Sumber gambar, AFP via Getty Images
Video Presiden Prabowo yang muncul sebelum penayangan film di bioskop dinilai mirip dengan konsep newsreel — film berita— yang terkadang dipakai sebagai propaganda pemerintah ketika mengalami krisis.
Di sisi lain, video tersebut juga dianggap mengganggu privasi publik walau tidak melanggar aturan, kata pengamat.
Banyak warga yang bersuara di media sosial usai mendapati video itu ketika hendak menyaksikan film di bioskop.
Mereka mempertanyakan tujuan dan maksud dari video tersebut karena seolah dipaksa menontonnya.
“Gak bisa nge-skip iklan itu kan. Mungkin itu tujuannya kali ya. Ya udah, mau enggak mau nonton. Karena kalau di televisi kita bisa ganti channel. Kalau di bioskop kita enggak bisa,” ucap Hilda Amelia (33), salah seorang penonton bioskop.
“Kalau menurut aku, laporan publik itu kan enggak mesti bikin iklan di bioskop,” kata Hilda.
Sumber gambar, Dasril Roszandi/NurPhoto melalui Getty Images
Konten video berdurasi sekitar 60 detik itu berisi capaian dari program prioritas presiden seperti Makan Bergizi Gratis, Sekolah Rakyat, hingga Koperasi Desa Merah Putih.
Dalam tampilan video, Prabowo bersalaman dan bercengkrama dengan masyarakat disertai penjelasan jangkauan program prioritas tersebut.
Pihak Istana dan sejumlah menteri menjelaskan ini upaya transparansi dari pemerintah mengenai apa saja yang sudah dikerjakan presiden selama setahun menjabat.
Pengamat film Hikmat Darmawan menyampaikan sah saja memanfaatkan peranti semacam newsreel atau film berita untuk informasi publik.
“Saya lihat seperti newsreel saja dan itu biasanya kan pada masa krisis. Pertanyaannya, apakah pemerintah merasa sedang krisis sekarang sampai harus campaign seperti itu? Intensinya apa?”
Apakah video Presiden Prabowo di bioskop bentuk propaganda?
Sejak isu video ini bertebaran di sosial media, publik lekas menuding adanya kemiripan propaganda pada masa Orde Baru.
Citra Nanda (37) segera mengingat masa kecilnya ketika keasyikannya menonton televisi diinterupsi video pendek Presiden Soeharto bersama istrinya di tengah sawah bercaping sambil mengangkat padi dan melambaikan tangan.
Namun itu semua dialaminya di layar televisi puluhan tahun lalu. Karena itu, ia terkejut saat melihat video serupa tapi di layar lebar.
“Kita lagi ada di zaman apa sih ini? Semacam propaganda ya. Kok bisa-bisanya, setelah demo besar sampai ada yang meninggal, terus malah pasang begini,” ucapnya.
Pakar komunikasi politik dari Universitas Padjajaran, Lely Arrianie, berkata hal ini bisa jadi disebut propaganda mengingat bentuk propaganda ada bermacam-macam.
Namun dalam praktiknya, propaganda dilakukan ketika seseorang atau suatu lembaga yang biasa saja dengan pekerjaan yang juga biasa ingin terlihat menonjol dengan hal baik yang sudah dilakukannya.
“Pak Soeharto disebut Bapak Pembangunan, Pak Habibie juga Bapak Pluralisme misalnya dan sebagainya. Nah, mungkin Pak Prabowo pengen punya legacy tersendiri melalui tim komunikasi kepresidenan ini,” ujar Lely.
Sumber gambar, Kemal Jufri/AFP melalui Getty Images)
Persoalannya, menurut Lely, cara menampilkan di bioskop ini dinilai mengganggu privasi sehingga wajar apabila masyarakat protes.
“Orang ingin di sana itu santai. Ternyata direcokin oleh iklan yang sifatnya sebenarnya iklan politik,” kata Lely.
Menurut Lely, langkah ini menunjukkan Kantor Komunikasi Kepresidenan kehilangan inovasi dan kemampuan untuk merencanakan dan mengelola komunikasi politik pemerintah dengan pesan yang tersampaikan tanpa harus mengganggu ruang publik.
Padahal, pemerintah sudah punya media sendiri, termasuk media sosial.
Selain itu, media sosial juga selalu riuh dengan tayangan program pemerintah dan pidato Prabowo.
“Dengan adanya ini, seperti kesulitan untuk bisa mencari celah bagaimana supaya rakyat ini bisa mempercayai apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah,” kata Lely.
Ia menjelaskan era masa kini berbeda dengan ketika Orde Baru. Informasi saat itu hanya terbatas pada televisi dan radio.
Kemudian melalui Kementerian Penerangan, stasiun televisi dan radio wajib menayangkan video kinerja presiden.
Sumber gambar, Robertus Pudyanto/Getty Images
Saat ini, konsep semacam itu menjadi usang di tengah resistensi masyarakat terhadap pemerintah. Alih-alih meraih kepercayaan kembali, masyarakat makin berang.
“Justru ketika dia menyeruduk ke berbagai lini yang tidak efektif, maka kritik masyarakat makin banyak. Ini kan enggak menawarkan segala sesuatu, seperti imajiner,” kata Lely.
“Ini membuat rakyat, enggak cukup medsos kami diganggu dengan pemberitaan semacam ini. Enggak cukup misalnya kantor-kantor, dinas-dinas, instansi lembaga negara diganggu dengan pemberitaan yang hanya baik-baik saja, padahal tidak baik-baik saja.”
‘Ini iklan layanan masyarakat’
Menanggapi hiruk pikuk ini, Corporate Secretary Cinema XXI, Indah Tri Wahyuni, menjelaskan pihaknya menyediakan ruang bagi penyampaian informasi publik dari pemerintah, dalam bentuk Iklan Layanan Masyarakat.
Indah menambahkan, penayangan materi seputar kinerja sosial kabinet Presiden Prabowo merupakan iklan layanan masyarakat yang ditayangkan selama satu minggu, yakni 9 – 14 September 2025.
Ketua Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, membenarkan hal ini.
Menurut dia, layar bioskop, televisi, media luar ruang, dan lain-lain, juga ruang publik yang bisa diisi dengan berbagai pesan.
“Kalau pesan komersial saja boleh, kenapa pesan dari pemerintah dan presiden nggak boleh?” ujar Hasan Nasbi.
Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, berkata pembuatan video itu dilakukan lintas lembaga dan ini bisa menjadi wujud transparansi yang diinginkan masyarakat.
“Kami juga melihat ini sebagai bentuk transparansi publik. Publik harus tahu program-program yang sudah berjalan dan bagaimana pelaksanaannya,” kata Meutya Hafid.
Sumber gambar, Eva/detikcom
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Seluruh Bioskop Indonesia (GPBSI), Suprayitno, menjelaskan iklan layanan masyarakat ini memang kerap masuk untuk ditayangkan di bioskop tanpa dipungut biaya. Bioskop pun tidak punya kuasa untuk menolak.
Ia kemudian mengungkapkan, berbagai iklan layanan masyarakat yang masuk seperti iklan pencegahan narkoba, berantas judi online, hingga tolak politik uang ketika masa Pemilu.
Durasi hari penayangannya juga biasanya tidak lama. Bahkan ia menyebut ada yang hanya tiga hari tayang. Penempatan tayangnya merupakan ketentuan dari bioskop.
Mengacu Pada Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 02/P/Kpi/03/2012 tentang Standar Program Siaran, iklan layanan masyarakat wajib disiarkan di lembaga penyiaran swasta paling sedikit 10% dari seluruh waktu siaran iklan niaga per hari.
Selain itu, iklan layanan masyarakat wajib ditayangkan secara cuma-cuma yang menyangkut: keselamatan umum, kewaspadaan pada bencana alam, kesehatan masyarakat, dan kepentingan umum lainnya yang disampaikan oleh badan-badan publik.
Permasalahannya, bioskop bukan merupakan lembaga penyiaran melainkan bisnis penyedia jasa pemutaran film yang beroperasi berdasarkan UU No. 33 tahun 2009 tentang Perfilman.
Di Indonesia, aturan tidak menyebutkan mengenai iklan layanan masyarakat bermuatan politis.
Berbeda dengan di Amerika Serikat dan UK yang mengatur iklan layanan masyarakat tidak boleh bermuatan politis.
Bahkan pada 2016, asosiasi bioskop di AS menolak adanya iklan politik dalam berbagai bentuk di layar lebar sebelum penayangan publik.
Di UK, warga bahkan menolak adanya iklan politik di televisi juga.
Sementara itu, China melakukan sebaliknya. Selain memutar berbagai program pemerintah, pemerintah juga menggunakan pesohor seperti Jackie Chan untuk tampil di video yang menjelaskan capaian pemerintah dan diputar sebelum penayangan film di bioskop.
Bagaimana budaya pop menjadi alat propaganda?
Pengamat film, Hikmat Darmawan, berkata, Orde Baru memang menaruh perhatian pada propaganda melalui media budaya popular, seperti film.
“Tapi sekalian dia bikin film kan. Misalnya, kita tahu ada [film] Pemberontakan G30S yang dibuat Arifin C Noer,” ujar Hikmat.
Selain itu, ada juga Janur Kuning (1979) dan Serangan Fajar (1982) yang bercerita mengenai perang Serangan Umum 1 Maret.
Namun, isinya bisa ditebak mengenai sosok pahlawan yaitu Soeharto yang saat itu menjadi presiden.
Hikmat juga menjelaskan ketika film dikenalkan di Indonesia pada 1900, Belanda memasang film yang konsepnya newsreel atau film berita.
Selain durasi yang tidak panjang, kontennya saat itu mengenai Raja dan Ratu Belanda yang mengunjungi daerah-daerah di Eropa.
Tanpa disadari, bentuk newsreel itu merupakan propaganda pemerintah Belanda yang tengah menjajah saat itu.
Ketika penjajahan Jepang, ada juga propaganda untuk Romusha dan anti-Belanda.
Kemudian Hikmat menjelaskan perkembangannya jadi iklan layanan masyarakat yang patriotik untuk program negara. Misalnya, semangat non-blok, revolusi, dan lain-lain.
Memasuki masa Orde Baru, konsep semacam iklan layanan masyarakat ini masuk di televisi yang ditayangkan secara berulang-ulang.
Terlebih lagi, pada 1980-an, TVRI yang satu-satunya menjadi saluran televisi saat itu tidak lagi boleh menerima iklan komersial sehingga yang menempel di benak masyarakat adalah iklan layanan masyarakat ini, termasuk film-film cerita panjang arahan pemerintah.
“Dulu, sebenarnya lebih totalistis, lebih banyak bentuknya, lebih merasuk,” ucap Hikmat.
Sumber gambar, Bay Ismoyo/AFP melalui Getty Images
Ariel Heryanto dalam tulisan Film, Teror Negara, dan Luka Bangsa juga menyebut film Pengkhianatan G30S/PKI (1984) yang diwajibkan untuk ditonton berulangkali oleh anak-anak sekolah menjadi bentuk propaganda anti-komunisme.
Pada masa itu, film-film propaganda bermunculan dengan langgam film cerita sehingga penonton tidak segera menyadarinya.
Ariel menuliskan, militer memahami kekuatan film sebagai alat propaganda.
Pada April 1969, Panglima Kopkamtib membentuk ‘Projek Film Kopkamtib’ yang memanfaatkan film dokumenter sebagai media psywar.
Akan tetapi, kehadiran film sebagai propaganda saat ini akan segera terendus oleh para penikmat film.
Kendati demikian, ada saja cara untuk memasuki ranah publik dengan piranti budaya populer ini.
Iklan pun sejatinya merupakan produk budaya populer. Apalagi banyak iklan yang belakangan menggunakan narasi mirip film.
Hikmat menunjukkan film trilogi Merah Putih yang dibuat Hashim Djojohadikusumo, adik Prabowo.
Ada juga iklan ketika masa kampanye yang dibuat dengan pola narasi.
Masyarakat tidak langsung sadar karena disusun dengan cukup baik, bahkan secara sinematografis.
Namun tetap perlu berhati-hati, karena masyarakat kian kritis. Kemasan sebagus apapun tidak akan menutup aroma propaganda.
Menurut Hikmat, ia tidak sepenuhnya menolak gagasan propaganda disebarkan melalui budaya pop sepanjang dieksekusi tepat dan tujuannya membantu masyarakat.
Misal, film atau iklan layanan masyarakat mengenai Pemilu dan berbagai penyuluhan masyarakat yang dibuat dengan sinematik.
Ia mengambil contoh Garin Nugroho yang beberapa kali melakukan ini.
Bahkan yang teranyar, Garin bekerjasama dengan KPU untuk membuat film Kejarlah Janji (2024).
Meski terasa propaganda KPU untuk ikut serta dalam Pemilu, Garin menyisipkan pandangan kritisnya dipadu segi estetik khasnya.
“Nah, persoalannya apakah yang dilakukan oleh pemerintah Prabowo sekarang memadai dari segi itu. Kayaknya sih belum ya karena orang lebih karena terganggu jadinya bukan terpukau gitu oleh hasil propagandanya. Orang malah jadi kesel dan julid,” kata Hikmat.
Jika diamati seksama, video Prabowo ini memang diambil dari tayangan yang sudah diputar saat Sidang Tahunan MPR pada 15 Agustus 2025.
Hanya durasi video ini lebih singkat yakni sekitar 60 detik sesuai dengan aturan iklan layanan masyarakat.
“Jadi hanya sekedar nyopot-nyopot gitu loh klip-klip dan enggak ada secara khusus diniatkan untuk jadi sebuah karya propaganda yang memang menggugah.
“Apakah memang benar-benar ini komunikasi yang genuine atau sekadar ingin hura-hura membangun persepsi. Kalau ingin membangun persepsi dengan cara begitu, sampai kapanpun akan lemah impactnya dan muncul persepsi negatif,” pungkas Hikmat.