Sumber gambar, ANTARA FOTO
Mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja, dituntut 20 tahun penjara dalam kasus dugaan kekerasan seksual terhadap tiga anak perempuan di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).
“Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan kekerasan seksual terhadap anak serta menyebarkan konten bermuatan kesusilaan,” ujar jaksa Arwin Adinata usai sidang tuntutan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Kupang), pada Senin (22/09), seperti dikutip dari Kompas.com.
Selain menuntut 20 tahun penjara, Jaksa Penuntut Umum (JPU) juga menuntut agar terdakwa membayar denda Rp5 miliar, subsidair satu tahun empat bulan kurungan, serta restitusi sebesar Rp359.162.000 melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Jika restitusi terhadap tiga korban tidak dibayar, kata jaksa, terdakwa akan menjalani hukuman subsidair empat tahun penjara.
Barang bukti berupa pakaian, handphone, laptop, serta rekaman video dirampas untuk dimusnahkan, sedangkan barang-barang milik korban dikembalikan.
Hal-hal yang memberatkan Fajar, menurut jaksa, terdakwa tidak mengakui perbuatannya dan tidak menunjukkan penyesalan. Kemudian, perbuatannya menimbulkan trauma mendalam bagi korban.
“Berdasarkan hasil pembuktian di persidangan, JPU menyatakan perbuatan terdakwa memenuhi unsur pidana sebagaimana dalam Dakwaan Pasal 81 Ayat (2) juncto Pasal 65 KUHP serta Pasal 45 Ayat (1) juncto Pasal 27 Ayat (1) UU ITE juncto Pasal 64 KUHP,” terang Kasi Penkum Kejati NTT, Anak Agung Raka Putra Dharmana, seperti dikutip dari Detik.com.
Kasus kekerasan seksual terhadap anak yang dilakukan polisi ini sempat viral beberapa waktu lalu dan memicu perdebatan publik. Sebagai aparat penegak hukum, oleh jaksa terdakwa dianggap mencoreng nama baik institusi dan merusak citra kepolisian.
Seperti diberitakan, AKBP Fajar diduga melakukan pelecehan seksual terhadap tiga anak di bawah umur dan satu orang dewasa berusia 20 tahun. Adapun, tiga korban anak di bawah umur tersebut, antara lain, berusia enam tahun, 13 tahun, dan 16 tahun.
Dalam sidang terpisah, jaksa juga menuntut terdakwa Fani dengan hukuman 12 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsidair satu tahun kurungan.
Fani diduga salah satu korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh Fajar, yang kemudian mengantar salah satu korban anak di bawah umur kepada eks Kapolres Ngada tersebut.
Satu tersangka baru ditetapkan
Sebelumnya, Direktur Reserkriminal Umum Polda NTT, Kombes Pol Patar Silalahi, menjelaskan tersangka F berperan mengantar salah satu anak kepada Fajar.
“SHDR alias Stefani alias Fani atau F ini yang berperan mengantar anak atau korban 1 yang berusia enam tahun itu kepada Fajar di Hotel Kristal Kupang yang peristiwanya pada tanggal 11 Juni 2024,” ujar Patar, pada Selasa (25/03).
Sementara itu, Fajar resmi dipecat dengan tidak hormat sebagai anggota Polri usai dinyatakan melanggar etik dalam kasus dugaan pelecehan seksual terhadap anak dan penggunaan narkoba pada Senin (17/03) silam.
Fajar dinyatakan bersalah melakukan perbuatan tercela dan dijatuhi sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) setelah diperiksa oleh Komisi Kode Etik Polri (KEPP).
“Putusan pada sidang Komisi Kode Etik Polri (KEPP), diputuskan PTDH sebagai anggota Polri [terhadap Fajar],” ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Trunoyudo Wisnu Andiko, saat konferensi pers, Senin (17/03).
Sumber gambar, Kompas.com
Trunoyudo menjelaskan perbuatan tercela yang dilakukan oleh Fajar kala menjabat sebagai Kapolres Ngada antara lain pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur, perzinahan tanpa ikatan yang sah, mengonsumsi narkoba, serta merekam dan mengunggah video kekerasan seksual.
Ditambahkan oleh Trunoyudo, Fajar menyatakan banding atas putusan pemecatan dengan tidak hormat yang dijatuhkan padanya.
Sebelumnya, Fajar ditetapkan sebagai tersangka atas sejumlah dugaan pelanggaran berat, termasuk pelecehan seksual terhadap anak-anak.
Penetapan status tersangka ini merupakan hasil dari serangkaian penyelidikan yang dilakukan oleh Divisi Profesi dan Pengamanan Polri dan Polda NTT.
Dari hasil penyelidikan, bukti-bukti yang ada mengarah pada dugaan berbagai pelanggaran berat yang telah dilakukan eks Kapolres Ngada, AKBP Fajar.
“Dari hasil pemeriksaan kode etik, ditemukan fakta FWLS (AKBP Fajar) melakukan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur tiga orang, dan satu orang usia dewasa,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Trunoyudo Wisnu Andiko, pada Kamis (13/03).
“Seluruh perbuatan terduga pelaku dapat dikonstruksikan patut diduga sebagai kejahatan terhadap hak-hak perlindungan anak,” sambung Trunoyudo.

Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

Sebanyak empat korban kekerasan seksual AKBP Fajar terdiri dari seorang anak berusia 6 tahun, seorang anak berusia 13 tahun, seorang anak berusia 16 tahun, dan perempuan berusia 20 tahun.
Selain melakukan kekerasan seksual, AKBP Fajar juga telah merekam, menyimpan, mengunggah, dan menyebarluaskan video kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur.
Bukti-bukti yang ditemukan dalam penyelidikan juga mengungkap bahwa AKBP Fajar diduga mengonsumsi narkoba.
Soal penyalahgunaan narkoba oleh AKBP Fajar, Divpropam Polri masih mendalami kasusnya.
“Terkait narkoba, sejauh ini berdasarkan penyelidikan dari wabprof, adalah pengguna,” kata Trunoyudo menjawab pertanyaan wartawan soal status hukum AKBP Fajar atas dugaan kasus narkoba.
Sumber gambar, ANTARA FOTO
Kepala Biro Pengawasan dan Pembinaan Profesi (Karowabprof) Divpropam Polri, Brigadir Jenderal Polisi atau Brigjen Pol. Agus Wijayanto, menyatakan, AKBP Fajar telah melakukan pelanggaran berat dan disangkakan pasal berlapis.
AKBP Fajar disangkakan pasal pelanggaran kode etik dan pasal tindak pidana. Eks kapolres Ngada itu disangkakan Pasal 13 Ayat 1 PP RI tentang Pemberhentian Anggota Polri, Pasal 8 Huruf C Angka 1, Angka 2, dan Angka 3, Pasal 8 Huruf D, Pasal 13 Huruf F dan Huruf G Angka 5 Peraturan Kepolisian Republik Indonesia tentang kode etik profesi dan komisi kode etik polri.
Selain itu, Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda NTT juga menyebut AKBP Fajar disangkakan Pasal 6 Huruf C, Pasal 12, Pasal 14 Ayat 1 Huruf A dan B, Pasal 15 Ayat 1 Huruf E, G, C, dan I Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Bukan hanya itu, eks kapolres Ngada itu juga disangkakan Pasal 45 Ayat 1 juncto Pasal 27 Ayat 1 UU No. 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU ITE, juncto Pasal 55 dan 56 KUHP, serta Pasal 6C, atas tindakannya merekam dan menyebarluaskan video tindak kekerasan seksual terhadap anak yang dilakukannya.

Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

AKBP Fajar ditangkap pada 20 Februari 2025 oleh tim Pengamanan Internal (Paminal) Polda NTT yang bekerja sama dengan Divisi Propam Mabes Polri.
Setelah ditangkap, Fajar langsung diamankan di Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut.
Sebagai bagian dari sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan, Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo telah mencopot AKBP Fajar dari jabatannya sebagai Kapolres Ngada dan memutasikannya ke Yanma Polri.
Keputusan ini dituangkan dalam surat telegram nomor ST/489/III/KEP/2025.
Saat ini, AKBP Fajar sudah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri.
Divpropam Polri akan menggelar sidang kode etik terhadap AKBP Fajar pada Senin (17/03).
Apa saja bukti-bukti yang telah ditemukan?
Tim penyidik dari Ditreskrimum Polda NTT mengungkapkan terdapat satu anak berusia enam tahun yang menjadi korban dugaan pencabulan oleh tersangka AKBP Fajar.
Korban dipesan oleh tersangka melalui seorang perempuan berinisial F. Setelahnya, F membawa korban ke hotel yang sebelumnya sudah dipesan AKBP Fajar.
Menurut Kapolda NTT, Irjen Daniel Tahi Monang Silitonga, pihaknya sedang mendalami dugaan bahwa perempuan berinisial F menerima imbalan sebesar Rp3 juta dari AKBP Fajar untuk menyediakan anak di bawah umur.
Dalam proses penyelidikan Polda NTT ke salah satu hotel yang kamarnya sudah dipesan, terbukti ada tanda pengenal yakni fotokopi Surat Izin Mengemudi (SIM) milik eks Kapolres Ngada tersebut.
“Jadi tidak terbantahkan lagi, adanya fotokopi SIM di resepsionis salah satu hotel tersebut, atas nama FWSL,” ujar Dirkrimum Polda NTT Komisaris Patar Silalahi saat konferensi pers di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (13/03).
Tidak hanya bukti rekaman CCTV dan dokumen pemesanan hotel, penyidik dari Polda NTT juga mengumpulkan barang bukti berupa hasil visum pelecehan seksual terhadap korban.
Kemudian, Polda NTT menemukan compact disc (CD) berisikan delapan rekaman video kekerasan seksual yang dibuat oleh AKBP Fajar.
Sumber gambar, Dok. Humas Polres Ngada
Sejumlah pengamat kepolisian menyebut dugaan kekerasan seksual terhadap anak-anak yang dilakukan Kapolres Ngada, Ajun Komisaris Besar Fajar Widyadharma Lukman, merupakan kasus pertama yang terungkap ke publik.
Bambang Rukminto dari dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) menyebut kejadian ini “sangat memalukan” bagi seorang penegak hukum apalagi terduga pelakunya adalah polisi dengan jabatan perwira menengah.
Pengamat kepolisian dari Universitas Islam Indonesia (UII), Eko Riyadi, juga bilang Polri harus menggunakan video yang diunggah di situs porno di Australia itu sebagai bukti permulaan untuk melakukan investigasi lebih jauh seperti tindak pidana perdagangan orang.
Menurut Eko, jika ada unsur perbuatan pidana dan pelanggaran hak anak, Polri harus membawa ke proses hukum pidana dan menggelar sidang etik. Hakim bisa menghukum pelaku dengan memperberat hukuman 1/3 dari yang seharusnya.
Dalam perkembangan terbaru, Direktur Reskrimum Polda NTT, Kombes Patar Silalahi, berkata terduga pelaku mengakui semua perbuatannya.
Terduga pelaku disebut memesan seorang anak perempuan berusia enam tahun melalui seseorang berinisial F yang disanggupi olehnya untuk menghadirkan anak tersebut di sebuah hotel di Kota Kupang pada 11 Juni 2024.
Namun hingga saat ini, Polri belum menetapkan statusnya sebagai tersangka sejak diperiksa Januari lalu.
Bagaimana kasus ini terungkap?
Kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh Kapolres Ngada, Ajun Komisaris Besar Fajar Widyadharma Lukman berawal dari informasi yang disampaikan Kepolisian Federal Australia pada Januari 2025.
Laporan dari pihak berwajib Australia itu mengemuka lantaran kemunculan video kekerasan seksual di situs porno negara itu yang ketika ditelusuri diunggah dari Kota Kupang.
Pihak Australia lantas melaporkan ke Divisi Hubungan Internasional Polri. Selanjutnya Hubinter Polri meneruskan surat berisi adanya dugaan kekerasan seksual tersebut ke Polda NTT pada 23 Januari 2025.
“Kami pun melakukan serangkaian penyelidikan yang dimulai pada 23 Januari 2025 sesuai dengan surat Hubinter Polri. Berdasarkan data-data dari surat itu kami melakukan penyelidikan ke salah satu hotel di Kota Kupang,” jelas Direktur Reskrimum Polda NTT, Kombes Patar Silalahi, dalam konferensi pers kepada wartawan, Selasa (11/03).
Selain penyelidikan ke hotel yang diduga menjadi tempat kejadian perkara, Polda NTT memeriksa setidaknya tujuh saksi.
Sumber gambar, Getty Images
Kemudian pada pertengahan Februari, sambungnya, Polda NTT membuat klaim telah mendapatkan hasil penyelidikan terkait adanya dugaan tindak pidana kekerasan seksual.
Hasilnya bahwa “peristiwa itu benar terjadi di salah satu hotel di Kota Kupang sekitar 11 Juni 2024”.
“Dari hasil penyelidikan itu juga benar diduga pelaku memesan kamar dengan identitas yang tidak terbantahkan lagi yaitu fotokopi SIM di resepsionis hotel atas nama FWL,” ujar Patar Silalahi.
Setelahnya, sambung Patar, pihaknya mengecek nama terduga pelaku tersebut merupakan salah satu anggota polisi yang berdinas di wilayah Polda NTT.
“Dan kami pastikan lagi di data SDM kita, benar itu anggota Polri aktif di jajaran wilayah Polda NTT.”
“Karena ini merupakan anggota, Reskrimum menyampaikan ke Kabid Propam pada 19 Februari 2025, kemudian berjenjang melapor ke pimpinan hasil penyelidikan ini,” jelasnya.
Siapa saja korban pelaku?
Patar Silalahi memaparkan terduga pelaku dipanggil untuk diinterogasi Propam Polda NTT pada 20 Februari 2025.
Dari hasil penyelidikan, terduga pelaku diketahui memesan seorang anak perempuan berusia enam tahun melalui seseorang berinisial F. Permintaan itu disanggupi oleh F yang kemudian menghadirkan anak tersebut di sebuah hotel di Kota Kupang pada 11 Juni 2024.
“Dari order tersebut F diberi imbalan Rp3 juta,” ujar Patar.
“Korban dibawa main, jalan-jalan, dan makan.”
Ia juga mengatakan proses interogasi itu berjalan lancar dan tak ada hambatan. Terduga pelaku, klaimnya, bahkan mengakui semua perbuatannya sesuai surat yang dikirimkan Hubinter Polri.
“Lalu pada 3 Maret 2025 kami melakukan gelar perkara dan naik sidik keesokannya. Jadi perkara ini sudah tahap sidik, tapi belum ada penetapan tersangka,” sebutnya.
Atas perkara ini, Kapolres Ngada, Ajun Komisaris Besar Fajar Widyadharma Lukman, akan dikenakan Pasal 6 huruf c dan Pasal 14 UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Rencananya pemeriksaan lanjutan terhadap terduga pelaku dilakukan pekan depan, lantaran saat ini dia masih berada di Jakarta.
Namun demikian, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Kupang, Imelda Manafe, menyebut sejauh ini ada tiga korban yang teridentifikasi masing-masing berusia 14 tahun, 12 tahun, dan 3 tahun.
Dari ketiganya, satu korban berusia 12 tahun sudah dalam pendampingan dinas.
“Saat penanganan awal, korban trauma. Tapi kami sudah bekerja sama dengan psikolog dan dinas sosial. Sekarang sudah masuk hari ke-20 kondisi korban sudah mulai pulih.”
“Tapi awal-awal itu trauma sekali dan takut ketemu dengan orang lain.”
Sementara untuk korban berusia 3 tahun, proses penangannya dilakukan di rumah melalui pendampingan orang tua yang bersangkutan.
“Namun korban satu lagi [berumur 14 tahun] sementara belum diketahui keberadaannya.”
“Para korban juga sementara ini sudah didampingi untuk pengambilan keterangan dari Mabes Polri.”
Bagaimana modusnya?
Berdasarkan informasi yang dihimpun, terduga pelaku diduga menyuruh orang lain untuk mengontak korban lewat aplikasi pesan instan gratis yang biasa digunakan untuk mencari teman baru.
Korban pertama diduga berusia 14 tahun itu. Ia dibujuk oleh terduga pelaku dengan mengajaknya makan di restoran sebuah hotel dan setelahnya dibawa ke kamar.
Di sana korban diduga kuat mengalami kekerasan seksual dan direkam.
Setelahnya, korban pertama didesak oleh terduga pelaku untuk mencari anak sebaya dengannya yakni korban kedua.
Kepala Bidang Humas Kepolisian NTT, Henry Novika Chandra, berkata kasus ini kini ditangani Mabes Polri. Terduga pelaku sedang menjalani pemeriksaan dan sudah berstatus non-aktif.
Dalam pemeriksaan diketahui, terduga pelaku dinyatakan positif penggunaan narkoba.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Sandi Nugroho menuturkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo berjanji bakal menindak tegas Kapolres Ngada yang diduga terlibat dalam perkara narkotika dan asusila.
“Anggota yang terbukti bermasalah, apapun pangkatnya, akan ditindak. Itu komitmen Pak Kapolri,” kata Sandi saat ditemui awak media di Auditorium Mutiara STIK Polri, Jakarta, Senin (10/03) seperti dilansir dari Tempo.co.
‘Ini fakta yang mengerikan’
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ai Maryati Solihah, mengaku terkejut dan tak menyangka atas apa yang dilakukan terduga pelaku Kapolres Ngada, Ajun Komisaris Besar Fajar Widyadharma Lukman.
Sebab seorang kepala kepolisian di suatu daerah semestinya menjadi pelindung bagi masyarakat, bukan pelaku kejahatan.
“Ini fakta yang mengerikan, harusnya polisi memberikan perlindungan malah menjadi pelaku. Mau bagaimana ke depannya anak-anak kita?” ungkap Ai Maryati kepada BBC News Indonesia.
Terkait kasus ini, Ai mendesak Polri agar tak berhenti pada kasus kekerasan seksualnya saja. Tapi mengembangkan kemungkinan adanya unsur tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Sumber gambar, Getty Images
Dalam perkara-perkara demikian, jelasnya, para pelaku tidak hanya melakukan eksploitasi secara seksual tapi juga demi memperoleh uang dengan menjual video bermuatan seksual ke situs pornografi.
“Ini bentuk kejahatan lainnya. Jadi eksploitasi seksual dan ekonomi untuk menghasilkan sejumlah uang. Kenapa pelaku memilih Australia? Kemungkinan karena konversi dolar ke rupiah besar.”
“Atau kalau di Indonesia, mudah ketahuan. Sehingga harus digali betul oleh polisi.”
Tapi lebih dari itu, Ai mewanti-wanti Polri agar tidak menutup-nutupi kasus ini dan mengungkap secara transparan lantaran terduga pelakunya merupakan petinggi kepolisian.
Kalau ditemukan keterlibatan pihak atau anggota kepolisian lain, jangan dibiarkan.
“Jangan-jangan selama ini [kasusnya] diketahui tapi dibiarkan karena ini bos… karena kapolres itu tokoh berpengaruh di suatu daerah. Saya menemukan sosok kapolres itu kayak raja kecil.”
Ia juga berharap agar korban betul-betul mendapatkan rehabilitasi mental dan fisik. Bahkan, kalau perlu diberikan hak restitusi.
Ini karena kerugian yang diderita para korban anak sangat besar dampaknya.
“Siapa yang menghitung kerugian anak? Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan yang harus membayar adalah pelaku.”
“Dan yang terpenting, kekerasan seksual tidak ada pencabutan laporan, bahkan upaya kekeluargaan, tidak ada.”
Pengawasan internal Polri disebut tak berjalan
Sejumlah pengamat kepolisian menyebut dugaan kekerasan seksual yang dilakukan Kapolres Ngada, Ajun Komisaris Besar Fajar Widyadharma Lukman, terhadap anak-anak merupakan kasus pertama yang terungkap ke publik.
Dan hal ini, menurut Bambang Rukminto dari dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) “sangat memalukan” bagi seorang penegak hukum apalagi dengan jabatan perwira menengah.
“Kejahatan seksual terkait anak-anak ini bisa dibilang extraordinary crime, makanya Polri juga harus segera melakukan Tindakan tegas. Gelar sidang etik dan pecat (PTDH) untuk segera bisa memproses pidana,” jelas Bambang Rukminto kepada BBC News Indonesia.
Senada dengan KPAI, Bambang juga meminta Polri tidak berhenti pada kasus kekerasan seksual semata, namun harus mengembangkan penyidikan pada tindak pidana pornografi bahkan tindak pidana perdagangan orang.
Sumber gambar, Getty Images
Kendati begitu dalam kasus ini, dia meyakini Polri tidak berupaya menutup-nutupi kelakukan anggotanya tersebut—apalagi perkaranya adalah kekerasan seksual pada anak yang disebutnya sangat memalukan.
“Kecuali oleh yang bersangkutan pasti ditutup-tutupi, karena ini aib dan terkait dengan perilaku penyimpangan.”
Hanya saja Bambang menduga kuat terduga pelaku tidak beroperasi sendirian dalam melakukan kejahatannya. Entah melibatkan sesama anggota polisi maupun pihak luar.
Masih soal perkara ini, dia juga mengkritik pengawasan internal Polri yang jauh dari harapan alias tidak berjalan. Padahal Polri sudah dibekali dengan satuan intelijen seperti Intelkam, Provost, dan Paminal Polri.
Dugaannya, lembaga-lembaga pengawas itu sudah mengetahui ada pelanggaran di antara anggota Polri, tetapi tidak ditindaklanjuti.
“Alasannya bisa karena ada kepentingan lain, semisal jangan sampai mempermalukan organisasi atau ada kedekatan-kedekatan emosional dengan atasan, makanya pengawasan melekat itu tidak berjalan.”
Persoalan lain, menurutnya, terletak pada kegagalan sistem manajemen sumber daya manusia di tubuh Polri. Hal ini terbukti dari proses promosi atau pemberian jabatan pada seseorang yang ternyata bermasalah.
“Makanya orang-orang yang berperilaku menyimpang justru malah mendapatkan jabatan. Ini baru satu kasus, sebelumnya ada kasus mantan Wadir Krimsus Polda Sumut Deni Kurniawan ketahuan berperilaku menyimpang juga dan dipecat karena memiliki kelainan seksual.”
“Mundur ke belakang ada kasus di Minahasa, ini menunjukkan bahwa fungsi pengawasan internal tidak berjalan dan manajemen sumber daya manusia lemah, sehingga mempromosikan orang-orang bermasalah.”
“Jadi sering kali promosi diberikan tidak secara profesional.”
Pengamat kepolisian dari Universitas Islam Indonesia (UII), Eko Riyadi, sependapat. Ia bilang pengawasan Polri sering kali baru efektif setelah kasusnya viral.
Adanya kasus ini, menurut para pengamat, membuat ketidakpercayaan publik pada Polri akan semakin besar dan menurunkan wibawa Kapolri jika tidak segera dituntaskan.
“Makanya memang harus ada evaluasi secara menyeluruh terkait manajemen sumber daya manusia di kepolisian.”
Wartawan Eliazar Robert di Nusa Tenggara Timur berkontribusi untuk laporan ini.