Sumber gambar, Antara Foto
Unjuk rasa berlangsung di berbagai kota di Indonesia sepanjang Senin (01/09), baik yang berlangsung singkat dan tanpa diwarnai kericuhan maupun yang diwarnai pembobolan gedung milik negara.
Pada Senin petang, Presiden Prabowo Subianto menyatakan akan memberikan penghargaan kepada para polisi yang dia sebut mengalami cedera saat mengamankan demonstran beberapa hari belakangan.
Prabowo datang ke Rumah Sakit Polri di Jakarta didampingi sejumlah petinggi kepolisian, termasuk Kapolri Jenderal Listyo Sigit. Rumah sakit itu, kata Prabowo, merawat 40 polisi yang cedera.
“Saya sudah tengok 13 orang. Ada yang [cedera] berat, kepalanya sampai harus operasi tempurung, diganti sama titanium,” ujar Prabowo kepada pers di depan rumah sakit tersebut.
Prabowo membuat klaim, sejumlah polisi yang dirawat “ada yang tangannya putus” dan “ginjalnya dinjak-injak”.
Merujuk kondisi itu, Prabowo menyatakan akan memberikan penghargaan kepada para polisi yang dia sebut terluka. Menurut Prabowo, para polisi itu “membela negara, membela rakyat menghadapi anasir-anasir”.
“Saya minta semua petugas dinaikkan pangkat luar biasa,” ujarnya.
Sumber gambar, Tim Media Presiden
Klaim Prabowo ini berbanding terbalik dengan temuan sejumlah lembaga sipil yang memantau institusi kepolisian.
Usai kericuhan di Jakarta, 29 Agustus lalu, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, KontraS, serta belasan organisasi swadaya sipil justru mengecam tindak-tanduk kepolisian merespons unjuk rasa masyarakat.
“Kepolisian kembali menunjukkan brutalitas yang mengerikan dan berulang,” begitu pernyataan tertulis mereka—tak lama setelah pengemudi ojek online Affan Kurniawan tewas dilindas kendaraan taktis milik Brimob.
“Brutalitas yang berulang telah menggerogoti kepercayaan publik terhadap negara dan penegakan hukum, menormalisasi penggunaan kekerasan sebagai respons terhadap aksi sipil, serta menjadi bentuk pembungkaman ruang demokrasi,” menurut koalisi lembaga sipil itu.
Sumber gambar, AFP via Getty Images
Setidaknya tujuh orang tewas dalam berbagai demonstrasi, terhitung sejak 28 Agustus lalu. Mereka adalah Affan Kurniawan di Jakarta dan empat orang di Makassar, yaitu Sarina Wati, Saiful Akbar, Rusdamdiansyah, dan Muhammad Akbar Basri.
Dua orang tewas lainnya adalah Rheza Sendy Pratama di Yogyakarta dan seorang penarik becak di Solo, Sumari, yang meninggal di sekitar lokasi bentrokan antara polisi dan pengunjuk rasa—meski dia tak mengikuti demonstrasi.
Di Manokwari, Papua Barat, seorang warga sipil bernama Septinus Sesa juga tewas usai mengikuti unjuk rasa yang berakhir ricuh dengan aparat. Demonstrasi di kota itu dipicu keputusan kejaksaan memindahkan empat tersangka kasus makar, Abraham Goram Gaman, Maksi Sangkek, Piter Robaha, dan Nikson Mai, dari Sorong ke Makassar.
Bagaimana unjuk rasa yang terjadi awal pekan ini?
Pagar Gedung DPRD Jawa Barat, di Jalan Diponegoro Kota Bandung, untuk ketiga kalinya dibakar massa aksi, Senin (1/9). Massa terlihat melempar bom molotov, petasan, dan kembang api ke bangunan tersebut.
Polisi kemudian memberikan peringatan sekitar pukul 18.15 WIB. Lima menit kemudian, polisi menembakkan gas air mata.
Sekitar pukul 19.00 WIB, tak terlihat lagi demonstran di area depan Gedung DPRD Jabar. Api yang membakar pagar gedung itu juga telah padam.
Sejak Senin siang, ratusan mahasiswa dari berbagai kampus di Kota Bandung berunjuk rasa di depan gedung dewan provinsi tersebut. Mereka menamai unjuk rasa itu dengan tema “Bandung Menggugat, Koreksi Indonesia”.
Pengunjuk rasa itu tergabung dalam Cipayung Plus. Nama itu merujuk kumpulan organisasi mahasiswa yang terdiri dari Himpunan Mahasiswa Islam, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia, dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia.
Kelompok itu didirikan pada 22 Januari di 1972 di Kecamatan Cipayung, Bogor, Jabar. Nama daerah itu melekat dengan mereka hingga saat ini.
Sumber gambar, Yuli Saputra
Sumber gambar, Yuli Saputra
“Komitmen kami untuk menyampaikan aspirasi secara damai tanpa kekerasan, kerusuhan, dan penjarahan,” ucap Amanda Rinjani, mahasiswi yang ditemui saat unjuk rasa.
Menurut Amanda, pidato yang disampaikan Prabowo, 31 Agustus lalu, tidak akan menyurutkan mahasiswa.
“Kami menghargai pidato yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto. Kami hadir untuk mengawal kebenaran pidato tersebut, ” ujarnya.
Para mahasiswa itu sempat membakar ban dan menyampaikan sejumlah orasi. Mereka membentangkan poster yang berisi sejumlah tuntutan, antara lain agar pemerintah dan DPR mengesahkan RUU Perampasan Aset dan tuntutan agar Prabowo mencopot Listyo Sigit dari jabatan Kapolri.
Sumber gambar, Antara Foto
Demonstrasi di depan gedung DPRD Sumatra Barat berlangsung tanpa kericuhan. Menurut pantauan di lapangan, sejumlah orang yang berusaha memanaskan suasana, tapi para pengunjuk rasa tidak mudah tersulut.
Sekelompok orang yang berada di dalam kerumunan massa tampak melempar botol, menggoyangkan pagar, bahkan berdebat dengan orator demonstrasi.
Para mahasiswa lantas menyoraki orang-orang itu dan mendesak mereka tidak menyulut emosi massa.
Dalam dinamika unjuk rasa ini, pimpinan DPRD Sumatra Barat bersama beberapa ketua fraksi menemui para demonstran.
“Kami menuntut agar DPRD Sumbar mendesak DPR meminta maaf atas kisruh yang terjadi selama ini,” kata Ketua Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Sumbar, Pandu, di depan Ketua DPRD Sumbar, Muhidi.
“Kami menuntut anggota DPRD Sumbar untuk berbenah diri dalam mendengarkan aspirasi rakyat Sumatra Barat,” ujar Pandu.
Sumber gambar, Antara Foto
Sumber gambar, Halbert Chaniago
Seperti pengunjuk rasa di Bandung, para mahasiswa yang berdemo di Padang juga mendesak DPR mengesahkan RUU Perampasan Aset.
“Kami juga menuntut Presiden Republik Indonesia untuk melakukan revolusi birokrasi besar-besaran di tubuh Polri,” kata Pandu, dari GMNI.
Setelah berorasi, para pengunjuk rasa meminta pimpinan DPRD Sumbar menandatangani berkas tuntutan mereka. Tak lama, seluruh pendemo membubarkan diri dari halaman Kantor DPRD Sumbar.
Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Semarang Raya melaksanakan audiensi terbuka dengan DPRD Jawa Tengah di Simpang Lima Semarang, Senin siang.
Tidak seperti yang terjadi sebelumnya, tidak ada pelajar yang terlihat mengikut unjuk rasa ini. Hampir seluruh mahasiswa yang datang memakai jas almamater.
Pimpinan DPRD Jateng, seperti Sarif Abdillah, Heri Pudyatmoko, dan Mohammad Saleh menemui pengunjuk rasa sekitar pukul 13.30 WIB.
Para mahasiswa itu menyampaikan tuntutan terkait RUU Perampasan Aset, tunjangan anggota DPR, kekerasan aparat kepolisian.
Unjuk rasa itu tak diwarnai bentrokan. Para mahasiswa membubarkan diri tanpa paksaan dari aparat.
Di sejumlah jalan besar di Kota Semarang, termasuk di sekitar gedung DPRD dan Polda Jateng, tentara dan polisi tampak berpatroli dan bersiaga.
Sumber gambar, Antara Foto
Ratusan orang dari berbagai organisasi mahasiswa dan kelompok masyarakat di Jayapura turun ke jalan.
Para mahasiswa yang berdemo merupakan bagian dari kelompok Cipayung Plus.
Unjuk rasa berlangsung sejak pukul 11.00 WIT di halaman Kantor DPRP Papua. Dari sana, satu jam setelahnya, pendemo bergerak ke depan kantor Polda Papua.
Para pengunjuk rasa membawa spanduk dan poster berisi tuntutan terkait isu sosial dan politik nasional, dan juga terkait isu Papua.
Ketua HMI Jayapura, Rison Zul Akbar Limbong, menyebut unjuk rasa itu muncul karena “akumulasi kekecewaan masyarakat Papua terhadap pejabat yang enggan menemui mahasiswa maupun pemuda”.
Sumber gambar, Ikbal Asra
“Khususnya di Tanah Papua, persoalan ini bukan hanya soal penabrakan oleh aparat kepolisian terhadap seorang driver ojek online. Itu hanya puncak dari kekecewaan dan kemarahan masyarakat,” ujarnya.
Rison berkata, para pengunjuk rasa mendesak DPR Papua tidak hanya menerima aspirasi, tapi juga menindaklanjutinya dengan serius.
Rison bilang, tuntutan serupa juga mereka tujukan kepada Polda Papua.
“Kami menekankan perlunya mengakhiri tindakan represif dan operasi militer, serta mendorong pendekatan dialog, persuasi, dan humanis yang sesuai dengan kebudayaan setempat di Tanah Papua,” katanya.
Unjuk rasa yang dijaga ratusan aparat keamanan itu berakhir tanpa keributan.
Hingga Senin sore, ribuan mahasiswa di berbagai wilayah di Sulawesi Selatan masih terus menggelar demonstrasi.
Dari video yang beredar, ratusan pengunjuk rasa menyerang dan merusak gedung utama DPRD Kabupaten Palopo. Tidak terlihat aparat keamanan yang berusaha menghentikan peristiwa itu.
Pihak kepolisian setempat belum memberikan jawaban atas upaya konfirmasi kami.
Kondisi serupa juga terjadi saat gedung DPRD Provinsi Sulawesi Selatan dan DPRD Kota Makassar diserang dan dibakar massa, 29 Agustus malam lalu. Ketika itu, tidak ada sama sekali polisi yang berjaga di dua tempat tersebut.
Berbeda dengan Palopo, unjuk rasa di daerah lain di Sulawesi Selatan, seperti di Sinjai, Sidrap dan Makassar berlangsung tanpa kericuhan.
Di Makassar, para demonstran dari gabungan organisasi mahasiswa memusatkan diri di sekitar daerah Flyover hingga 18.00 WITA.
“Kami kan belajar dari pengalaman sebelumnya ini, jadi hari ini menurunkan sekitar 1.300 personel, itu dari Polri saja,” klaim Kepala Polrestabes Makassar, Kombes Arya Perdana.
Sumber gambar, Antara Foto
Unjuk rasa ribuan mahasiswa dari berbagai kampus di depan Gedung DPRD Provinsi Lampung, sejak Senin siang tak diwarnai keributan.
Mereka membubarkan diri secara sukarela setelah bertemu Gubernur Lampung, Rahmat Mirzani Djausal dan Ketua DPRD Ahmad Giri Akbar.
Kapolda Lampung Irjen Helmy Santika dan Pangdam Radin Inten Mayjen Kristomei Sianturi juga terlihat bertemu dengan para mahasiswa yang berdemo.
Ikbal Asra, Kamal, Darul Amri, Yuli Saputra, Robert, dan Halbert Chaniago berkontribusi untuk liputan ini