Sekstorsi: Kisah remaja laki-laki yang menjadi korban pemerasan seksual


Gambar menunjukkan Evan Boettler di tengah, dengan logo Instagram dan Snapchat di belakangnya dalam warna yang lebih gelap. Ia memiliki rambut blonde dengan poni panjang dan tersenyum ke arah kamera. Ia mengenakan jaket bertudung.
Keterangan gambar, Orang tua Evan Boettler menggambarkannya sebagai remaja yang cerdas dan lucu yang suka memancing, olahraga, dan berburu.

    • Penulis, Tir Dhondy
    • Peranan, BBC Three

“Saya punya foto telanjangmu dan semua yang dibutuhkan untuk menghancurkan hidupmu.”

Pesan mengerikan ini diterima lewat media sosial oleh remaja Amerika Serikat (AS), Evan Boettler. Ancaman yang sempat diyakini berasal dari gadis muda sebaya itu ternyata adalah penipu siber.

Sekitar 90 menit setelah menerima pesan itu, remaja berusia 16 tahun tersebut mengakhiri hidupnya.

“Ini tidak masuk akal. Saya tidak mengerti bagaimana ini bisa terjadi pada keluarga kami,” kata Kari, ibu Evan yang terpukul ketika putranya dinyatakan meninggal pada awal 2024.

Ayah Evan, Brad, yang tinggal di Missouri, AS, menggambarkan putranya sebagai anak yang cerdas dan lucu dengan kegemarannya memancing, olahraga, dan berburu.

Karena itu, jauh dari bayangan bahwa Evan akan menjadi salah satu korban pemerasan seksual atau sextortion, kejahatan online yang tengah marak.

Modus yang banyak menyasar remaja di AS dan Eropa ini berupa bujukan untuk mengirim foto atau video intim. Produk digital ini kemudian dijadikan alat memeras dengan ancaman: disebarkan atau membayar.

Internet Watch Foundation (IWF) melaporkan hingga Agustus 2025 pihaknya telah mengambil tindakan atas 723 laporan dari Report Remove. Dari jumlah itu, sebanyak 224 kasus merupakan pemerasan seksual.

Sayangnya, berbagai pelantar media sosial yang kerap menjadi lokasi kejahatan ini dinilai kurang agresif dalam menindak pelaku dan melindungi para remaja dari bahaya kejahatan online, seperti pemerasan seksual ini.

Keterangan video, Orang tua Evan mengajak Tir berkeliling kamarnya dan menjelaskan bagaimana barang-barangnya mengingatkan mereka pada berbagai kenangan indah, tetapi hal itu membuat mereka menyadari betapa besarnya kehilangan yang mereka alami.

Kepada BBC, orang tua Evan menceritakan seorang yang diduga gadis dengan nama akun JennyTee60 mengirimkan pesan pada Evan pada Januari 2024.

Dalam hitungan menit, “Jenny” meyakinkan Evan untuk berbagi foto-foto telanjangnya dan tak lama kemudian, mulai memerasnya. Ancaman ini berujung tragis.

Hampir dua tahun ini, Brad dan Kari berupaya mencari keadilan di tengah pusaran kesedihan yang mendalam.

Namun, kekecewaan harus ditelan karena pelantar media sosial, Meta, menolak membagikan informasi tanpa perintah pengadilan yang hingga kini belum dimiliki keluarga korban.

Meski desakan terhadap FBI telah dilakukan juga untuk kasus ini, tak banyak kemajuan yang dibuat penegak hukum sejak Evan meninggal sampai sekarang.

BBC melalui Tir Dhondy justru menemukan jejak penting yang kemudian ditelusuri hingga membawanya ke beberapa lokasi di Nigeria, terutama Lagos, kota terpadatnya.

Petunjuk yang diharapkan dapat menemukan orang yang semestinya bertanggungjawab ini tertangkap ketika suatu hari penipu mencoba masuk Facebook Evan dan tak sengaja meninggalkan alamat IP.

Bagaimana modus Sextortion bekerja?

Tiba di Nigeria, pertemuan pertamanya mengantarkan pada jalan-jalan tikus yang menjadi rumah banyak penipu dengan sebutan “Yahoo Boys”.

Nama ini sesuai dengan alamat email yang digunakan untuk menjalankan penipuan online pada awal 2000-an.

Mimpi bisa punya banyak uang dan mobil mewah dengan cepat mendorong para pemuda yang rata-rata berusia 20-an dan tinggal di lingkungan miskin ini terlibat dalam aksi penipuan daring.

Ola, salah seorang penipu yang dijumpai, menjelaskan mekanisme kerja pemerasan seksual dengan santai.

“Pertama, buat akun dengan nama perempuan. Pemilihan nama palsu menggunakan situs khusus agar nama yang terpilih sesuai dengan negara yang ingin disasar.”

Keterangan video, “Saya tidak merasa bersalah, saya hanya butuh uang,” Ola menjelaskan alasannya menargetkan para remaja

Setelah profil dibuat, proses mencari korban dimulai. Mereka akan mengirim pesan ke ratusan orang tiap hari dengan harapan korban terjebak dan mengirim uang.

Ketika diberi fakta bahwa yang mereka lakukan ini kejam dan menghancurkan hidup korbannya, Ola tidak peduli. Ia hanya menjawab: “Saya tidak merasa bersalah karena saya butuh uang.”

Ola berpikir siapa pun yang lahir di negara-negara Barat secara otomatis memiliki privilese sehingga ia tidak percaya jika remaja Inggris atau AS tidak bisa membayar uang pemerasan itu.

Selain itu, Ola punya alasan lain menargetkan para remaja ini: “Karena nafsu seksual mereka sangat tinggi. Anak-anak muda ini juga takut foto mereka akan dibocorkan ke grup kelas mereka, orang tua mereka, dan teman-teman mereka.”

Gambar di dalam "Hustle Kingdom". Empat pria duduk di sofa sambil memegang ponsel. Semua mengenakan balaclava yang menutupi wajah mereka - dua mengenakan kaos pink, satu mengenakan rompi putih, dan satu lagi tanpa baju atas. Ruangan tersebut memiliki lantai marmer, tirai abu-abu, dan meja kopi. Seorang pria lain berdiri sambil melihat ponsel dengan punggung menghadap kamera.
Keterangan gambar, Para pria yang berada di “Hustle Kingdom” ini menjalankan aksi penipuannya, yang paling sering dilakukan adalah penipuan berkedok percintaan untuk memperoleh uang, kata mereka

Ola mengaku bekerja sendirian. Akan tetapi, kasus-kasus lain menunjukkan pemerasan seksual di Lagos merupakan operasi terorganisir yang terhubung dalam jaringan, layaknya kerja mafia.

Ada geng-geng dengan hierarki untuk mengoptimalkan sumber daya dan cara kerja agar memperoleh keuntungan maksimal.

Perjalanan pun membawa hingga ke perairan Makoko di Lagos. Area ini merupakan salah satu distrik termiskin. Sepanjang mata memandang, rumah-rumah kayu berdiri di atas tiang-tiang kayu yang menjulang di tepi Danau Lagos.

Informasi yang diperoleh, “Hustle Kingdom” yang merupakan jaringan mafia berkaitan dengan sextortion, berada di wilayah ini.

Tentu tidak mudah untuk bisa menembusnya. Apalagi merekam berbagai kegiatan yang dilakukan di ruang kecil yang berada di lantai dua sebuah bangunan di sana.

Namun dengan negosiasi panjang, izin dari kepala komunitas setempat, dan tim lokal yang memandu sepanjang waktu, akses pun diberikan.

Apakah ‘Hustle Kingdom’ di balik kejahatan Sextortion?

Di dalam ruangan kecil, tempat “Hustle Kingdom”, selusin pemuda duduk dengan laptop di pangkuan mereka. Semua ponsel mereka bergetar dengan pesan dari target potensial.

Suasana di sana seperti pusat panggilan. Mereka bertukar profil palsu, bertukar skenario untuk memancing korban, dan saling berbagi nama korban baru.

Tiap orang memiliki peran masing-masing. Uang yang mereka hasilkan kemudian mengalir pada pemimpin yang disebut “Ghost”.

Jika berbicara korban yang disasar adalah remaja, maka mafia ini juga memanfaatkan remaja laki-laki di Lagos untuk dipersiapkan sebagai pelaku selanjutnya.

Mereka diajari oleh para penipu senior yang sudah berpengalaman. Iming-imingnya: banyak uang secara instan.

Para “mentor” ini pun makin memanas-manasi para remaja ini dengan kisah sukses dan status sosial.

Para remaja ini juga dijebak hutang dengan skema mengambil dulu bagian dari tiap penipuan yang berhasil. Jebakan hutang ini menciptakan siklus agar para remaja ini sulit untuk lepas.

Pertanyaannya: apakah penipu Evan merupakan bagian dari “Hustle Kingdom” atau bekerja sendiri?

Pemimpinnya, Ghost, mengklaim penipuan yang mereka lakukan berupa penipuan keuangan dan penipuan asmara.

Pemerasan seksual disebutnya memalukan dan hanya orang dengan “hati yang kotor” yang melakukannya. Ia pun menyebut dirinya “takut akan Tuhan”.

Gambar seorang pria yang condong ke depan dan menunduk sambil memegang seekor merpati putih di kakinya, di atas kepalanya.  Pria tersebut mengenakan balaclava wol hijau dan kemeja lengan pendek bermotif cokelat.
Keterangan gambar, Ade saat ia mengunjungi seorang tabib tradisional, dalam sebuah upacara yang melibatkan pengorbanan seekor merpati untuk mengikatnya pada kekayaan.

Ade (20), yang baru saja melakukan pemerasan seksual terhadap remaja, diketahui bertemu dengan “cyber-spiritualis”.

Ketika diiizinkan untuk mengikutinya, BBC mendapati “cyber-spiritualis” ini adalah sosok pria yang diyakini dapat membantu menghasilkan lebih banyak uang.

Sosok ini tinggal di kuil yang tersembunyi di sebuah gang kecil di pinggiran kota. Kuil itu berupa ruangan beratap rendah yang dipenuhi patung-patung ukiran.

Di kuil itu, Ade diminta menjalani ritual memakan merpati putih yang disembelih di depannya. Menurut sang spiritualis, ritual ini mengikat pada kekayaan dan perlindungan.

Dalam sehari, ia menerima kedatangan enam hingga tujuh “Yahoo Boys”. Bagi Ade, ini merupakan biaya bisnis, bukan takhayul.

Dengan datang ke spiritualis atau semacam pendeta lokal ini, para “Yahoo Boys” beralih menjadi “Yahoo Plus”.

Penipuan yang mereka lakukan menjadi diberkati. Mereka juga dibekali mantra yang harus dilantunkan dengan keyakinan korban menjadi lebih patuh, bahkan melindungi dari penangkapan.

Hal semacam ini telah lama menjadi bagian dari budaya Nigeria, dan bagi sebagian pria ini ini merupakan hal yang wajar dan bentuk penyucian diri sehingga hasil yang mereka kerjakan dapat bertambah setelah membersihkan diri.

Kepercayaan yang mencengangkan mengingat mereka menipu dengan sarana digital, tapi tetap meyakini kekuatan supranatural tradisional yang dilakukan berabad-abad.

Salah satunya, ketika ada penipu yang bahkan telah menggunakan teknologi deepfake dengan perempuan yang dia sewa, Rachel, sebagai wajah penipuan.

Dia menunjukkan aplikasi di laptopnya yaitu alat penggantian wajah profesional yang harganya US$3.500 atau setara Rp58.121.000.

Perusahaan media sosial menyatakan mereka telah bertindak. Namun, keluarga korban dan lembaga swadaya masyarakat berargumen semestinya perusahaan ini dapat bertindak lebih agresif.

Di AS, laporan kasus pemerasan seksual (sextortion) yang dilaporkan ke FBI meningkat dua kali lipat dalam tiga tahun terakhir. Pada 2024, angkanya mencapai 55.000 kasus.

Di Inggris, Badan Kejahatan Nasional (National Crime Agency) menerima 110 laporan berkaitan pemerasan seksual setiap bulannya.

Brandon Guffey, anggota legislatif negara bagian Carolina Selatan, menuturkan pernah bersiap mengajukan gugatan terhadap Meta berkaitan perlindungan anak terhadap predator.

Saat itu, putranya, Gavin yang berusia 17 tahun menjadi korban pemerasan seksual.

Namun, Gavin memilih mengakhiri hidupnya pada 2022 ketika sang ayah tengah menjajal upaya hukum.

Salah satu akun yang digunakan untuk memeras putranya akhirnya dihapus, tetapi akun lain tetap aktif. Bagi Brandon, ini sangat merugikan.

Meta mengatakan pada 2024, mereka telah menghapus 63.000 akun pemerasan seksual yang terhubung ke Nigeria. Ini termasuk 2.500 akun yang merupakan bagian dari jaringan terkoordinasi yang menargetkan remaja di negara-negara Barat.

“Apakah mereka menghapusnya hanya untuk publikasi saja, padahal anak-anak masih diserang?” tanya Brandon.

Brandon Guffey duduk di belakang meja dengan rak buku dan bendera AS di belakangnya. Ia memiliki rambut pendek berwarna terang dan janggut, serta mengenakan setelan navy dengan dasi biru muda. Di sebelah kiri gambar, Tir terlihat dari belakang, ia memiliki rambut panjang berwarna gelap dan sweater abu-abu.
Keterangan gambar, Brandon Guffey, anggota parlemen yang putranya yang berusia 17 tahun bunuh diri karena kejahatan Sextortion di Instagram

Seorang juru bicara Meta mengatakan perusahaan bekerja secara agresif untuk melawan praktik tersebut dengan mengganggu jaringan penipu dan mendukung penegak hukum.

“Kami memiliki sekitar 40.000 orang yang bekerja di bidang keamanan dan keselamatan secara global, dengan investasi lebih dari US$30 miliar (sekitar Rp498 triliun) di bidang ini selama dekade terakhir,” kata juru bicara tersebut,

“Sistem keamanan ini secara otomatis menempatkan remaja dalam pengaturan pesan yang paling ketat dan memberi tahu mereka ketika mereka bercakap-cakap dengan seseorang yang mungkin berada di negara lain.”

Arturo Bejar, mantan Direktur Teknik dari Meta yang ikut menjadi pelapor kasus pemerasan seksual, mewakili keraguan orang tua korban terhadap perusahaan media sosial ini.

Bejar bersaksi di Kongres AS 2023 bahwa pimpinan perusahaan mengabaikan peringatan berulang tentang bahaya yang dihadapi anak-anak di platformnya.

Dia mengatakan sistem yang dirancang untuk melindungi pengguna muda secara fundamental tidak memadai.

Seorang juru bicara Meta mengatakan perusahaan bekerja secara agresif untuk melawan praktik tersebut dengan mengganggu jaringan penipu dan mendukung penegak hukum.

Sumber gambar, LightRocket via Getty Image

Keterangan gambar, Seorang juru bicara Meta mengatakan perusahaan bekerja secara agresif untuk melawan praktik tersebut dengan mengganggu jaringan penipu dan mendukung penegak hukum.

”Mereka terus memperlihatkan bahwa mereka tidak peduli anak-anak dalam bahaya. Mereka terus berkilah dan menutupi agar orang-orang tidak tahu anak-anak ini dalam keadaan bahaya karena mereka tidak mau menghadapinya,” kata Bejar.

Meta menanggapi banyak dari langkah-langkah yang diusulkan Bejar sudah diterapkan.

Perusahaan menambahkan juga telah memperkenalkan akun remaja dengan perlindungan bawaan di Instagram pada 2024. Dengan akun remaja ini, pengguna muda ini hanya dapat dihubungi oleh orang-orang yang sudah terhubung dengan mereka.

Juru bicara tersebut berkata ketika sesuatu dilaporkan sebagai spam maka perusahaan akan mengambil tindakan jika tidak sesuai dengan standar komunitas.

Mengacu pada kasus Evan Boettler, Snapchat menyampaikan “belasungkawa terdalam untuk keluarga Boettler”.

“Kami tidak memberikan toleransi terhadap pemerasan seksual di Snapchat. Jika kami menemukan aktivitas ini, kami akan mengambil tindakan cepat untuk menghapus akun dan mendukung upaya penegak hukum untuk membawa pelaku keadilan.”

Internet Watch Foundation (IWF) memiliki alat yang dapat digunakan oleh anak di bawah 18 tahun di seluruh dunia untuk melaporkan secara rahasia gambar mereka yang telanjang atau bermuatan seksual agar kemudian dihapus dari internet dan mencegah agar tidak diunggah ulang.

Apabila konten tersebut belum muncul di internet, lembaga ini masih dapat membuat pengamanan berupa sidik jari digital untuk gambar tersebut sehingga mencegah penyebarannya secara online.

Akan tetapi, gambar itu tidak dapat dihapus dari jaringan terenkripsi seperti WhatsApp atau jika telah disimpan di ponsel atau komputer seseorang.

Di Inggris, lembaga ini bekerja sama dengan Childline—yang menawarkan alat tersebut melalui layanan “Report Remove”—yang juga memberikan opsi bagi anak untuk berbicara dengan salah satu konselornya.

Kendati demikian, upaya untuk mendapatkan keadilan bagi korban tetap menemui jalan yang sulit. Ini seperti yang dihadapi orang tua Evan yang kini mendirikan Evan’s Voice.

Mereka masih kesulitan karena Meta dan Snapchat tidak bersedia merilis data. Harapan untuk menemukan penipu Evan pun kini bergantung pada GloWorld, penyedia layanan Nigeria yang terhubung dengan alamat IP tersebut.

Namun rupanya, Gloworld yang seharusnya menyimpan informasi pengguna selama dua tahun ini juga tak bisa memberi keadilan.

Pada akhirnya, kedua orang tua Evan hanya bis berucap terima kasih pada upaya BBC. Ayah Evan, Brad, mengenangnya sebagai “anak yang luar biasa.

“Tidak sulit mengasuhnya karena Evan adalah anak yang baik. Saya bahkan tidak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata betapa saya mencintainya.”

Reportase tambahan oleh Jamie Tahsin.



listgameindo.site

Left Ad Left Ad Left Ad Left Ad Left Ad Left Ad Left Ad Left Ad Left Ad Left Ad Left Ad Left Ad
Right Ad Right Ad Right Ad Right Ad Right Ad Right Ad Right Ad Right Ad Right Ad Right Ad Right Ad Right Ad