia menghubungi Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti terkait pengadaan teve pintar, tapi telepon dan pesan singkat yang dikirim belum beroleh balasan.
Namun, Mu’ti pada 11 September mengatakan teve pintar hanya akan didistribusikan untuk sekolah yang telah mengisi formulir persetujuan menerima perangkat.
“Kalau misalnya sekolah tidak bersedia dan karena kekeliruan dari distributor, maka bisa minta dikembalikan atau minta kami ambil,” kata Mu’ti kepada wartawan di kantornya.
“Kalau ada yang mengatakan sekolah tidak meminta, tapi kok dikasih, itu mungkin ada kekeliruan dari yang mengirim. Prinsipnya, pengiriman berbasis persetujuan sekolah.”
Ia pun menepis sekolah swasta internasional turut menjadi penerimanya.
Wartawan Halbert Chaniago di Padang dan Muhammad Ikbal Asra di Jayapura berkontribusi dalam laporan ini