Sumber gambar, ANTARA FOTO/Putra M. Akbar
-
- Penulis, Faisal Irfani
- Peranan, Jurnalis BBC News Indonesia
Demonstrasi besar di sejumlah kota di Indonesia yang meletus pada akhir Agustus 2025 diwarnai penangkapan berskala masif oleh pihak kepolisian. Para pendemo ditahan dengan tuduhan “provokasi” serta berlaku “anarkis.” Namun, tidak semua jelas nasibnya. Dua orang masih tidak diketahui keberadaannya.
Catatan yang dikumpulkan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyebutkan setidaknya lebih dari 3.000 orang diringkus selama demonstrasi berlangsung, sejak 25 sampai 31 Agustus 2025.
Tidak hanya ditangkap, sekitar 1.042 mengalami luka-luka dan 10 lainnya meninggal, termasuk pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, akibat dilindas rantis Brigadir Mobil (Brimob) di Pejompongan, Jakarta Pusat. Data YLBHI diperoleh di 20 kota di Indonesia.
Sementara Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengatakan aparat kepolisian turut diduga melakukan praktik penghilangan paksa setelah protes massa. KontraS, pada 1 September 2025, membuka posko pengaduan orang hilang.
KontraS menuturkan “menerima lonjakan laporan terkait individu yang hilang secara tiba-tiba terutama dari wilayah-wilayah yang menjadi pusat mobilisasi massa—Jakarta & Bandung.”
Korban, menurut KontraS, ditahan aparat negara “secara incommunicado” atau dihalangi akses sekaligus komunikasi dari dunia luar seperti keluarga. Korban, imbuh KontraS, juga “tidak diperbolehkan menerima pendampingan hukum sesuai pilihan mereka.”
“Dalam kata lain, aparat kepolisian telah melakukan penyembunyian nasib dan keberadaan orang-orang yang ditahan,” tegas KontraS.
Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya, mendesak aparat kepolisian membuka seluruh data identitas orang-orang yang ditangkap dan ditahan selama aksi pada 25-31 Agustus 2025.
Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo meyakinkan Polri telah melaksanakan seluruh tahapan pengamanan aksi unjuk rasa sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Apabila memang ada pelanggaran, Listyo meminta pihak terkait, seperti Komnas HAM, untuk melaporkannya ke Polri.
“Dengan begitu, permasalahan pascaaksi unjuk rasa dapat segera diselesaikan,” tutur Listyo.
Di lain sisi, penangkapan orang-orang yang dianggap perusuh oleh kepolisian pascademonstrasi merupakan sinyal buruk bagi demokrasi, ujar Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Arif Maulana.
Pemerintah dan aparat keamanan, tandas Arif, telah menempuh “teror secara sistematis.”
“Sekarang aktivitas demonstrasi sudah dilihat seperti tindakan kriminal,” terangnya.
Sumber gambar, Robertus Pudyanto/Getty Images
Dua orang masih hilang, ditemukan diduga alami penyiksaan
Kata “harap” keluar lebih dari dua kali ketika Hamidi berbicara tentang nasib anaknya, Muhammad Farhan Hamid, yang hingga kini belum jelas keberadaannya.
Farhan terakhir terlihat tatkala mengikuti demonstrasi di area Kwitang, Jakarta Pusat, tepatnya di depan Markas Komando (Mako) Brimob, 29 Agustus 2025.
Berada dalam gelombang massa, Farhan ikut memprotes dan meminta pertanggungjawaban kepolisian atas kematian Affan Kurniawan.
Sejak itu, hampir tiga minggu, Farhan hilang.
“Sampai sekarang, setelah mengikuti aksi demo, Farhan belum juga ditemukan,” ucap Hamidi.
“Kami berharap segera dapat mengetahui keberadaan anak kami. Saya berharap semua pihak untuk membantu menemukan Farhan.”
Sumber gambar, Robertus Pudyanto/Getty Images
Laporan KontraS menyatakan 44 orang hilang selama demonstrasi berjalan, dari 25 sampai 31 Agustus 2025. Kejadian ini tersebar di berbagai kota atau kabupaten seperti Jakarta Pusat sampai Karawang, Jawa Barat.
Dari keseluruhan laporan yang masuk, sebanyak 33 orang dikategorikan KontraS sebagai korban penghilangan paksa di mana “mereka sengaja dan tanpa izin ditahan oleh aparat keamanan.”
Sisanya, 8 orang, “dilaporkan hilang kontak bukan karena mengalami penghilangan paksa melainkan adanya miskomunikasi atau kesalahpahaman yang menyebabkan hubungan antara korban dan pelapor terputus sementara,” demikian tulis KontraS.
Per 10 September 2025, 41 orang sudah ditemukan dan 3 lainnya masih berstatus hilang.
Ketiganya adalah Bima Permana Putra, Reno Syahputeradewo, serta Muhammad Farhan Hamid.
Bima terakhir kali terlihat di Glodok, Jakarta Barat, pada 31 Agustus 2025, sedangkan Reno di Mako Brimob Kwitang, Jakarta Pusat, sehari sebelumnya.
Perkembangan terbaru, pada 17 September 2025, Bima terkonfirmasi ditemukan di Malang, Jawa Timur. KontraS belum bisa memastikan apakah Bima diklasifikasikan penghilangan paksa atau bukan.
KontraS memberi label “penghilangan paksa” dengan acuan bahwa terdapat upaya “menyembunyikan nasib maupun keberadaan” para korban oleh aparat. Selepas ditangkap, korban diangkut ke kantor polisi.
Data KontraS memperlihatkan verifikasi atas pencarian korban penghilangan paksa berujung ke markas kepolisian, dari level polres sampai polda.
Tidak ada informasi apa pun yang diberikan kepada orang terdekat, keluarga, maupun pendamping hukum selama korban tidak diketahui posisinya—rata-rata dalam kurun waktu 12 sampai 72 jam.
Korban sendiri, pada waktu yang sama, tidak mendapatkan akses, tidak terkecuali bantuan hukum.
Dalam hal ini, sambung KontraS, para korban menghadapi penghilangan paksa jangka pendek (short-term enforced disappearances).
Tindakan-tindakan semacam itu menunjukkan negara masih mempertahankan impunitas (kekebalan) dan belum secara serius menghapus penghilangan paksa, “sekalipun dalam bentuk yang lebih halus dan sistematis,” KontraS menegaskan.
“Situasi ini, secara langsung, memenuhi unsur penghilangan paksa sebagaimana dimaksud dalam Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa [ICPPED], terutama terkait unsur penahanan rahasia dan tanpa komunikasi,” papar KontraS.
Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya, menuntut aparat kepolisian membuka seluruh data identitas orang-orang yang diringkus dan menjalani penahanan sepanjang demonstrasi.
“Informasi ini sangat penting sebagai transparansi ke publik,” ungkapnya.
Dimas turut mendesak lembaga seperti Komnas HAM, Ombudsman RI, serta LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) untuk menginvestigasi tindakan penghilangan paksa kala protes massa pecah.
“Kami juga meminta pemerintah segera meratifikasi konvensi internasional sebagai upaya pencegahan penghilangan paksa ini berulang di kemudian hari, di samping penting untuk memasukkan penghilangan paksa menjadi sebuah delik pidana agar para pelaku dapat dihukum secara pidana,” tegas Dimas.
Di Indonesia, aturan ihwal penghilangan paksa hanya termuat dalam Pasal 33 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Pasal itu menyatakan semua orang memiliki hak untuk bebas dari penghilangan paksa.
Sayangnya, norma tersebut “belum diintegrasikan di ketentuan pidana di Indonesia,” Dimas menanggapi.
Polri, lewat Polda Metro Jaya, mengklaim telah aktif dalam mencari orang-orang yang dilaporkan masih hilang usai demonstrasi di Jakarta dengan membuka posko pengaduan.
Kepolisian, kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Trunoyudo Wisnu Andiko, tidak cuma menunggu laporan masyarakat.
Tim gabungan pencarian orang hilang, berdasarkan pengakuan kepolisian, sudah dikerahkan untuk menyusun langkah yang dibutuhkan.
“Kami melibatkan Komnas HAM, KontraS, dan Kompolnas. Ini tanggung jawab bersama,” sebutnya.
Sumber gambar, Claudio Pramana/NurPhoto via Getty Images
Masalah tidak berhenti di situ. Tidak sedikit korban ditemukan dengan kondisi diduga mengalami kekerasan fisik serta serangan psikologis.
Beberapa di antaranya menunjukkan luka-luka, memar, dan trauma kuat imbas perlakuan aparat ketika ditahan, imbuh KontraS.
Randy, bukan nama sebenarnya, adalah korban yang mengalami pahit itu.
Jum’at, 29 Agustus 2025, malam, Randy pamit kepada orangtuanya untuk mengambil mesin daya gawai yang tertinggal di rumah temannya. Mulanya, Randy tidak terpikir menyambangi lokasi demonstrasi.
“Karena penasaran, akhirnya saya pergi di lokasi demo yang malam itu sudah mulai ricuh, di sekitar Palmerah, Jakarta Barat, dekat DPR, jam setengah 10 malam,” ceritanya.
Sesampainya di lokasi, “keadaan sudah chaos,” tutur Randy. Tembakan gas air mata berkali-kali meletup di udara. Randy memutuskan mundur sejenak mengingat dia tidak membawa peralatan pelindung seperti masker.
Kuatnya efek gas air mata, ternyata, kadung membikin Randy tumbang. Dia lalu mendapatkan perawatan sementara di kendaraan medis.
“Setelah saya mendingan, saya maju lagi. Situasi masih chaos. Gas air mata ditembakkan dan massa berhamburan,” kenang Randy.
Di persimpangan flyover dekat DPR, Randy tidak mundur. Dia mengambil sisa peluru gas air mata dan melemparkannya ke rombongan Brimob. Lemparan tersebut tidak sampai ke target yang dituju.
Randy kemudian berjalan biasa, dan di sinilah petaka dimulai.
Orang tak dikenal, mengenakan jaket serta penutup wajah berwarna hitam, keluar dari kepulan asap gas air mata dan mendekatinya. Dari belakang, Randy dikekap.
Randy sempat memberontak, berusaha melepaskan diri. Kakinya tertahan. Tiga personel Brimob lantas mendatanginya. Randy ditangkap.
Randy tidak bisa melakukan apa-apa. Dia dibawa ke depan gerbang DPR, area pasukan Brimob berada. Di sana, “saya diinjak dan dipukul dengan stik polisi,” Randy menjelaskan.
Tak cukup, sepakan dari lutut aparat menghantam kepalanya. Randy pingsan.
Saat sudah sadarkan diri, Randy sudah berada di dalam gedung DPR. Tim medis Brimob menjahit luka di kepalanya.
Kelar dijahit, Randy dibawa masuk ke mobil tahanan. Dia dipukuli. Kepalanya ditonjok.
“Di mobil ada orang yang lalu nyamperin. Saya enggak tahu. Dia bertanya siapa yang baru tertangkap,” ucap Randy.
Begitu orang itu turun, Randy kembali dipukul.
Di sela-sela kekerasan yang menyerang di depan mata, Randy menyaksikan dua orang lainnya di dalam mobil tahanan.
Randy bertahan di mobil tersebut sampai pagi, sekitar pukul 8, bersama belasan orang lainnya. Mobil lantas melaju ke Polda Metro Jaya.
“Saya turun dari mobil tahanan. Disuruh jalan jongkok sambil ditendangin,” tandasnya.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Putra M. Akbar
Di kantor polisi, keadaan berangsur mereda. Tidak ada kekerasan yang Randy alami. Dia memperoleh perawatan medis, diberi makan, serta melakoni tes urine sebelum akhirnya diminta masuk ke ruang pemeriksaan.
“Kepala saya bocor, ada empat jahitan yang dilakukan tim medis,” ucapnya.
Mimpi buruk Randy baru selesai pada Senin, 1 September 2025, dini hari, sekira pukul 3 pagi tatkala keluarga menjemputnya dari kantor polisi.
Polisi baru memberi informasi setelah menahan Randy selama lebih dari 48 jam.
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Brigjen Pol Ade Ary Syam, menegaskan proses penyidikan dilakukan secara profesional, transparan, dan akuntabel. Ade menampik tuduhan kekerasan oleh aparat kepolisian.
“Penyidikan dilakukan secara hati-hati, cermat, dan tentu mengedepankan prinsip proporsional,” responsnya.
Senada, Kapolda Metro Jaya, Irjen Asep Edi Suheri, menekankan penahanan didasarkan dengan perintah presiden dan sudah diterapkan merujuk pada ketentuan undang-undang.
“Hal ini kami lakukan sesuai dengan instruksi Bapak Presiden dan Bapak Kapolri untuk menindak tegas para pelaku aksi anarkis sesuai aturan yang berlaku,” jawabnya.
Arus penangkapan yang menggulung demonstran
Tidak lama usai bertemu dengan Presiden Prabowo Subianto, Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit mengumumkan akan menangkapi para pendemo yang membuat rusuh demi terciptanya keamanan.
“Perintah beliau [presiden] untuk segera mengembalikan keamanan, mengembalikan situasi yang ada sehingga masyarakat bisa melaksanakan kegiatannya, perekonomian bisa kembali tumbuh,” kata Listyo, 1 September.
Arahan presiden lalu diterjemahkan kepolisian dengan menempuh penangkapan secara masif di lapangan.
Di Jakarta, lebih dari 1.400 orang ditangkap polisi dengan 43 di antaranya sudah ditetapkan menjadi tersangka.
Minggu ini, Polda Metro Jaya menambah 16 tersangka anyar atas perusakan fasilitas umum.
Di Jawa Barat, 42 orang ditetapkan tersangka atas tuduhan perusakan fasilitas umum hingga penyebaran konten yang diklaim provokatif di media sosial. Polda Jawa Barat sendiri, sebelumnya, menahan 727 orang.
Dalam penetapan puluhan tersangka itu, polisi menyita barang bukti sejumlah buku dan zine—buklet publikasi yang difotokopi atau dicetak sendiri.
Rekapitulasi LBH Bandung mengatakan sekitar 230 aduan masuk dari peserta aksi massa pada periode 29 Agustus sampai 8 September 2025.
Sebanyak 100 orang sudah dibebaskan, 13 ditetapkan tersangka, 48 mengalami luka-luka, dan 69 sisanya berstatus tidak jelas.
Pendampingan LBH Bandung sempat mengalami jalan buntu tatkala Polda Jawa Barat dipandang menutupi informasi mengenai status dan keberadaan ratusan tahanan.
Bergeser ke Bali, polisi menahan 170 orang dan menjadikan 14 pihak di dalamnya sebagai tersangka. Ratusan orang ini dituduh menghasut massa sewaktu demonstrasi.
Tak jauh dari Bali, 580 orang ditangkap Polda Jawa Timur sehubungan demonstrasi di enam kota. Sebanyak 479 orang telah dipulangkan, 89 diproses secara hukum, serta 12 lainnya sedang diperiksa.
Ombudsman Jawa Timur meminta Polda Jawa Timur membuka data perihal puluhan orang yang masih ditahan.
“Kami tentu tidak ingin ada maladministrasi berupa penyalahgunaan wewenang dalam penegakan hukum kasus unjuk rasa anarkis,” sebut Kepala Perwakilan Ombudsman RI Jawa Timur, Agus Muttaqin.
Lalu di Jawa Tengah dan Yogyakarta, mengutip pendampingan LBH Yogyakarta, 159 orang ditangkap sebab demonstrasi Agustus silam.
Penangkapan tersebar di Magelang, Banyumas, dan Yogyakarta. Mayoritas yang diringkus aparat merupakan anak-anak di bawah umur.
Versi Polda Jawa Tengah: 1.747 orang ditangkap ketika unjuk rasa di berbagai daerah di Jawa Tengah pada 29 Agustus sampai 1 September 2025. Sekitar 46 orang diberi status tersangka.
Demonstrasi di Jawa Tengah, tepatnya di Semarang, diselimuti kabar duka kematian mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes), Iko Juliant Junior, pada 30 Agustus 2025.
Pusat Bantuan Hukum Ikatan Alumni Fakultas Hukum Unnes menerangkan kematian Iko dipenuhi kejanggalan seperti luka lebam di bagian wajah.
Pengakuan saksi yang menyebut Iko mengigau dipukuli aparat semakin mempertebal ketidakwajaran atas kepergian Iko.
Polda Jawa Tengah mengungkapkan Iko meninggal murni lantaran kecelakaan kendaraan.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Bayu Pratama S
Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD), yang berisikan gabungan organisasi nonpemerintah, menyatakan sejumlah pola pelanggaran berulang ditemukan, seperti kekerasan aparat, penyitaan barang pribadi tanpa izin pengadilan, penangkapan sewenang-wenang, masa penahanan yang melebihi batas, dan proses hukum yang tidak transparan.
Dugaan pelanggaran tersebut tergambar, salah satunya, melalui kasus yang sedang ditangani LBH Yogyakarta. Polres Magelang dituding LBH Yogyakarta tidak menerapkan prosedur ketika menangani demonstran.
Kasus di Magelang menimpa anak di bawah umur yang saat ditangkap sedang tidak terlibat dalam aksi, menurut LBH Yogyakarta.
“Dia tidak [gabung] demo. Dia, waktu itu, cuma COD [Cash on Delivery] saja. Dan dia ada acara [peringatan] 17 Agustus di desanya lalu tiba-tiba ditangkap,” sebut Direktur LBH Yogyakarta, Julian Prasetya.
Di tahanan, korban dipaksa mengaku bahwa yang bersangkutan mengikuti demo, tambah LBH Yogyakarta.
“Nah, ketika sudah dilepaskan, datanya disebar bahwa ini adalah pelaku demo anarkis. Datanya disebar ke mana-mana, foto-fotonya [korban] juga dikirim ke mana-mana,” papar Julian.
Pihak keluarga yang tidak terima dengan perlakuan aparat kemudian melaporkan secara resmi dua pejabat di Polres Magelang ke Polda Jawa Tengah atas dugaan salah tangkap.
Kapolres Magelang, AKBP Anita Indah Setyaningrum, membantah personelnya melakukan tindakan pelanggaran hukum. Kendati begitu, Anita mengaku siap mengikuti prosedur yang ada, termasuk pengusutan dari pihak Polda Jateng.
Julian menegaskan mayoritas anak di bawah umur yang ditangkap polisi “tidak didampingi orangtua atau wali” saat diperiksa. Bagi Julian, kepolisian sudah “melanggar prinsip-prinsip perlindungan anak.”
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Pernyataan Julian dikonfirmasi temuan Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) yang menyebutkan dari keseluruhan laporan penahanan yang masuk, setengahnya menyeret anak-anak muda di bawah 18 tahun.
Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Arif Maulana, mengatakan pemandangan tersebut adalah tanda bahaya. Anak-anak muda ini, jelas Arif, ditangkap tanpa bukti yang kuat, selain dituduh sebagai dalang demonstrasi.
“Belum didukung dengan alat bukti yang kuat, tapi polisi sudah berani merilisnya ke publik bahwa mereka adalah penghasut, mereka adalah dalang. Dan dari situ, poilisi menangkap lebih banyak lagi anak-anak muda di berbagai daerah,” tandas Arif.
Arif memandang arah penangkapan besar-besaran ini ialah “kriminalisasi terhadap kemerdekaan berpendapat dan berekspresi.”
“Ini sebetulnya ancaman karena demonstrasi itu dianggap [tindakan] kriminal oleh kepolisian, oleh pemerintah, hari ini,” tuturnya.
Sumber gambar, INSTAGRAM/KONTRAS UPDATE
Sumber gambar, INSTAGRAM/KONTRAS UPDATE
Situasi tak kalah pelik muncul di lapangan manakala tim advokat maupun organisasi sipil mesti berhadapan dengan keterbatasan sumber daya.
Arif mengaku kuantitas atau ketersediaan pengacara publik tidak berbanding lurus terhadap jumlah orang yang ditangkap.
Sejauh ini, aduan yang diterima Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) mencapai lebih dari 500. Dari jumlah itu, “kami mungkin baru bisa menjangkau sebagian,” papar Arif.
“Sebagian besar [yang kami tangani] berhasil kami dorong untuk dibebaskan karena anak berhadapan dengan hukum,” ucapnya.
“Tapi, sisanya, pada akhirnya, belum terjangkau oleh kami.”
Arif turut mengkritik pihak aparat yang dia nilai cenderung menghalang-halangi akses bantuan hukum kepada korban. Arif mencontohkan bahwa “untuk bertemu [korban] saja sulit sekali.”
Konsekuensi dari kendala tersebut berdampak langsung pada korban. Sebab tidak dapat ditemani oleh organisasi sipil imbas faktor-faktor di atas, maka mereka “diberi pengacara dari polisi,” terang Arif.
Pengacara yang ditunjuk kepolisian tidak jarang hanya sebatas “formalitas.” Artinya, mereka diminta mewakili untuk sekadar membubuhkan tanda tangan pemberian kuasa dari korban.
Pada praktiknya, para pengacara itu “tidak pernah mendampingi [korban],” ungkap Arif.
“Juga selama perjalanannya tidak pernah memberikan pembelaan, dan mungkin korban akhirnya tidak beruntung ketika di [proses pembuatan] BAP [Berita Acara Pemeriksaan],” ujar Arif.
Arif menyesalkan betapa kepolisian tidak membuka ruang pendampingan terhadap korban dengan ideal. Pasalnya, secara prinsip, kebutuhan akan pengacara dijamin sebagai hak yang melekat pada mereka yang dihadapkan di depan hukum.
“Yang saya takutkan juga bisa jadi mereka mengalami tekanan dan lain sebagainya. Belum tentu apa yang mereka sampaikan juga dicatat oleh kepolisian,” pungkas Arif.
Wakapolri Komjen Pol Dedi Prasetyo menegaskan kepolisian bekerja dalam koridor hukum yang berlaku dan menolak disebut menangkapi orang-orang secara serampangan.
“Kami bedakan siapa aktor intelektual, penyandang dana, operator lapangan, maupun hanya ikut-ikutan,” jelas Dedi, 8 September, di Jakarta.
Mereka yang ditangkap, menurut kepolisian, bukan pendemo melainkan perusuh yang merusak fasilitas publik.
Pemerintah, diwakili Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Permasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, memastikan yang masih ditahan tidak otomatis berstatus tersangka.
Aparat, ucap Yusril, akan memilah berdasarkan bukti. Jika tidak cukup, mereka bakal dibebaskan.
“Kalau [ternyata] cukup bukti, tinggal diputuskan apakah ke pengadilan atau melalui restorative justice,” sebutnya.
Proses hukum yang diberlakukan kepada tersangka demonstrasi tidak menghapus pemenuhan hak-hak dasar mereka, Yusril menambahkan.
“Proses hukum terhadap para pelaku akan tetap berjalan sesuai aturan. Tapi, pada saat yang sama, hak-hak mereka juga kami jamin, termasuk hak mendapatkan penasihat hukum serta kondisi tahanan yang sesuai standar HAM,” ujar Yusril.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Seperti mengirim pesan: ‘Ini yang kamu dapatkan ketika melawan rezim’
Penangkapan masif terhadap aktivis, masyarakat sipil, dan pelajar memperlihatkan “ada masalah yang mendasar soal sistem pendidikan di Polri,” terang peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Iftitah Sari.
Efeknya, setiap warga yang berupaya menyampaikan pendapat, bahkan lewat demonstrasi, diperlakukan tak ubahnya musuh negara.
“Modelnya masih sangat militeristik, bukan sipil, termasuk secara keseluruhan sistem di Polri bisa dikatakan masih lekat nuansa organisasi militernya ketimbang jadi organisasi sipil,” tegas Iftitah.
Kepolisian, dalam menangani keamanan demonstrasi, semestinya “mempraktikkan prinsip tatak kelola pemerintahan yang baik,” ujar Iftitah.
Prinsip ini mencakup transparansi dan akuntabilitas.
Sumber gambar, Robertus Pudyanto/Getty Images
Dalam kacamata lebih luas, permasalahannya tidak semata berakar dari respons aparat keamanan, melainkan juga bagaimana pemerintahan Prabowo Subianto ingin mengemudikan kendali kekuasaannya.
Ini diucapkan pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Jentera Indonesia, Bivitri Susanti, yang menggarisbawahi bahwa pemerintah, dengan penangkapan berskala besar yang terjadi belakangan, hendak mengirimkan pesan.
“Semacam diberi peringatan bahwa ini yang akan kamu dapatkan kalau kamu menentang rezim,” katanya.
“Jadi, mematahkan semua oposisi, masyarakat sipil, atau siapa saja.”
Pemerintah, imbuh Bivitri, memang tidak mau ada kritik sedikit pun, dan menandakan secara gamblang sebuah ciri khas “pemerintahan yang otoriter.”
Dengan menangkapi orang-orang yang mendemo kebijakan pemerintah, banyak orang yang kemudian berpikir ulang sekaligus mempertanyakan setiap langkah yang akan diambil.
“Misalnya ketika ingin mem-posting sesuatu, berpikirnya apakah nanti ditangkap polisi? Atau saat mau ikut demonstrasi, orang jadi takut karena nanti dibilangnya perusuh,” paparnya.
Jika demikian, “tujuan pemerintah membungkam kritik sebenarnya sudah tercapai,” tambah Bivitri.
Peristiwa represi yang lahir hari ini tidak kurang sama dengan dua babak sejarah yang pernah muncul di masa lalu, ucap Bivitri. Keduanya yaitu Malari 1974 dan Kudatuli 1996.
Protes masyarakat, terang Bivitri, tidak lahir dari ruang kosong. Kritik publik keluar dari pikiran yang rasional bahwa masih banyak aspek pengelolaan kebijakan yang tidak mencerminkan kepentingan umum, selain kekerasan aparat yang datang silih berganti—tanpa pernah terselesaikan.
Tunjangan anggota DPR yang nilainya selangit dan disusul dengan kematian Affan Kurniawan yang dilindas rantis Brimob adalah cerminan keresahan publik yang kemudian dituangkan dalam protes.
Saat pemerintah tidak benar-benar menuntaskan persoalan dari akarnya, mereka justru “seperti menyimpan api dalam sekam,” ucap Bivitri.
Di tengah kabar buruk yang tidak berhenti menyebar, Bivitri setidaknya masih menyimpan harapan bahwa keadaan—entah kapan tiba waktunya—akan membaik.
Kekerasan yang ditunjukkan negara secara nyata, pada saat yang sama, turut meninggikan solidaritas sesama warga sipil, juga kesadaran betapa tidak ada aspek dalam hidup yang tidak dipengaruhi keputusan-keputusan politik.
“Saya merasa harapannya memang ada di warga,” katanya.
“Kalau pemerintah ingin memberi pesan, kita sebaiknya juga membalas pesan itu dengan solidaritas.”
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Galih Pradipta