Sumber gambar, Historica Graphica Collection/Heritage Images/Getty Images
Sebuah buku baru How to Kill a Witch membangkitkan kembali masa kelam sejarah perburuan penyihir dengan kisah yang mengerikan. Bahkan kini, sebuah tartan—motif kain khas Skotlandia—resmi diluncurkan untuk mengenang mereka yang disiksa dan dibunuh.
Ketika Raja James VI berlayar pulang ke Skotlandia bersama istrinya—Anne dari Denmark—perjalanan mereka dihantam badai. Hal ini sebenarnya biasa terjadi di Laut Utara yang terkenal ganas.
Namun, sang raja yakin badai itu adalah ulah iblis dan para penyihir.
Peristiwa yang terjadi pada 1589 dilanjutkan dengan peristiwa Pengadilan Penyihir North Berwick, yang kemudian memicu gelombang perburuan penyihir.
Antara 1560-an hingga 1700-an, perburuan penyihir melanda Skotlandia.
Lebih dari 4.000 orang dituduh, ribuan di antara mereka dieksekusi mati.
Dalam prosesnya, terjadi penyiksaan yang tak terbayangkan: dari penjepit jempol (pilliwinks), sepatu penghancur kaki, hingga witches’ bridle—alat kekang kejam— yang melukai kepala dan mulut korban.
Sumber gambar, Getty
Di Norwegia dan Amerika Serikat, perburuan dan pengadilan penyihir berlangsung pada periode yang sama. Para korban yang dieksekusi mati telah dikenang melalui berbagai peringatan.
Kini, di Skotlandia, sebuah tartan baru telah resmi diluncurkan dan akan digunakan dalam kilt serta pakaian tradisional lainnya untuk menghormati para korban Undang-Undang Sihir (the Witchcraft Act).
Di sisi lain, estetika “penyihir” semakin populer di berbagai belahan dunia.
WitchTok (komunitas penyihir di TikTok) terus tumbuh, gaya WitchCore masih digemari, dan fiksi romantis bertema penyihir kian berkembang dalam genre romantasy.
Film Practical Magic 2 sedang diproduksi dan serial drama Domino Day sukses menarik perhatian.
Ini mencerminkan bahwa komunitas neopagan dan penyihir modern semakin bertambah.
Penyihir masa kini sering menggabungkan praktik seperti penyembahan alam, tarot, ritual herbal, dan kristal, mulai dari bentuk perawatan diri hingga aktivitas spiritual yang lebih terorganisir seperti Wicca.
Sumber gambar, The Witches of Scotland/ Clare Campbell
Motif tartan Witches of Scotland disebut sebagai “peringatan hidup” yang sarat makna, menurut Scottish Register of Tartans.
Warna hitam dan abu-abu melambangkan masa kelam pada periode tersebut serta abu dari mereka yang dibakar, warna merah mewakili darah para korban.
Sementara, warna merah muda melambangkan pita yang digunakan untuk mengikat dokumen dari dulu hingga sekarang.
Tartan Ini adalah hasil dari kampanye selama lima tahun yang digerakkan oleh para aktivis sekaligus pendiri siniar Witches of Scotland, Zoe Venditozzi dan Claire Mitchell.
Kini, mereka telah menulis buku berjudul How to Kill a Witch: A Guide for the Patriarchy, yang mengisahkan tentang perburuan penyihir di Skotlandia.
Buku ini baru saja terbit di Inggris beberapa bulan lalu dan akan diluncurkan di Amerika Serikat pada musim gugur mendatang.
Dalam buku tersebut, seperti yang dikatakan Venditozzi kepada BBC, dijelaskan bahwa “sistem kepercayaan dan kecemasan sosial pada masa itu menciptakan kondisi yang sempurna untuk mencari kambing hitam dan memperlakukan mereka dengan kejam.”
Pada 2022, keduanya berhasil mencapai salah satu tujuan mereka ketika Nicola Sturgeon, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pertama Skotlandia, secara resmi menyampaikan permintaan maaf kepada rakyat Skotlandia yang pernah dianiaya berdasarkan hukum dalam sebuah “ketidakadilan besar.”
Sejak saat itu, beberapa pendeta perempuan di Gereja Skotlandia juga turut mengeluarkan permintaan maaf.
Sumber gambar, Octopus Books
Topik tentang pengadilan penyihir kini juga menarik perhatian para penulis fiksi.
Buku Hex karya Jenni Fagan menceritakan “salah satu momen paling bergolak dalam sejarah Skotlandia: Pengadilan Penyihir North Berwick”.
Novel Bright I Burn karya Molly Aitken mengisahkan secara fiktif tentang perempuan pertama di Irlandia yang dituduh sebagai penyihir.
Sementara novel thriller sejarah The Wicked of the Earth karya AD Bergin mengangkat kisah seputar perburuan penyihir di Newcastle, Inggris.
Dalam buku How to Kill a Witch, para penulis menunjukkan bagaimana momen dalam pelayaran Raja James menjadi titik awal dari kisah yang kemudian berkembang besar.
“James VI dan I (Raja James VI dari Skotlandia dan Raja James I dari Inggris) memiliki pengaruh besar dalam perburuan penyihir,” jelas Mitchell, salah satu penulis buku sekaligus pengacara yang mengkhususkan diri pada hukum pidana dan hak asasi manusia.
Di antara ‘bukti’ yang diajukan kala itu adalah kesaksian bahwa para penyihir konon berselancar di laut dengan saringan dan menari di gereja North Berwick.
“Beberapa tahun kemudian, James menulis buku Daemonology, semacam panduan tentang bagaimana menemukan dan menghadapi penyihir serta roh-roh lainnya.”
Buku ini tersebar luas dan pesannya menyebar dengan cepat.
Undang-Undang Sihir (The Witchcraft Act) saat itu dibuat untuk menegakkan “kesalehan” di Skotlandia yang baru saja menjadi Protestan, dengan hukum yang mengutuk siapa pun yang tampak seperti sedang “bersekongkol dengan iblis.”
Sumber gambar, Bildagentur-online/Universal Images Group via Getty Images)
“Orang-orang masih dihantui oleh apa yang terjadi,” kata sejarawan Judith Langlands-Scott, yang melihat lonjakan besar minat terhadap pengadilan penyihir dalam beberapa tahun terakhir.
“Raja James sangat terobsesi dengan Alkitab dan percaya bahwa dirinya adalah wakil Tuhan, dan ia juga terobsesi dengan gagasan bahwa para penyihir semakin banyak.
“Para sejarawan umumnya sepakat bahwa setelah kematian ibunya [Mary, Ratu Skotlandia], James dibesarkan dengan keyakinan bahwa perempuan itu lemah dan mudah dipengaruhi oleh hasrat duniawi mereka.”
“Di Forfar (terletak di Angus, Skotlandia utara), tempat asal saya, kami mengetahui bahwa orang-orang yang dituduh, sebagian besar perempuan, biasanya adalah orang tua, penyandang disabilitas atau tuna netra, atau orang-orang dengan kecanduan alkohol.
Sumber gambar, Fine Art Images/Heritage Images/Getty Images
“Mereka adalah orang-orang yang dianggap membebani masyarakat, hidup di pinggiran, miskin, dan tidak memberikan kontribusi apa-apa. Komunitas, yang dipimpin oleh gereja Presbiterian, ingin menyingkirkan mereka.”
“‘Witch pricker’ atau ‘brodder’, yang memiliki keuntungan finansial, mengklaim dirinya sebagai ahli dalam mengidentifikasi penyihir,” jelasnya.
Pemburu penyihir yang paling tersohor pada pertengahan abad ke-17 adalah John Kincaid, yang dikenal sebagai pencari ‘tanda penyihir’ dan terlibat dalam penyiksaan serta eksekusi ratusan perempuan yang dituduh.
“Para tertuduh dilucuti dan diperiksa di hadapan jemaat yang seluruhnya laki-laki (untuk mencari ‘tanda’ yang konon dibuat oleh iblis) dan seringkali dikuliti habis sekujur tubuhnya.”
Sumber gambar, JOSEPH PREZIOSO/AFP via Getty Images
Menurut Langlands-Scott, ritual yang merendahkan ini “sangat berkaitan dengan aspek psikoseksual, dan dalam masyarakat Presbiterian Skotlandia saat itu, seks adalah obsesi utama.”
Memang ada pengadilan penyihir di Inggris, namun Langlands-Scott menekankan bahwa “di Irlandia dan Wales, hanya ada satu atau dua kasus pengadilan penyihir karena mereka lebih percaya pada peri, sedangkan di Skotlandia, keyakinan mereka terfokus pada iblis dan siapa pun yang dianggap bekerja untuk iblis, yaitu para penyihir.”
Meskipun How to Kill a Witch penuh dengan kisah-kisah yang mengerikan, buku ini juga menghadirkan momen-momen humor gelap.
“Sejak awal kami selalu mendekati fakta dan kengerian perburuan penyihir dengan sangat serius, tetapi kami juga dengan sadar menyisipkan humor sinis dan gelap untuk menghadapi bagian-bagian yang paling menyakitkan atau menjengkelkan dari masa itu,” kata Venditozzi.
“Buku ini memang sejak awal kami maksudkan untuk mencerminkan kepribadian kami, bukan menjadi buku sejarah kaku yang membosankan.
“Terkadang, menjadi perempuan berarti harus mampu melihat sisi lucu dalam situasi yang mengerikan.”
Keangkuhan para pemburu penyihir yang mengangkat diri sendiri, dengan metode mereka yang aneh dan imajinasi mereka yang berlebihan, diungkapkan secara terang-terangan dalam buku ini.
Seluruh sistem pada masa itu, sebenarnya, begitu rumit sekaligus menggelikan.
Seperti yang diungkapkan Venditozzi: “Ini trik yang cerdik, bukan? Bagaimana masyarakat menyalahkan perempuan, karena dianggap begitu lemah, sehingga iblis bisa dengan mudah menguasai mereka, bahkan sampai ke pakaian dalam mereka, dan pengakuan-pengakuan mereka pun sering kali dibuat sangat rumit. Semua itu untuk membenarkan apa yang mereka lakukan. Ini sungguh gila!”
Para penulis tidak sendirian melihat sisi humor kelam ini, serial komedi TV The Witchfinder juga mengangkat absurditas perburuan penyihir dengan humor satir yang menggigit.
Buku ini juga membongkar beberapa kesalahpahaman tentang era tersebut, termasuk praktik “dibakar di tiang pancang,” kata Venditozzi.
“Itu sebenarnya gambaran yang dilebih-lebihkan. Memang mereka dibakar, tapi biasanya mereka lebih dulu dicekik, lalu dilemparkan ke api unggun untuk memusnahkan tubuh mereka, agar iblis tidak bisa menghidupkan mereka kembali, dan supaya mereka tidak bisa masuk surga.”
Ini menambah lapisan kekejaman, kata Langlands-Scott:
“Tubuh mereka dibakar agar mereka tidak bisa bangkit pada hari penghakiman. Harapan terakhir untuk bebas dari penderitaan benar-benar dihapuskan, dan mereka yang dihukum tahu itu ketika mereka menuju kematian mereka.”
Lonjakan minat
Para penulis mengakui bahwa ada lonjakan minat yang besar terhadap sejarah pengadilan penyihir—siniar mereka kini didengarkan oleh jutaan orang dari seluruh dunia.
Bagaimana reaksi para penyihir modern terhadap kampanye mereka?
“Kami mendapatkan banyak dukungan dan perhatian dari para penyihir masa kini,” kata Venditozzi.
“Hal yang paling penting adalah kami mendukung siapa pun untuk menjalankan keyakinan mereka, tetapi orang-orang juga perlu memahami bahwa ‘penyihir’ pada masa itu bukanlah orang-orang yang dikendalikan oleh iblis, mereka sebenarnya hanyalah orang-orang biasa yang terjebak dalam era yang ekstrem,” tambahnya.
“Para penyihir modern bisa berempati dengan nasib para terdakwa pada masa itu karena mereka pun kadang mengalami keterasingan dan diskriminasi. Namun, penyihir masa kini sama sekali berbeda dengan mereka yang dituduh pada masa perburuan penyihir di Skotlandia,” katanya lebih lanjut.
Seiring estetika “WitchCore” semakin populer dan dikomersialkan, apakah kita berada dalam bahaya meromantisasi penyiksaan brutal dan penderitaan orang-orang tak bersalah dalam sejarah?
“Dunia sihir modern atau WitchTok sangat berbeda dari kejahatan ‘sihir’ yang terjadi ratusan tahun lalu. Orang-orang yang saat ini mengidentifikasi diri mereka sebagai penyihir tidak bermaksud mengatakan bahwa mereka adalah ‘agen iblis’ yang membawa kejahatan dalam masyarakat. Konsep penyihir masa kini sangat jauh berbeda dari definisi penyihir dalam sejarah.”
Sumber gambar, Universal History Archive/Getty Images
Langlands-Scott mengungkapkannya dengan cara lain:
“Orang-orang berhak menjalani keyakinannya masing-masing, dan para penyihir masa kini tidak berusaha mengklaim orang-orang yang dieksekusi ratusan tahun lalu sebagai bagian dari mereka. Mereka yang dituduh pada masa itu adalah umat Kristen, meski dianggap kafir dan sesat. Sebagian besar dari mereka terlibat dalam peristiwa pengadilan di Forfar tahun 1662 (di mana 52 warga lokal dipenjara dan disiksa) adalah penganut Katolik.
“Gereja Presbiterian saat itu menginginkan masyarakat yang bersih dan saleh setelah (Oliver) Cromwell meninggalkan Skotlandia pada 1651. Mereka hanyalah orang-orang biasa, beberapa mungkin memang mempraktikkan sihir rakyat, tetapi mereka tidak melakukan kejahatan.”
Sumber gambar, Disney/Steve Wilkie
Penulis Margaret Atwood pernah mengatakan bahwa peristiwa pengadilan penyihir Salem adalah tragedi yang terus berulang dalam sejarah, ketika suatu budaya berada dalam tekanan. Apakah Venditozzi setuju?
“Tentu saja, saat Atwood menulis The Handmaid’s Tale, dia mengatakan bahwa semua hal yang ada di bukunya benar-benar pernah terjadi dalam budaya Barat, dan itu sudah ia sampaikan sejak tahun 1980-an. Pandangan itu sangat tepat. Roda berputar, tetapi tidak banyak yang berubah.”
Dalam How to Kill a Witch, ada kutipan dari seorang pendeta masa kini di Amerika Serikat yang memperingatkan tentang keberadaan penyihir di jemaatnya.
Buku ini juga menyoroti organisasi Advocacy for Alleged Witches, yang “mengajak orang untuk mengedepankan kasih sayang, akal sehat, dan ilmu pengetahuan demi menyelamatkan nyawa mereka yang menjadi korban takhayul.”
Mitchell menambahkan, tartan Witches of Scotland dibuat untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman.
“Sangat penting bagi kita untuk mengingat sejarah dan belajar darinya: Skotlandia masih tertinggal dibandingkan negara lain yang telah lebih dahulu mengenang dan memberi penghormatan bagi mereka yang pernah dituduh sebagai penyihir.”
Lalu, pelajaran apa yang bisa kita ambil dari sejarah pengadilan penyihir?
“Jangan menjadikan anggota masyarakat yang rentan atau terpinggirkan sebagai kambing hitam demi menjaga rasa aman dan kepercayaan publik,” kata Venditozzi.
“Meskipun pengadilan penyihir terjadi ratusan tahun lalu, kita masih sering melihat gelombang tuduhan terhadap kelompok-kelompok marjinal di masa-masa ketika masyarakat sedang diliputi kecemasan sosial. Claire dan saya adalah orang-orang yang sangat optimis.”
Langlands-Scott juga berbagi optimisme yang sama.
“Fakta bahwa ada gelombang ketertarikan untuk mengungkap kebenaran, dan bahwa permintaan maaf telah disampaikan, adalah alasan untuk berharap.
“Mayoritas yang meminta maaf adalah perempuan, dan saya pikir ini adalah bentuk pengambilan kembali suara, mengingat dulu sebagian besar yang disiksa dan diadili adalah perempuan.
“Rasanya seperti kita, para perempuan, sedang mengembalikan suara mereka, sekaligus memberi peringatan tentang apa yang masih bisa terjadi di masa kini,” tandas Langlands-Scott.