Sumber gambar, Kompas.com
Seruan untuk mengibarkan bendera bajak laut dari anime dan manga One Piece saat perayaan HUT RI ke-80 pada 17 Agustus nanti ramai di media sosial. Aksi ini disebut sebagai bentuk protes dan kekecewaan terhadap kondisi bangsa, tapi mengapa menggunakan simbol budaya pop?
Pemerintah dan sejumlah anggota parlemen mengecam seruan mengibarkan bendera tersebut, menyebutnya sebagai tindakan provokatif dan bisa memecah belah bangsa, bahkan menudingnya sebagai perbuatan makar.
Penggemar One Piece mempertanyakan sikap pemerintah yang terkesan kaku dan terlalu serius dalam merespons seruan tersebut.
Bendera fiktif itu berlatar hitam dengan tengkorak dan dua tulang yang menyilang di belakangnya. Tengkorak berwarna putih dengan ekspresi tersenyum itu berhias topi jerami kuning khas tokoh utama One Piece, Monkey D. Luffy.
Hingga Sabtu (02/08), beberapa bendera tampak terpasang di sejumlah titik di berbagai daerah di Indonesia. Sementara di media sosial, sejumlah akun mengganti foto profil mereka dengan logo bendera One Piece.
Lembaga pemantau media sosial menyatakan seruan mengibarkan bendera Topi Jerami sebagai gerakan organik netizen di ranah maya—tanpa mobilisasi.
Para analis berpendapat, penggunaan simbol dan idiom budaya populer dilakukan agar kritik dapat mencapai pasar yang lebih luas.
Kenapa publik dan warganet memasang bendera One Piece?
Salah seorang warga Kota Padang yang menghendaki diidentifikasi dengan nama panggilannya, Oki, memasang bendera One Piece di salah satu lokasi wisata di Sumatra Barat pada 30 Juli silam.
Oki adalah penggemar One Piece sejak masih duduk di bangku sekolah menengah pertama dan keranjingan serial fiksi itu sampai sekarang.
Menurutnya, One Piece memiliki cerita menarik dan simbol-simbol kuat. Ia mencontohkan bendera One Piece yang belakangan ramai di media sosial—yang dinilai Oki punya simbol perlawanan atas ketidakadilan.
Atas dasar itulah Oki kemudian memutuskan untuk memasang bendera One Piece. Ia juga ingin penggemar One Piece lain dapat menerima pesan itu dengan baik.
“Untuk menambah spot foto bagi nakama juga,” katanya kepada wartawan Arie Firdaus yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Nakama adalah sebutan untuk penggemar One Piece.
Ali Maulana, Ketua Komunitas One Piece Jayapura, menyebut pengibaran bendera Jolly Roger sebagai “simbol kebebasan sipil” yang tidak bermaksud menyerang negara.
“Kalau dari sudut pandang saya sebagai warga negara, ini fenomena yang cukup menarik,” kata Ali kepada wartawan Muhammad Ikbal Asra yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
“Bendera One Piece menjadi simbol bahwa kita mencintai negeri ini, tapi tidak sepenuhnya setuju dengan sistem yang ada di dalamnya.”
Menurutnya, kisah One Piece bukan sekadar anime, melainkan fiksi yang mencerminkan ketidakadilan dan ketimpangan yang juga dirasakan masyarakat Indonesia.
Ia menilai tokoh elite dalam One Piece seperti Tenryuubito mencerminkan perilaku segelintir pejabat yang menikmati kekuasaan, sementara rakyat justru menderita.
“Meskipun negara ini secara resmi sudah merdeka, tapi banyak dari kita yang belum benar-benar merasakan kemerdekaan itu dalam kehidupan sehari-hari,” ujarnya.
Sumber gambar, TEMPO/Amelia Rahima Sari
Adapun di media sosial, seruan memasang bendera One Piece muncul sejak 26 Juli silam.
Sejumlah lembaga analisis media sosial menyatakan fenomena seruan memasang bendera One Piece berlangsung organik, tanpa mobilisasi tokoh atau kelompok tertentu.
Tapi salah satu lembaga, Drone Emprit, menyatakan bahwa gerakan pemasangan bendera One Piece berlangsung sebelum Juli 2025, bahkan konteksnya berbeda dengan seruan saat ini.
“Praktik itu sudah beredar jauh sebelum Juli, dengan konteks yang berbeda dengan saat ini. Sebelumnya, konteks pengibaran tidak disertai motif politik,” ujar peneliti Drone Emprit, Nova Mujahid, seraya menambahkan bahwa bendera kala itu biasanya dipasang pada bak mobil truk.
Drone Emprit berfokus pada analisis di media sosial X—dulu bernama Twitter.
Dalam pantauan Nova, percakapan berlangsung natural karena interaksi didorong akun-akun terindikasi organik dan beragam, mulai dari penyuka anime, masyarakat biasa, dan aktivis media sosial.
“Peta menunjukkan bahwa percakapan ini kuat didorong akun-akun terindikasi organik,” kata Nova lagi.
Sumber gambar, IMDB
“Sebagian besar nada kekecewaan. Lucu-lucuan dan FOMO juga ada. Terlihat pula tidak ada agenda atau narasi yang didorong dalam unggahan ini dan tidak terkoordinir.”
Evello, lembaga analisis media sosial lain yang berfokus pada aktivitas di media sosial TikTok menyatakan, fenomena ini juga ramai mulai 26 Juli 2025 dan mencapai puncak pada 28-30 Juli.
Sementara topik yang digaungkan meliputi simbol perlawanan ketidakadilan (78 unggahan), kritik sosial dan sindiran politik (45), dan kebebasan berekspresi (20).
Akun-akun yang terlibat dalam penggaungan pun tercatat milik personal non media, kata Evello.
“[Kesimpulan] membuktikan bahwa bendera One Piece digunakan sebagai metafora dan kanal aman untuk menyuarakan aspirasi dan kritik melalui simbol budaya populer,” kata Evello dalam keterangannya pada 1 Agustus.
Apa makna bendera One Piece tersebut?
Mengutip onepiece.fandom.com, bendera ini dikenal dengan nama Jolly Roger dan sejatinya memiliki banyak jenis dan varian lantaran dunia fiksi One Piece memiliki banyak kelompok bajak laut.
Bendera tersebut adalah simbol khas kelompok bajak laut pimpinan Monkey D. Luffy—tokoh utama cerita karangan Eiichiro Oda tersebut.
Bendera Jolly Roger tak hanya menjadi simbol kekuatan, tapi juga disebut menyuarakan kebebasan, keyakinan pribadi, dan persahabatan.
Bagi para nakama, bendera itu juga disebut sebagai bendera Topi Jerami lantaran logo tengkoraknya mengenakan topi ikonis Luffy.
Setiap kelompok memiliki kekhasan tersendiri, tapi tetap mempertahankan logo tengkorak di benderanya.
Kelompok bajak laut Shanks, misalnya, memiliki bendera tengkorak dengan bekas luka di mata. Ada pula kelompok Kaido yang punya bendera tengkorak bertanduk dan kelompok Doflamingo dengan tengkorak berbulu flamingo.
One Piece terbit pertama kali pada 22 Juli 1997 di majalah Weekly Shonen Jump di Jepang.
Oda, sang pengarang, dikenal sangat detail dalam membangun semesta One Piece dan kerap menyisipkan kejutan serta misteri untuk para pembacanya, seperti Void Century yang mengisahkan abad hilang dari sejarah peradaban.
Ia juga disebut menggambar dan menulis sendiri One Piece sejak awal hingga sekarang. Hingga Agustus 2025, manga One Piece yang diterbitkan mencapai lebih dari 1.100 episode.
Penggemar One Piece lainnya, Arya Novrianus, bilang selain menjadi identitas kapal bajak laut, bendera itu juga menjadi penanda kehadiran kelompok atas suatu wilayah.
Ia mencontohkan jika terdapat bendera Topi Jerami di suatu pulau, maka wilayah itu berada dalam perlindungan Luffy dan tidak boleh direcoki kelompok lain.
“Enggak ada yang berani macam-macam, enggak ada yang berani berbuat jahat terhadap negara itu,” kata Arya yang juga seorang komedian tunggal.
Sumber gambar, Toei
Arya menggemari One Piece sejak 2002 dan kecintaannya tak luntur sampai sekarang. Ia bahkan menjadi host sebuah siniar yang khusus membahas One Piece, Podcast Sunny-Gow.
Lewat media sosial Instagram-nya, Arya juga beberapa kali “membumikan” potongan cerita One Piece ke kehidupan sehari-hari, termasuk dinamika politik dalam negeri.
Pada unggahan 25 Februari 2025, misalnya, ia mengomentari foto Presiden Prabowo Subianto yang berada di podium sama dengan para pendahulunya yakni Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo di sela-sela peluncuran badan pengelola investasi Danantara.
Ia menganalogikan momen tersebut sebagai “Cross Guild” versi dunia nyata.
“Cross Guild” adalah aliansi tiga karakter kuat yakni Buggy, Mihawk, dan Crocodile yang dalam cerita One Piece dikisahkan menjadi kekuatan baru yang menantang tatanan lama antara bajak laut dan angkatan laut.
Lantas, bagaimana Arya melihat fenomena pengibaran bendera One Piece sebagai wujud kekecewaan dan protes di media sosial?
Sumber gambar, Getty Images
“Sebagai fans, bendera Topi Jerami digunakan untuk melawan politik tertentu, saya sih enggak setuju dan enggak suka,” kata Arya.
Menurut Arya, cerita One Piece di manga atau anime memang memuat politik, tapi tidak berhubungan dengan politik atau memihak kelompok politik tertentu di dunia nyata.
“Kalau digunakan orang yang salah, malah dianggap One Piece berbahaya,” ujarnya.
Atau, apakah ia akan mengganti foto profil media sosialnya dengan bendera Topi Jerami—seperti yang dilakukan sejumlah orang di media sosial, mengingat ia selama ini kerap “membumikan” potongan cerita One Piece di ranah maya?
“Rasanya gue sudah cukup memperlihatkannya di konten aja sih. Kalau mau ganti profile picture, kayaknya sih enggak,”
Kenapa budaya pop digunakan sebagai simbol protes?
Penggunaan simbol atau idiom budaya populer—atau bahkan simbol netral—seperti kasus bendera One Piece sebagai ekspresi kekecewaan dan protes sosial sejatinya telah berlangsung sejak lama, baik di Indonesia maupun di luar negeri.
Pada Mei 2014, para demonstran “meminjam” salam tiga jari ala Hunger Games sebagai simbol protes terhadap kudeta militer yang dipimpin Jenderal Prayuth Chan-o-cha.
Para aktivis Thailand kala itu memaknai ulang salam tiga jari Hunger Games sebagai simbol kebebasan, persamaan, dan persaudaraan.
Makna itu jauh berbeda dengan yang ada di film yakni simbol penghormatan, ungkapan perpisahan, kekaguman, dan perlawanan.
Sekitar sebulan usai mengadaptasi salam tiga jari, Pemerintah Thailand melarang simbol tersebut karena dianggap subversif dan menginspirasi pemberontakan.
Sumber gambar, Getty Images
Ada pula simbol semangka sebagai dukungan terhadap Palestina, setelah otoritas Israel pada 1967 melarang pengibaran bendera serta penggunaan warna-warna nasional (merah, hijauh, hitam, dan putih).
Seniman Palestina lantas menyiasatinya dengan menggambar semangka yang memiliki corak warna sama dengan bendera Palestina, sebagai simbol perlawanan tersembunyi.
Sempat menghilang, simbol itu kembali muncul dan viral pada Mei 2021 setelah serangan militer Israel ke Gaza.
Khusus di Indonesia, simbol atau istilah yang kerap digunakan saat menyuarakan kritik, antara lain, “Wakanda” atau “Konoha”.
“Wakanda” merujuk pada sebuah negara fiktif dalam dunia Marvel dan dikenal sebagai kampung halaman Black Panther, sementara “Konoha” adalah desa ninja fiktif dalam serial anime/manga Naruto.
Bagaimana pengamat melihat fenomena “meminjam” istilah atau logo budaya populer—bahkan netral—sebagai ungkapan kritik atau kekecewaan?
Pengamat budaya pop, Hikmat Darmawan, menilai fenomena “pinjam-meminjam” simbol atau istilah ke dalam gerakan sosial adalah perihal jamak dan sudah sering terjadi.
Sumber gambar, Getty Images
Pria yang meneliti manga, komik, dan subkultur populer itu menambahkan, bahkan simbol tersebut tak jarang bersalin rupa dan membentuk makna baru.
“Kadang ada unsur repurpose, mengubah untuk kepentingan protes. Itu sudah biasa,” ujar Hikmat.
Peminjaman simbol atau istilah budaya populer itu, dikatakan Hikmat, juga tak jarang menjadi siasat agar pesan atau kritik yang disampaikan dapat menjangkau target lebih luas.
“Kadang bukan soal takut atau represif, tapi karena ingin (pesan) meluas. Agar bisa diterima lebih banyak orang,” kata dia.
Pengamat politik dan perubahan sosial dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Dominique Nicky Fahrizal, menambahkan budaya populer memang sangat lekat dengan mayoritas generasi produktif Indonesia saat ini.
Alhasil, penggunaan simbol seperti bendera One Piece adalah perihal yang tak bisa dihindari, bahkan menjadi langkah bagus untuk menyebarluaskan pesan.
“Segmen budaya pop kan banyak, enggak hanya anak muda, tapi juga dewasa muda ada yang masih mengikuti,” kata Nicky yang juga menggemari anime dan manga.
Apakah kritik dengan meminjam simbol atau istilah budaya populer bakal efektif menggerakkan massa untuk turun ke jalan?
Nicky meragukannya, dengan mengatakan simbol-simbol budaya populer hanya cukup membuat orang tersadarkan, terpancing untuk mencari tahu, lalu membicarakannya di ruang publika.
“Untuk menjaring audiens yang luas, ini efektif. Namun, untuk gerakan masif, butuh organisasi dan gerakan terorganisir,” katanya.
Bagaimana pemerintah menyikapi seruan mengibarkan bendera One Piece?
Kendati berjalan organik, pemerintah dan parlemen justru mengecam fenomena ini.
Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Budi Gunawan, menyebut seruan pengibaran bendera One Piece sebagai bentuk provokasi yang dapat menurunkan kewibawaan bendera Merah Putih.
“Sebagai bangsa yang besar dan menghargai sejarah, kita sepatutnya menahan diri untuk tidak memprovokasi dengan simbol yang tidak relevan,” kata Budi dalam keterangan pers di Jakarta pada 1 Agustus 2025.
Lebih lanjut, ia pun memberikan peringatan sanksi pidana kepada masyarakat.
“Konsekuensi pidana dari tindakan yang mencederai kehormatan bendera Merah Putih. UU Nomor 24 Tahun 2009 Pasal 24 ayat (1) menyebutkan ‘Setiap orang dilarang mengibarkan Bendera Negara di bawah bendera atau lambang apa pun’ Ini adalah upaya kita untuk melindungi martabat dan simbol negara,” kata Budi.
Merujuk UU Nomor 24 Tahun 2009, tidak ada aturan melarang pengibaran bendera non-negara seperti bendera fiksi One Piece.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha
Namun, ada ketentuan soal pemasangan dan tata letak. Pasal 17 UU Nomor 24 Tahun 2009 menyatakan bahwa bendera negara tidak boleh lebih rendah atau lebih kecil dari bendera yang disandingkan.
Jika dikibarkan bersama bendera organisasi atau simbol non-negara, maka Merah Putih harus lebih tinggi dan berukuran lebih besar, seperti termaktub pada Pasal 21.
Senada dengan Budi, anggota DPR Fraksi Partai Golkar, Firman Soebagyo, menilai seruan itu bentuk kemerosotan pemahaman ideologi negara, sekaligus provokasi.
“Bagian daripada makar mugkin malah itu. Ini harus ditindak tegas,” ujar Firman pada 31 Juli 2025.
Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, meminta masyarakat tidak membenturkan Merah Putih dan bendera Topi Jerami.
“Sejak awal saya sampaikan tidak perlu dibenturkan. Ada upaya pecah belah karena banyak generasi tua yang tidak tahu menahu One Piece,” ujar. Dasco 1 Agustus 2025.
Bagaimana komentar penggemar One Piece atas sikap pemerintah dan DPR?
Arya Novrianus menukas singkat, “Konyol banget sih.”
“Enggak mungkin banget bendera One Piece benar-benar bisa memecah belah bangsa. Kenapa setakut ini sama anime dan manga?”
Ketua Komunitas One Piece Jayapura, Ali Maulana, menolak anggapan bahwa bendera Jolly Roger merupakan simbol pemberontakan.
Menurutnya, kesalahan persepsi ini justru datang dari para pejabat yang terlalu cepat menyimpulkan tanpa memahami konteks budaya populer.
“Kalau dikibarkan lebih tinggi dari merah putih, itu jelas salah. Tapi faktanya, bendera ini dikibarkan di bawah merah putih. Jadi tidak ada yang keliru secara hukum,” tegasnya.
“Ini bukan pemberontakan. Ini ekspresi kebebasan sipil.”
Ia menyebut pengibaran bendera One Piece menjelang 17 Agustus sebagai bentuk protes simbolik yang efektif, terutama karena besarnya komunitas penggemar anime di Indonesia.
“Ketika bendera dikibarkan serentak, itu menjadi simbol yang kuat. Bahkan anggota DPR sampai tersinggung, berarti pesan kita sampai,” katanya.
Senada dengan Ali dan Arya, Nicky Fahrizal menyebut pemerintah bersikap berlebihan.
“Makar itu tuduhan serius. Padahal ini adalah bentuk kepedulian masyarakat terhadap situasi hari ini,” kata Nicky.
Sementara Hikmat merangkum kritikan pemerintah dan parlemen terhadap fenomena ini dengan mengatakan, “Saya melihat ada jarak antara yang popular dan pemerintah yang sok populis tapi menindas.”
“Sekarang, jarak dan pertentangan itu makin keras,” pungkas Hikmat.
Laporan tambahan oleh wartawan di Jayapura, Muhammad Ikbal Asra.